Share

88. Penobatan

Penulis: A.R. Ubaidillah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
“Aku putuskan Arya Nandika akan menjadi Patih Astagina yang baru!” seru Prabu Ranajaya begitu yakin. Semua yang hadir di tempat itu terdiam beberapa masa, termasuk Arya. Ia tak melakukan apa pun, tatapannya kosong. Bahkan ia tak mempedulikan Raja Astagina yang tengah menatapnya penuh kebanggaan.

Sebuah tepuk tangan dari Adipati Kertajaya memecah kesunyian pendopo istana Astagina. Ia bahkan berdiri seorang diri demi memberikan penghargaan pada Patih Astagina yang baru. Seseorang yang dikatakan putrinya mampu merubah keadaan. Pemuda yang memberi harapan pada hampir tiga puluh kerajaan kecil yang terpaksa menginduk pada Astagina.

Kemudian baru tepuk tangan para punggawa Astagina lainnya mengekor. Hingga seluruh udara pendopo itu dipenuhi suara tepuk tangan yang membahana. Dua pria di sisi Arya segera menyalami dan mempersilahkan pemuda itu untuk maju ke hadapan Prabu Ranajaya dengan ramah. Entah itu keramahan murni atau bukan.

“Penasihat! Segera siapkan prosesi pengukuhannya!”

“Sendik
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cundhamani (Panah Api)   89. Harapan

    Tak ada lagi bisa Senopati Sakuntala rasakan selain dongkol dan malu. Prabu Ranajaya merasa begitu bangga dengan pembunuh Patih Waradhana yang baru saja diangkat menjadi Patih. Jabatan yang bertahun-tahun ia incar kini sudah pupus dan entah kapan lagi bisa ia raih. Arya lebih muda darinya, masih panjang waktu untuknya memangku jabatan itu. Apa lagi kalau kelak menjadi raja, kecil kemungkinan ia akan memilihnya menjadi Patih. Seluruh pejabat yang hadir segera mendatangi Arya dan Prabu Ranajaya demi mengucapkan selamat. Beberapa hanya seremoni saja, sisanya memang ingin sekali mengenal lebih dekat Patih Astagina yang baru. Apa lagi Arya memang baru menampakkan diri kali ini. Adipati Kertajaya kini sampai di hadapan Arya. Ia memberikan hormat dan segera memeluk pemuda itu meski Arya sudah mengulurkan tangannya hendak menjabat tangan. Arya tertegun dan tak mengerti mengapa pria paruh baya ini tampak begitu gembira akan kehadirannya. “Gusti Arya Nandika, aku titipkan harapan Astakencana

  • Cundhamani (Panah Api)   90. Leluhur

    “Ampun, Gusti Patih, Gusti Prabu meminta Anda untuk datang ke Dirgagiri sekarang!” ujar seorang prajurit pengawal sambil bersimpuh. “Dirgagiri?” Arya mengernyitkan keningnya. Dalam hati ia sungguh tak tahu tempat apa itu. Namun tentu ia tak akan bertanya pada prajurit itu. Lebih baik ia bertanya saja pada pengawalnya. “Baik, aku akan segera datang. Terima kasih, Prajurit!” “Sendika, Gusti!” Prajurit pengawal yang membawa pesan itu tak segera bangkit. Ia terdiam dalam simpuhnya. Baru kali ini ada pejabat istana yang mengucapkan terima kasih pada prajurit rendah macam dirinya. Arya tersenyum memandang prajurit yang mungkin baru kali ini mendapatkan kata-kata penghargaan meski hanya melakukan tugasnya. Prajurit itu tampak rikuh dan berusaha mengendalikan emosinya. Ia pun mundur dan terus menunduk dan berbalik dengan kesan mendalam. “Prajurit, bisa antarkan aku ke Davana Raja?” pinta Arya pada seorang prajurit yang berjaga di depan biliknya. “Sendika, Gusti!” Prajurit itu menunduk dem

  • Cundhamani (Panah Api)   91. Kabar Dari Legawa

    “Ya, andai bisa berulang, aku akan pulang secepatnya setelah bertugas di Wedari Praja agar bisa turut melindungi Kakekmu,” ratap Prabu Ranajaya, kelopak matanya sudah digenangi cairan bening yang akan segera meluncur bila tak ditahan pemiliknya. “Jadi, apa sampai sekarang tak ada kejelasan siapa dalangnya, Gusti?” Arya masih berusaha menahan emosinya. Getaran pada pada suaranya mencirikan hal itu. “Siapa lagi kalau bukan Baka Nirdaya?” Ucapan Prabu Ranajaya membuat Arya tersentak. “Mereka orang-orang yang tak puas dengan kepemimpinan Kakekmu, lalu menghasut banyak pendekar tangguh seperti Ayahandamu agar mendukung mereka.” Kelicikan pria di sisi Arya benar-benar kasar. Ia berujar seolah Arya tak memiliki hubungan dekat dengan orang-orang Baka Nirdaya. Orang ini tak mengerti bahwa para pendekar itu rela mati demi menumpas tirani. Sedang dia hanya meminta orang lain mati untuk mempertahankan kedudukannya. “Sudah, tak usah kau pikirkan. Baka Nirdaya sudah dipukul mundur. Butuh waktu b

  • Cundhamani (Panah Api)   92. Lembat Brabat

    “Sepertinya kita harus cepat, Kakanda.” Sanggageni menatap Ki Bayanaka dengan tatapan kecemasan yang dalam. Ia tak ingin menjerumuskan putranya dalam dosa di bawah paksa Astagina. Bagaimana pun Arya hanya seorang remaja yang jauh dari bijaksana. “Benar, tapi kita tetap tak boleh gegabah. Jangan sampai Arya bertindak lebih dahulu dan melenceng dari rencana,” timpal Ki Bayanaka. “Legawa, bagaimana kondisi Baka Nirdaya?” tanya Sanggageni. “Itu lah yang ingin aku sampaikan mengapa aku memilih tempat ini untuk bertemu. Markas kita di selatan lereng Payoda sudah riskan. Musuh bisa kapan pun menyerang bahkan menyelinap dan menghancurkan dari dalam,” terang Legawa. “Apa yang terjadi? Bagaimana musuh bisa tahu markas kita?” Sanggageni mengepalkan kedua tinjunya. Sudah pasti ada yang tak beres selama sepeninggalnya dari padang Kalaha tempo hari. Selama itu pula ia tak pernah berurusan dengan Baka Nirdaya, meski sesungguhnya ia adalah pimpinan yang sah. “Apa Tuan ingat Patria?” “Maksudmu, p

  • Cundhamani (Panah Api)   93. Pusaran Angin

    “Pantas saja, kau sudah bersama pedangmu, Braja!” Ki Bayanaka berbicara tanpa ada satu pun seseorang di hadapannya. Hembusan angin setara badai ringan masih terus menerpa tubuhnya dan Jenar. Putrinya itu sampai harus berpegangan pada sebuah pohon di sisinya. Dua orang pria terhuyung karena kecepatan yang berhenti tiba-tiba. Sanggageni membuka mata karena tetap membuka mata saat kecepatan penuh membuat kepalanya sakit. Itu lah yang terjadi padanya terakhir kali karena Lembat Brabat milik Legawa. Legawa di belakang Sanggageni baru saja melepaskan sentuhan telapak tangan di bahu pria bergiwang itu. Ia tersenyum lalu buru-buru mengatur pernapasannya. Meski bukan pertama kali, Sanggageni masih saja takut membuka mata. Bahkan saat mengantarnya kembali ke Desa Girijajar saat kematian Gantari, pria itu sampai memuntahkan isi perutnya. “Syukurlah aku sampai!” Sanggageni menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Mengapa ada banyak angin saat kalian akan tiba? Tapi tidak begitu waktu Paman Leg

  • Cundhamani (Panah Api)   94. Astakencana

    “Sudah lama aku menantimu, Gusti Patih Arya Nandika!” sambut Adipati Kertajaya di kediamannya, sebuah Kadipaten di sebelah selatan wilayah Astagina. Daerah itu memiliki ciri dikelilingi oleh tebing-tebing batu yang indah. Berimbang dengan sebutan ‘Lumbung Padi’ Astagina. Kedua laki-laki berbeda usia itu segera masuk ke dalam bangunan megah Astakencana. Adipati Kertajaya mempersilahkan Arya untuk duduk di sebuah kursi mewah dengan banyak hidangan di atas meja. “Adipati, terima kasih sudah menyambutku. Tapi maaf, hidangan seperti ini juga ada di Astagina. Apakah kau bisa menunjukkan padaku keindahan Astakencana ini?” pinta Arya sekaligus menolak secara halus. “Tentu saja, Gusti. Mari ikut aku!” Adipati Kertajaya memberikan isyarat pada beberapa prajurit. Seorang lelaki berpakaian paling berbeda datang kepadanya dengan penuh hormat. Lalu memasang telinganya untuk mendengar bisikan junjungannya. Lelaki itu mengangguk dan minta undur diri. Mereka berdua berjalan perlahan menuju sebuah

  • Cundhamani (Panah Api)   95. Buntalan Kain

    “Kalian berdua kembali lah ke Astagina! Katakan pada Gusti Prabu aku melakukan penyelidikan di Candikapura!” titah Arya pada dua orang pengawal yang senantiasa mengikutinya kemana pun ia pergi. “Tapi, Gusti. Kami diminta untuk terus membersamai Gusti Patih....” “Ini perintah! Aku ini Patih, aku bisa menjaga diriku sendiri!” potong Arya. Bagaimana pun ia merasa rikuh terus diikuti oleh dua orang pria bertubuh kekar itu. Ia lebih merasa menjadi anak bangsawan yang tak bisa apa-apa dari pada Patih Astagina. “Sendika, Gusti!” Tak ada lagi yang bisa didebat. Arya mengeluarkan kata-kata andalan seorang junjungan. Kedua pengawal itu menunduk memberi hormat, lalu mundur dan meninggalkan Arya tepat di gerbang Kadipaten Astakencana. “Aswabrama, sepertinya kali ini kita akan berpetualang berdua saja. Aku akan menjadi diriku yang sebenarnya. Tanpa segala perhiasan dan pakaian tak penting ini,” gumam Arya pada kudanya. Aswabrama menggeram perlahan saat Arya mengusap kedua sisi wajahnya. Arya

  • Cundhamani (Panah Api)   96. Mencari Ki Wungkuk

    Sinar mentari menembus dahan dan daun pohon jati yang memenuhi lembah di perbatasan wilayah Candikapura. Dari Astakencana, wilayah penghasil perak dan tembaga ini hanya berjarak setengah hari berkuda. Daerahnya banyak dialiri sungai berbatu dan berpasir. Akan sangat dangkal bila tidak ada hujan di hulu. Berbekal petunjuk dari Adipati Kertajaya, Arya mengarahkan kudanya pada sebuah penginapan tempat para pembeli hasil perak dan tembaga Candikapura bermalam. Sebuah penginapan sederhana di tepi sungai Arutala yang seolah memantulkan kembali sinar rembulan di atasnya. Arya turun dari kudanya dan segera berjalan memasuki penginapan itu. Bangunan berbahan kayu dan bambu itu tampak sepi. Namun terdengar suara tawa banyak pria di lantai atas. Arya menghampiri sebuah meja besar di muka pintu, sepertinya tempat para pendatang memesan kamar. “Ada yang bisa aku bantu, Anak Muda?” tanya seorang pria tua bungkuk dengan tongkat kayu menyangga tubuhnya. “Aku mencari Ki Wungkuk. Dimana aku bisa men

Bab terbaru

  • Cundhamani (Panah Api)   228 Penerus

    “Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”

  • Cundhamani (Panah Api)   227. Terkurung

    Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   226. Kepercayaan

    Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini

  • Cundhamani (Panah Api)   225. Mati Di Samping Aswabrama

    “Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi

  • Cundhamani (Panah Api)   224. Asa Ksatria Cundhamani

    Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya

  • Cundhamani (Panah Api)   223. Menebus Dosa

    “Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan

  • Cundhamani (Panah Api)   222. Amarah Jenar

    Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   221. Titah Jenar

    Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka

  • Cundhamani (Panah Api)   220. Menyelamatkan Sanggageni

    Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat

DMCA.com Protection Status