Dea terbangun dengan posisi memeluk suaminya. Meskipun jengah bersama pengkhianat, tapi ia tak memungkiri jika nyaman berada di dekapan lelaki itu."Sudah bangun?" tanya Kevin. Dea menganggukkan kepala dan semakin erat memeluk tubuh suaminya. Lelaki itu pun melakukan hal yang sama. Terbuai dengan kasih sayang di pagi hari, membuat mereka lupa jika ini adalah jadwal efektif untuk bekerja."Astaga! Aku harus kerja sekarang," kaget Dea melepas pelukan suaminya. Ia tak menggubris Kevin, lelaki itu pun tak memaksa istrinya untuk tetap berada di sisinya. Ia hanya menatap lembut pergerakan Dea."Mas nggak kerja?" tanya Dea."Kerja. Mas kan tidak seribet kamu. 10 menit sudah cukup untuk bersiap."Dea mencebikkan bibirnya. "Iya iya," sahutnya datar. Ia sedikit kesal jika dikatain ribet. Pada akhirnya Kevin masuk ke kamar mandi. Dan sesuai ucapannya, ia hanya butuh 5 menit untuk membersihkan diri. Lalu 5 menit untuk memakai seragam dan mempersiapkan beberapa keperluan lain. Sedangkan Dea masih
Jika kediaman Dea dipenuhi dengan keheningan. Bahkan di saat ia akan berangkat ke tempat kerja, Gito dan kevin nampak berunding dengan ekspresi yang serius."Hati-hati Sayang. Jangan lupa mengganti perban. Kalau butuh bantuan, Mama bisa datang ke sekolahanmu," ucap Rita membuyarkan lamunan Dea."Pasti ingat kok Ma. Nanti mama bisa ingetin aku lewat telepon.""Iya. Mama akan mengingatkanmu lewat telepon," setuju Rita. Ia melambaikan tangannya ketika Dea menyetarter sepeda meninggalkan kediamannya yang dipenuhi dengan orang terkasih.Berbeda dengan rumah Icha. Ketika suara telepon berdering, Icha merasa dadanya berdegup kencang. Dia meraih ponselnya dengan tangan gemetar dan melihat nama "Polisi" muncul di layar. Detak jantungnya semakin cepat, dan kegelisahan merayap di dalam dirinya. Dengan napas yang berat, ia menjawab panggilan tersebut."Saya berbicara dengan Icha?" suara polisi terdengar serius di seberang telepon."Iya, saya Icha. Ada apa?" Icha mencoba meredam kecemasan yang mel
Dea sampai di sekolahan dengan badan yang lesu. Rasanya ia ingin lama-lama berada di atas kasur tetapi tanggung jawabnya sebagai pengajar harus ia laksanakan. "Pagi Bu Dea, bagaimana? Sudah baikan?" tanya Sinta salah satu rekan kerjanya. Wanita itu memamerkan senyuman tipis dan tulus."Alhamdulillah sudah baikan Bu." Dea membalas senyuman itu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Ayo masuk ke kantor, bel akan segera berbunyi." Sinta langsung menggandeng tangannya tanpa izin dan Dea tidak masalah dengan hal itu. Di lobi sekolah terlihat Andre sedang berbincang dengan salah satu murid. Murid tersebut sedang membawa map dan beberapa bandelan kertas. "Selamat pagi Pak Andre," sapa Sinta dan menggeret Dea untuk mendekat ke arah mereka. Andre menolehkan kepalanya dengan kedua sudut bibir yang naik dan mata membentuk lengkungan tipis. "Pagi Bu.""Maaf, menyela Pak. Apa yang sedang Anda bahas?" tanya Sinta dengan penasaran, Dea menatap mereka tanpa mengatakan sepatah katapun."Ini saya m
Ketika Dea merenungi nasibnya di masa lalu, berbeda dengan Icha yang tengah berada di tengah kekacauan. Ia tiba-tiba di seret oleh orang-rang berpakaian hitam di rumahnya."Kalian tidak tau siapa saya?!" teriak Sony kepada kumpulan orang-orang tersebut. Matanya memerah karena merasa harga dirinya direndahkan oleh mereka.Namun semua orang itu tak menggubris dengan tindakannya. "Maaf Pak, kami hanya menjalankan tugas yang diperintahkan oleh atasan."Soni dan Maya tampak resah karena putri semata wayang mereka diseret oleh kumpulan orang itu."Ayah Mama, tolong Saya!" teriak wanita itu memunculkan kegaduhan di sana. Soni semakin kalap ketika melihat putrinya di masukkan ke dalam mobil. Wanita itu meronta berkali-kali agar terlepas dari cengkeraman orang-orang tersebut. "Papa tolongin Icha Pa!" histeris Maya ketika mereka sudah tak melihat keberdaan putrinya. Sony langsung masuk ke dalam mobilnya dan diikuti Maya. Suasana nampak mencengangkan karena lelaki itu tak menyangka pihak kepo
Keadaan nampak panas di dalam kantor polisi. Icha sudah terseret ke dalam menyisakan teriakan demi teriakan seorang wanita yang berstatus sebagai ibunya. Para polisi tengah ricuh menenangkan Maya yang mereog ingin menemani Icha di dalam sel karena dijadikan tesangka penyerangan seorang wanita kemarin lusa. "Lepaskan! Biarkan saya masuk menemani putri saya!" Maya berkali-kali mengatakan hal itu. Tubuhnya yang lebih kecil ketimbang para penjaga membuatnya kesulitan menerobos pertahanan mereka. Di sisi lain, Ada tiga orang yang tengah beradu sengit. Di antara mereka merasakan emosi yang berbeda. Sikap yang rileks, tegang, dan bingung bercampur aduk menimbulkan atmosfer yang menakjubkan. "Kau!" Seno menunjuk ke arah anak dan bapak yang ada di depannya. Mata lelaki itu memerah, dahinya membentuk kerutan, dan kepalan tangan mengerat. "Berani-beraninya kamu menyeret kami ke sini!" Napas lelaki itu naik turun tak beraturan. Lawannya hanya mengendikkan pundak dengan enteng, itu semakin menyu
Kevin mendengar celoteh ayahnya dalam diam, ia tak tau harus menyahuti apa. Tubuhnya keringat dingin menghadapi masalah yang sebentar lagi akan meledak seperti bom. Lelaki itu hanya bisa pasrah dan mempersiapkan diri menghadapi kemurkaan orangtuanya jika salah satu dari kedua istrinya mengadu bahwa dia sudah melakukan poligami. Kevin menelan ludahnya beberapa kali membayangkan perseteruan yang akan terjadi. 'Lebih baik aku diam. Akan lebih kacau jika aku melakukan sesuatu saat ini,' batin Kevin menenangkan diri. 'Aku sudah mengatakan pada Dea akan menghadapi dan menerima semua resiko yang akan terjadi. Ini semua memang salahku, seandainya aku tidak melakukan hal gila. Keadaan tidak akan serunyam ini, ditambah istriku tak perlu merasakan sakit bertubi-tubi.' Batinnya tak bisa berhenti bersuara. Tubuhnya terasa lemas namun ia paksa untuk tetap fokus menyetir mobil menuju kediamannya.Gito masih ngedumel dan membahas Seno yang keji. Lelaki paruh baya itu haus akan dendam, dia ingin memb
Andre yang selalu mengamati keadaan Dea semakin gusar tak karuan. Ia tak berani menjaga wanita itu secara terang-terangan. Namun hatinya terasa resah karena hanya bisa mengamati dalam jarak jauh. Sekarang ia berdiri terpaku melihat wanita itu berada di ruang UKS. Ia ingin sekali menolong Dea, tapi tekadnya tak sampai. Matanya sempat melebar ketika melihat ekspresi pujaan hatinya meringis kesakitan. Rasa khawatirnya semakin besar, bahkan kakinya sempat terangkat tetapi langsung ia urungkan ketika Dea berubah menjadi tertawa untuk menenangkan murdinya.'Seandainya aku bisa ke sana,' benaknya. Ia memandang interaksi guru dan murid dalam UKS dengan penuh perhatian. Jono yang baru saja keluar dari kelas tempatnya mengajar langsung menepuk pundak kepala sekolah. Itu sangat mengejutkan Andre."Pak Andre sedang apa?" tanyanya penasaran. Matanya langsung mengekor ke arah pemandangan yang membuat Andre berdiri kaku. "Ohhh..." mulutnya membulat dengan anggukan kepala beberapa kali.Pria paruh b
Ketika jam pelajaran sudah usai, dan banyak guru yang bersiap untuk pulang. Dea sempat terdiam cukup lama di kursi kerjanya. "Aneh, padahal tadi aku ingin segera pulang. Kenapa sekarang sulit sekali mengangkat tubuh untuk kembali ke rumah?" bingungnya. Ia menghela napasnya cukup panjang, dan itu terdengar oleh Sinta. "Bu Dea tidak pulang?" tanya wanita itu penuh perhatian."Sebentar lagi pulang kok Bu. Saya ingin duduk sebentar."Sinta langsung membulatkan mulutnya, tangannya masih sibuk memasukkan beberapa barang ke dalam totebag miliknya. Setelah semua bawaannya terkemas dengan baik, Sinta lantas berpamitan, "Kalau begitu saya duluan ya Bu Dea. Kalau pulang, nanti hati-hati di jalan.""Iya Bu Sinta." Dea membalas lambaian tangan Sinta yang langsung keluar dari ruang kantor. Beberapa guru pun berpamitan padanya dan dia menjawabnya dengan penuh santun."Kamu tidak pulang Nak?" tanya Jono yang juga bersiap keluar dari ruang kantor. "Semua orang sudah pulang, kenapa kamu masih di sini