Keadaan nampak panas di dalam kantor polisi. Icha sudah terseret ke dalam menyisakan teriakan demi teriakan seorang wanita yang berstatus sebagai ibunya. Para polisi tengah ricuh menenangkan Maya yang mereog ingin menemani Icha di dalam sel karena dijadikan tesangka penyerangan seorang wanita kemarin lusa. "Lepaskan! Biarkan saya masuk menemani putri saya!" Maya berkali-kali mengatakan hal itu. Tubuhnya yang lebih kecil ketimbang para penjaga membuatnya kesulitan menerobos pertahanan mereka. Di sisi lain, Ada tiga orang yang tengah beradu sengit. Di antara mereka merasakan emosi yang berbeda. Sikap yang rileks, tegang, dan bingung bercampur aduk menimbulkan atmosfer yang menakjubkan. "Kau!" Seno menunjuk ke arah anak dan bapak yang ada di depannya. Mata lelaki itu memerah, dahinya membentuk kerutan, dan kepalan tangan mengerat. "Berani-beraninya kamu menyeret kami ke sini!" Napas lelaki itu naik turun tak beraturan. Lawannya hanya mengendikkan pundak dengan enteng, itu semakin menyu
Kevin mendengar celoteh ayahnya dalam diam, ia tak tau harus menyahuti apa. Tubuhnya keringat dingin menghadapi masalah yang sebentar lagi akan meledak seperti bom. Lelaki itu hanya bisa pasrah dan mempersiapkan diri menghadapi kemurkaan orangtuanya jika salah satu dari kedua istrinya mengadu bahwa dia sudah melakukan poligami. Kevin menelan ludahnya beberapa kali membayangkan perseteruan yang akan terjadi. 'Lebih baik aku diam. Akan lebih kacau jika aku melakukan sesuatu saat ini,' batin Kevin menenangkan diri. 'Aku sudah mengatakan pada Dea akan menghadapi dan menerima semua resiko yang akan terjadi. Ini semua memang salahku, seandainya aku tidak melakukan hal gila. Keadaan tidak akan serunyam ini, ditambah istriku tak perlu merasakan sakit bertubi-tubi.' Batinnya tak bisa berhenti bersuara. Tubuhnya terasa lemas namun ia paksa untuk tetap fokus menyetir mobil menuju kediamannya.Gito masih ngedumel dan membahas Seno yang keji. Lelaki paruh baya itu haus akan dendam, dia ingin memb
Andre yang selalu mengamati keadaan Dea semakin gusar tak karuan. Ia tak berani menjaga wanita itu secara terang-terangan. Namun hatinya terasa resah karena hanya bisa mengamati dalam jarak jauh. Sekarang ia berdiri terpaku melihat wanita itu berada di ruang UKS. Ia ingin sekali menolong Dea, tapi tekadnya tak sampai. Matanya sempat melebar ketika melihat ekspresi pujaan hatinya meringis kesakitan. Rasa khawatirnya semakin besar, bahkan kakinya sempat terangkat tetapi langsung ia urungkan ketika Dea berubah menjadi tertawa untuk menenangkan murdinya.'Seandainya aku bisa ke sana,' benaknya. Ia memandang interaksi guru dan murid dalam UKS dengan penuh perhatian. Jono yang baru saja keluar dari kelas tempatnya mengajar langsung menepuk pundak kepala sekolah. Itu sangat mengejutkan Andre."Pak Andre sedang apa?" tanyanya penasaran. Matanya langsung mengekor ke arah pemandangan yang membuat Andre berdiri kaku. "Ohhh..." mulutnya membulat dengan anggukan kepala beberapa kali.Pria paruh b
Ketika jam pelajaran sudah usai, dan banyak guru yang bersiap untuk pulang. Dea sempat terdiam cukup lama di kursi kerjanya. "Aneh, padahal tadi aku ingin segera pulang. Kenapa sekarang sulit sekali mengangkat tubuh untuk kembali ke rumah?" bingungnya. Ia menghela napasnya cukup panjang, dan itu terdengar oleh Sinta. "Bu Dea tidak pulang?" tanya wanita itu penuh perhatian."Sebentar lagi pulang kok Bu. Saya ingin duduk sebentar."Sinta langsung membulatkan mulutnya, tangannya masih sibuk memasukkan beberapa barang ke dalam totebag miliknya. Setelah semua bawaannya terkemas dengan baik, Sinta lantas berpamitan, "Kalau begitu saya duluan ya Bu Dea. Kalau pulang, nanti hati-hati di jalan.""Iya Bu Sinta." Dea membalas lambaian tangan Sinta yang langsung keluar dari ruang kantor. Beberapa guru pun berpamitan padanya dan dia menjawabnya dengan penuh santun."Kamu tidak pulang Nak?" tanya Jono yang juga bersiap keluar dari ruang kantor. "Semua orang sudah pulang, kenapa kamu masih di sini
Ucapan Gito membuat dada Dea terasa sesak, bahkan wanita itu sampai mengangkat dadanya karena tak bisa menghirup udara dengan normal melalui hidungnya. Kevin menggenggam tangannya dengan lembut, lelaki itu tau jika istrinya tengah shock. "Hirup pelan-pelan Sayang," pinta Kevin lembut. Ia membantu Dea mengontrol pernapasan yang tengah tersendat. Air mata yang sedari tadi ditahan kini luruh seperti sungai.Rita yang sebelumnya duduk di samping Gito langsung mendekati menantunya, "ayo Sayang... kuasai diri kamu. Semua pasti berat untukmu, Papa berusaha mengusahakan semua semaksimal mungkin," tenang Rita yang sedih melihat menantunya menangis."Benar Sayang. Papa akan mengusakannya semaksimal mungkin, kamu tenang saja. Kami semua ada untukmu," sahut Gito dengan tatapan yang tulus. Dea menganggukkan kepala, ia tak menyangka bisa menyeret Icha ke kantor polisi. Begini saja menghadirkan perasaan lega pada dirinya. PAdahal ia tak tau keputusan hakim mengenai kasus ini, tapi yang terpenting i
"Sini biar Mas bantu," ucap Kevin dengan kaki yang berusaha mengurangi jarak di antara mereka."Tidak perlu Mas. Aku bisa sendiri," tolak Dea dengan dingin, Kevin menghela napasnya pasrah. Ia bisa merasakan frekuensi kehangatan dalam hubungan mereka telah menurun drastis.Sedangkan Dea tanpa sadar menumbuhkan rasa bersalah karena tak bisa melembutkan ucapannya. Ia tak ingin disentuh oleh Kevin, ada rasa sesak mengingat hal-hal yang menyakitkan beberapa waktu lalu. Meskipun suaminya berusaha meminta maaf padanya, tapi ia tak mampu mengikhlaskan dan memberikan kerelaan hati untuk memaafkan suaminya."Ya sudah. Kalau begitu Mas mandi dulu ya Dik. Apa kamu dulu?" tawar Kevin mencoba meluluhkan Dea."Aku dulu Mas." "Iya. Kata Mama, kepalamu jangan sampai terkena air. Kalau perlu bantuan, langsung panggil Mas. Mas akan nunggu di sini." Kevin menatap istrinya dengan hangat, bahkan ketika Dea membalas dengan tatapan datar. Tak ada sedikitpun emosi negatif menyeruak dalam dirinya karena menda
Hari ini dada semua orang berdebar. Mereka tak sabar mengetahui keputusan hakim mengenai kasus penyerangan yang dilakukan Icha kepada Dea. Itu adalah fenomena yang paling ditunggu-tunggu. Ditambah pelaku dalam perkara ini merupakan orang penting dan sulit diganggu.Kedua keluarga itu berkumpul di ruang makan untuk menyantap makanan yang sudah dimasak oleh Rita. Wanita itu sengaja memasak dari subuh untuk menyebarkan kasih sayangnya kepada setiap anggota keluarga. Dan ini memang hobi wanita itu."Apa hari ini aku boleh ikut Papa?" tanya Dea takut-takut. Rita dan Gito saling pandang. Bukannya menjawab ayah mertuanya justru memilih mengangkat telepon yang baru masuk. Pada akhirnya Rita tersenyum lembut dan menatap Dea dengan tulus."Lebih baik kamu istirahat di rumah saja Sayang. Tidak perlu ikut ke pengadilan," ucap Rita. Mereka sudah sepakat untuk meninggalkan Dea agar tidak ikut menyaksikan persidangan nanti. Ini juga demi kebaikan wanita itu. "T-tapi Ma..." Dea berusaha meminta izin
Perintah yang diberikan Gito sontak membuat sepasang suami istri tersebut terkejut. Seakan petir menjalar di seluruh tubuh mereka, tak ada sahutan apapun yang kalur dari mulut keduanya. Dea melirik suaminya dengan tajam.'Apa Mas Kevin beneran mau menjemput Ayah? Aku takut terjadi sesuatu fakta tentang rumah tanggaku terbongkar,' batin Dea sembari menelan paksa salivanya. Sudut alisnya menurun menampakkan seberapa ia gelisah memikirkan kejadian yang akan datang. Tak hanya Dea, Kevin yang duduk di samping wanita itu pun kebingungan harus merespon apa perintah Papanya. Ia menatap istrinya dengan mata yang sedikit berair. 'Bagaimana ini?' tanyanya dalam hati.Namun nahas karena waktu tetap berjalan semestinya. Kedua insan tersebut hanya bisa pasrah menghadapi pagi yang berat ini."Ayo Vin. Kita jemput Mas David," ajak Gito yang masuk ke dalam mobil. Rita yang sebelumnya melepas kepergian menantunya untuk berangkat kerja, langsung mengikuti suami dan putranya."Ayo Pa." Wanita paruh baya
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng