"Pak Dathan," lirih Adrina saat ia melihat seorang lelaki yang tidak asing itu kini menatapnya di depan kedai.
"Hai." Dathan menyapa sembari melambaikan tangannya kaku. Sementara Tiffany tersenyum sembari menganggukkan kepalanya sopan. Meski ia keturunan old money, tapi orang tuanya selalu mengajarkan sopan santun kepada siapapun, meski penjual jajajan pinggir jalan.
"Kak Loli, ini aku, masih inget?" tanya Deno ke arah Adrina.
"Oh kamu yang waktu itu beli es krim? sempet foto juga 'kan?"
"Yeah, itu aku. Kak Loli, kenapa sekarang nggak jualan ice cream lagi?" tanya Deno polos. Adrina mengaitkan anak rambutnya ke belakang, lalu tersenyum sangat manis.
"Kak Loli udah nggak jualan es krim lagi sayang, sekarang ganti jadi jualan sea food. Kamu mau?" tawar Adrina.
"Tentu, Ma pengen sosis ya?"
"Itu makanan olahan sayang, itu--"
"Kak, sekali aja?" Dathan menyenggol lengan Kakaknya. Tiffany mengerti, ia tersenyum pada Adrina
"Untuk undangan ini, kamu susah payah di jam kerja datang ke perusahaan?" tunjuk Dathan pada undangan yang tergeletak di mejanya. Brenda menatap kuku-kukunya yang akhir pekan kemarin baru di manicure padicure."Yeah, sekalian aku mau ketemu kamu, coz i miss you," ucap Brenda sembari berjalan melenggokkan badan dan duduk di sofa. Ia menatap sekeliling ruangan Dathan."Bukankah kita seharusnya nggak bertemu lagi Brenda? apalagi sudah tidak ada kerja sama apapun antara perusahaan ini dan perusahaan Ayahmu?" tanya Dathan."Hei hei, kamu lupa? bagaimana pun, akulah yang Kakekmu restui buat jadi calon istrimu.""Itu dulu, sekarang aku memilih calon istriku sendiri. Sudahlah Brenda, menyerahlah dengan ambisimu dan nikahi pria yang kamu sukai di luar sana."Brenda tertawa, kemudian ia berdiri. Badannya sudah seperti cacing saja, tidak bisa anteng. Kini berjalan mendekat ke arah Dathan. Jemarinya menyisir meja yang bening tanpa debu itu, kamudian telunjukny
Malam ini Adrina tidak perlu pusing-pusing untuk memikirkan gaun yang akan ia kenakan. Untunglah ia sudah bertanya dan memastikan kepada Dathan, kalau ia tidak perlu memakai dress code atau apapun itu seperti halnya orang-orang yang pergi menghadiri pesta para konglomerat."Asalkan pakaian yang sopan, layak pakai dan tidak lebih wah dari pengantin," balas Dathan kala itu. Ia tidak menyangka jawaban itu akan keluar dari mulut CEO yang maunya perfect selalu itu."Serius? nggak harus pakai yang glamor-glamor?" Adrina terkejut."Emang kamu yang jadi pengantin?" decak Dathan sembari menggelengkan kepala. Memangnya datang ke pernikahan harus se-glamour apa? apa maksud Adrina memakai gaun-gaun seksi yang dadanya terbelah itu?"Baik Pak, saya siap datang kalau gitu," ucap Adrina antusias. Ia senang jika tidak harus bersusah payah memilah pakaian yang 'layak pakai' bagi para konglomerat.Adrina memakai tas selempangnya yang jauh dari kata bermer
Adrina menguntit seorang staf hotel yang membawa nampan berisi beberapa minuman. Ia curiga kalau dalam minuman itu telah dibubuhi sesuatu dan ditujukan untuk Dathan.“Jangan-jangan mau ngeracunin CEO,” batin Adrina. Ia tidak bisa tinggal diam, apalagi saat wanita berseragam rok hitam dan hem putih itu mendekat ke arah gerombolan wanita-wanita dengan Dathan yang berada di samping Brenda.“Nggak usah main rahasia-rahasiaanlah,” ejek teman-temannya Brenda, sembari mengedip-ngedipkan mata.“Yeah, we will publicate it soon,” ujar Brenda dengan percaya diri sembari menggandeng Dathan. Namun, Dathan perlahan melepaskannya karena merasa tidak nyaman.“Kalau kamu begini terus, sebaiknya aku batalkan saja kerja samanya,” bisik Dathan, sebenarnya ia tidak serius, hanya memperingatkan Brenda agar menjaga batasan.Staf hotel itu tiba dengan senyuman, tidak lupa membuat kontak mata dengan Brenda yang merupakan otak
Part 31“Wow!” seru Cakra terkejut melihat pemandangan aneh dihadapannya. Bukannya terlihat romantis, justru momen itu terkesan lucu dan akward.Dathan mendorong tubuh Adrina dari atasnya, sembari meminta bantuan pada asistennya. “Cakra jangan bengong, bantu aku.”“Oh iya Bos,” balasnya cepat, lalu membantu membuat Adrina yang setengah pingsan itu berdiri. Dathan berdiri perlahan, ia mengelap bibirnya yang basah dan terkejut begitu melihat darah dijari jempolnya.“Berdarah itu Bos, sakit banget ya? kok bisa kayak gitu tadi?” tanya Cakra khawatir. Ia tidak mengerti mengapa posisi Adrina dan Dathan begitu.“Udah nanti aja bahasnya, yang penting sekarang kamu bawa dia ke mobil. Aku pusing.” Dathan melangkah lebih dulu mendahului Cakra, sembari sesekali mengusap bibirnya yang terasa jontor. Ia melihat ke arah spion mobilnya, benar saja bibirnya seperti habis melahap cabai leve
Part 32“Oke nggak masalah, atasin aja masalah itu secepatnya. Kalau dia masih protes sama harga sebelumnya, biar aku nanti nemuin dia.”“Siap.”Dathan menggelengkan kepala, pasalnya cleaning service rutin bulanan untuk rumahnya meminta kenaikan gaji, padahal bulan kemarin sudah ia turuti permintaannya.“Kita berangkat berdua aja, Adrina. Kamu pesenkan taksi.”Adrina yang kini sedang sibuk melakukan filing dokumen di ruangan CEO itu mengangguk, lalu segera mengakhiri pekerjaannya.Mereka berdua pergi ke sebuah acara amal yang di sponsori oleh King Of Store. Acara itu khusus para pengemis jalanan, fakir miskin dan orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan. Mereka bebas makan gratis dan diberi souvenir berupa pakaian kasual yang stoknya banyak dan produk khas dari King Of Store sendiri.“Ini diadakan tiap tahun Pak?” tanya Adrina, seraya mengitari sekeliling. Acar
Part 33“Dimana Nyonya Jesika?” tanya Dathan cepat. Lelaki dengan setelan jas yang rapi itu seketika berdiri.“Di ruangan Bapak. Dia nunggu Bapak untuk mengambil keputusan, mengumumkan bahwa Sinar telah ditemukan saat penyambutan nanti.”Dathan berlari cepat dari aula perusahaan menuju ruangannya. Adrina yang saat itu sempat melihat atasannya dan hendak menyapa tidak jadi, karena tatapan Dathan terlihat berkaca, pria itu bahkan hampir menabrak beberapa karyawan.“Mas Cakra, ada apa? kenapa Pak Dathan lari-lari begitu?” Adrina berhasil mengehntikan asisten Dathan. Cakra menatap Adrina, kemudian tersenyum.“Nanti kamu juga tau, ini urusan pribadi CEO.”Mendengar kalimat itu, akhirnya Adrina hanya bisa tutup mulut, tidak berani untuk bertanya lebih. Entah apa yang membuat Dathan terlihat terburu-buru seperti tadi. Urusan pribadi? Ya tidak seharusnya Adrina penasaran.Pintu ruangan CEO terbuka, menampilkan Dathan yang berusaha mengatur nafas karena berlarian. Nyonya Jesika terlihat duduk
Adrina hanya terpaku sembari menatap kosong ke depan. Ia masih belum bisa percaya akan apa yang dipaparkan oleh Dathan. Mengapa pria itu begitu yakin kalau dirinya adalah Adik dari seorang CEO muda perusahaan King Of Store.“Kamu bisa baca semua dokumen yang ada ini. Ibuku tidak mungkin asal dan dia memiliki orang kepercayaan yang bisa diandalkan, Adrina.”Masih dengan posisinya, bergeming dan perlahan air matanya menitik. Adrina bingung ia harus mengekspresikannya dengan cara apa. Apa benar dirinya adalah bagian dari keluarga Dathan? Neneknya pernah mengatakan bahwa orang tuanya telah meninggal.“Jadi, maksudmu Nenekku selama ini berbohong?”Dathan mengangguk. “Nenekmu pasti punya alasan, Adrina.”“Aku mau tanya, saat setelah tragedi itu, apa kamu mencari adikmu?”“Ya, waktu itu Ayahku mencari kamu, menempel fotomu dimana-mana, bahkan dijalanan banjir dengan spanduk pencarian orang hilang.”“Kenapa Nenekku saat itu tidak melaporkan aku ke polisi kalau memang benar aku bukan cucu asl
Rumah besar dan mewah dihadapannya membuat Adrina terpaku sejenak. Bangunan bernuansa putih dengan pagar balkon warna hitam, halaman yang dipenuhi rumput hijau premium, pot-pot bunga berjejer dan masing-masing dengan jenis yang berbeda. Kemudian lampu-lampu berwarna gold yang menggangung besar di atas balkon itu seolah menjadi icon betapa mewahnya rumah ini.“Adrina,” panggil Dathan karena wanita itu malah terdiam ditempat.“Selamat datang dirumah kami dan sekarang jadi rumah kamu juga.”Adrina menatap Dathan kemudian Tiffany bergantian, sedangkan Nyonya Jesika sudah masuk ke dalam. Wanita itu tidak tahan berlama-lama diluar, karena malam semakin larut. Ia sudah merasa pegal sejak dikontrakan Neneknya Adrina karena tidak bisa duduk dengan baik.“Adrina, kamu sekarang adalah adikku. Boleh aku peluk kamu, aku berusaha menahannya sejak dari rumah Nenekmu,” tutur Tiffany dengan lemah lembut. Adrina tersenyum canggung namun mengangguk.Mereka berdua berpelukan dengan erat, terutanma Tiffan