Adrina menyusuri bahu jalan sembari sesekali mengusap pipinya yang masih terasa perih bekas tamparan wanita bernama Brenda. Sesekali ia melihat ke atas langit demi menahan air matanya agar tidak keluar. Meski dirinya terlihat kuat di luar, tapi sebenarnya ia masih belum kuat untuk menerima kekerasan.
Tamparan seperti ini bukan kali pertama dilakukan seseorang padanya, dulu Tigor pun kerap melakukannya. Bahkan, lelaki itu bisa mencekiknya hingga membuat nafasnya sesak dan terasa ingin mati. Namun, tetap saja jika terjadi hal seperti ini lagi, rasanya masih sama, sakit.
"Ada es batu?" tanya Adrina kepada penjual toko serba ada. Seorang wanita muda mengangguk, lalu berjalan ke arah pendingin dan mengambilkan es batu untuk Adrina.
"Sekalian hansaplast juga," imbuh Adrina seraya menunjuk produk untuk menutupi luka. Pasalnya setelah ia berkaca tadi, ia melihat seberkas luka di sudut bibirnya. Pantas saja terasa berdenyut terus menerus. Ternyata begitu keras tamp
Setelah membeli obat oles memar di apotek, Dathan kembali melakukan mobilnya menuju pasar raya. Kali ini bukan mall tujuannya, tapi pasar tempat dimana orang banyak berada."Mau apa ke tempat ini Pak?" tanya Adrina heran."Kamu mau basah-basahan kayak gitu ke kantor? Malam ini kita lembur lagi loh," balas Dathan mengingatkan jika beberapa hari ke depan ini jangan harap mereka bisa pulang kerja tepat waktu."Ya udah biar saya aja yang belanja. Bapak nanti kesulitan, ramai orang di dalam sana." Adrina hendak turun, namun Datban melarang dengan gelengan kepala."Ck, kamu kira saya nggak pernah ke pasar, Adrina? Kamu meremehkan saya," decak Dathan."Eh enggak Pak, bukan gitu. Cuma...""Tunggu aja di sini, saya belikan kamu persis seperti yang kamu pakai. Ingat, ini di pasar, pasti murah-murah 'kan harganya? Jadi, kamu jangan pelit-pelit."Awalnya Adrina hendak mengucapkan kalimat lagi, namun mendengar sindiran halus itu membuat mulutnya t
Adrina menjauhkan dirinya saat menyadari sikapnya kali ini berlebihan. Ia tidak seharusnya menyeka hidung Dathan yang jelas pria itu bisa melakukannya sendiri. Memanya siapa dirinya? kekasihnya? bukan, Adrina hanya kekasih palsu yang belum dipublikasikan. Nanti, menunggu momen anniversary perusahaan King Of Store."Mm... maaf Pak Dathan," ucap Adrina sembari menyerahkan sapu tangan bordiran yang ia buat kepada Dathan, kini benda itu sudah di penuhi darah."Nggak papa, sebelumnya thanks buat sapu tangannya. Besok, saya kembalikan ke kamu.""Nggak usah Pak, untuk Bapak aja." Adrina mengibas tangan, ia ikhlas memberikan sapu tangannya. Toh, ia masih memiliki stok yang banyak. Ia malah suka jika seseorang bisa menggunakan sapu tangan buatannya."Jangan begitu, ini pasti berharga buat kamu. Liat, ada ukiran bunga Dandelion. Ini, pasti pemberian seseorang, bukan begitu? saya jarang melihat sapu tangan dengan boardiran yang khas seperti ini." Jujur, Dathan suka
Hampir semua karyawan dari tiap masing-masing departemen menghadiri undangan party yang akan dihadiri oleh kandidat CEO perusahaan. Mereka sangat antusias dan tiba ke restoran yang dimaksud dengan wajah ceria."Seriusan, CEO bakal ikutan party?" tanya salah satu dari mereka yang masih tidak percaya. Cakra yang sudah ada di sana, hanya tersenyum simpul.Sementara Adrina, ia bergabung dengan Cakra namun hanya diam, karena ia memikirkan setelah semua yang telah ia lewati, di depan sana menanti job untuk anniversary dan dirinya malam itu akan menjadi pusat perhatian para hadirin. Malam dimana ia akan diumumkan menjadi kekasih palsunya Dathan."Hei Mbak, kamu nggak enak badan?" Cakra menyenggol pelan lengan Adrina. Seketika Adrina mendongak, lalu menatap Cakra."Nggak Mas, aku tadi cuma mikir mau makan apa dulu, he.""Ya udah tinggal pilih aja, banyakin daging, kita udah kelelahan dan makan kurang teratur akhir-akhir ini.""Iya Mas."
Dathan tahu apa yang terjadi hanya dari ekspersi wajah Cakra yang memucat. Belum lagi matanya yang berkaca-kaca. Pria itu berdiri dihadapan Dathan tanpa berkata apa-apa. Cakra pun sebenarnya sudah memberi pesan lewat Whatsapp kepada Dathan, kalau ia baru saja diputuskan oleh kekasihnya."Ya sudah, tapi kamu naik taksi ya. Aku mau antar Adrina," ucap Dathan. Seolah sudah tidak merasa aneh dengan kebiasaannya mengantar Adrina."Nggak usah Pak Dathan, saya bisa naik taksi kali ini. Lagian, ini bukan karena lembur saya pulang larut," tolak Adrina halus. Bukan karena tidak mau menerima kebaikan dari Dathan, tapi ia sudah merasa tidak enak."Mbak Adrina, sebaiknya diantar aja sama Pak Dathan, mumpung beliau lagi baik," celetuk Cakra yang walau lagi galau sekalipun, masih bisa me-roasting atasannya sendiri."Ya sudah cepetan kamu pulang sana," usir Dathan karena tidak tahan dengan sikap menyebalkan Cakra, belum lagi mulutnya yang tidak bisa dijaga itu.
Deno yang melihat kedatangan Pamannya itu seketika berhambur memeluk Dathan. Anak kecil itu terlihat berbinar matanya. "Yey, aku tau Om pasti nepatin janjinya," ujarnya sembari melirik Ibunya yang hanya tersenyum."Emang Mamamu bilang Om nggak bener-bener ajak kamu main keluar pekan ini?""Mama bilang Om sibuk banget, bisa jadi nggak bakal sempet ajak aku jalan-jalan.""Ya emang Om kamu ini sibuk, tapi kalau untuk seorang Deno, apa yang nggak?" Dathan menjawil hidung keponakannya."Gimana kabarmu?" Tiffany bertanya, mereka kini mengambil rehat sejenak di balkon lantai tiga. Dimana tidak ada seorang pun yang akan berkunjung ke sana, termasuk Nyonya Jesika sekalipun. Pasalnya, setelah Ayahnya meninggal, Dathan membuat perjanjian dengan Nyonya Jesika, agar tidak mengganggu Kakaknya. Atau ia akan menyetop biaya kuliah untuk adik tirinya."Seperti yang kamu lihat Kak. Oh ya, kamu gimana? apa sudah merasa baikkan akhir-akhir ini?""Sudah lumayan,
"Pak Dathan," lirih Adrina saat ia melihat seorang lelaki yang tidak asing itu kini menatapnya di depan kedai."Hai." Dathan menyapa sembari melambaikan tangannya kaku. Sementara Tiffany tersenyum sembari menganggukkan kepalanya sopan. Meski ia keturunan old money, tapi orang tuanya selalu mengajarkan sopan santun kepada siapapun, meski penjual jajajan pinggir jalan."Kak Loli, ini aku, masih inget?" tanya Deno ke arah Adrina."Oh kamu yang waktu itu beli es krim? sempet foto juga 'kan?""Yeah, itu aku. Kak Loli, kenapa sekarang nggak jualan ice cream lagi?" tanya Deno polos. Adrina mengaitkan anak rambutnya ke belakang, lalu tersenyum sangat manis."Kak Loli udah nggak jualan es krim lagi sayang, sekarang ganti jadi jualan sea food. Kamu mau?" tawar Adrina."Tentu, Ma pengen sosis ya?""Itu makanan olahan sayang, itu--""Kak, sekali aja?" Dathan menyenggol lengan Kakaknya. Tiffany mengerti, ia tersenyum pada Adrina
"Untuk undangan ini, kamu susah payah di jam kerja datang ke perusahaan?" tunjuk Dathan pada undangan yang tergeletak di mejanya. Brenda menatap kuku-kukunya yang akhir pekan kemarin baru di manicure padicure."Yeah, sekalian aku mau ketemu kamu, coz i miss you," ucap Brenda sembari berjalan melenggokkan badan dan duduk di sofa. Ia menatap sekeliling ruangan Dathan."Bukankah kita seharusnya nggak bertemu lagi Brenda? apalagi sudah tidak ada kerja sama apapun antara perusahaan ini dan perusahaan Ayahmu?" tanya Dathan."Hei hei, kamu lupa? bagaimana pun, akulah yang Kakekmu restui buat jadi calon istrimu.""Itu dulu, sekarang aku memilih calon istriku sendiri. Sudahlah Brenda, menyerahlah dengan ambisimu dan nikahi pria yang kamu sukai di luar sana."Brenda tertawa, kemudian ia berdiri. Badannya sudah seperti cacing saja, tidak bisa anteng. Kini berjalan mendekat ke arah Dathan. Jemarinya menyisir meja yang bening tanpa debu itu, kamudian telunjukny
Malam ini Adrina tidak perlu pusing-pusing untuk memikirkan gaun yang akan ia kenakan. Untunglah ia sudah bertanya dan memastikan kepada Dathan, kalau ia tidak perlu memakai dress code atau apapun itu seperti halnya orang-orang yang pergi menghadiri pesta para konglomerat."Asalkan pakaian yang sopan, layak pakai dan tidak lebih wah dari pengantin," balas Dathan kala itu. Ia tidak menyangka jawaban itu akan keluar dari mulut CEO yang maunya perfect selalu itu."Serius? nggak harus pakai yang glamor-glamor?" Adrina terkejut."Emang kamu yang jadi pengantin?" decak Dathan sembari menggelengkan kepala. Memangnya datang ke pernikahan harus se-glamour apa? apa maksud Adrina memakai gaun-gaun seksi yang dadanya terbelah itu?"Baik Pak, saya siap datang kalau gitu," ucap Adrina antusias. Ia senang jika tidak harus bersusah payah memilah pakaian yang 'layak pakai' bagi para konglomerat.Adrina memakai tas selempangnya yang jauh dari kata bermer
Sebulan kemudian berjalan lebih cepat bagi Dathan. Ia benar-benar panik sekarang, meski hatinya terus menerus menolak dan menyangkal untuk menikahi Brenda, namun nyatanya keadaan membuatnya harus berada di sebuah ruangan VVIP dan kini sedang didandani menjadi pengantin pria.Brenda menelponnya berkali-kali, namun belum ia angkat sama sekali. Dathan sibuk mondar mandir, ia bingun meminta pertolongan pada siapa lagi, karena orang-orang tidak akan ada yang bisa membantunya. Ya, Cakra pria itu hanya meminta Dathan untuk sabar dan menerima semuanya, karena nanti setelah menikah dengan Brenda, pria itu tidak perlu cemas akan posisi CEO, karena Dathan lah pemenangnya. Meminta tolong kepada Tiffany, sangat tidak mungkin. Wanita itu tidak bisa dilibatkan dalam hal ini, sudah cukup permasalahan hidupnya selama ini. Sinar? ah Adiknya bahkan belum terlihat hari ini entah dimana keberadaannya, teleponnya pun tidak aktif.Sebuah ketukan pintu membuat Dathan terlonjak, ia takut jika yang datang adal
"Kenapa kamu ningalin aku kemarin?" tanya Brenda mengintimidasi."Sinar hampir diculik," jawab Dathan. Brenda mengernyitkan keningnya."Terus, mana dia sekarang?""Dia lagi istirahat di kamar. Kamu mau apa ke sini? hari ini jadwalku istirahat, sebelum besok kami pulang lagi ke Jakarta.""Jangan bilang kalian sekamar?" tebak Brenda, wanita itu memaksa ingin masuk ke dalam kamar namun Dathan menahannya. Tidak ingin sang Adik yang tengah sakit terganggu."Kenapa? dia adikku.""Dathan, ayolah meski dia adikmu. Tapi, kalian udah sama-sama dewasa. Apalagi perhatian kamu sama Sinar itu posesif banget, berlebihan, wanita mana yang nggak cemburu, meskipun itu istrimu, kalau perhatianmu selalu tertuju pada adikmu itu ha?" Brenda mengeluarkan unek-uneknya. Bukan hal yang wajah jika seorang Kakak terlalu memperhatikan adiknya, sedangkan kekasihnya tidak. Memangnya yang bakal menemani pria itu suka duka siapa nantinya? tentu seseorang yang saat ini adalah kekasihnya dan di masa depan akan menjadi
Adrina terjatuh ke tanah, seolah kembali mengingat masa lalunya di mana Tigor selalu melakukan kekerasan padanya, entah itu mencekiknya, memukulnya atau menamparnya dan terakhir kali lelaki itu membuat pakaiannya robek dan memalak isi dompetnya. Ia merasa sudah aman dari Tigor, namun ternyata hidupnya kembali dipertemukan dengan sosok-sosok menyeramkan ini."Tolong! tolong! ada orang jahat di sini!" teriak Adrina kencang. Ia berharap ada warga yang lewat dan menolongnya."Bawa ke markas kita aja gimana?" tanya pria yang memegang tas Adrina, ia tidak ingin berurusan dengan masyarakat jika memperkosa wanita ditempat yang sepi namun ini dekat pasar."Yok."Dathan berusaha menghubungi adiknya, namun teleponnya tidak terjawab sama sekali. Ia panik, lelaki itu memilih meninggalkan Brenda yang asyik melihat sungai di Siring, sementara ia diam-diam ke Pasar demi menyusul Sinar."Sinar, kamu dimana?" gumam Dathan cemas, "Kamu ga boleh hilang lagi, Dek."Tolong! tolong! ada orang jahat!Lepasin
Brenda sangat senang karena Dathan mau menuruti keinginannya untuk berkeliling kota Banjarmasin, padahal tanpa Brenda tahu Dathan mau diajak jalan-jalan adalah karena adiknya juga mau ikut untuk melakukan healing setelah tiga hari menemaninya menemui klien dengan waktu yang cukup panjang dan melelahkan, observasi ke berbagai tempat, menaiki gedung berlantai lima yang sudah jadi, hingga menyusuri lahan gambut yang masih luas dan berair."Loh, Sinar kamu mau ikut kami jalan-jalan juga?" Brenda bertanya dengan heran, pasalnya saat ia menjemput Dathan di kamarnya, lelaki itu sudah bercengkarama saja dengan sang Adik."Iya Brenda, masa kita jalan-jalan, Sinar diem aja di kamar? harus ikut dong.""Ih, tapi 'kan kita kencan berdua Dathan, masa ada Adek kamu," lirikan mata diberikan oleh Brenda kepada Adrina, membuat wanita itu merasa tidak nyaman."Aku baca di internet, kalau Sudi Mampir itu luas, ada Jembatannya juga yang dari atas sana kita bisa liat orang-ora
Saat di dalam pesawat terbang kelas Bisnis yang membuatnya bisa leluasa tertidur. Meski perjalanan hanya butuh waktu satu jam, namun karena fisik dan psikisnya benar-benar kelelahan, Adrina tertidur di samping Dathan.Sementara Dathan, lelaki itu lebih memilih menikmati jingga di atas langit, karena keberangkatan mereka sore. Awan-awan mulai menggelap dan meliputi jendela pesawat, membuat Dathan akhirnya mengalihkan pandangan ke arah adiknya yang ternyata sudah pulas tertidur setelah memakan cemilan yang disediakan oleh pramugari."Adikku emang cantik," puji Dathan, lelaki itu tersenyum lalu membelai pipi sang adik. Walau baru beberapa bulan mereka berstatus sebagai Kakak Adik, tapi Dathan sudah sangat menyayangi Adrina. Gadis ini polos, walau ia dulu mengenalnya sebagai gadis kuat dan pantang menyerah, namun setelah lebih dekat Adrina membuatnya selalu merasa gemas."Lelaki mana yang pantas untukmu ya? aku bahkan sulit menentukkan, teman-temanku sekali pu
Adrina kini sudah berada di meja sekretaris dengan tatapan kosong. Namun, pikirannya sebenarnya tidak bisa diam, ia terus menerus kepikiran mengenai fakta bahwa dirinya bukanlah adik Dathan, pantas saja selama ini ia tidak bisa nyaman dan merasa benar-benar bersaudara dengan lelaki itu."Adrina," panggil Dathan, ternyata sudah dua menit dua lelaki memperhatikan dirinya yang bengong."Eh iya Pak?" jawab Adrina, sedikit terbata, pasalnya ia terkejut melihat Dathan dan Cakra melihatnya sembari menopang dagu."Ngelamun lagi? kenapa sih, Kakak perhatikan akhir-akhir ini kamu ngelamun terus, kenapa Dek?" tanya Dathan."Mungkin lagi kepikiran mau check out apa? ya nggak Mbak Adrina?" gurau Cakra, Adrina seketika terkekeh."Ya, aku kepikiran mau belanja online, Mas Cakra bener.""Masa sampe ngelamunnya lama gitu? nggak nyadar kalau Kakakanya sudah berdiri lebih dari dua menit di sini?""Oh ya? maaf aku nggak sadar.""Cakra, ambilkan minum.""Siap Bos."Cakra bergegas menuju ruang CEO dan memba
Adrina berjalan lunglai ke kediaman keluarga King Of Store. Wajahnya lusu, bibirnya terlihat pucat pasi. Ini bukan lagi dugaan yang tidak berdasar, dirinya memang bukanlah adik dari seorang Dathan. Sepertinya ada yang tidak beres dengan apa yang terjadi, awal mula ia dinyatakan sebagai bagian dari King Of Store adalah karena Nyonya Jesika, apakah wanita itu yang telah memalsukan data dirinya?"Dari mana aja kamu?" Nyonya Jesika sudah berdiri tepat di balik pintu, wanita itu memindai penampilan Adrina dari atas ke bawah. Wanita itu terlihat kacau, meski memakai pakaian bermerk produksi dari Label Isabel Marant, berupa Bedrissa Floral Shirt, dipadukan dengan celana kain dari Gucci. Adrina menatap Nyonya Jesika, menelisik wajah yang selalu terlihat seram dan mengintimidasi, apa sebenarnya yang menjadi alasan wanita tua itu membuatnya menjadi bagian dari King Of store?"Kenapa kamu menatapku seperti itu? apa kamu lupa kalau aku Ibumu di sini Sinar Putri Harrison?""Nyonya Jesika," panggil
Akhir pekan ini Adrina memilih untuk bolos les, ia bahkan tidak ikut sarapan bersama keluarga King Of Store. Kepalanya sudah dipenuhi dengan kekhawatiran dengan berbagai kemungkinan, bagaimana jika dirinya bukan bagian dari keluarga besar itu?"Adrina mana?" Nyonya Jesika bertanya, Dathan sudah ada di sana."Aku ga liat dia keluar dari kamar," jawab Dathan."Em nyonya, nona Adrina keluar rumah subuh sekali," jawab asisten rumah itu. "Apa? jadi dia udah niat bolos les dari pagi?" Jesik terlihat tidak suka. Dathan menatap Ibu tirinya, sebenarnya ia juga baru tahu jika adiknya sudah tidak ada di kamarnya, jika tahu begitu mungkin ia tidak akan ikut sarapan pagi ini."Dathan, kamu tau Komisaris mau kamu temuin dia?""Ya tau, tapi aku lagi sibuk sama pekerjaan kantor.""Jangan beralasan, kalau kamu cuma mau ngehindar perjodohan."Perkataan Ibu tirinya berhasil membuat Dathan menurunkan sendok dan garpunya, mendadak ia tidak selera makan. "Bu, aku harap kamu jangan ikut campur lagi urusan p
“Halo Kak, maaf tadi bateraiku lowbet, jadi aku ngecas dulu di tempat makan. Kamu udah selesai nontonnya?” tanya Adrina merasa bersalah, karena ponselnya ternyata mati dan ia baru saja mengisinya. Pasti Dathan sudah mencari-carinya pikirnya, karena tanpa terasa ia dan teman-temannya mengobrol cukup lama.“Iya, restoran yang mana?”“Restoran Indonesia Kak.”“Kakak ke sana.”“Brenda kalau kamu capek, pulang aja.” Dathan menoleh ke arah Brenda yang juga ikut mencari adiknya. Wanita itu mendengus.“Kenapa? Apa kamu ga pengen diganggu karena mau berudaan terus sama adik barumu itu?” tebak Brenda.“Aku pikir kamu juga butuh istirahat, besok masih harus masuk kerja.”“Baiklah, aku tau kamu perhatian. Tapi, Dathan antarkan aku ya? soalnya aku tadi sama supir dari rumah, jadi mobilku dibawa lagi. Ya?” Wanita itu beralasan dengan diantar oleh Dathan.“Tapi aku harus nemuin Sinar, gimana bisa antar kamu sekarang.”“Ya udah, temuin dia dulu, terus kita pulang dan anter aku. Apa susahnya?”Adrina b