"Sepertinya mereka tidak mau menerimaku Ma. Bagaimana aku bisa hidup tenang dengan suamiku kalau mereka tak mau menganggapku? Tidak ada gunanya aku hidup, aku ingin mati Ma," isak Icha. Kedua tangannya menjambak rambutnya dengan kuat, ia tak bisa mengendalikan kegetiran di hatinya setelah masa persidangan usai. Ia masih teringat bagaimana kedua orangtua Kevin memandangnya dengan jijik."Tidak Sayang, jangan bicara seperti itu. Mereka hanya terkejut karena tidak tau status kalian." Maya mencoba menenangkan putrinya. Ia berusaha melepaskan cengkeraman tangan wanita itu dari rambut yang kusut."Tenang saja Sayang. Papa sudah memberitahu Kevin untuk menemuimu. Keluarganya Papa pastikan akan menerimamu dengan baik dan Jalang itu akan merasakan akibatnya." Kali ini Seno ikut menenangkan Icha. Ia masih memakai kemeja lengkap karena baru pulang dari kantor. Lelaki itu segera mendekap tubuh putrinya. "Jangan sekali-sekali bicara ingin mengakhiri hidup Sayang. Papa dan Mama sedang mati-matian m
Kevin hanya bisa menghela napas karena gejolak dalam kepalanya kian memanas. Berkali-kali ia memikirkan topik perceraian, hatinya terasa berat untuk mengungkapkannya. Apalagi ekspresi tenang Dea ketika menyantap hidangan yang dia pesan membuatnya terenyuh. Keinginan untuk menghabiskan seumur hidup dengan istrinya kian membesar. "Mas nggak makan? Ini enak banget loh," ujar Dea yang bingung melihat Kevin termenung. "Nih... coba makanan Adik." Wanita itu meyodorkan sepotong daging steak kepada suaminya. Kevin tersenyum tipis dan membuka mulutnya, menerima suapan Dea dengan senang hati. "Mas hati-hati," peringat Dea yang khawatir jika sendoknya menyenggol pipi suaminya yang lebam. Wanita itu memberi sentuhan di pipinya sebagai pengingat jika pipi Kevin masih membiru."Hm... enak," puji Kevin yang langsung disambut antusias istrinya. "Iya kan... Coba ini juga Mas," tawar Dea. Kedua sudut bibir naik dan netra berbinar menampakkan kecantikannya secara maksimal. "Enak." Dia menyetujui uc
Selama perjalanan menuju rumah sakit, Dea Berkali-kali mengerang menahan rasa nyeri di kepalanya. Kevin yang menyetir mobil dibuat kalap oleh keadaan istrinya yang semakin parah."Mas sakit!" teriak Dea dengan kedua tangan yang meremas rambut. Perban yang semula terlilit rapi kini porak poranda. "Sebentar lagi sampai Sayang," tenang Kevin. Ia menekan kontak mamanya untuk mengabari keadaan Dea. Butuh beberapa kali sebelum telepon itu terangkat."Hallo Ma. Kepala Dea tiba-tiba sakit, sekarang aku menuju rumah sakit.""Kok bisa!?" teriak Rita di seberang telepon."Nggak tau Ma. Tiba-tiba keadaannya parah begini.""Oke Mama sama Papa segera ke sana."Telepon pun terputus, dan bertepatan dengan mobil yang sudah terparkir di depan rumah sakit.Kevin langsung membopong istrinya masuk dan di sambut beberapa perawat. Ia juga mengisi keperluan administrasi agar istrinya segera diperiksa.Selama dokter memeriksa keadaan Dea. Kevin menunggu di luar ruangan. Rita dan Gito yang mendapat kabar soal
Kevin langsung memasuki mobil. Begitu pula Rita dan Gito. Kedua orang itu mengikuti anak dan menantu dari belakang. Kevin yang satu mobil dengan Dea, kesulitan fokus mengemudi karena berkali-kali mendengar lenguhan istrinya. Ditambah kening wanita itu sedari tadi mengerut tajam. "Sebentar lagi kita sampai Sayang. Tahan ya," ujar Kevin lembut. Ia meraih tangan Dea lalu menciumnya dengan lembut. Dia tak tega melihat istrinya yang kesakitan. Hatinya ikut teriris karena Dea bertubi-tubi mengalami kejadian tragis, dan kali ini efeknya lebih bahaya dari sebelumnya."Begini saja sudah bikin dia menderita. Bagaimana kalau mertua menyerangnya lagi?" tanya Kevin dalam hati. ia teringat dengan perintah Seno tadi pagi. Bahkan lelaki paruh baya itu mengancam akan menghabiskan seluruh keluarganya tanpa kecuali. Perlahan mobil mulai memasuki halaman rumah. Kevin sengaja langsung ke garasi agar orangtuanya bisa parkir di carport."Sudah sampai Sayang," ucap Kevi kepada istrinya. Dea berusaha kelua
Deringan telepon itu tak kunjung berhenti. Detak jantung Kevin berjalan dengan cepat. 'Sial kenapa dia menelponku di waktu yang tidak tepat,' kesal Kevin dalam hati. Tangannya terasa tremor merasakan getaran dari ponselnya. Ia melirik papanya dengan cemas. Gito menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Kenapa tidak diangkat?" tanya Gito penasaran. Ia berusaha menillik ponsel putranya. Buru-buru Kevin menolak panggilan itu dan memilih mematikan ponsel."Tidak penting Pa. Ini Nino," jawab Kevin dengan detak jantung yang terpompa cepat. Keringat dingin mulai menjalar di keningnya."Oh. Terus?" Lelaki paruh baya itu masih penasaran dengan cerita putranya mengenai tragedi pernikahan siri dengan Icha."Ya itu. Tiba-tiba Icha datang menemui Icha dan membuat ulah seperti ini. Padahal dalam persyaratan yang Kevin ajukan point paling penting adalah tidak mengganggu rumah tanggaku dengan Dea." Kevin menelan salivanya. Lalu mulai mengungkapkan penyebab ia melakukan pernikahan itu. "Mereka menggunaka
"Ma...""Iya Pa?" sahut Rita yang langsung menoleh ke arah suaminya. Alisnya langsung mengerut begitu melihat ekspresi Gito."Bisa keluar sebentar?"Rita langsung menganggukkan kepala mendengar permintaan suaminya. Sebelum itu ia menaikkan selimut menantunya agar tidak kedinginan.Dengan langkah perlahan Rita keluar dari kamar dan mengikuti Gito."Mau aku buatin kopi Pa?" tawar Rita."Iya."Ketika minuman panas sudah terhidang di meja makan, Gito langsung menuangkan sedikit ke alas cangkir."Ada apa Pa?" tanya Rita."Papa tadi tanya ke Kevin, bagaimana bisa dia menikah dengan anak Seno. Ternyata..." Gito menceritakan dari awal hingga akhir seperti yang diceritakan putranya.Rita mendengarkannya dengan seksama. Tak ada penyelaan selama suaminya mengatakan alasan pernikahan siri Icha dan Kevin. Pada akhirnya wanita itu hanya bisa menghela napasnya kasar."Sekarang kita menunggu Kevin menceraikan perempuan itu Pa. Dia masih dikurung 2 minggu lagi. Setelah itu rumah tangga Kevin dengan De
Gito menatap istri dan menantunya dengan bibir yang dimanyunkan. Ia bahkan menghembuskan napas perlahan sebelum mulai bertanya."Ada apa sih Ma? Pagi-pagi sudah ramai gini.""Ini Dea Pa. Mama suruh istirahat di rumah tapi gak mau. Tuh lihat, dia sudah pakai seragam kerja," tunjuk Rita dengan ekspresi dibuat sengambek mungkin."Hari ini istirahat di rumah saja Dea.""Tidak Pa. Hari ini aku harus kerja.""Tuh kan," adu Rita sedikit frustrasi."Tapi kamu masih sakit Sayang." Gito berusaha membujuk Dea agar tetap di rumah."Dea udah baikan Pa. Nanti bisa istirahat di UKS, Papa sama Mama tenang aja. Ditambah kerja Dea tidak full karena dibantu anak magang kok." Dea menyemprotkan parfum ke seragamnya.Kevin yang baru keluar dari kamar mandi dibuat bingung melihat keluarganya berkumpul di kamarnya."Papa akan izinkan kamu untuk istirahat di rumah," kekeh Gito."Tidak bisa Pa. Sebelumnya Dea sudah cuti beberapa kali, sekarang cutinya udah habis." Dea masih teringat pembicaraan kemarin di rua
"Mas..." Dea merengek kepada suaminya. Dia malu kalau mertuanya ikut ke sekolah, dia bukan anak kecil lagi. Menurutnya ini berlebihan, tetapi Dea sangat bersyukur karena itu menunjukkan jika mertuanya sangat padanya. Mata membukat seperti anjing kecil dan kedua sudut bibir menurun membuat Kevin gemas. tangan kekarnya langsung mencubit salah satu pipi istrinya. "Turuti saja kata Papa sama Mama," sahut Kevin yang tau jika istrinya ingin meminta tolong padanya untuk menahan orangtuanya agar tidak ikut ke tempat ngajar.Alis Dea semakin berkerut. "Tapi Mas."Cup! kecupan kecil di bibir wanita itu membuat waktu seakan berhenti. Mata Dea langsung membulat."Maaf Mas tidak bisa membantumu," jawab Kevin dan kini beralih mengecup kening istrinya."Semangat kerjanya Sayang."Dea membeku karena tiba-tiba mendapat perlakuan manis dari suaminya. Mulut wanita itu masih terbungkam.Karena ruangan menjadi hening, Kevin memilih membuka suara lagi. "Sepertinya Mas akan pulang larut. Ada keperluan yang
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng