Share

DENDAM ARYANDARU PUTRA MAHKOTA YANG TERBUANG
DENDAM ARYANDARU PUTRA MAHKOTA YANG TERBUANG
Penulis: iin manaf dare

Bab 1. Pemuda Miskin dan Gagap Ingin Jadi Penggawa

“Cepat bunuh bayi itu! Apa yang diharapkan dari seorang bayi cacat. Sangat tidak pantas memiliki segalanya di sini!” titah Selir Puspita pada Bradak Cola, sang pengawal setia.

“Baik Gusti Selir!” sahut Bradak Cola cepat. Dia bergegas pergi melaksanakan perintah sang junjungan bersama ketiga anak buahnya.

Namun seorang dayang tak sengaja mendengarnya. Dia bergegas berlari ke keputren menemui junjungannya. Dayang Selasih pun berbisik pada wanita cantik yang baru melahirkan. “Titah mengerikan, Gusti. Apa yang harus kita lakukan?”

“Banjur, Selasih, bawa bayi ini pergi sejauh-jauhnya. Bayiku berhak untuk hidup. Dan bawa semua benda ini. Kelak, benda ini yang akan menguatkan identitasnya di masa depan!” ucap wanita lemah itu dengan air mata menetes. Ia mengalami pendarahan hebat pasca melahirkan bayi pertamanya yang sudah lama ditunggu kelahirannya. Sayangnya, bayi itu lahir tanpa suara. Dan itu adalah aib bagi seluruh keluarganya!.

Aki Banjur menggeleng lemah. Dia tak tega memisahkan bayi merah itu dari sang ibu yang belum puas memeluknya. Perlahan dia mengambil bayi mungil tak menangis ke dalam gendongannya. “Ayo Selasih, cepat tinggalkan tempat ini. Gusti Dewi, jaga dirimu baik-baik.”

Dayang Selasih bergegas mengikuti langkah Aki Banjur melesat ke atap lalu menghilang di kegelapan malam bersama bayi yang tertidur pulas dalam pelukan suaminya.

Tak lama kemudian…..

“Sialan! Mana bayi itu? Kau pasti sudah menyembunyikannnya, bukan?” maki Selir Puspita menuding ke arah wanita tak berdaya di hadapannya yang baru saja menelan racun pasca kepergian Aki Banjur.

“Sa-sampai kapanpun, Nyimas Puspita! Kau takkan bisa menyentuh putraku! Se… lamat tinggal,” ucap Wanita itu dengan wajah tersenyum puas. Perlahan matanya menutup rapat dan kedua tangannya terkulai tak berdaya.

“Bedebah! Penggawa cepat kejar bayi sialan itu!” maki Selir Puspita penuh kemarahan.

Satu jam kemudian….

Seorang Penggawa mengendap-endap, menemui Selir Puspita yang baru saja mengabarkan pada suami dan para tetua jika Dewi Anjani wafat dengan bayi masih berada di dalam perutnya!

“Ampun Gusti Selir, kami kehilangan jejak. Sepertinya Dayang Selasih yang membawa pergi bayi itu.”

Wanita licik itu tersenyum masam. “Perintahkan semua telik sandiku, untuk mencari kemanapun Dayang sialan itu pergi. Dan bunuh segera bayi itu di tempat bila sudah bertemu!”

“Baik Gusti Selir!”

Lima belas tahun kemudian…..

Dukuh Lontar kedatangan utusan dari kota kadipaten Curugan, menyampaikan berita dari ibukota Kerajaan Badaskara yang mencari calon pengawal tangguh bagi putri sang Raja. Kadipaten Curugan, kadipaten terjauh dari ibukota Badaskara.

Belasan pemuda tanggung berkerumun di depan pos pendaftaran yang disiapkan pihak istana Kadipaten.

Dua pemuda tanggung tampak bersemangat mengantri di antara belasan pemuda yang berasal dari dukuh Lontar. Joko Rama dan saudara angkatnya, Seno Wedus, berdiri di barisan paling akhir. Hanya mereka berdua, pemuda yang terlihat kurus, kumal dan bau. Terlebih betis Joko Rama banyak dihinggapi lalat yang menempel pada kudisnya.

“Bocah dungu! Kamu mau ikut ke ibukota untuk mendaftar jadi penggawa? Mana bisa! Sadar diri, Rama! Tubuhmu lemah, bicaramu gagap. Dan… miskin! Cepat pergi, baumu busuk sekali!" ejek Somad sangat gamblang.

Di dukuh Lontar, semua orang mengenal Somad sebagai jawara tangguh yang pernah berguru di padepokan Colo Ireng selama dua belas purnama. Dia putra Kepala Desa yang lumayan kaya. Somad, jawara dukuh Lontar yang disukai banyak gadis desa.

“A-ku pu-nya hak untuk men-daftar, So-mad!” sahut Joko Rama dengan suara gagap. Dia hanya merasa malu karena kudisnya yang bau, lainnya tidak.

“Hahaha! Rama… Rama! Mana bisa seorang penggawa gagap sepertimu! Kamu nggak akan diterima! Istana Badaskara hanya membutuhkan pendekar-pendekar tangguh saja untuk dijadikan penggawa! Bukan pemuda miskin, lemah dan gagap sepertimu! Pulang sana!” ujar Somad penuh ejekan seraya menuding wajah Joko Rama.

“Kudengar, pihak istana khusus mencari penggawa untuk dijadikan pengawal setia Dewi Ayu Janardani Parama. Dia sangat cantik,” ujar salah satu peserta yang berwajah tampan penuh semagat. Dia putra petani kaya di dukuh Lontar.

Joko Rama menoel lengan Seno Wedus yang berbaris di depannya. “Dimas Seno, siapa gadis itu? Kenapa istana Badaskara mencarikannya pengawal?”

“Ssst, jangan banyak tanya, Kangmas. Nanti ada yang dengar, kalau dirimu sebenarnya nggak gagap,” tegur Seno Wedus seraya menempelkan telunjuk di bibirnya.

“Hei, diam! Kalian berdua jangan berbisik-bisik menjelekkanku di belakang ya!” tegur Somad berkacak pinggang.

Joko Rama kembali pura-pura gugup. “A-nu Kang Somad. A-ku cuma ta-nya siapa itu De-dewi An-jani.”

Bugh!

“Lancang! Pemuda miskin sepertimu nggak boleh menyebutkan namanya secara langsung. Dasar dungu. Gadis itu berstatus sangat mulia. Dia putri bungsu Prabu Anggono Darma Parama, Raja Badaskara!” sahut Somad setelah menendang lutut Joko Rama.

“Apa-apaan sih Kang Somad! Jangan kasar begitu!” protes Seno Wedus berusaha melindungi Joko Rama yang sudah dianggap seperti kakaknya sendiri.

“Sudah. Aku nggak apa-apa,” bisik Joko Rama agak kesal dengan kepala menunduk. ‘Sialan! Sampai kapan aku harus lemah di hadapan penduduk dukuh ini?’ maki hati Joko Rama menahan kemarahan. Dia pura-pura meringis menatapi lututnya yang lecet.

“Sudahlah, Rama, Seno! Kalian pulang sana. Pendaftaran ini sangat mahal. Lihat, Darsan saja harus membayar beberapa keping perak untuk bisa mendaftar. Belum saat terpilih ikut tes di kadipaten, harus mengeluarkan emas untuk biayanya. Ingat, orang tua kalian hanyalah buruh petani jagung saja di sini!” tegur Somad sekali lagi.

Pemuda bernama Darsan, tersenyum senang saat salah satu penggawa menyebutkan namanya sudah terdaftar ikut tes ke kota kadipaten. “Lihat, Aku sudah terdaftar sekarang.”

“Bagaimana ini, Kangmas? Kita nggak bawa apa pun. Jangankan kepingan emas, sekeping perak pun tidak ada. Bopoku belum mendapatkan upah memburuhnya kemarin,” bisik Seno wedus sangat sedih.

Joko Rama menarik napas panjang. “Aku juga nggak punya apa-apa yang berharga untuk membayar para penggawa itu agar memasukkan nama kita ke dalam daftar calon penggawa. Sebaiknya, kita temui saja para penggawa itu, Seno.”

Joko Rama dan Seno pun memberanikan diri menghampiri salah satu Penggawa setelah Somad menyelesaikan pembayarannya.

“E…mau kemana Rama? Bener-bener nggak tahu diri!” gerutu Somad dan Darsan bersamaan.

“Kita lihat saja mereka, Somad,” ucap Darsan mengejek.

“Paling juga ditendang sama penggawa-penggawa itu. Kudengar, mereka itu penggawa pilihan Selir Puspita yang sudah dididik oleh padepokan Colo Ireng,” ucap Somad dengan nada bangga mengingat dirinya juga berasal dari sana.

Joko Rama dan Seno wedus mengabaikan ejekan dan tudingan Somad dan Darsan. Keduanya terus berjalan menghampiri meja panitia penerimaan calon penggawa kerajaan.

Saat keduanya sudah sangat dekat….

“Cepat keluarkan upetinya! Untuk kalian berdua, cukup lima kepingan perak saja!” ucap salah satu penggawa dengan wajah beringas menatap tajam pada Joko Rama dan Seno Wedus bergantian.

Joko Rama dan Seno Wedus terkesiap. Keduanya saling pandang sesaat.

“A-apa? Lima kepingan uang perak? Ka-mi tidak pu-nya, Penggawa,” jawab Joko Rama dengan suara gagap.

“Kakang, lihat bocah yang satu itu! Suaranya gagap dan tubuhnya sangat kurus. Pasti dia juga lemah. Sebaiknya usir saja mereka,” ujar salah satu Penggawa yang sedang menatap sinis Joko Rama.

“Benar, Penggawa! Mereka berdua pun bukan seorang pedekar!” ucap Somad menimpali penuh kebencian. Selama ini dia kurang senang dengan keberadaan Joko Rama dan Joko Seno di kampung mereka, karena sangat diperhatikan oleh salah satu sesepuh yang disegani di dukuh itu.

“A-ku bisa menyumbangkan tena-ga, Penggawa!” ucap Joko Rama cepat.

BRUK!

AGH!

Penggawa berwajah beringas menendang Joko Rama sangat keras. “Cukup! Pergi sana! Tidak ada lima kepingan uang perak, jangan pernah coba-coba mendaftar jadi penggawa padaku!”

Joko Rama pura-pura mengaduh kesakitan saat tendangan penggawa itu tepat mengenai tulang rusuk kanannya. 'Bangsat!' maki hati Joko Rama penuh kemarahan.

“Tapi, Penggawa,” sela Seno Wedus berlutut di hadapan meja pendaftaran.

“Cepat usir mereka!”

“Baik Kakang Penggawa Tinggi!”

Saat Joko Rama dan Seno Wedus diseret paksa, seorang lelaki tua berjubah putih berteriak lantang.

“Tunggu! Aku punya lima keping uang perak untuk mereka!”

Semua mata menoleh dan sama-sama keheranan pada sosok itu.”Siapa Kau? Kenapa ikut campur dengan urusan mereka?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status