"Ya. aku memang tidur dengan Bimo," ucap Nina dengan menundukkan kepala. " Tapi waktu itu, aku juga tidur denganmu Mas. Jadi sekarang aku tidak tau, apakah ini anak Bimo atau anakmu."Levi menatap istrinya dengan nanar. Sebelumnya ia sudah menuduh Nina berselingkuh dengan Bimo. Namun saat itu dia tidak mengakuinya. Sekarang Nina berani mengakui perbuatannya Tapi Levi tak bisa sanggup mendengarnya. "Lalu?""Biarkan anak ini lahir dulu. Setelah itu kita bercerai."Mata Levi melebar, ia belum memikirkan perceraian meskipun Dea sudah memberi bukti kebejatan istrinya."Entah ini anak Bimo atau anakmu-"" Kita bahas itu nanti. tinggal 2 bulan anak itu lahir, aku akan memutuskannya nanti."Levi segera beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke ruang kerja. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Entah dosa apa yang kami perbuat, sampai-sampai keadaan menjadi pelik seperti ini," keluh lelaki itu.Keadaan rumah tangga kakak beradik sedang berada di ujung tanduk. Dea terbaring lemas di ranjangnya
Ketika sampai di tempat Dea mengajar. Kevin segera mengecup kening istrinya dengan lembut seraya berkata, "semangat ya Sayang. Nanti sore Mas jemput."Dea emnyunggingkan bibir dan berkata, " Mas juga semangat kerjanya."Lelaki itu tak langsung melajukan mobilnya ketika istrinya masuk ke area sekolah. Ia ingin memastikan Dea benar-benar aman di sana. Namun dadanya langsung berdebar nyeri saat melihat sosok laki-laki yang ia benci mendekati istrinya. "Dia masih saja-," geram Kevin yang tertahan. Tangannya menggenggam erat ketika Andre melirik ke arahnya dengan wajah datar. Tak berselang lama terlihat salah satu rekan kerja wanita istrinya mulai nimbrung. Perasaan Kevin mulai lega karena dengan begitu interaksi antara Andre dan Dea merenggang.Akhirnya ia menyalakan mesin mobil dan menuju tempat kerjanya. Dia yang baru sampai di parkiran langsung dihadang Nino. Wajah lelaki itu nampak kusut ketika memandang Kevin.'Ngapain lagi nih bocah. Gak ada malunya deketin istri orang,' gerutu Kev
'Apalagi yang dia inginkan?' tanya Kevin dalam hati.Nino masih fokus dengan layar ponsel sahabatnya. Nama Seno tersemat dengan singkat di sana. Namun dengan satu kata tersebut berhasil mengubah atmosfer menjadi menegangkan."Tidak berhenti berhenti tuh," ucap lelaki itu yang langsung mengarahkan tatapannya ke Kevin. Helaan napas terdengar dari orang di dalamnya. Dengan terpaksa lelaki itu menggeser icon Phone berwarna hijau. Nino membasahi tenggorokan ya dengan air, entah kenapa ia merasa cemas."Hallo Assalamualaikum," salam Kevin dengan nada dibuat setenang mungkin. Ia tak lupa meloudspeaker agar Nino bisa mendengarnya."Aku ada di depan sekolahmu. Temui aku sekarang." Sambungan telepon pun terputus tanpa ucapan akhir.Kedua sohib saling menatap satu sama lain. Seakan melakukan telepati dan mempertanyakan, apa yang akan dilakukan selanjutnya. "Gua cabut dulu,' pamit Kevin pada Nino."Yakin lu?" Nino seakan mencegah temannya agar tidak berbuat gegabah ketika menghadapi Seno.Hanya
"Bu Dea, bisa bicara sebentar?" tanya lelaki itu to the point. "Bisa Pak."Andre menganggukkan kepala lantaran mengatakan, "mari ke ruangan saya."Dea sempat melirik ke beberapa rekan kerjanya yang sedang penasaran. Andre keluar terlebih dahulu."Ada apa ya?" celetuk Sinta.Dea menghela napasnya pelan. "Sepertinya masalah saya yang sering izin," jawabnya dengan mata sedikit berair. Melihat respon rekan kerjanya yang ketakutan beberapa guru mencoba menenangkan Dea dengan lembut. "Aduh Bu Dea jangan nangis ya. Bu Dea kan terpaksa izin beberapa kali karena sakit. Ini aja kepalanya keliatan masih parah.""Bener Bu Dea, jangan takut. InsyaAllah Pak Andre akan kasih solusi yang baik. Jadi tenang saja.""Bener Bu," sahut Sinta yang ikut iba.Absensi sekolah ini tidak bisa dimanipulasi, karena memakai sidik jari sebagai login. Jadi tidak ada yang bisa menggantikannya untuk mengisi presensi. Ia mencoba meluaskan hati untuk menerima semua konsekuensi yang harus dihadapi. Masukan lembut dari r
"Gimana Vin?" tanya Nino kepada sahabatnya yang baru mendaratkan pantatnya di atas kursi. Dia sudah tidak bisa menahan rasa penasaran soal pertemuan Kevin dan Seno. Ini akan menjadi cerita menarik untuk lelaki itu."Kacau." Kevin menggaruk rambutnya dengan kasar. Matanya masih memerah karena terbawa emosi saat menemui mertuanya. Berita yang disampaikan kepadanya cukup mengejutkan dan membuat stress.Alis Nino mengerut dan bibirnya maju 1 cm. "Maksudnya?" ia menanyakan kejelasan lebih antusias lagi. "Dia tidak mau melepaskan Dea, sebelum aku menceraikannya." Desisan putus asa menjelaskan bagaimana lelaki itu merasa frustrasi dengan keadaannya sekarang. " Huft..." helaan napas keluar dari mulut Nino. Ia sudah menduga tidak mudah melawan keluarga Icha yang sempat menghancurkan dirinya."Terus?" ia mencoba mencari informasi lagi. karena di dalam lubuk hatinya masih tersimpan rasa iba kepada sahabatnya."Entah. Pusing banget kepalaku.""Hah... Kasihan Dea," ucap Nino melihat sahabatnya s
"Jangan Berani-berani bilang putriku jalang!" Seno menunjuk mata Kevin yang bergetar. "Sekali lagi kamu menyebut putriku seperti itu... bukan hanya Dea, keluargamu juga akan aku libas!" ancam lelaki itu yang sukses membungkam mulut Kevin.Kedua orang itu saling beradu tajam. Napas menderu panas menyerbak ke indera taktil satu sama lain, dada naik turun tak beraturan. Pada akhirnya Seno melepas cengkeramannya."Keluar, laksanakan perintahku secepatnya!" usir lelaki itu yang membuang muka tak sudi melihat menantunya yang masih membara."Kalau bukan karena Icha, aku tidak akan membiarkan bajingan sepertimu hidup."Kevin hanya diam dan langsung membawa tubuhnya keluar dari transportasi beroda empat tersebut.Nino yang berada di sampingnya, kembali menyesap kopi hitam. Mata lelaki itu menerawang ke arah taman kecil di depan kantin. Kevin yang sebelumnya merenung kini mengambil start percakapan. "Lu beneran suka sama Dea?" tanya Kevin dengan menenggak salivanya."Ya." Jawaban yang singkat
"Sepertinya mereka tidak mau menerimaku Ma. Bagaimana aku bisa hidup tenang dengan suamiku kalau mereka tak mau menganggapku? Tidak ada gunanya aku hidup, aku ingin mati Ma," isak Icha. Kedua tangannya menjambak rambutnya dengan kuat, ia tak bisa mengendalikan kegetiran di hatinya setelah masa persidangan usai. Ia masih teringat bagaimana kedua orangtua Kevin memandangnya dengan jijik."Tidak Sayang, jangan bicara seperti itu. Mereka hanya terkejut karena tidak tau status kalian." Maya mencoba menenangkan putrinya. Ia berusaha melepaskan cengkeraman tangan wanita itu dari rambut yang kusut."Tenang saja Sayang. Papa sudah memberitahu Kevin untuk menemuimu. Keluarganya Papa pastikan akan menerimamu dengan baik dan Jalang itu akan merasakan akibatnya." Kali ini Seno ikut menenangkan Icha. Ia masih memakai kemeja lengkap karena baru pulang dari kantor. Lelaki itu segera mendekap tubuh putrinya. "Jangan sekali-sekali bicara ingin mengakhiri hidup Sayang. Papa dan Mama sedang mati-matian m
Kevin hanya bisa menghela napas karena gejolak dalam kepalanya kian memanas. Berkali-kali ia memikirkan topik perceraian, hatinya terasa berat untuk mengungkapkannya. Apalagi ekspresi tenang Dea ketika menyantap hidangan yang dia pesan membuatnya terenyuh. Keinginan untuk menghabiskan seumur hidup dengan istrinya kian membesar. "Mas nggak makan? Ini enak banget loh," ujar Dea yang bingung melihat Kevin termenung. "Nih... coba makanan Adik." Wanita itu meyodorkan sepotong daging steak kepada suaminya. Kevin tersenyum tipis dan membuka mulutnya, menerima suapan Dea dengan senang hati. "Mas hati-hati," peringat Dea yang khawatir jika sendoknya menyenggol pipi suaminya yang lebam. Wanita itu memberi sentuhan di pipinya sebagai pengingat jika pipi Kevin masih membiru."Hm... enak," puji Kevin yang langsung disambut antusias istrinya. "Iya kan... Coba ini juga Mas," tawar Dea. Kedua sudut bibir naik dan netra berbinar menampakkan kecantikannya secara maksimal. "Enak." Dia menyetujui uc