Setelah membeli obat oles memar di apotek, Dathan kembali melakukan mobilnya menuju pasar raya. Kali ini bukan mall tujuannya, tapi pasar tempat dimana orang banyak berada.
"Mau apa ke tempat ini Pak?" tanya Adrina heran.
"Kamu mau basah-basahan kayak gitu ke kantor? Malam ini kita lembur lagi loh," balas Dathan mengingatkan jika beberapa hari ke depan ini jangan harap mereka bisa pulang kerja tepat waktu.
"Ya udah biar saya aja yang belanja. Bapak nanti kesulitan, ramai orang di dalam sana." Adrina hendak turun, namun Datban melarang dengan gelengan kepala.
"Ck, kamu kira saya nggak pernah ke pasar, Adrina? Kamu meremehkan saya," decak Dathan.
"Eh enggak Pak, bukan gitu. Cuma..."
"Tunggu aja di sini, saya belikan kamu persis seperti yang kamu pakai. Ingat, ini di pasar, pasti murah-murah 'kan harganya? Jadi, kamu jangan pelit-pelit."
Awalnya Adrina hendak mengucapkan kalimat lagi, namun mendengar sindiran halus itu membuat mulutnya t
Adrina menjauhkan dirinya saat menyadari sikapnya kali ini berlebihan. Ia tidak seharusnya menyeka hidung Dathan yang jelas pria itu bisa melakukannya sendiri. Memanya siapa dirinya? kekasihnya? bukan, Adrina hanya kekasih palsu yang belum dipublikasikan. Nanti, menunggu momen anniversary perusahaan King Of Store."Mm... maaf Pak Dathan," ucap Adrina sembari menyerahkan sapu tangan bordiran yang ia buat kepada Dathan, kini benda itu sudah di penuhi darah."Nggak papa, sebelumnya thanks buat sapu tangannya. Besok, saya kembalikan ke kamu.""Nggak usah Pak, untuk Bapak aja." Adrina mengibas tangan, ia ikhlas memberikan sapu tangannya. Toh, ia masih memiliki stok yang banyak. Ia malah suka jika seseorang bisa menggunakan sapu tangan buatannya."Jangan begitu, ini pasti berharga buat kamu. Liat, ada ukiran bunga Dandelion. Ini, pasti pemberian seseorang, bukan begitu? saya jarang melihat sapu tangan dengan boardiran yang khas seperti ini." Jujur, Dathan suka
Hampir semua karyawan dari tiap masing-masing departemen menghadiri undangan party yang akan dihadiri oleh kandidat CEO perusahaan. Mereka sangat antusias dan tiba ke restoran yang dimaksud dengan wajah ceria."Seriusan, CEO bakal ikutan party?" tanya salah satu dari mereka yang masih tidak percaya. Cakra yang sudah ada di sana, hanya tersenyum simpul.Sementara Adrina, ia bergabung dengan Cakra namun hanya diam, karena ia memikirkan setelah semua yang telah ia lewati, di depan sana menanti job untuk anniversary dan dirinya malam itu akan menjadi pusat perhatian para hadirin. Malam dimana ia akan diumumkan menjadi kekasih palsunya Dathan."Hei Mbak, kamu nggak enak badan?" Cakra menyenggol pelan lengan Adrina. Seketika Adrina mendongak, lalu menatap Cakra."Nggak Mas, aku tadi cuma mikir mau makan apa dulu, he.""Ya udah tinggal pilih aja, banyakin daging, kita udah kelelahan dan makan kurang teratur akhir-akhir ini.""Iya Mas."
Dathan tahu apa yang terjadi hanya dari ekspersi wajah Cakra yang memucat. Belum lagi matanya yang berkaca-kaca. Pria itu berdiri dihadapan Dathan tanpa berkata apa-apa. Cakra pun sebenarnya sudah memberi pesan lewat Whatsapp kepada Dathan, kalau ia baru saja diputuskan oleh kekasihnya."Ya sudah, tapi kamu naik taksi ya. Aku mau antar Adrina," ucap Dathan. Seolah sudah tidak merasa aneh dengan kebiasaannya mengantar Adrina."Nggak usah Pak Dathan, saya bisa naik taksi kali ini. Lagian, ini bukan karena lembur saya pulang larut," tolak Adrina halus. Bukan karena tidak mau menerima kebaikan dari Dathan, tapi ia sudah merasa tidak enak."Mbak Adrina, sebaiknya diantar aja sama Pak Dathan, mumpung beliau lagi baik," celetuk Cakra yang walau lagi galau sekalipun, masih bisa me-roasting atasannya sendiri."Ya sudah cepetan kamu pulang sana," usir Dathan karena tidak tahan dengan sikap menyebalkan Cakra, belum lagi mulutnya yang tidak bisa dijaga itu.
Deno yang melihat kedatangan Pamannya itu seketika berhambur memeluk Dathan. Anak kecil itu terlihat berbinar matanya. "Yey, aku tau Om pasti nepatin janjinya," ujarnya sembari melirik Ibunya yang hanya tersenyum."Emang Mamamu bilang Om nggak bener-bener ajak kamu main keluar pekan ini?""Mama bilang Om sibuk banget, bisa jadi nggak bakal sempet ajak aku jalan-jalan.""Ya emang Om kamu ini sibuk, tapi kalau untuk seorang Deno, apa yang nggak?" Dathan menjawil hidung keponakannya."Gimana kabarmu?" Tiffany bertanya, mereka kini mengambil rehat sejenak di balkon lantai tiga. Dimana tidak ada seorang pun yang akan berkunjung ke sana, termasuk Nyonya Jesika sekalipun. Pasalnya, setelah Ayahnya meninggal, Dathan membuat perjanjian dengan Nyonya Jesika, agar tidak mengganggu Kakaknya. Atau ia akan menyetop biaya kuliah untuk adik tirinya."Seperti yang kamu lihat Kak. Oh ya, kamu gimana? apa sudah merasa baikkan akhir-akhir ini?""Sudah lumayan,
"Pak Dathan," lirih Adrina saat ia melihat seorang lelaki yang tidak asing itu kini menatapnya di depan kedai."Hai." Dathan menyapa sembari melambaikan tangannya kaku. Sementara Tiffany tersenyum sembari menganggukkan kepalanya sopan. Meski ia keturunan old money, tapi orang tuanya selalu mengajarkan sopan santun kepada siapapun, meski penjual jajajan pinggir jalan."Kak Loli, ini aku, masih inget?" tanya Deno ke arah Adrina."Oh kamu yang waktu itu beli es krim? sempet foto juga 'kan?""Yeah, itu aku. Kak Loli, kenapa sekarang nggak jualan ice cream lagi?" tanya Deno polos. Adrina mengaitkan anak rambutnya ke belakang, lalu tersenyum sangat manis."Kak Loli udah nggak jualan es krim lagi sayang, sekarang ganti jadi jualan sea food. Kamu mau?" tawar Adrina."Tentu, Ma pengen sosis ya?""Itu makanan olahan sayang, itu--""Kak, sekali aja?" Dathan menyenggol lengan Kakaknya. Tiffany mengerti, ia tersenyum pada Adrina
"Untuk undangan ini, kamu susah payah di jam kerja datang ke perusahaan?" tunjuk Dathan pada undangan yang tergeletak di mejanya. Brenda menatap kuku-kukunya yang akhir pekan kemarin baru di manicure padicure."Yeah, sekalian aku mau ketemu kamu, coz i miss you," ucap Brenda sembari berjalan melenggokkan badan dan duduk di sofa. Ia menatap sekeliling ruangan Dathan."Bukankah kita seharusnya nggak bertemu lagi Brenda? apalagi sudah tidak ada kerja sama apapun antara perusahaan ini dan perusahaan Ayahmu?" tanya Dathan."Hei hei, kamu lupa? bagaimana pun, akulah yang Kakekmu restui buat jadi calon istrimu.""Itu dulu, sekarang aku memilih calon istriku sendiri. Sudahlah Brenda, menyerahlah dengan ambisimu dan nikahi pria yang kamu sukai di luar sana."Brenda tertawa, kemudian ia berdiri. Badannya sudah seperti cacing saja, tidak bisa anteng. Kini berjalan mendekat ke arah Dathan. Jemarinya menyisir meja yang bening tanpa debu itu, kamudian telunjukny
Malam ini Adrina tidak perlu pusing-pusing untuk memikirkan gaun yang akan ia kenakan. Untunglah ia sudah bertanya dan memastikan kepada Dathan, kalau ia tidak perlu memakai dress code atau apapun itu seperti halnya orang-orang yang pergi menghadiri pesta para konglomerat."Asalkan pakaian yang sopan, layak pakai dan tidak lebih wah dari pengantin," balas Dathan kala itu. Ia tidak menyangka jawaban itu akan keluar dari mulut CEO yang maunya perfect selalu itu."Serius? nggak harus pakai yang glamor-glamor?" Adrina terkejut."Emang kamu yang jadi pengantin?" decak Dathan sembari menggelengkan kepala. Memangnya datang ke pernikahan harus se-glamour apa? apa maksud Adrina memakai gaun-gaun seksi yang dadanya terbelah itu?"Baik Pak, saya siap datang kalau gitu," ucap Adrina antusias. Ia senang jika tidak harus bersusah payah memilah pakaian yang 'layak pakai' bagi para konglomerat.Adrina memakai tas selempangnya yang jauh dari kata bermer
Adrina menguntit seorang staf hotel yang membawa nampan berisi beberapa minuman. Ia curiga kalau dalam minuman itu telah dibubuhi sesuatu dan ditujukan untuk Dathan.“Jangan-jangan mau ngeracunin CEO,” batin Adrina. Ia tidak bisa tinggal diam, apalagi saat wanita berseragam rok hitam dan hem putih itu mendekat ke arah gerombolan wanita-wanita dengan Dathan yang berada di samping Brenda.“Nggak usah main rahasia-rahasiaanlah,” ejek teman-temannya Brenda, sembari mengedip-ngedipkan mata.“Yeah, we will publicate it soon,” ujar Brenda dengan percaya diri sembari menggandeng Dathan. Namun, Dathan perlahan melepaskannya karena merasa tidak nyaman.“Kalau kamu begini terus, sebaiknya aku batalkan saja kerja samanya,” bisik Dathan, sebenarnya ia tidak serius, hanya memperingatkan Brenda agar menjaga batasan.Staf hotel itu tiba dengan senyuman, tidak lupa membuat kontak mata dengan Brenda yang merupakan otak