Share

Bab 4. Membuka Identitas

ARGHHH!

Pekik nyaringJoko Rama memecah alam keabadian saat kedua golok berlumuran darah melesat cepat menghampiri masing-masing jari telunjuknya lalu melesap masuk ke dalamnya.

"Demi Sang Pencipta Langit dan Bumi! Apakah yang kulihat ini hanya ilusi? Kok bisa golok sebesar lengan Kakang Joko Rama melesap masuk ke dalam jari telunjuknya yang ramping?" gumam Joko Seno dengan mulut setengah menganga. Dia berusaha menenangkan diri lalu kembali memperhatikan proses kultivasi Joko Rama dengan segala kemustahilannya.

Joko Rama nampak berusaha bertahan sekuat tenaga agar tak roboh saat kedua telunjuknya menahan rasa sakit yang luar biasa. Terlebih ganggang kepala masing-masing golok lumayan berat dan kokoh.

Keringat dingin nampak mengucur di pelipis Joko Rama. Wajahnya memerah akibat menahan kesakitan yang luar biasa. Kedua kakinya nampak berusaha keras agar tetap menapak di bumi hingga gemetar.

Akhirnya keseluruhan golok naga iblis dan golok maung iblis berhasil melesap masuk sempurna ke dalam tangan kanan dan kiri Joko Rama melalui pintu jari telunjuknya.

Perlahan kedua tangan Joko Rama berkilau kemerahan bercampur emas. Urat-urat tangannya bahkan terlihat jelas menyatu dengan sebilah golok di dalamnya!

"Bagus! Cukup Banjur! Selasih!" ucap Mpu Mahisa Purwa seraya membuka mata.

Dalam sekedipan mata, jiwa halus Joko Rama pun kembali melesap masuk ke dalam tubuhnya yang masih dalam keadaan duduk meditasi di sebelah Mpu Mahisa Purwa.

Aki Banjur dan Dayang Selasih nampak kelelahan. Keduanya kemudian menyatukan kedua tangan untuk saling mengobati luka dalam akibat melepaskan golok ghaib dari tubuh mereka.

Mpu Mahisa Purwa pun membantu menyalurkan tenaga dalam untuk membantu mempercepat pemulihan luka dalam Aki Banjur dan Dayang Selasih.

Joko Rama perlahan membuka mata. Dia merasa terlahir kembali dengan tubuh yang jauh lebih kuat dan tangguh dari sebelumnya. Dia mencoba menggerakkan kedua tangannya, dan tersenyum.

"Aku bisa merasakan keberadaan Ki Naga dan Ki Maung dalam kedua tanganku," gumam Joko Rama merasa puas. Dia pun duduk tenang kembali, menunggu Mpu Mahesa selesai menolong Aki Banjur dan Dayang Selasih.

Joko Seno tersenyum senang saat menghampiri kakak sepupunya. "Selamat Kangmas, kultivasi pertamamu berhasil sempurna."

"Aku nggak ngerti soal kultivasi ini, Seno. Semua seperti mimpi. Tiba-tiba saja aku menjadi ahli waris kedua golok ghaib legendaris ini," jawab Joko Rama pelan.

"Kakang, kita harus tanyakan hal ini pada mereka. Rahasia apa yang sudah mereka sembunyikan selama ini?"

"Benar katamu, Dimas Seno. Ayo," ajak Joko Rama mengajak duduk berlutut di hadapan Mahaguru Mpu Mahisa Purwa yang sedang menstabilkan tenaga dalam Aki Banjur dan Dayang Selasih.

"Mahaguru, kenapa Aku yang menjadi ahli waris Golok Naga Iblis dan Golok Maung Iblis?" tanya Joko Rama serius.

"Yang menjadi milikmu kelak hanya Golok Naga Iblis saja, Ngger. Kelak, Golok Maung Iblis akan menjadi mahar untuk calon istrimu kelak," ucap Mpu Mahisa Purwa pelan. Namun itu belum menjawab pertanyaan Joko Rama.

"Guru, aku masih belum mengerti. Lagipula mana ada gadis yang sudi kunikahi. Kau lihat sendiri bukan? Tubuhku kurus, kulitku legam dan ada sedikit kudis di tumitku. Mana ada gadis yang mau diberi mahar sebilah golok, Mpu Guru. Pasti kepingan emas yang mereka mau! Bopoku sangat miskin!" ujar Joko Rama sangat jujur.

Mpu Guru Mahisa Purwa mendengkus berat. "Jika aku tidak lupa, calon istrimu itu masih bersaudara dengan Raden Seno. Kabarnya gadis itu sudah melakukan perjalanan untuk mencari kalian berdua saat ini."

"Saudara perempuanku?" tanya Seno Wedus dengan mata berbinar.

"Siapa?" tanya Joko Rama antusias.

"Guru, sebaiknya kita katakan saja identitas mereka. Bukankah kedatanganmu sudah menandakan keduanya harus menyusun rencana agar bisa secepatnya kembali ke istana Badaskara?"

Joko Seno langsung bersuara. "A-pa maksudmu, Paman? Siapa yang harus kembali ke istana?"

"Joko Rama adalah pangeran dari istana Badaskara. Sedangkan kau, Seno, pangeran dari kediaman Panglima Perang Badaskara!" jelas Mpu Mahisa Purwa pelan.

Joko Rama menatap Aki Banjur dan Dayang Selasih penuh tanda tanya. "Bopo, maksud Mahaguru, engkau adalah bangsawan di istana Badaskara? Apakah dirimu seorang raja?" 

Joko Seno langsung menatap Joko Rama. "Apa maksud perkataan mereka Kangmas? Kenapa kita mendadak menjadi seorang pangeran?"

Dayang Selasih maju ke hadapan Joko Rama dengan beringsut, lalu menjura seraya berkata pelan. "Den Mas Rama anakku, nama aslimu adalah Raden Aryandaru Janardana Parama!"

"Gusti Pangeran Aryandaru? Nama belakangmu, Kangmas sama persis dengan anak bungsu Prabu Badaskara!" ucap Seno Wedus terkejut. 

"Cepat beri hormat pada junjunganmu, Raden Seno!" tegur Aki Banjur menegur Seno Wedus yang belum peka juga pada identitas tak biasa Joko Rama.

"Ampun Kakang Pangeran,"  ucap Seno Wedus seraya berlutut. 'Aish aku kan masih mau bertanya!' keluhnya merasa malu akan kebodohannya.

Joko Rama terdiam. "Apa itu benar? Kenapa aku bisa hidup di luar istana dan kudisan begini?" tanyanya serius.

Aki Banjur gegas melenyapkan penyamaran Joko Rama dengan kesaktiannya. Sekejap kemudian topeng yang melapisi kulit Joko Rama lenyap. Kulit aslinya yang putih kekuningan terlihat bersinar dari balik pakaian lusuhnya.

Joko Rama masih belum percaya pada ucapan Aki Banjur, Dayang Selasih dan Mpu Guru Mahisa Purwa. "Siapa pemilik kedua golok ghaib ini? Jelaskan padaku, Bopo!"

"Pedang itu milik ibu kandungmu, Dewi Anjani, Gusti Pangeran," jelas Dayang Selasih mendahului suaminya berbicara.

"Cukup Biyung! Jangan menyebutku seperti itu terus," protes Aryandaru cepat. Dia masih belum menerima kenyataan sebenarnya.

"Gusti Pangeran, Hamba dan Aki Banjur adalah sepasang suami istri yang menjadi pengawal pribadi biyungmu, Dewi Anjani. Beliau tewas sepeninggal kami melarikanmu dari istana Badaskara. Selir Puspita ingin membunuhmu setelah Prabu Anggono Darma menolakmu menjadi putra mahkota karena engkau dikira bisu," jelas Dayang Selasih merasa bersalah.

Raden Aryandaru terdiam setelah mendengar penuturan Dayang Selasih barusan.  Dia mencoba membayangkan seperti apa rupa ayah dan ibu kandungnya yang selama ini belum pernah dilihatnya.

"Sudahlah Pangeran. Kita harus bergegas meninggalkan tempat ini. Aku harus membawa kalian ke suatu tempat dulu sebelum ke Langitan. Ngger, sudah saatnya kau menyusun rencana. Namun sebelum itu segel kesaktian yang ditanamkan Dewi Anjani dalam tubuhmu harus dibuka lebih dulu," ujar Mpu Mahisa Purwa mulai serius bicara saat matahari sudah tinggal setinggi galah.

"Kita harus segera menyusun rencana untuk masa depan calon raja dan calon panglima Badaskara secepatnya, Banjur," ucap Mpu Mahisa Purwa pelan.

Joko Rama menatap Joko Seno. "Ingat Dimas Seno. Hanya saat kita sedang berada berdua dan ada di dekat orang-orang yang paham identitasku saja, kau boleh menyebutku begitu. Saat kita berpetualang nanti tetap panggil kangmas-mu yang tampan ini seperti biasa. JOKO RAMA!"

Joko Seno tergagap. Dia tersadar akan kesalahannya dan gegas menjura di hadapan Aryandaru. Bagaimanapun remaja yang lebih tua dua tahun di atasnya memanglah seorang putra mahkota asli yang menjadi junjungannya. "Sendiko Gusti Pangeran sudah mengingatkan."

Aryandaru menggangguk tersenyum. "Terimakasih Dimas Pangeran. Aku hanya bermaksud menguji sikapmu saja. Tenanglah."

Tanpa keduanya sadari, sejak tadi Mpu Mahisa Purwa, Aki Banjur dan Dayang Selasih sudah menyimak diam-diam. Ketiganya merasa puas dengan sikap bijaksana dan ketegasan Aryandaru juga sikap patuh dan kesetiaan Joko Seno.

Aki Banjur dan Dayang Selasih mengangguk setuju dengan keputusan Mahaguru Mpu Mahisa Purwa. "Baik Mpu Guru."

Aryandaru mendengkus berat. Di pelupuk matanya terbayang kerinduan akan wajah ayah kandung yang tega membuangnya. Mendadak dia merasa rindu, dan ingin menyambangi makam sang Biyung yang belum diketahui ada di mana. "Mpu Guru, Bopo dan Biyung. Sebelum tahu siapa lawanku,dan membuka segel dalam dada ini, mohon antarkan ke makam biyungku terlebih dulu. Bisakah?"

Aki Banjur dan Dayang Selasih menunduk sedih. Keduanya merasa bersalah karena tak pernah membawa junjungannya berziarah ke makam ibunya. Dia menatap Mpu Guru Mahisa Purwa penuh arti.

"Jangan salahkan Banjur dan Selasih, Ngger. Mereka sengaja tak pernah membawamu keluar dari dukuh Lontar demi menjaga identitasmu agar tak mudah dikenali siapapun sebelum waktunya tiba. Makam biyungmu ada di belakang pesanggrahan milik kerajaan. Kebetulan saudara seperguruanku yang mengurusi pesanggarahan itu. Dan....," ucapan pelan Mpu Mahisa Purwa pun terputus. Dia nampak berat mengatakannya.

"Dan apa, Mpu Guru? Kenapa?" desak Aryandaru sangat penasaran sampai maju beberapa langkah hingga tubuhnya berdiri sangat dekat di hadapan sang maha guru tua itu.

"Dan di sana ada adikmu, putra dari Selir Puspita. Namanya, Raden Anggastya Condra," ucap Aki Banjur melanjutkan ucapan Mpu Mahisa Purwa yang terputus.

"Kau harus mengenal saudaramu itu, Kakang Pangeran. Setidaknya cari tahu seberapa kuat lawan yang sudah berani mencuri tahtamu," hasut Joko Seno terang-terangan.

Raden Aryandaru nampak berpikir sesaat dengan kening berkerut. "Bila memang Romo Prabu menginginkan adikku yang menjadi Putra Mahkota di istana Badaskara, aku bersedia mengalah, Mpu Guru. Aku tidak menginginkan pertumpahan darah. Biarlah, hidup menjadi seorang pendekar saja tidak mengapa."

Wajah Aryandaru nampak sendu. Kepalanya menggeleng membayangkan perseteruan atas tahta dengan saudara seayah. Namun....

"Ini tidak benar, Gusti Pangeran. Telik sandi Gusti Prabu Sadajiwa sudah mendapatkan berita miring, jika Raden Anggastya bukan berdarah Parama!" ucap Mpu Mahisa Purwa dengan wajah tenang.

"Maksudmu mahaguru?" tanya Aryandaru dan Joko Seno bersamaan seraya menatap serius pada lelaki tua berjubah itu.

"Dia memang putra dari Selir Puspita, istri kedua Prabu Anggono Darma Parama. Tetapi rupa dan tabiatnya sangat jauh berbeda dari romo-mu. Dan saat jatuh sakit, darah suci Gusti Prabu Anggono Darma tak mampu menyembuhkan. Hingga tabib istana meminta darah dari Selir Puspita. Hanya saja saat akan dicampurkan ke dalam ramuan obat, Dayang suruhan Selir Puspita menukarnya dengan darah lain yang sudah ditaruh di dalam cawan batok dengan alasan darah itu jauh lebih segar karena baru saja diteteskan dari lengannya yang tergores. Nyatanya tak pernah ada lengan Selir Puspita yang tergores!" jelas Mpu Mahisa pelan.

"Bangsat! Betina itu sudah berani menipu Gusti Prabu! Keterlaluan, dan pasti itu darah dari ayah kandung Raden Anggastya!" maki Dayang Selasih sangat geram hingga kedua tanggannya mengepal. Rasa sakit kehilangan Dewi Anjani masih dirasakannya sampai saat ini.

Aryandaru dan Joko Seno terperangah mendengar penjelasan Mpu Mahisa Barusan. Keduanya sangat tak percaya dengan kebohongan seorang selir raja yang begitu dihormati di Badaskara.

"Berani sekali seorang selir menipu Gusti Prabu. Apa dia dan keluarganya tidak takut dihukum mati?" gumam Joko Seno dengan geraham gemeretuk menahan emosi.

Aryandaru menarik napas berat. Dia mulai mengkhawatirkan keselamatan ayahandanya. "Kalau begitu, siapa ayah kandung Raden Anggastya, Mpu Guru?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status