"Rama! Seno!" teriakan nyaring dari kejauhan membuat para panitia penerimaan calon Penggawa dan sang kakek sama-sama menoleh ke arah belakang.
"Bopo," gumam Rama merasa bersalah. Dia melirik sang kakek yang tak dikenalnya penuh tanda tanya. "Hei Kakek tua! Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau ikut campur urusan mereka?" tegur Penggawa Tinggi sebagai ketua panitia dengan suara lantang. "Kakek, sebaiknya ja-ngan," ucap Rama dengan suara gagap. Kakek tua itu terkejut mendengar suara Joko Rama yang terdengar gagap. Namun kemudian tersenyum puas seraya mengelus janggut putihnya yang sudah memanjang. "Aku adalah kakeknya yang sudah lama belum mengunjunginya." "Ha? Kakek? Mana mungkin Kau adalah kakeknya! Lihat perbedaan kalian! Rama sangat miskin jelek dan bau, sedangkan dirimu terlihat sangat bersih. Pakaianmu saja nampak terbuat dari sutra yang sangat halus!" ucap Somad mendahului para panitia penerimaan calon penggawa. "Bo-po. Be-narkah dia kakekku?" tanya Joko Rama keheranan saat Aki Banjur dan Nyi Sekar sudah mendekatinya. "Biyung, ampun. Aku yang mengajak Kangmas Rama mendaftar menjadi penggawa. Bukan dia yang mengajakku," ucap Seno Wedus gegas berlutut di hadapan ibu angkatnya. Nyi Sekar dan Aki Banjur menatap penuh arti pada lelaki tua yang baru tiba di dukuh Lontar. Keduanya sama-sama menarik Joko Rama dan Seno Wedus untuk berlutut di hadapan Kakek Tua itu. "Kisanak, sangat berbaik hati, sampai mau membayarkan uang pendaftaran untuk kedua bocah nakal ini. Tolong abaikan saja, Kisanak," ucap Aki Banjur dengan menjura. "Betul, Kisanak. Kami tak bisa membayarnya nanti," ucap Nyi Sekar juga dengan menjura. Kakek Tua berjubah itu mengangguk. "Kalian tak perlu membayarnya. Cukup kedua bocah itu bertarung saja melawan ketiga penggawa itu. Bila dia berhasil menang, itu sudah kuanggap sebagai bayarannya!" "Gila! Hei Pak Tua! Kau mau menghina kami, ya? Mana mungkin bocah tengik dan gagap itu mampu mengalahkanku!" ucap Penggawa Tinggi merasa tersinggung. "Usir saja Kakek tua itu, Kakang Penggawa Tinggi! Bikin rusuh saja!" ujar salah satu anak buahnya. "Sudahlah Rama, jangan melibatkan orang lain dalam kemiskinan dan tak keberuntunganmu itu! Pulang sana ke gubukmu. Lebih baik kamu membantu bopomu memetik jagung. Lupakan mimpimu menjadi seorang penggawa atau menjadi seorang pendekar sepertiku!" ucap Somad menasihati dengan nada sinis dan mengejek. Joko Rama menatap ayahnya penuh arti. "Ijinkan Aku merubah nasibku, Bopo. Kita bisa pindah ke kota raja nanti, bila aku lulus menjadi penggawa di istana Badaskara." Hati Aki Banjur bagai tersayat sembilu. Dia berusaha keras menahan air matanya agar tak tumpah. Dia melirik lelaki tua yang baru datang itu penuh tanda tanya. 'Kenapa Mahaguru Mpu Mahisa Purwa datang mencari putra angkatku sekarang? Bukankah ini belum waktunya untuk kembali?' pikirnya bertanya-tanya. "Biarkan anakmu mencobanya, Kisanak. Aku kebetulan lewat saja di dukuh ini. Bila dia berhasil mengalahkan penggawa itu, bukankah nasib baiknya akan mudah mendekat? Atau jika kalah, dia bisa berguru dulu padaku nanti," ucap Mahaguru Mahisa Purwa seakan memberi jawaban tak langsung pada kegalauan Aki Banjur dan Nyi Sekar. Seno Wedus gegas menarik Joko Rama. "Kakang, jangan ke ibukota. Kita ikut saja dengan kakek tua itu. Menjadi murid saja dulu, nanti setelah menjadi pendekar baru mendaftar lagi jadi penggawa." Joko Rama nampak mengernyit. 'Siapa kakek tua itu? Kenapa dia menginginkanku menjadi muridnya?' "Baiklah! Aku bersedia bertarung dengan para penggawa itu, Kek!" ucap Joko Rama seraya bangkit dari berlutut. "Bocah songong! Berani sekali menantang Kami!" maki ketiga Penggawa bersamaan. "Tak perlu bertiga untuk melumpuhkannya, Kakang Penggawa Tinggi. Cukup aku saja dengan tangan kosong!" ujar penggawa paling muda di antara mereka bertiga dengan nada congkak. Dia berjalan mendekati Rama dengan menggeretakkan giginya. "Huh! Aku nggak yakin, Joko Rama akan selamat kali ini," celetuk Darsan merasa kasian sekaligus mengejek. "Sudah pasti. Dia kan nggak pernah berguru kepada siapapun dan di manapun sebelum hari ini. Boponya bukan pendekar, biyungnya juga. Ini baru yang namanya bunuh diri sebelum jadi pendekar!" ucap Somad mengeluarkan pendapat berapi-api dan sangat merendahkan harga diri Joko Rama. Aki Banjur mengulum senyum sinis mendengar ejekan yang ditujukan pada putra angkatnya. Dia berbisik pada Joko Rama. "Kau, kuijinkan bertarung kali ini. Tapi ingat, jangan keluarkan semua jurus mematikan yang pernah aku dan biyungmu ajarkan." Joko Rama mengangguk pelan. "Baik Bopo. Biar aku saja yang bertarung." "Tidak Kangmas, Aku juga akan bertarung melawan mereka bersamamu," ucap Seno Wedus berbisik. Dia meliring Nyi Sekar sekilas. Nyi Sekar mengangguk. "Ingat Seno, jangan keluarkan semua kemampuan yang sudah diajarkan Paman Banjur kepadamu. Kalian berdua harus tetap menyembunyikannya dari penduduk dukuh. Jika tidak kasihan sesepuh Parmin yang sudah menampung kita selama ini." "Baik Biyung." "Cepat maju! Jangan kebanyakan bisik-bisik," tantang anak buah si Penggawa Tinggi dengan arogan. Haiaat! Joko Rama menyerang lebih dulu. Tubuhnya melenting ke atas lalu menerjang dada si Penggawa secepat kedipan mata. Bugh! Seketika tubuh si Penggawa itu roboh sebelum sempat memberikan perlawanan. Dia jatuh terjengkang ke belakang sejauh lima langkah. "Agghh, Kau bermain curang, Bocah tengik! Bueaaak!" maki si Penggawa setelah memuntahkan cairah merah segar dari mulutnya. Wajahnya terlihat menahan rasa sakit. Satu tangannya menempel di dada bekas tendangan kaki Joko Rama. Mahaguru Mpu Mahisa Purwa menyembunyikan senyumannya. 'Jurus tendangan maut naga iblis tingkatan paling rendah. Hmm, Aki Banjur sudah mendidiknya sangat baik selama ini,' pikir Mpu Mahisa Purwa sangat puas. "Sialan! Bocah kudisan itu bisa beladiri ternyata! Ayo, kita habisi saja mereka!" perintah Penggawa Tinggi pada anak buahnya yang lain. Ia melesat ke hadapan Joko Rama dan Seno Wedus dengan penuh kemarahan. Wajahnya terlihat makin garang. Di tangannya terhunus sebilah golok dengan mata pisau yang sudah diasah sampai mengkilap. "SERANG!!" "Hati-hati, Dimas Seno," bisik Joko Rama mengingatkan adik angkatnya. Dia sengaja berdiri lebih ke depan, dengan maksud melindungi sang adik. Namun, "Minggirlah Kangmas. Sekarang giliranku bertarung!" Seno Wedus menarik lengan Joko Rama agar mundur ke belakang tepat saat golok si Penggawa Tinggi sedang diayunkan ke arahnya. BRAK! Golok itu patah dua terkena tangkisan tangan kiri Seno Wedus. Dia tak sadar sudah memperlihatkan salah satu jurus pamungkas dari Padepokan Langitan yang diperolehnya melalui Aki Banjur, Ajian Rontek Sekilan yang kebal senjata apapun. "Seno!" tegur Joko Rama gegas menarik Seno ke belakang punggungnya. "Kita harus kabur sebelum ditangkap. Ingat, Ajian Rontek Sekilan sangat terlarang di Badaskara dimiliki rakyat kebanyakan seperti kita." Agh! Seno Wedus gegas pura-pura lengan kirinya kesakitan sampai terguling di tanah saat Penggawa Tinggi mendekatinya. "Siapa kalian sebenarnya?" hardik si Penggawa Tinggi seraya menarik rambut Seno Wedus ke belakang. "Kenapa bocah ini menguasai ajian Rontek Sekilan?" Joko Rama kembali gagap. "Am-pun Penggawa. Kau salah lihat. Lihat tangannya berdarah! Dia sudah merusak tangannya sendiri. Tak mungkin menguasai ajian terlarang itu." Joko Rama gegas menusuk ujung ibu jari kiri Seno Wedus dengan jarum rahasianya, hingga darahnya mengucur membasih telapak tangan Seno Wedus. "Benar Kakang Penggawa Tinggi. Tak mungkin Seno Wedus punya kemampuan seperti itu. Apalagi si Rama tengik itu," timpal Somad dan Darsan, keduanya mendadak merasa kasihan pada Joko Rama dan Seno Wedus. Bagaimanapun Joko Rama dan Seno Wedus masih teman sepermainannya saat kanak-kanak. Somad dan Darsan tahu hukuman yang akan diterima bila menentang aturan kerajaan. Hukum pancung! "Cepat minta ampun, Rama, Seno! Kalian cepat pergi sana!" perintah Somad dan Darsan. "Tidak! Mereka belum bisa pergi dari sini!" ucap Penggawa Tinggi cepat dengan wajah marah. "Terima dulu hukuman dariku!" Tubuh Penggawa Tinggi melesat ke arah Joko Rama dan Seno Wedus sangat cepat dengan kedua tangan melontarkan pukulan tenaga dalam penuh. Haiat! Joko Rama mendorong Seno Wedus hingga mundur beberapa langkah. Dan bersiap menerima serangan Penggawa Tinggi dengan memasang kuda-kuda tiga perempat. Namun saat dia memulai melontarkan serangan balasan, seseorang membawanya pergi dengan melesat secepat kilat. Hap! Aki Banjur gegas menariknya pergi dengan melesat. Nyi Sekar pun melakukan hal yang sama. Dia membawa anak angkatnya, Seno Wedus menjauh dari tempat itu. "Bangsat! Kabur kemana mereka!" teriak Penggawa Tinggi geram akibat serangannya mentah di tengah jalan. "Kurasa, kedua bocah miskin itu takkan berani lagi tinggal di dukuh ini. Baguslah!" ucap Darsan berbisik pada Somad. "Bikin malu desa kita saja!" gerutu Somad mengejek. Mahaguru Mpu Mahisa Purwa mengangguk pelan. Tak ada yang menyadari jika baru saja dia mengirim pesan telepati pada Aki Banjur dan Nyi Sekar agar membawa pergi kedua pemuda tanggung itu. "Bangsat! Dibawa kabur kemana kedua bocah sialan itu. Tunggu saja! Akan kuobrak abrik seisi dukuh ini!" maki si Penggawa Tinggi sangat marah. "Kisanak semua, berhubung pertarungannya gagal, Aku pamit dulu!" ucapnya seraya melesat pergi. "Tunggu Kakek Tua! Kau harus membayar lima keping uang perak dulu kepada Kami!" teriak anak buah si Penggawa Tinggi saat tubuh kakek tua itu masih terlihat di kejauhan. "Sudahlah! Dia sudah pergi. Sialan!" ucap si Penggawa Tinggi kesal. "Siapa Kakek Tua itu? Dan siapa kedua bocah itu? Bukankah Somad dan Darsan bilang keduanya tak bisa bela diri? Tadi salah satu dari mereka menguasai jurus Rontek Sekilan yang sangat terlarang bagi rakyat kebanyakan!""Bopo! Cepat turunkan Aku!" teriak Joko Rama dari atas bahu Aki Banjur yang memanggulnya. Dia tak bisa bergerak akibat terkena totokan Aki Banjur di sekitar jantung. Aki Banjur menoleh sesaat ke belakang lalu gegas menurunkan Joko Rama. "Cepat ikuti Aku!""Mau kemana, Bopo? Biyung Selasih masih ada di gubuk saat kutinggalkan tadi!" tanya Joko Rama bernada cemas. "Jangan banyak tanya, cepat lanjutkan perjalanan sebelum para penggawa itu berhasil mengejar kita." Dari kejauhan dia melihat Nyi Sekar sedang menyusulnya. "Itu Bibi Sekar dan Dimas Seno, Bopo! Tunggulah sebentar." Aki Banjur pun menghentikan langkah, memenuhi permintaan Joko Rama. "Biyung, cepat turunkan Aku!" teriak Seno Wedus saat tahu mereka sudah jauh dari perkampungan. Nyi Sekar menurunkan Seno seraya menggerutu. "Anak nakal! Sudah kubilang jangan keluarkan jurus Rontek Sekilan saat berada di dukuh Lontar! Belum waktunya jurus itu diperlihatkan, Seno!" "Dimas, kau tidak apa-apa kan?" tanya Joko Rama khawatir seray
ARGHHH! Pekik nyaringJoko Rama memecah alam keabadian saat kedua golok berlumuran darah melesat cepat menghampiri masing-masing jari telunjuknya lalu melesap masuk ke dalamnya. "Demi Sang Pencipta Langit dan Bumi! Apakah yang kulihat ini hanya ilusi? Kok bisa golok sebesar lengan Kakang Joko Rama melesap masuk ke dalam jari telunjuknya yang ramping?" gumam Joko Seno dengan mulut setengah menganga. Dia berusaha menenangkan diri lalu kembali memperhatikan proses kultivasi Joko Rama dengan segala kemustahilannya. Joko Rama nampak berusaha bertahan sekuat tenaga agar tak roboh saat kedua telunjuknya menahan rasa sakit yang luar biasa. Terlebih ganggang kepala masing-masing golok lumayan berat dan kokoh. Keringat dingin nampak mengucur di pelipis Joko Rama. Wajahnya memerah akibat menahan kesakitan yang luar biasa. Kedua kakinya nampak berusaha keras agar tetap menapak di bumi hingga gemetar. Akhirnya keseluruhan golok naga iblis dan golok maung iblis berhasil melesap masuk sempurna
"Itu yang belum bisa kupastikan, Ngger! Kita akan selidiki bersama-sama," jawab Mahaguru Mpu Mahisa Purwa dengan nada kecewa. Raden Aryandaru mengangguk pelan. "Tak apa, Kakek Guru. Aku akan menyusun rencana setelah menyambangi makam biyungku. Seperti kata Dimas Seno, Aku akan mengukur kekuatan lawan terlebih dahulu. Untuk itu, aku memerlukan bantuanmu." "Aku sengaja turun gunung hanya untuk menjemputmu, Pangeran," jawab Mpu Mahisa Purwa tersenyum bijak. "Kau akan kupersiapkan menjadi raja terkuat kelak di Badaskara!" "Ya sudah! Tunggu apa lagi! Ayo berangkat, sebelum para penggawa utusan Selir Puspita mengejar sampai kemari!" ujar Nyi Selasih berapi-api. Sorot matanya mengobarkan kebencian saat menyebutkan nama Selir Puspita. "Masih terbayang jelas wajah kesakitan dan kesedihan biyungmu di mataku, Ngger." "Kalo begitu, kita lanjutkan perjalanan ke pesangrahan Teratai Emas milik kerajaan Badaskara. Kebetulan, purnama lalu, Baginda Raja Anggono Darma Parama mengundangku ke istana. D
"Brengsek! Kalian jangan berani berbuat onar di kedai ini!" maki Brodot seraya mengacungkan pedang ke arah pemuda yang berani menegur Pendekar Jangkrik. Pendekar Jangkrik berusaha bangkit kembali. Wajahnya terlihat garang. Dia menatap Aryandaru penuh kekesalan. "Huh! Pergi sana! Sebelum aku membunuhmu di sini!" "Bunuh saja Kakang!" hasut Pendekar Mprit dengan mulut mencebik. "Sudah tahu miskin masih berani masuk kemari! "Aku tetap akan masuk ke kedai ini, Kisanak. Lihat ini!" ucap Aryandaru mengambil sesuatu dari tangan Aki Banjur. "Plat pelayan khusus seorang mahaguru? Dari mana kamu dapatkan plat itu, Jongos!" maki Brodot kesal melihat kegigihan Aryandaru ingin masuk ke kedai. "Itu milik mahaguru dari Welingan! Beliau memenuhi undangan istana Badaskara atas perintah Gusti Raja Welingan, Gusti Prabu Raden Sadajiwa! Jika kalian menghalangi kami masuk, tunggu saja kemarahan Mpu Guru Mahisa Purwa yang sudah berada di biliknya saat ini!" ucap Aki Banjur dengan suara lebih garang da
"Nanti saja Raden. Kita harus bergegas keluar dari sini," jawab mahaguru Mpu Mahisa Purwa berbisik. Lelaki renta itu gegas merapal mantra lalu sekejap lenyap dari pandangan mata. "Kakek Guru!" seru Aryandaru dan Seno Wedus bersamaan. Keduanya terlihat kebingungan."Kalian berdua ikuti perkataanku," bisik Aki Banjur seraya mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Kedua tangannya bergerak memutar dengan mulut mulai bersuara mengucapkan mantra sakral ajian lampah bumi.Aryandaru dan Seno Wedus gegas memperhatikan Aki Banjur sesaat."Bopo mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi, Dimas. Ayo kita lakukan!" ucap Aryandaru berbisik."Baik Kakang Pangeran."Aryandaru dan Seno Wedus gegas meniru apa yang dilakukan Aki Banjur dengan kedua mata terpejam. Saat bacaan terakhir matra yang diucapkan Aki Banjur hampir selesai diikuti keduanya....."Maaf Gusti Pangeran! Buuugh!" satu pukulan angin dari telapak tangan Dayang Selasih mendorong keduanya hingga tubuh Aryandaru dan Seno Wedus terlontar masu
"Cepat serahkan penyusup yang kalian sembunyikan!" ujar salah satu penggawa seraya menghunus tombak pada Aryandaru.Semua orang terkejut melihat tiga penggawa kerajaan membentak kasar dengan senjata terhunus. Terlihat Aryandaru hendak menjawab. Namun Mpu Mahisa Purwa lebih dulu bangkit dari amben dan gegas menghampiri ke arah pintu."Lancang! Kalian sudah salah orang! Siapa yang kalian tuduhkan itu? Apa Mahaguru Mahisa Purwa kalian anggap penjahat di Badaskara!" ucap Mahaguru Mpu Mahisa Purwa lantang dengan kedua tangan menyilang di atas bokongnya."Apa? Tidak mungkin! Telik sandi Selir Puspita sudah melapor semalam ada rombongan penyusup dari dukuh Pilar!" balas si Penggawa bersikeras.Seno Wedus nampak geram. Dia membisiki Aryandaru dengan pesan telepatinya. "Kakang, para pengawal yang berdatangan pagi buta ini ternyata antek-anteknya Selir Puspita. Sebaiknya kita habisi saja!"Aryandaru menggeleng pelan dengan sorot mata penuh arti pada Seno Wedus. Raut wajahnya mendadak berubah se
“Cepat bunuh bayi itu! Apa yang diharapkan dari seorang bayi cacat. Sangat tidak pantas memiliki segalanya di sini!” titah Selir Puspita pada Bradak Cola, sang pengawal setia. “Baik Gusti Selir!” sahut Bradak Cola cepat. Dia bergegas pergi melaksanakan perintah sang junjungan bersama ketiga anak buahnya. Namun seorang dayang tak sengaja mendengarnya. Dia bergegas berlari ke keputren menemui junjungannya. Dayang Selasih pun berbisik pada wanita cantik yang baru melahirkan. “Titah mengerikan, Gusti. Apa yang harus kita lakukan?” “Banjur, Selasih, bawa bayi ini pergi sejauh-jauhnya. Bayiku berhak untuk hidup. Dan bawa semua benda ini. Kelak, benda ini yang akan menguatkan identitasnya di masa depan!” ucap wanita lemah itu dengan air mata menetes. Ia mengalami pendarahan hebat pasca melahirkan bayi pertamanya yang sudah lama ditunggu kelahirannya. Sayangnya, bayi itu lahir tanpa suara. Dan itu adalah aib bagi seluruh keluarganya!. Aki Banjur menggeleng lemah. Dia tak tega memisahkan
"Cepat serahkan penyusup yang kalian sembunyikan!" ujar salah satu penggawa seraya menghunus tombak pada Aryandaru.Semua orang terkejut melihat tiga penggawa kerajaan membentak kasar dengan senjata terhunus. Terlihat Aryandaru hendak menjawab. Namun Mpu Mahisa Purwa lebih dulu bangkit dari amben dan gegas menghampiri ke arah pintu."Lancang! Kalian sudah salah orang! Siapa yang kalian tuduhkan itu? Apa Mahaguru Mahisa Purwa kalian anggap penjahat di Badaskara!" ucap Mahaguru Mpu Mahisa Purwa lantang dengan kedua tangan menyilang di atas bokongnya."Apa? Tidak mungkin! Telik sandi Selir Puspita sudah melapor semalam ada rombongan penyusup dari dukuh Pilar!" balas si Penggawa bersikeras.Seno Wedus nampak geram. Dia membisiki Aryandaru dengan pesan telepatinya. "Kakang, para pengawal yang berdatangan pagi buta ini ternyata antek-anteknya Selir Puspita. Sebaiknya kita habisi saja!"Aryandaru menggeleng pelan dengan sorot mata penuh arti pada Seno Wedus. Raut wajahnya mendadak berubah se
"Nanti saja Raden. Kita harus bergegas keluar dari sini," jawab mahaguru Mpu Mahisa Purwa berbisik. Lelaki renta itu gegas merapal mantra lalu sekejap lenyap dari pandangan mata. "Kakek Guru!" seru Aryandaru dan Seno Wedus bersamaan. Keduanya terlihat kebingungan."Kalian berdua ikuti perkataanku," bisik Aki Banjur seraya mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Kedua tangannya bergerak memutar dengan mulut mulai bersuara mengucapkan mantra sakral ajian lampah bumi.Aryandaru dan Seno Wedus gegas memperhatikan Aki Banjur sesaat."Bopo mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi, Dimas. Ayo kita lakukan!" ucap Aryandaru berbisik."Baik Kakang Pangeran."Aryandaru dan Seno Wedus gegas meniru apa yang dilakukan Aki Banjur dengan kedua mata terpejam. Saat bacaan terakhir matra yang diucapkan Aki Banjur hampir selesai diikuti keduanya....."Maaf Gusti Pangeran! Buuugh!" satu pukulan angin dari telapak tangan Dayang Selasih mendorong keduanya hingga tubuh Aryandaru dan Seno Wedus terlontar masu
"Brengsek! Kalian jangan berani berbuat onar di kedai ini!" maki Brodot seraya mengacungkan pedang ke arah pemuda yang berani menegur Pendekar Jangkrik. Pendekar Jangkrik berusaha bangkit kembali. Wajahnya terlihat garang. Dia menatap Aryandaru penuh kekesalan. "Huh! Pergi sana! Sebelum aku membunuhmu di sini!" "Bunuh saja Kakang!" hasut Pendekar Mprit dengan mulut mencebik. "Sudah tahu miskin masih berani masuk kemari! "Aku tetap akan masuk ke kedai ini, Kisanak. Lihat ini!" ucap Aryandaru mengambil sesuatu dari tangan Aki Banjur. "Plat pelayan khusus seorang mahaguru? Dari mana kamu dapatkan plat itu, Jongos!" maki Brodot kesal melihat kegigihan Aryandaru ingin masuk ke kedai. "Itu milik mahaguru dari Welingan! Beliau memenuhi undangan istana Badaskara atas perintah Gusti Raja Welingan, Gusti Prabu Raden Sadajiwa! Jika kalian menghalangi kami masuk, tunggu saja kemarahan Mpu Guru Mahisa Purwa yang sudah berada di biliknya saat ini!" ucap Aki Banjur dengan suara lebih garang da
"Itu yang belum bisa kupastikan, Ngger! Kita akan selidiki bersama-sama," jawab Mahaguru Mpu Mahisa Purwa dengan nada kecewa. Raden Aryandaru mengangguk pelan. "Tak apa, Kakek Guru. Aku akan menyusun rencana setelah menyambangi makam biyungku. Seperti kata Dimas Seno, Aku akan mengukur kekuatan lawan terlebih dahulu. Untuk itu, aku memerlukan bantuanmu." "Aku sengaja turun gunung hanya untuk menjemputmu, Pangeran," jawab Mpu Mahisa Purwa tersenyum bijak. "Kau akan kupersiapkan menjadi raja terkuat kelak di Badaskara!" "Ya sudah! Tunggu apa lagi! Ayo berangkat, sebelum para penggawa utusan Selir Puspita mengejar sampai kemari!" ujar Nyi Selasih berapi-api. Sorot matanya mengobarkan kebencian saat menyebutkan nama Selir Puspita. "Masih terbayang jelas wajah kesakitan dan kesedihan biyungmu di mataku, Ngger." "Kalo begitu, kita lanjutkan perjalanan ke pesangrahan Teratai Emas milik kerajaan Badaskara. Kebetulan, purnama lalu, Baginda Raja Anggono Darma Parama mengundangku ke istana. D
ARGHHH! Pekik nyaringJoko Rama memecah alam keabadian saat kedua golok berlumuran darah melesat cepat menghampiri masing-masing jari telunjuknya lalu melesap masuk ke dalamnya. "Demi Sang Pencipta Langit dan Bumi! Apakah yang kulihat ini hanya ilusi? Kok bisa golok sebesar lengan Kakang Joko Rama melesap masuk ke dalam jari telunjuknya yang ramping?" gumam Joko Seno dengan mulut setengah menganga. Dia berusaha menenangkan diri lalu kembali memperhatikan proses kultivasi Joko Rama dengan segala kemustahilannya. Joko Rama nampak berusaha bertahan sekuat tenaga agar tak roboh saat kedua telunjuknya menahan rasa sakit yang luar biasa. Terlebih ganggang kepala masing-masing golok lumayan berat dan kokoh. Keringat dingin nampak mengucur di pelipis Joko Rama. Wajahnya memerah akibat menahan kesakitan yang luar biasa. Kedua kakinya nampak berusaha keras agar tetap menapak di bumi hingga gemetar. Akhirnya keseluruhan golok naga iblis dan golok maung iblis berhasil melesap masuk sempurna
"Bopo! Cepat turunkan Aku!" teriak Joko Rama dari atas bahu Aki Banjur yang memanggulnya. Dia tak bisa bergerak akibat terkena totokan Aki Banjur di sekitar jantung. Aki Banjur menoleh sesaat ke belakang lalu gegas menurunkan Joko Rama. "Cepat ikuti Aku!""Mau kemana, Bopo? Biyung Selasih masih ada di gubuk saat kutinggalkan tadi!" tanya Joko Rama bernada cemas. "Jangan banyak tanya, cepat lanjutkan perjalanan sebelum para penggawa itu berhasil mengejar kita." Dari kejauhan dia melihat Nyi Sekar sedang menyusulnya. "Itu Bibi Sekar dan Dimas Seno, Bopo! Tunggulah sebentar." Aki Banjur pun menghentikan langkah, memenuhi permintaan Joko Rama. "Biyung, cepat turunkan Aku!" teriak Seno Wedus saat tahu mereka sudah jauh dari perkampungan. Nyi Sekar menurunkan Seno seraya menggerutu. "Anak nakal! Sudah kubilang jangan keluarkan jurus Rontek Sekilan saat berada di dukuh Lontar! Belum waktunya jurus itu diperlihatkan, Seno!" "Dimas, kau tidak apa-apa kan?" tanya Joko Rama khawatir seray
"Rama! Seno!" teriakan nyaring dari kejauhan membuat para panitia penerimaan calon Penggawa dan sang kakek sama-sama menoleh ke arah belakang. "Bopo," gumam Rama merasa bersalah. Dia melirik sang kakek yang tak dikenalnya penuh tanda tanya."Hei Kakek tua! Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau ikut campur urusan mereka?" tegur Penggawa Tinggi sebagai ketua panitia dengan suara lantang."Kakek, sebaiknya ja-ngan," ucap Rama dengan suara gagap. Kakek tua itu terkejut mendengar suara Joko Rama yang terdengar gagap. Namun kemudian tersenyum puas seraya mengelus janggut putihnya yang sudah memanjang. "Aku adalah kakeknya yang sudah lama belum mengunjunginya." "Ha? Kakek? Mana mungkin Kau adalah kakeknya! Lihat perbedaan kalian! Rama sangat miskin jelek dan bau, sedangkan dirimu terlihat sangat bersih. Pakaianmu saja nampak terbuat dari sutra yang sangat halus!" ucap Somad mendahului para panitia penerimaan calon penggawa. "Bo-po. Be-narkah dia kakekku?" tanya Joko Rama keheranan
“Cepat bunuh bayi itu! Apa yang diharapkan dari seorang bayi cacat. Sangat tidak pantas memiliki segalanya di sini!” titah Selir Puspita pada Bradak Cola, sang pengawal setia. “Baik Gusti Selir!” sahut Bradak Cola cepat. Dia bergegas pergi melaksanakan perintah sang junjungan bersama ketiga anak buahnya. Namun seorang dayang tak sengaja mendengarnya. Dia bergegas berlari ke keputren menemui junjungannya. Dayang Selasih pun berbisik pada wanita cantik yang baru melahirkan. “Titah mengerikan, Gusti. Apa yang harus kita lakukan?” “Banjur, Selasih, bawa bayi ini pergi sejauh-jauhnya. Bayiku berhak untuk hidup. Dan bawa semua benda ini. Kelak, benda ini yang akan menguatkan identitasnya di masa depan!” ucap wanita lemah itu dengan air mata menetes. Ia mengalami pendarahan hebat pasca melahirkan bayi pertamanya yang sudah lama ditunggu kelahirannya. Sayangnya, bayi itu lahir tanpa suara. Dan itu adalah aib bagi seluruh keluarganya!. Aki Banjur menggeleng lemah. Dia tak tega memisahkan