Dea memakirkan motornya dengan gelisah. Di halaman rumah terparkir dua mobil. Ia mengenali salah satunya adalah milik mertuanya, tapi yang lain Dea baru melihatnya."Kenapa mereka ada di rumah? Apa masalahnya sudah tuntas?" gumamnya. Telapak tangannya berkeringat dingin. perlahan kaki wanita itu masuk ke dalam rumah. Terlihat Gito, Kevin, Rita, dan seorang laki-laki yang tak dikenal Dea sedang duduk di ruang tamu."Udah pulang Sayang?" sambut Rita. Kedua sudut bibir mertunya tertarik ke atas cukup lama sampai Dea menghampiri untuk mencium tangan."Sudah Ma.""Bagaimana keadaanmu Dea?" tanya Gito."Alhamdulillah baik Pa.""Alhamdulillah, kalau ada rasa gaenak atau sakit. Langsung bilang kami, jangan sungkan-sungkan, Papa semakin merasa bersalah kalau kamu memendam kesulitanmu sendiri. Mengertikan?" Sorot mata yang teduh itu menenangkan hati Dea. "Pasti Pa. Tenang saja." Ia pun mendapat pelukan hangat dari papa mertuanya.Setelah selesai, ia salim kepada suaminya. Kevin membalas kecupa
"Ma, pengacara ingin berpamitan," panggil Gito. Mendengar panggilan itu, Rita langsung berucap, "tunggu sebentar ya Sayang." Kalimat itu mengisyaratkan Dea untuk tetap di ruang makan.'Kenapa di tutup-tutupi seperti ini?' tanyanya dalam hati, sedari tadi ia merasa mereka tak ingin dia tau apa yang sedang terjadi. Dan sikap mereka membuat Dea merasa tak nyaman. Rita langsung menghampiri suaminya. Mereka semua mengantar pengacara, meninggalkan Dea dan Mbok Lastri."Saya buatkan teh ya Mbak?" tanya Lastri pada majikannya. "Tidak Mbok. Aku udah kenyang,kalau ditambah minum teh bisa-bisa keluar semua makananku," jawab Dea yang diakhiri senyuman tipis di wajahnya. Tak berselang lama, suami dan mertuanya menghampiri Dea dengan senyum manis. Namun itu terlihat terpaksa, ia sangat mengetahuinya.Gito memeluk tubuh menantunya, "Maaf Sayang. apa belum mendapatkan hasil yang setimpal. Kami akan mencobanya lagi, kamu jangan khawatir. Di sini ada Papa, doakan Papa ya Nak," sesal Gito. 'Ahh... ga
Dea terbangun dengan posisi memeluk suaminya. Meskipun jengah bersama pengkhianat, tapi ia tak memungkiri jika nyaman berada di dekapan lelaki itu."Sudah bangun?" tanya Kevin. Dea menganggukkan kepala dan semakin erat memeluk tubuh suaminya. Lelaki itu pun melakukan hal yang sama. Terbuai dengan kasih sayang di pagi hari, membuat mereka lupa jika ini adalah jadwal efektif untuk bekerja."Astaga! Aku harus kerja sekarang," kaget Dea melepas pelukan suaminya. Ia tak menggubris Kevin, lelaki itu pun tak memaksa istrinya untuk tetap berada di sisinya. Ia hanya menatap lembut pergerakan Dea."Mas nggak kerja?" tanya Dea."Kerja. Mas kan tidak seribet kamu. 10 menit sudah cukup untuk bersiap."Dea mencebikkan bibirnya. "Iya iya," sahutnya datar. Ia sedikit kesal jika dikatain ribet. Pada akhirnya Kevin masuk ke kamar mandi. Dan sesuai ucapannya, ia hanya butuh 5 menit untuk membersihkan diri. Lalu 5 menit untuk memakai seragam dan mempersiapkan beberapa keperluan lain. Sedangkan Dea masih
Jika kediaman Dea dipenuhi dengan keheningan. Bahkan di saat ia akan berangkat ke tempat kerja, Gito dan kevin nampak berunding dengan ekspresi yang serius."Hati-hati Sayang. Jangan lupa mengganti perban. Kalau butuh bantuan, Mama bisa datang ke sekolahanmu," ucap Rita membuyarkan lamunan Dea."Pasti ingat kok Ma. Nanti mama bisa ingetin aku lewat telepon.""Iya. Mama akan mengingatkanmu lewat telepon," setuju Rita. Ia melambaikan tangannya ketika Dea menyetarter sepeda meninggalkan kediamannya yang dipenuhi dengan orang terkasih.Berbeda dengan rumah Icha. Ketika suara telepon berdering, Icha merasa dadanya berdegup kencang. Dia meraih ponselnya dengan tangan gemetar dan melihat nama "Polisi" muncul di layar. Detak jantungnya semakin cepat, dan kegelisahan merayap di dalam dirinya. Dengan napas yang berat, ia menjawab panggilan tersebut."Saya berbicara dengan Icha?" suara polisi terdengar serius di seberang telepon."Iya, saya Icha. Ada apa?" Icha mencoba meredam kecemasan yang mel
Dea sampai di sekolahan dengan badan yang lesu. Rasanya ia ingin lama-lama berada di atas kasur tetapi tanggung jawabnya sebagai pengajar harus ia laksanakan. "Pagi Bu Dea, bagaimana? Sudah baikan?" tanya Sinta salah satu rekan kerjanya. Wanita itu memamerkan senyuman tipis dan tulus."Alhamdulillah sudah baikan Bu." Dea membalas senyuman itu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Ayo masuk ke kantor, bel akan segera berbunyi." Sinta langsung menggandeng tangannya tanpa izin dan Dea tidak masalah dengan hal itu. Di lobi sekolah terlihat Andre sedang berbincang dengan salah satu murid. Murid tersebut sedang membawa map dan beberapa bandelan kertas. "Selamat pagi Pak Andre," sapa Sinta dan menggeret Dea untuk mendekat ke arah mereka. Andre menolehkan kepalanya dengan kedua sudut bibir yang naik dan mata membentuk lengkungan tipis. "Pagi Bu.""Maaf, menyela Pak. Apa yang sedang Anda bahas?" tanya Sinta dengan penasaran, Dea menatap mereka tanpa mengatakan sepatah katapun."Ini saya m
Ketika Dea merenungi nasibnya di masa lalu, berbeda dengan Icha yang tengah berada di tengah kekacauan. Ia tiba-tiba di seret oleh orang-rang berpakaian hitam di rumahnya."Kalian tidak tau siapa saya?!" teriak Sony kepada kumpulan orang-orang tersebut. Matanya memerah karena merasa harga dirinya direndahkan oleh mereka.Namun semua orang itu tak menggubris dengan tindakannya. "Maaf Pak, kami hanya menjalankan tugas yang diperintahkan oleh atasan."Soni dan Maya tampak resah karena putri semata wayang mereka diseret oleh kumpulan orang itu."Ayah Mama, tolong Saya!" teriak wanita itu memunculkan kegaduhan di sana. Soni semakin kalap ketika melihat putrinya di masukkan ke dalam mobil. Wanita itu meronta berkali-kali agar terlepas dari cengkeraman orang-orang tersebut. "Papa tolongin Icha Pa!" histeris Maya ketika mereka sudah tak melihat keberdaan putrinya. Sony langsung masuk ke dalam mobilnya dan diikuti Maya. Suasana nampak mencengangkan karena lelaki itu tak menyangka pihak kepo
Keadaan nampak panas di dalam kantor polisi. Icha sudah terseret ke dalam menyisakan teriakan demi teriakan seorang wanita yang berstatus sebagai ibunya. Para polisi tengah ricuh menenangkan Maya yang mereog ingin menemani Icha di dalam sel karena dijadikan tesangka penyerangan seorang wanita kemarin lusa. "Lepaskan! Biarkan saya masuk menemani putri saya!" Maya berkali-kali mengatakan hal itu. Tubuhnya yang lebih kecil ketimbang para penjaga membuatnya kesulitan menerobos pertahanan mereka. Di sisi lain, Ada tiga orang yang tengah beradu sengit. Di antara mereka merasakan emosi yang berbeda. Sikap yang rileks, tegang, dan bingung bercampur aduk menimbulkan atmosfer yang menakjubkan. "Kau!" Seno menunjuk ke arah anak dan bapak yang ada di depannya. Mata lelaki itu memerah, dahinya membentuk kerutan, dan kepalan tangan mengerat. "Berani-beraninya kamu menyeret kami ke sini!" Napas lelaki itu naik turun tak beraturan. Lawannya hanya mengendikkan pundak dengan enteng, itu semakin menyu
Kevin mendengar celoteh ayahnya dalam diam, ia tak tau harus menyahuti apa. Tubuhnya keringat dingin menghadapi masalah yang sebentar lagi akan meledak seperti bom. Lelaki itu hanya bisa pasrah dan mempersiapkan diri menghadapi kemurkaan orangtuanya jika salah satu dari kedua istrinya mengadu bahwa dia sudah melakukan poligami. Kevin menelan ludahnya beberapa kali membayangkan perseteruan yang akan terjadi. 'Lebih baik aku diam. Akan lebih kacau jika aku melakukan sesuatu saat ini,' batin Kevin menenangkan diri. 'Aku sudah mengatakan pada Dea akan menghadapi dan menerima semua resiko yang akan terjadi. Ini semua memang salahku, seandainya aku tidak melakukan hal gila. Keadaan tidak akan serunyam ini, ditambah istriku tak perlu merasakan sakit bertubi-tubi.' Batinnya tak bisa berhenti bersuara. Tubuhnya terasa lemas namun ia paksa untuk tetap fokus menyetir mobil menuju kediamannya.Gito masih ngedumel dan membahas Seno yang keji. Lelaki paruh baya itu haus akan dendam, dia ingin memb
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng