David yang baru saja sampai rumah langsung disambut Nala dan Levi. Mereka nampak menunggu kedatangannya dengan risau. Semua itu tercetak jelas di wajah istri dan putranya. Begitu David mengucapkan salam, Nala langsung mencium tangan suaminya dengan tergesa-gesa."Bagaimana Yah?" tanya wanita itu tak sabar.David masih terfokus pada putranya yang sedang mencium tangannya."Kita masuk dulu."Ketika sudah duduk di kursi ruang tamu, David menghela napasnya panjang. Ia memejamkan mata sejenak mengotrol emosi yang ada di dalam dirinya. Nala dan Levi menyiapkan diri mendengar jawaban dari kepala keluarga. Dada berdegup kencang seolah ingin melesat dari tempatnya.Kepala Levi sedari tadi berputar pesat. Batinnya bertanya-tanya apakah namanya akan terseret ke kasus ini. 'Bisa mati kalau sampai Ayah dan Mama tau,' rutuknya dalam hati."Mengenai putri kita, Dea. Kepalanya terluka cukup parah, bahkan masih terbalut perban." David mulai membagikan informasi kepada keluarganya. "Ternyata pelakunya
"Soal Mawar. Aku tidak berniat membunuhnya, video yang kamu berikan hanya sebagian saja." Nina terdiam sejenak, Levi menunggu pengakuan istrinya dengan sabar. Sebelum melanjutkan cerita, wanita itu menghembuskan napasnya beberapa kali seakan mengontrol debaran hebat di dadanya. "Tidak ada yang tau kalau dia sebenarnya mengalami kecemasan parah. Bahkan psikologi yang menanganinya meminta dia tinggal di rumah sakit jiwa beberapa hari sampai kondisinya stabil. Saat itu aku yang mengantar nya tidak bisa berbuat apa-apa." Air mata mulai luruh membasahi pipi wanita itu. "Aku sempat cekcok dengan Mawar karena meminta dia menuruti kata psikolog. Tapi dia justru membelokkan mobil ke jurang beberapa kali. Aku berusaha menyelamatkan diri dengan berebut setir."Levi masih mendengarkan pengakuan Nina dalam diam. Nina berusaha mengatur napasnya agar tubuh menjadi lebih tenang. Ia sadar sedang memiliki janin di dalam rahimnya, jadi ia harus mengontrol emosinya agar tidak terjadi hal-hal buruk.Se
"Ya. aku memang tidur dengan Bimo," ucap Nina dengan menundukkan kepala. " Tapi waktu itu, aku juga tidur denganmu Mas. Jadi sekarang aku tidak tau, apakah ini anak Bimo atau anakmu."Levi menatap istrinya dengan nanar. Sebelumnya ia sudah menuduh Nina berselingkuh dengan Bimo. Namun saat itu dia tidak mengakuinya. Sekarang Nina berani mengakui perbuatannya Tapi Levi tak bisa sanggup mendengarnya. "Lalu?""Biarkan anak ini lahir dulu. Setelah itu kita bercerai."Mata Levi melebar, ia belum memikirkan perceraian meskipun Dea sudah memberi bukti kebejatan istrinya."Entah ini anak Bimo atau anakmu-"" Kita bahas itu nanti. tinggal 2 bulan anak itu lahir, aku akan memutuskannya nanti."Levi segera beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke ruang kerja. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Entah dosa apa yang kami perbuat, sampai-sampai keadaan menjadi pelik seperti ini," keluh lelaki itu.Keadaan rumah tangga kakak beradik sedang berada di ujung tanduk. Dea terbaring lemas di ranjangnya
Ketika sampai di tempat Dea mengajar. Kevin segera mengecup kening istrinya dengan lembut seraya berkata, "semangat ya Sayang. Nanti sore Mas jemput."Dea emnyunggingkan bibir dan berkata, " Mas juga semangat kerjanya."Lelaki itu tak langsung melajukan mobilnya ketika istrinya masuk ke area sekolah. Ia ingin memastikan Dea benar-benar aman di sana. Namun dadanya langsung berdebar nyeri saat melihat sosok laki-laki yang ia benci mendekati istrinya. "Dia masih saja-," geram Kevin yang tertahan. Tangannya menggenggam erat ketika Andre melirik ke arahnya dengan wajah datar. Tak berselang lama terlihat salah satu rekan kerja wanita istrinya mulai nimbrung. Perasaan Kevin mulai lega karena dengan begitu interaksi antara Andre dan Dea merenggang.Akhirnya ia menyalakan mesin mobil dan menuju tempat kerjanya. Dia yang baru sampai di parkiran langsung dihadang Nino. Wajah lelaki itu nampak kusut ketika memandang Kevin.'Ngapain lagi nih bocah. Gak ada malunya deketin istri orang,' gerutu Kev
'Apalagi yang dia inginkan?' tanya Kevin dalam hati.Nino masih fokus dengan layar ponsel sahabatnya. Nama Seno tersemat dengan singkat di sana. Namun dengan satu kata tersebut berhasil mengubah atmosfer menjadi menegangkan."Tidak berhenti berhenti tuh," ucap lelaki itu yang langsung mengarahkan tatapannya ke Kevin. Helaan napas terdengar dari orang di dalamnya. Dengan terpaksa lelaki itu menggeser icon Phone berwarna hijau. Nino membasahi tenggorokan ya dengan air, entah kenapa ia merasa cemas."Hallo Assalamualaikum," salam Kevin dengan nada dibuat setenang mungkin. Ia tak lupa meloudspeaker agar Nino bisa mendengarnya."Aku ada di depan sekolahmu. Temui aku sekarang." Sambungan telepon pun terputus tanpa ucapan akhir.Kedua sohib saling menatap satu sama lain. Seakan melakukan telepati dan mempertanyakan, apa yang akan dilakukan selanjutnya. "Gua cabut dulu,' pamit Kevin pada Nino."Yakin lu?" Nino seakan mencegah temannya agar tidak berbuat gegabah ketika menghadapi Seno.Hanya
"Bu Dea, bisa bicara sebentar?" tanya lelaki itu to the point. "Bisa Pak."Andre menganggukkan kepala lantaran mengatakan, "mari ke ruangan saya."Dea sempat melirik ke beberapa rekan kerjanya yang sedang penasaran. Andre keluar terlebih dahulu."Ada apa ya?" celetuk Sinta.Dea menghela napasnya pelan. "Sepertinya masalah saya yang sering izin," jawabnya dengan mata sedikit berair. Melihat respon rekan kerjanya yang ketakutan beberapa guru mencoba menenangkan Dea dengan lembut. "Aduh Bu Dea jangan nangis ya. Bu Dea kan terpaksa izin beberapa kali karena sakit. Ini aja kepalanya keliatan masih parah.""Bener Bu Dea, jangan takut. InsyaAllah Pak Andre akan kasih solusi yang baik. Jadi tenang saja.""Bener Bu," sahut Sinta yang ikut iba.Absensi sekolah ini tidak bisa dimanipulasi, karena memakai sidik jari sebagai login. Jadi tidak ada yang bisa menggantikannya untuk mengisi presensi. Ia mencoba meluaskan hati untuk menerima semua konsekuensi yang harus dihadapi. Masukan lembut dari r
"Gimana Vin?" tanya Nino kepada sahabatnya yang baru mendaratkan pantatnya di atas kursi. Dia sudah tidak bisa menahan rasa penasaran soal pertemuan Kevin dan Seno. Ini akan menjadi cerita menarik untuk lelaki itu."Kacau." Kevin menggaruk rambutnya dengan kasar. Matanya masih memerah karena terbawa emosi saat menemui mertuanya. Berita yang disampaikan kepadanya cukup mengejutkan dan membuat stress.Alis Nino mengerut dan bibirnya maju 1 cm. "Maksudnya?" ia menanyakan kejelasan lebih antusias lagi. "Dia tidak mau melepaskan Dea, sebelum aku menceraikannya." Desisan putus asa menjelaskan bagaimana lelaki itu merasa frustrasi dengan keadaannya sekarang. " Huft..." helaan napas keluar dari mulut Nino. Ia sudah menduga tidak mudah melawan keluarga Icha yang sempat menghancurkan dirinya."Terus?" ia mencoba mencari informasi lagi. karena di dalam lubuk hatinya masih tersimpan rasa iba kepada sahabatnya."Entah. Pusing banget kepalaku.""Hah... Kasihan Dea," ucap Nino melihat sahabatnya s
"Jangan Berani-berani bilang putriku jalang!" Seno menunjuk mata Kevin yang bergetar. "Sekali lagi kamu menyebut putriku seperti itu... bukan hanya Dea, keluargamu juga akan aku libas!" ancam lelaki itu yang sukses membungkam mulut Kevin.Kedua orang itu saling beradu tajam. Napas menderu panas menyerbak ke indera taktil satu sama lain, dada naik turun tak beraturan. Pada akhirnya Seno melepas cengkeramannya."Keluar, laksanakan perintahku secepatnya!" usir lelaki itu yang membuang muka tak sudi melihat menantunya yang masih membara."Kalau bukan karena Icha, aku tidak akan membiarkan bajingan sepertimu hidup."Kevin hanya diam dan langsung membawa tubuhnya keluar dari transportasi beroda empat tersebut.Nino yang berada di sampingnya, kembali menyesap kopi hitam. Mata lelaki itu menerawang ke arah taman kecil di depan kantin. Kevin yang sebelumnya merenung kini mengambil start percakapan. "Lu beneran suka sama Dea?" tanya Kevin dengan menenggak salivanya."Ya." Jawaban yang singkat