"Bu Dea, bisa bicara sebentar?" tanya lelaki itu to the point. "Bisa Pak."Andre menganggukkan kepala lantaran mengatakan, "mari ke ruangan saya."Dea sempat melirik ke beberapa rekan kerjanya yang sedang penasaran. Andre keluar terlebih dahulu."Ada apa ya?" celetuk Sinta.Dea menghela napasnya pelan. "Sepertinya masalah saya yang sering izin," jawabnya dengan mata sedikit berair. Melihat respon rekan kerjanya yang ketakutan beberapa guru mencoba menenangkan Dea dengan lembut. "Aduh Bu Dea jangan nangis ya. Bu Dea kan terpaksa izin beberapa kali karena sakit. Ini aja kepalanya keliatan masih parah.""Bener Bu Dea, jangan takut. InsyaAllah Pak Andre akan kasih solusi yang baik. Jadi tenang saja.""Bener Bu," sahut Sinta yang ikut iba.Absensi sekolah ini tidak bisa dimanipulasi, karena memakai sidik jari sebagai login. Jadi tidak ada yang bisa menggantikannya untuk mengisi presensi. Ia mencoba meluaskan hati untuk menerima semua konsekuensi yang harus dihadapi. Masukan lembut dari r
"Gimana Vin?" tanya Nino kepada sahabatnya yang baru mendaratkan pantatnya di atas kursi. Dia sudah tidak bisa menahan rasa penasaran soal pertemuan Kevin dan Seno. Ini akan menjadi cerita menarik untuk lelaki itu."Kacau." Kevin menggaruk rambutnya dengan kasar. Matanya masih memerah karena terbawa emosi saat menemui mertuanya. Berita yang disampaikan kepadanya cukup mengejutkan dan membuat stress.Alis Nino mengerut dan bibirnya maju 1 cm. "Maksudnya?" ia menanyakan kejelasan lebih antusias lagi. "Dia tidak mau melepaskan Dea, sebelum aku menceraikannya." Desisan putus asa menjelaskan bagaimana lelaki itu merasa frustrasi dengan keadaannya sekarang. " Huft..." helaan napas keluar dari mulut Nino. Ia sudah menduga tidak mudah melawan keluarga Icha yang sempat menghancurkan dirinya."Terus?" ia mencoba mencari informasi lagi. karena di dalam lubuk hatinya masih tersimpan rasa iba kepada sahabatnya."Entah. Pusing banget kepalaku.""Hah... Kasihan Dea," ucap Nino melihat sahabatnya s
"Jangan Berani-berani bilang putriku jalang!" Seno menunjuk mata Kevin yang bergetar. "Sekali lagi kamu menyebut putriku seperti itu... bukan hanya Dea, keluargamu juga akan aku libas!" ancam lelaki itu yang sukses membungkam mulut Kevin.Kedua orang itu saling beradu tajam. Napas menderu panas menyerbak ke indera taktil satu sama lain, dada naik turun tak beraturan. Pada akhirnya Seno melepas cengkeramannya."Keluar, laksanakan perintahku secepatnya!" usir lelaki itu yang membuang muka tak sudi melihat menantunya yang masih membara."Kalau bukan karena Icha, aku tidak akan membiarkan bajingan sepertimu hidup."Kevin hanya diam dan langsung membawa tubuhnya keluar dari transportasi beroda empat tersebut.Nino yang berada di sampingnya, kembali menyesap kopi hitam. Mata lelaki itu menerawang ke arah taman kecil di depan kantin. Kevin yang sebelumnya merenung kini mengambil start percakapan. "Lu beneran suka sama Dea?" tanya Kevin dengan menenggak salivanya."Ya." Jawaban yang singkat
"Sepertinya mereka tidak mau menerimaku Ma. Bagaimana aku bisa hidup tenang dengan suamiku kalau mereka tak mau menganggapku? Tidak ada gunanya aku hidup, aku ingin mati Ma," isak Icha. Kedua tangannya menjambak rambutnya dengan kuat, ia tak bisa mengendalikan kegetiran di hatinya setelah masa persidangan usai. Ia masih teringat bagaimana kedua orangtua Kevin memandangnya dengan jijik."Tidak Sayang, jangan bicara seperti itu. Mereka hanya terkejut karena tidak tau status kalian." Maya mencoba menenangkan putrinya. Ia berusaha melepaskan cengkeraman tangan wanita itu dari rambut yang kusut."Tenang saja Sayang. Papa sudah memberitahu Kevin untuk menemuimu. Keluarganya Papa pastikan akan menerimamu dengan baik dan Jalang itu akan merasakan akibatnya." Kali ini Seno ikut menenangkan Icha. Ia masih memakai kemeja lengkap karena baru pulang dari kantor. Lelaki itu segera mendekap tubuh putrinya. "Jangan sekali-sekali bicara ingin mengakhiri hidup Sayang. Papa dan Mama sedang mati-matian m
Kevin hanya bisa menghela napas karena gejolak dalam kepalanya kian memanas. Berkali-kali ia memikirkan topik perceraian, hatinya terasa berat untuk mengungkapkannya. Apalagi ekspresi tenang Dea ketika menyantap hidangan yang dia pesan membuatnya terenyuh. Keinginan untuk menghabiskan seumur hidup dengan istrinya kian membesar. "Mas nggak makan? Ini enak banget loh," ujar Dea yang bingung melihat Kevin termenung. "Nih... coba makanan Adik." Wanita itu meyodorkan sepotong daging steak kepada suaminya. Kevin tersenyum tipis dan membuka mulutnya, menerima suapan Dea dengan senang hati. "Mas hati-hati," peringat Dea yang khawatir jika sendoknya menyenggol pipi suaminya yang lebam. Wanita itu memberi sentuhan di pipinya sebagai pengingat jika pipi Kevin masih membiru."Hm... enak," puji Kevin yang langsung disambut antusias istrinya. "Iya kan... Coba ini juga Mas," tawar Dea. Kedua sudut bibir naik dan netra berbinar menampakkan kecantikannya secara maksimal. "Enak." Dia menyetujui uc
Selama perjalanan menuju rumah sakit, Dea Berkali-kali mengerang menahan rasa nyeri di kepalanya. Kevin yang menyetir mobil dibuat kalap oleh keadaan istrinya yang semakin parah."Mas sakit!" teriak Dea dengan kedua tangan yang meremas rambut. Perban yang semula terlilit rapi kini porak poranda. "Sebentar lagi sampai Sayang," tenang Kevin. Ia menekan kontak mamanya untuk mengabari keadaan Dea. Butuh beberapa kali sebelum telepon itu terangkat."Hallo Ma. Kepala Dea tiba-tiba sakit, sekarang aku menuju rumah sakit.""Kok bisa!?" teriak Rita di seberang telepon."Nggak tau Ma. Tiba-tiba keadaannya parah begini.""Oke Mama sama Papa segera ke sana."Telepon pun terputus, dan bertepatan dengan mobil yang sudah terparkir di depan rumah sakit.Kevin langsung membopong istrinya masuk dan di sambut beberapa perawat. Ia juga mengisi keperluan administrasi agar istrinya segera diperiksa.Selama dokter memeriksa keadaan Dea. Kevin menunggu di luar ruangan. Rita dan Gito yang mendapat kabar soal
Kevin langsung memasuki mobil. Begitu pula Rita dan Gito. Kedua orang itu mengikuti anak dan menantu dari belakang. Kevin yang satu mobil dengan Dea, kesulitan fokus mengemudi karena berkali-kali mendengar lenguhan istrinya. Ditambah kening wanita itu sedari tadi mengerut tajam. "Sebentar lagi kita sampai Sayang. Tahan ya," ujar Kevin lembut. Ia meraih tangan Dea lalu menciumnya dengan lembut. Dia tak tega melihat istrinya yang kesakitan. Hatinya ikut teriris karena Dea bertubi-tubi mengalami kejadian tragis, dan kali ini efeknya lebih bahaya dari sebelumnya."Begini saja sudah bikin dia menderita. Bagaimana kalau mertua menyerangnya lagi?" tanya Kevin dalam hati. ia teringat dengan perintah Seno tadi pagi. Bahkan lelaki paruh baya itu mengancam akan menghabiskan seluruh keluarganya tanpa kecuali. Perlahan mobil mulai memasuki halaman rumah. Kevin sengaja langsung ke garasi agar orangtuanya bisa parkir di carport."Sudah sampai Sayang," ucap Kevi kepada istrinya. Dea berusaha kelua
Deringan telepon itu tak kunjung berhenti. Detak jantung Kevin berjalan dengan cepat. 'Sial kenapa dia menelponku di waktu yang tidak tepat,' kesal Kevin dalam hati. Tangannya terasa tremor merasakan getaran dari ponselnya. Ia melirik papanya dengan cemas. Gito menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Kenapa tidak diangkat?" tanya Gito penasaran. Ia berusaha menillik ponsel putranya. Buru-buru Kevin menolak panggilan itu dan memilih mematikan ponsel."Tidak penting Pa. Ini Nino," jawab Kevin dengan detak jantung yang terpompa cepat. Keringat dingin mulai menjalar di keningnya."Oh. Terus?" Lelaki paruh baya itu masih penasaran dengan cerita putranya mengenai tragedi pernikahan siri dengan Icha."Ya itu. Tiba-tiba Icha datang menemui Icha dan membuat ulah seperti ini. Padahal dalam persyaratan yang Kevin ajukan point paling penting adalah tidak mengganggu rumah tanggaku dengan Dea." Kevin menelan salivanya. Lalu mulai mengungkapkan penyebab ia melakukan pernikahan itu. "Mereka menggunaka