"Itu yang belum bisa kupastikan, Ngger! Kita akan selidiki bersama-sama," jawab Mahaguru Mpu Mahisa Purwa dengan nada kecewa.
Raden Aryandaru mengangguk pelan. "Tak apa, Kakek Guru. Aku akan menyusun rencana setelah menyambangi makam biyungku. Seperti kata Dimas Seno, Aku akan mengukur kekuatan lawan terlebih dahulu. Untuk itu, aku memerlukan bantuanmu." "Aku sengaja turun gunung hanya untuk menjemputmu, Pangeran," jawab Mpu Mahisa Purwa tersenyum bijak. "Kau akan kupersiapkan menjadi raja terkuat kelak di Badaskara!" "Ya sudah! Tunggu apa lagi! Ayo berangkat, sebelum para penggawa utusan Selir Puspita mengejar sampai kemari!" ujar Nyi Selasih berapi-api. Sorot matanya mengobarkan kebencian saat menyebutkan nama Selir Puspita. "Masih terbayang jelas wajah kesakitan dan kesedihan biyungmu di mataku, Ngger." "Kalo begitu, kita lanjutkan perjalanan ke pesangrahan Teratai Emas milik kerajaan Badaskara. Kebetulan, purnama lalu, Baginda Raja Anggono Darma Parama mengundangku ke istana. Dua hari lagi balairung Istana Badaskara akan mengadakan upacara kedewasaan bagi Dewi Ayu Janardani Parama," jelas Mpu Mahisa Purwa pelan. "Tunggu sebentar, Kakek Guru. Pergi ke sana artinya masuk ke kandang musuh. Sudah pasti banyak penggawa-penggawa tinggi pendukung Selir Puspita. Sudah pasti identitasku tidak bisa masuk dengan leluasa," ucap Raden Aryandaru serius. "Kenapa Kita tidak kembali berpenampilan seperti tadi saja, Kangmas," usul Seno Wedus yang bernama asli Raden Panji Asmara Seno. "Mana bisa, Ngger. Raden Anggastya sangat membatasi pergaulan dengan rakyat jelata, kecuali ia seorang pelayan kepercayaan bangsawan, cendikiawan atau mahaguru," jelas Dayang Selasih cepat-cepat. "Huuh! Sombong sekali!" gumam Raden Seno agak kesal. "Ubah penampilanku, Biyung Selasih. Biarkan aku menjadi pelayan Kakek Guru dan Seno menjadi murid kesayangannya," usul Raden Aryandaru tiba-tiba. Mpu Mahisa Purwa nampak berpikir seraya melirik Aki Banjur sesaat, kemudian berkata pelan. "Kenapa bukan kau saja yang menjadi murid kesayanganku, Ngger." "Ya benar, Kangmas. Biar aku saja yang menjadi pelayan Kakek Guru," ucap Raden Seno merasa tidak enak hati. Aryandaru tersenyum kecil. "Bukan begitu, Kakek Guru. Jika aku menjadi pelayanmu, itu artinya di manapun engkau berada, di situ pula aku berada. Bila aku menjadi murid kesayanganmu, mereka pasti akan memisahkanku darimu. Sedangkan aku ingin sekali melihat wajah-wajah musuh dalam selimut dari dekat. Terutama aku ingin melihat wajah romoku yang tega membuangku saat aku masih bayi merah!" Rahang Aryandaru mengeras saat mengatakan isi pikirannya di hadapan Mpu Mahisa Purwa. Dadanya bergerumuh sesaat menahan amarah yang tersimpan sejak tahu identitas aslinya. "Begitu rupanya isi pikiranmu, Ngger. Baiklah. Selasih, Banjur, cepat ubah penampilan dua pemuda itu. Satu lagi, Ngger. Dalam jamuan istana kali ini, Prabu Anggono Darma mengundang banyak bangsawan dari luar istana Badaskara," ujar Mpu Mahisa Purwa dengan suara setengah berbisik. "Baik Mpu Guru. Aku dan Dimas Seno akan menjaga sikap nanti agar penyamaran kami tidak mudah terbongkar," sahut Aryandaru pelan. Mahaguru Mpu Mahisa Purwa merasa senang dengan sikap Aryandaru yang rendah hati. Tak lama kemudian, terlihat Aryandaru dan Seno Wedus sudah berpenampilan seperti seorang pelayan. "Ayo cepat melesat. Kita harus tiba di pesanggrahan milik kerajaan sebelum perayaan dimulai," perintah Mpu Mahisa Purwa seraya bersiap melesat. Whuss! Kibasan angin terasa sangat kuat saat kaki Mpu Mahisa Purwa menghentak bumi saat mulai melesat. Tubuhnya segera lenyap dari pandamgan mata seperti tertiup angin super kencang. "Ayo!" ucap Aki Banjur seraya memulai melesat. Aryandaru dan Seno Wedus gegas cepat menghentak tanah tempatnya berpijak. Tubuh keduanya pun melesat dan hilang dari pandangan mata. Dayang Selasih menarik napas lega. Dia melemparkan pukulan tangan kosong ke arah jejak-jejak kaki Aryandaru dan Seno Wedus. Whuss..... Seketika sekumpulan angin menyapu bekas semua jejak kaki hingga tempat itu kembali seperti semula dan terlihat belum di datangi siapa pun sejak waktu yang lama. Dayang Selasih kemudian melontarkan pukulan ke arah pucuk-pucuk pohon yang berdaun lebar. Sekejap kemudian air bercucuran jatuh membasahi tanah rumput di bekas jejak kaki Aryandaru dan Seno Wedus. Dayang Selasih tersenyum puas dan bergumam pelan seraya bersiap melesat. "Dasar Selir busuk! Bahkan jejak kaki kedua bocah itu pun takkan kubiarkan antek-antekmu menemukannya!" Tak lama kemudian..... "Biyung, kenapa kau lama sekali?" bisik Aryandaru saat ibu angkatnya baru tiba di sisi kirinya. Belum sempat Dayang Selasih menjawabnya. Aki Banjur sudah bertanya lebih dulu. "Sudah kau bersihkan?" "Sudah Kakang. Dari jauh kulihat para penggawa suruhan Selir Puspita sudah sangat dekat dengan bukit itu. Mereka pasti tidak akan menemukan apa pun. Bahkan jejak kaki kedua pangeran pun takkan bisa diraba dengan tenaga dalam sekalipun," sahut Dayang Selasih dengan menyunggingkan senyuman. Aryandaru dan Seno Wedus sama-sama terkesiap. Dan reflek saling menoleh. "Tenanglah Pangeran Aryandaru, Pangeran Panji. Saat ini, belum waktunya mereka tahu rupamu," ujar Aki Banjur pelan. "Bopo panggil aku seperti biasanya saja," tegur Aryandaru cepat. "Iya, Paman Banjur. Panggil Aku Seno Wedus saja," timpal Panji Asmara Seno. "Sudahlah, Ngger. Biarkan Kami memanggilmu seperti itu saja. Kecuali di saat kita sedang bertemu musuh. Ayo kejar Mpu Guru Mahisa. Jangan sampai tertinggal jauh darinya," ujar Aki Banjur menegaskan. "Baik, Bopo." "Baik, Paman." Saat malam semakin menggelap. Aryandaru dan pengikutnya tiba di pintu masuk Dukuh Pilar. Dukuh yang berbatasan langsung dengan Kotaraja Alaska, ibukota kerajaan Badaskara. Mpu Mahisa Purwa gegas menjejakkan kaki ke tanah perlahan. "Kita bermalam di sini. Banjur, bawalah Pangeran Ndaru mencari tahu sekeliling dukuh. Dan Kau Selasih, latih Pangeran Panji melakukan tugas pertamanya malam ini." "Baik Mpu Guru," sahut Aki Banjur cepat. "Bermalam di mana Kakek Guru?" tanya Seno Wedus keheranan dengan mata melihat ke sekelilingnya. Aryandaru tersenyum. "Apa kau tidak lihat penginapan lumayan bagus di ujung jalan itu, Dimas Seno?" Seno Wedus gegas melesat ke atas kemudian turun kembali seraya menggelar malu. "Kurasa karena perutku lapar, Kangmas. Ramai sekali di sana." Mpu Mahisa tertawa kecil. "Maafkan Aku, Pangestu. Kalian terlambat makan malam." Aryandaru menyikut lengan Seno Wedus. "Seno terbiasa makan di awal malam, Kek. Hey Seno, Pendekar tangguh harus bisa tahan lapar!" Kruiuuk..... Suara perut Aryandaru tiba-tiba berbunyi, sontak mereka mengulum senyum. "Maaf perutku ternyata nggak mau diajak berbohong," ucap Aryandaru tersenyum kecut. "Maafkan Biyung, Ngger. Lupa membawakan bekal kalian berdua. Kalian sudah dua hari belum makan," ucap Dayang Selasih merasa bersalah. Aryandaru menggeleng."Tidak Biyung. Kami yang salah, sudah pergi ke keramaian di dukuh Lontar tanpa seijinmu." Mpu Mahisa sangat senang melihat sikap Aryandaru. "Pergilah Pangeran. Aku yang akan memesankan makanan di kedai penginapan itu untuk Kalian." "Baik Guru!" sahut Aryandaru dan Seno Wedus bersamaan. Aryandaru mengiringi langkah Aki Banjur ke arah timur dukuh. Seno Wedus mengiringi langkah Dayang Selasih ke arah barat dukuh Pilar. Mereka mengendap di atas atap rumah-rumah penduduk. "Stt, Raden kita dengarkan obrolan mereka sebentar," ucap Aki Banjur seraya menempelkannya telunjuk ke mulutnya. Aryandaru menegakkan telinga kirinya seraya menahan nafas lebih rendah. Matanya menatap fokus ke bawah. Terlihat tiga Pendekar sedang berbicara serius di atas amben bambu. "Apa kau yakin berita yang disampaikan anak buah Jaran Ireng siang tadi, Jalu?" tanya Pendekar berperawakan gemuk, berkulit hitam dengan kumis melintang. "Aku tidak yakin, Kang Mprit! Bukankah bayi bisu itu tidak selamat saat dilarikan Penggawa Banjur!' sahut Jalu serius. "Ada-ada saja, mata-mata dari Colo Ireng itu! Kan sudah jelas, bayi itu mati saat bayi. Mana mungkin sekarang muncul Putra Mahkota asli!, Jalu, Kang Mprit!" timpal Brodot dengan suara mengejek. Puih! Brodot membuang sisa lintingan lisong yang dihisapnya ke tanah lalu menginjaknya dengan penuh amarah. "Kalo dia hidup lagi, biar aku aja membunuhnya! Paling nggak bunyi. Dia kan bisu!" Hahaha! Tawa ketiga pendekar itu pecah serentak. Namun saat Brodot hendak menyeruput minumannya, Aryandaru sengaja menjentikkan ulat yang baru keluar dari bangkai tikus tak jauh dari tempatnya bersembunyi. Pluk! Sebutir ulat jatuh dari atap masuk ke dalam gelas batok yang sedang di pegangnya. Byar! Brodot spontan melempar gelas batok ke bawah cahayanya lampu sentir yang menggantung di atas pagar bambu. "Sialan! Apa ini? Aneh!" maki Brodot geram saat melihat jelas ulat belatung menggelepar di dalam gelas batok. "Apa ini cuma kebetulan?" gumam Brodot agak ragu. Dia menarik golok dari pinggang lalu memeriksa ke sekeliling rumah papan yang tak seberapa luasnya. Aryandaru dan Aki Banjur gegas menempelkan kepala mereka ke genteng yang sudah berlumut. Keduanya sama-sama menutup hidung. "Sudahlah, Kang Brodot. Mana mungkin ada yang berani mengacau di dukuh Pilar ini! Lagipula, para penggawa kerajaan akan berpatroli malam sebentar lagi. Setiap yang masuk ke ibukota Alaska harus mempunyai tanda pengenal dan surat undangan dari Raja Badaskara atau Selir Puspita!" ujar Jalu menenangkan Brodot dan Mprit. "Sebaiknya kita kembali ke Kotaraja saja malam ini! Perasa ku nggak enak. Raden Anggastya harus tahu perkembangan di dukuh Lontar siang tadi!" ucap Brodot serius. "Sebentar Kang Brodot! Apa yang mau kau laporkan?" tanya Jalu dengan rahang mengeras. "Kita sudah sepakat bukan jika bayi bisu itu sudah mati sejak lama?" "Aku nggak yakin soal itu, Jalu! Ajian Rontek Sekilan! Ingat ajian itu hanya dimiliki oleh keturunan asli trah Welingan!" sahut Brodot berapi-api. "Meskipun begitu Kang Brodot, itu tetap saja tidak memastikan pemuda dari dukuh Lontar itu putra mahkota. Ingat, bayi itu bisu, Kakang!" balas Jalu dengan berapi-api pula. "Kenapa Raden Anggastya begitu takut? Bukan kah dia dipastikan menduduki tahta putra mahkota sesaat lagi?" tanya Mprit dengan mata menyipit. "Bodoh! Sudah pasti Raden Anggastya sangat takut, meski bayi bisu itu tak mungkin bangkit lagi dari kubur. Karena," Brodot menggantungkan ucapannya. Jalu mengangguk. "Ya, aku tahu apa kelanjutan ucapanmu, Kang Brodot. Hehehe!" "Ayo kita tidur di penginapan saja!" ajak Mprit mengakhiri pembicaraan dengan dua rekannya. "Ayo, Raden. Kita harus tiba di sana lebih dulu!" bisik Aki Banjur. Aryandaru gegas melesat meninggalkan atap rumah tak berpenghuni itu dengan wajah kesal dan tangan mengepal. Dia berlari ke arah penginapan di ujung jalan Dukuh Pilar. Aki Banjur merasa kasihan melihat kemarahan Aryandaru yang sengaja di tahannya. "Sudahlah, Pangeran." Aryandaru mengangguk lalu mencari keberadaan Mpu Mahisa Purwa di kedai penginapan termegah di dukuh Pilar. "Hey, lihat! Pelayan rendahan seperti itu mau makan bersama kita?" celetuk salah satu pengunduran dari pojok kiri kedai depan suara lantang mengejek. Sontak semua mata memandang ke arah pintu masuk kedai. Mata mereka menatap sosok Aryandaru yang memakai pakaian pelayan kelas rendah berwarna putih dengan buntalan menggantung di bahu kirinya. "Jangan pedulikan mereka, Joko Rama!" ucap Aki Banjur cepat. Namun saat Aryandaru terus berjalan ke arah dalam, dua orang berpenampilan pendekar menghadangnya. "Tunggu! Kalian berdua tidak boleh masuk ke kedai ini!" "Kenapa? Minggir sana! Aku lapar!" sahut Aryandaru sengaja melawan. "Bocah gendeng! Apa matamu buta! Lihat, semua pengunjung kedai ini! Tidak ada yang berpenampilan gembel sepertimu! Pergi sana;" "Kisanak! Kami punya kepingan perak untuk membayar makanan kami. Biarkan kami masuk," ucap Aki Banjur berusaha ramah. "Sudah! Seret mereka keluar, Kang!" teriak salah satu pengunjung mulai menghasut. Aryandaru tak menggubrisnya. Dia dan Aku Banjur terus saja berjalan masuk sampai ke tengah kedai. "Rasakan ini, Bocah dungu! Buuugh!" ujar si Pendekar bernama Jangkrik. Namun ..... Brugh! Aagh....Tubuh Pendekar Jangkrik terjungkal beberapa tombak ke belakang dengan dagunya membentur sisi lantai tanah yang sudah mengeras. "Kakang! Brengsek! Siapa kalian?" "Hentikan! Jangan ngganggu mereka!" teriak seseorang dari dari kanan pojok kedai. "Kau kenal dengannya?"happy reading
"Brengsek! Kalian jangan berani berbuat onar di kedai ini!" maki Brodot seraya mengacungkan pedang ke arah pemuda yang berani menegur Pendekar Jangkrik. Pendekar Jangkrik berusaha bangkit kembali. Wajahnya terlihat garang. Dia menatap Aryandaru penuh kekesalan. "Huh! Pergi sana! Sebelum aku membunuhmu di sini!" "Bunuh saja Kakang!" hasut Pendekar Mprit dengan mulut mencebik. "Sudah tahu miskin masih berani masuk kemari! "Aku tetap akan masuk ke kedai ini, Kisanak. Lihat ini!" ucap Aryandaru mengambil sesuatu dari tangan Aki Banjur. "Plat pelayan khusus seorang mahaguru? Dari mana kamu dapatkan plat itu, Jongos!" maki Brodot kesal melihat kegigihan Aryandaru ingin masuk ke kedai. "Itu milik mahaguru dari Welingan! Beliau memenuhi undangan istana Badaskara atas perintah Gusti Raja Welingan, Gusti Prabu Raden Sadajiwa! Jika kalian menghalangi kami masuk, tunggu saja kemarahan Mpu Guru Mahisa Purwa yang sudah berada di biliknya saat ini!" ucap Aki Banjur dengan suara lebih garang da
"Nanti saja Raden. Kita harus bergegas keluar dari sini," jawab mahaguru Mpu Mahisa Purwa berbisik. Lelaki renta itu gegas merapal mantra lalu sekejap lenyap dari pandangan mata. "Kakek Guru!" seru Aryandaru dan Seno Wedus bersamaan. Keduanya terlihat kebingungan."Kalian berdua ikuti perkataanku," bisik Aki Banjur seraya mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Kedua tangannya bergerak memutar dengan mulut mulai bersuara mengucapkan mantra sakral ajian lampah bumi.Aryandaru dan Seno Wedus gegas memperhatikan Aki Banjur sesaat."Bopo mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi, Dimas. Ayo kita lakukan!" ucap Aryandaru berbisik."Baik Kakang Pangeran."Aryandaru dan Seno Wedus gegas meniru apa yang dilakukan Aki Banjur dengan kedua mata terpejam. Saat bacaan terakhir matra yang diucapkan Aki Banjur hampir selesai diikuti keduanya....."Maaf Gusti Pangeran! Buuugh!" satu pukulan angin dari telapak tangan Dayang Selasih mendorong keduanya hingga tubuh Aryandaru dan Seno Wedus terlontar masu
"Cepat serahkan penyusup yang kalian sembunyikan!" ujar salah satu penggawa seraya menghunus tombak pada Aryandaru.Semua orang terkejut melihat tiga penggawa kerajaan membentak kasar dengan senjata terhunus. Terlihat Aryandaru hendak menjawab. Namun Mpu Mahisa Purwa lebih dulu bangkit dari amben dan gegas menghampiri ke arah pintu."Lancang! Kalian sudah salah orang! Siapa yang kalian tuduhkan itu? Apa Mahaguru Mahisa Purwa kalian anggap penjahat di Badaskara!" ucap Mahaguru Mpu Mahisa Purwa lantang dengan kedua tangan menyilang di atas bokongnya."Apa? Tidak mungkin! Telik sandi Selir Puspita sudah melapor semalam ada rombongan penyusup dari dukuh Pilar!" balas si Penggawa bersikeras.Seno Wedus nampak geram. Dia membisiki Aryandaru dengan pesan telepatinya. "Kakang, para pengawal yang berdatangan pagi buta ini ternyata antek-anteknya Selir Puspita. Sebaiknya kita habisi saja!"Aryandaru menggeleng pelan dengan sorot mata penuh arti pada Seno Wedus. Raut wajahnya mendadak berubah se
“Cepat bunuh bayi itu! Apa yang diharapkan dari seorang bayi cacat. Sangat tidak pantas memiliki segalanya di sini!” titah Selir Puspita pada Bradak Cola, sang pengawal setia. “Baik Gusti Selir!” sahut Bradak Cola cepat. Dia bergegas pergi melaksanakan perintah sang junjungan bersama ketiga anak buahnya. Namun seorang dayang tak sengaja mendengarnya. Dia bergegas berlari ke keputren menemui junjungannya. Dayang Selasih pun berbisik pada wanita cantik yang baru melahirkan. “Titah mengerikan, Gusti. Apa yang harus kita lakukan?” “Banjur, Selasih, bawa bayi ini pergi sejauh-jauhnya. Bayiku berhak untuk hidup. Dan bawa semua benda ini. Kelak, benda ini yang akan menguatkan identitasnya di masa depan!” ucap wanita lemah itu dengan air mata menetes. Ia mengalami pendarahan hebat pasca melahirkan bayi pertamanya yang sudah lama ditunggu kelahirannya. Sayangnya, bayi itu lahir tanpa suara. Dan itu adalah aib bagi seluruh keluarganya!. Aki Banjur menggeleng lemah. Dia tak tega memisahkan
"Rama! Seno!" teriakan nyaring dari kejauhan membuat para panitia penerimaan calon Penggawa dan sang kakek sama-sama menoleh ke arah belakang. "Bopo," gumam Rama merasa bersalah. Dia melirik sang kakek yang tak dikenalnya penuh tanda tanya."Hei Kakek tua! Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau ikut campur urusan mereka?" tegur Penggawa Tinggi sebagai ketua panitia dengan suara lantang."Kakek, sebaiknya ja-ngan," ucap Rama dengan suara gagap. Kakek tua itu terkejut mendengar suara Joko Rama yang terdengar gagap. Namun kemudian tersenyum puas seraya mengelus janggut putihnya yang sudah memanjang. "Aku adalah kakeknya yang sudah lama belum mengunjunginya." "Ha? Kakek? Mana mungkin Kau adalah kakeknya! Lihat perbedaan kalian! Rama sangat miskin jelek dan bau, sedangkan dirimu terlihat sangat bersih. Pakaianmu saja nampak terbuat dari sutra yang sangat halus!" ucap Somad mendahului para panitia penerimaan calon penggawa. "Bo-po. Be-narkah dia kakekku?" tanya Joko Rama keheranan
"Bopo! Cepat turunkan Aku!" teriak Joko Rama dari atas bahu Aki Banjur yang memanggulnya. Dia tak bisa bergerak akibat terkena totokan Aki Banjur di sekitar jantung. Aki Banjur menoleh sesaat ke belakang lalu gegas menurunkan Joko Rama. "Cepat ikuti Aku!""Mau kemana, Bopo? Biyung Selasih masih ada di gubuk saat kutinggalkan tadi!" tanya Joko Rama bernada cemas. "Jangan banyak tanya, cepat lanjutkan perjalanan sebelum para penggawa itu berhasil mengejar kita." Dari kejauhan dia melihat Nyi Sekar sedang menyusulnya. "Itu Bibi Sekar dan Dimas Seno, Bopo! Tunggulah sebentar." Aki Banjur pun menghentikan langkah, memenuhi permintaan Joko Rama. "Biyung, cepat turunkan Aku!" teriak Seno Wedus saat tahu mereka sudah jauh dari perkampungan. Nyi Sekar menurunkan Seno seraya menggerutu. "Anak nakal! Sudah kubilang jangan keluarkan jurus Rontek Sekilan saat berada di dukuh Lontar! Belum waktunya jurus itu diperlihatkan, Seno!" "Dimas, kau tidak apa-apa kan?" tanya Joko Rama khawatir seray
ARGHHH! Pekik nyaringJoko Rama memecah alam keabadian saat kedua golok berlumuran darah melesat cepat menghampiri masing-masing jari telunjuknya lalu melesap masuk ke dalamnya. "Demi Sang Pencipta Langit dan Bumi! Apakah yang kulihat ini hanya ilusi? Kok bisa golok sebesar lengan Kakang Joko Rama melesap masuk ke dalam jari telunjuknya yang ramping?" gumam Joko Seno dengan mulut setengah menganga. Dia berusaha menenangkan diri lalu kembali memperhatikan proses kultivasi Joko Rama dengan segala kemustahilannya. Joko Rama nampak berusaha bertahan sekuat tenaga agar tak roboh saat kedua telunjuknya menahan rasa sakit yang luar biasa. Terlebih ganggang kepala masing-masing golok lumayan berat dan kokoh. Keringat dingin nampak mengucur di pelipis Joko Rama. Wajahnya memerah akibat menahan kesakitan yang luar biasa. Kedua kakinya nampak berusaha keras agar tetap menapak di bumi hingga gemetar. Akhirnya keseluruhan golok naga iblis dan golok maung iblis berhasil melesap masuk sempurna
"Cepat serahkan penyusup yang kalian sembunyikan!" ujar salah satu penggawa seraya menghunus tombak pada Aryandaru.Semua orang terkejut melihat tiga penggawa kerajaan membentak kasar dengan senjata terhunus. Terlihat Aryandaru hendak menjawab. Namun Mpu Mahisa Purwa lebih dulu bangkit dari amben dan gegas menghampiri ke arah pintu."Lancang! Kalian sudah salah orang! Siapa yang kalian tuduhkan itu? Apa Mahaguru Mahisa Purwa kalian anggap penjahat di Badaskara!" ucap Mahaguru Mpu Mahisa Purwa lantang dengan kedua tangan menyilang di atas bokongnya."Apa? Tidak mungkin! Telik sandi Selir Puspita sudah melapor semalam ada rombongan penyusup dari dukuh Pilar!" balas si Penggawa bersikeras.Seno Wedus nampak geram. Dia membisiki Aryandaru dengan pesan telepatinya. "Kakang, para pengawal yang berdatangan pagi buta ini ternyata antek-anteknya Selir Puspita. Sebaiknya kita habisi saja!"Aryandaru menggeleng pelan dengan sorot mata penuh arti pada Seno Wedus. Raut wajahnya mendadak berubah se
"Nanti saja Raden. Kita harus bergegas keluar dari sini," jawab mahaguru Mpu Mahisa Purwa berbisik. Lelaki renta itu gegas merapal mantra lalu sekejap lenyap dari pandangan mata. "Kakek Guru!" seru Aryandaru dan Seno Wedus bersamaan. Keduanya terlihat kebingungan."Kalian berdua ikuti perkataanku," bisik Aki Banjur seraya mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Kedua tangannya bergerak memutar dengan mulut mulai bersuara mengucapkan mantra sakral ajian lampah bumi.Aryandaru dan Seno Wedus gegas memperhatikan Aki Banjur sesaat."Bopo mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi, Dimas. Ayo kita lakukan!" ucap Aryandaru berbisik."Baik Kakang Pangeran."Aryandaru dan Seno Wedus gegas meniru apa yang dilakukan Aki Banjur dengan kedua mata terpejam. Saat bacaan terakhir matra yang diucapkan Aki Banjur hampir selesai diikuti keduanya....."Maaf Gusti Pangeran! Buuugh!" satu pukulan angin dari telapak tangan Dayang Selasih mendorong keduanya hingga tubuh Aryandaru dan Seno Wedus terlontar masu
"Brengsek! Kalian jangan berani berbuat onar di kedai ini!" maki Brodot seraya mengacungkan pedang ke arah pemuda yang berani menegur Pendekar Jangkrik. Pendekar Jangkrik berusaha bangkit kembali. Wajahnya terlihat garang. Dia menatap Aryandaru penuh kekesalan. "Huh! Pergi sana! Sebelum aku membunuhmu di sini!" "Bunuh saja Kakang!" hasut Pendekar Mprit dengan mulut mencebik. "Sudah tahu miskin masih berani masuk kemari! "Aku tetap akan masuk ke kedai ini, Kisanak. Lihat ini!" ucap Aryandaru mengambil sesuatu dari tangan Aki Banjur. "Plat pelayan khusus seorang mahaguru? Dari mana kamu dapatkan plat itu, Jongos!" maki Brodot kesal melihat kegigihan Aryandaru ingin masuk ke kedai. "Itu milik mahaguru dari Welingan! Beliau memenuhi undangan istana Badaskara atas perintah Gusti Raja Welingan, Gusti Prabu Raden Sadajiwa! Jika kalian menghalangi kami masuk, tunggu saja kemarahan Mpu Guru Mahisa Purwa yang sudah berada di biliknya saat ini!" ucap Aki Banjur dengan suara lebih garang da
"Itu yang belum bisa kupastikan, Ngger! Kita akan selidiki bersama-sama," jawab Mahaguru Mpu Mahisa Purwa dengan nada kecewa. Raden Aryandaru mengangguk pelan. "Tak apa, Kakek Guru. Aku akan menyusun rencana setelah menyambangi makam biyungku. Seperti kata Dimas Seno, Aku akan mengukur kekuatan lawan terlebih dahulu. Untuk itu, aku memerlukan bantuanmu." "Aku sengaja turun gunung hanya untuk menjemputmu, Pangeran," jawab Mpu Mahisa Purwa tersenyum bijak. "Kau akan kupersiapkan menjadi raja terkuat kelak di Badaskara!" "Ya sudah! Tunggu apa lagi! Ayo berangkat, sebelum para penggawa utusan Selir Puspita mengejar sampai kemari!" ujar Nyi Selasih berapi-api. Sorot matanya mengobarkan kebencian saat menyebutkan nama Selir Puspita. "Masih terbayang jelas wajah kesakitan dan kesedihan biyungmu di mataku, Ngger." "Kalo begitu, kita lanjutkan perjalanan ke pesangrahan Teratai Emas milik kerajaan Badaskara. Kebetulan, purnama lalu, Baginda Raja Anggono Darma Parama mengundangku ke istana. D
ARGHHH! Pekik nyaringJoko Rama memecah alam keabadian saat kedua golok berlumuran darah melesat cepat menghampiri masing-masing jari telunjuknya lalu melesap masuk ke dalamnya. "Demi Sang Pencipta Langit dan Bumi! Apakah yang kulihat ini hanya ilusi? Kok bisa golok sebesar lengan Kakang Joko Rama melesap masuk ke dalam jari telunjuknya yang ramping?" gumam Joko Seno dengan mulut setengah menganga. Dia berusaha menenangkan diri lalu kembali memperhatikan proses kultivasi Joko Rama dengan segala kemustahilannya. Joko Rama nampak berusaha bertahan sekuat tenaga agar tak roboh saat kedua telunjuknya menahan rasa sakit yang luar biasa. Terlebih ganggang kepala masing-masing golok lumayan berat dan kokoh. Keringat dingin nampak mengucur di pelipis Joko Rama. Wajahnya memerah akibat menahan kesakitan yang luar biasa. Kedua kakinya nampak berusaha keras agar tetap menapak di bumi hingga gemetar. Akhirnya keseluruhan golok naga iblis dan golok maung iblis berhasil melesap masuk sempurna
"Bopo! Cepat turunkan Aku!" teriak Joko Rama dari atas bahu Aki Banjur yang memanggulnya. Dia tak bisa bergerak akibat terkena totokan Aki Banjur di sekitar jantung. Aki Banjur menoleh sesaat ke belakang lalu gegas menurunkan Joko Rama. "Cepat ikuti Aku!""Mau kemana, Bopo? Biyung Selasih masih ada di gubuk saat kutinggalkan tadi!" tanya Joko Rama bernada cemas. "Jangan banyak tanya, cepat lanjutkan perjalanan sebelum para penggawa itu berhasil mengejar kita." Dari kejauhan dia melihat Nyi Sekar sedang menyusulnya. "Itu Bibi Sekar dan Dimas Seno, Bopo! Tunggulah sebentar." Aki Banjur pun menghentikan langkah, memenuhi permintaan Joko Rama. "Biyung, cepat turunkan Aku!" teriak Seno Wedus saat tahu mereka sudah jauh dari perkampungan. Nyi Sekar menurunkan Seno seraya menggerutu. "Anak nakal! Sudah kubilang jangan keluarkan jurus Rontek Sekilan saat berada di dukuh Lontar! Belum waktunya jurus itu diperlihatkan, Seno!" "Dimas, kau tidak apa-apa kan?" tanya Joko Rama khawatir seray
"Rama! Seno!" teriakan nyaring dari kejauhan membuat para panitia penerimaan calon Penggawa dan sang kakek sama-sama menoleh ke arah belakang. "Bopo," gumam Rama merasa bersalah. Dia melirik sang kakek yang tak dikenalnya penuh tanda tanya."Hei Kakek tua! Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau ikut campur urusan mereka?" tegur Penggawa Tinggi sebagai ketua panitia dengan suara lantang."Kakek, sebaiknya ja-ngan," ucap Rama dengan suara gagap. Kakek tua itu terkejut mendengar suara Joko Rama yang terdengar gagap. Namun kemudian tersenyum puas seraya mengelus janggut putihnya yang sudah memanjang. "Aku adalah kakeknya yang sudah lama belum mengunjunginya." "Ha? Kakek? Mana mungkin Kau adalah kakeknya! Lihat perbedaan kalian! Rama sangat miskin jelek dan bau, sedangkan dirimu terlihat sangat bersih. Pakaianmu saja nampak terbuat dari sutra yang sangat halus!" ucap Somad mendahului para panitia penerimaan calon penggawa. "Bo-po. Be-narkah dia kakekku?" tanya Joko Rama keheranan
“Cepat bunuh bayi itu! Apa yang diharapkan dari seorang bayi cacat. Sangat tidak pantas memiliki segalanya di sini!” titah Selir Puspita pada Bradak Cola, sang pengawal setia. “Baik Gusti Selir!” sahut Bradak Cola cepat. Dia bergegas pergi melaksanakan perintah sang junjungan bersama ketiga anak buahnya. Namun seorang dayang tak sengaja mendengarnya. Dia bergegas berlari ke keputren menemui junjungannya. Dayang Selasih pun berbisik pada wanita cantik yang baru melahirkan. “Titah mengerikan, Gusti. Apa yang harus kita lakukan?” “Banjur, Selasih, bawa bayi ini pergi sejauh-jauhnya. Bayiku berhak untuk hidup. Dan bawa semua benda ini. Kelak, benda ini yang akan menguatkan identitasnya di masa depan!” ucap wanita lemah itu dengan air mata menetes. Ia mengalami pendarahan hebat pasca melahirkan bayi pertamanya yang sudah lama ditunggu kelahirannya. Sayangnya, bayi itu lahir tanpa suara. Dan itu adalah aib bagi seluruh keluarganya!. Aki Banjur menggeleng lemah. Dia tak tega memisahkan