“Kalian berdua kembali lah ke Astagina! Katakan pada Gusti Prabu aku melakukan penyelidikan di Candikapura!” titah Arya pada dua orang pengawal yang senantiasa mengikutinya kemana pun ia pergi. “Tapi, Gusti. Kami diminta untuk terus membersamai Gusti Patih....” “Ini perintah! Aku ini Patih, aku bisa menjaga diriku sendiri!” potong Arya. Bagaimana pun ia merasa rikuh terus diikuti oleh dua orang pria bertubuh kekar itu. Ia lebih merasa menjadi anak bangsawan yang tak bisa apa-apa dari pada Patih Astagina. “Sendika, Gusti!” Tak ada lagi yang bisa didebat. Arya mengeluarkan kata-kata andalan seorang junjungan. Kedua pengawal itu menunduk memberi hormat, lalu mundur dan meninggalkan Arya tepat di gerbang Kadipaten Astakencana. “Aswabrama, sepertinya kali ini kita akan berpetualang berdua saja. Aku akan menjadi diriku yang sebenarnya. Tanpa segala perhiasan dan pakaian tak penting ini,” gumam Arya pada kudanya. Aswabrama menggeram perlahan saat Arya mengusap kedua sisi wajahnya. Arya
Sinar mentari menembus dahan dan daun pohon jati yang memenuhi lembah di perbatasan wilayah Candikapura. Dari Astakencana, wilayah penghasil perak dan tembaga ini hanya berjarak setengah hari berkuda. Daerahnya banyak dialiri sungai berbatu dan berpasir. Akan sangat dangkal bila tidak ada hujan di hulu. Berbekal petunjuk dari Adipati Kertajaya, Arya mengarahkan kudanya pada sebuah penginapan tempat para pembeli hasil perak dan tembaga Candikapura bermalam. Sebuah penginapan sederhana di tepi sungai Arutala yang seolah memantulkan kembali sinar rembulan di atasnya. Arya turun dari kudanya dan segera berjalan memasuki penginapan itu. Bangunan berbahan kayu dan bambu itu tampak sepi. Namun terdengar suara tawa banyak pria di lantai atas. Arya menghampiri sebuah meja besar di muka pintu, sepertinya tempat para pendatang memesan kamar. “Ada yang bisa aku bantu, Anak Muda?” tanya seorang pria tua bungkuk dengan tongkat kayu menyangga tubuhnya. “Aku mencari Ki Wungkuk. Dimana aku bisa men
“Kau pasti dari Astakencana. Kertajaya menyuruhmu ke mari mencariku,” ucap pria itu sambil terus memperhatikan anak panah api milik Arya. “Bagaimana kau bisa tahu?” Arya mengendurkan kembali tali busur dan menyimpan anak panahnya. “Ah, padahal aku sedang menikmati keindahannya!” seru Ki Wungkuk tak terima. “Sena Merbaba itu nama aslinya. Setelah naik tahta ia bergelar Kertajaya.” “Syukurlah kalau kau benar-benar Ki Wungkuk,” ucap Arya sambil menyandang lagi busur Agnitama di punggungnya. Ki Wungkuk terus memperhatikan Arya dari jarak dekat. Ia bahkan beberapa kali menyentuh lengan Arya yang tadi menarik busur dengan anak panah membara mengarah padanya. Suatu hal yang sudah tentu membuat Arya rikuh tak nyaman. Namun ia masih menghormati karena orang tua ini rupanya memiliki ilmu kanuragan yang cukup mumpuni. “Aku tak menyangka si Sena bisa menemukanmu. Kau pendekar terpilih itu.” Pria itu berhenti tepat di hadapan Arya. Ia menepuk bahu pemuda itu dengan tatap penuh takjub. “Kau su
Seorang pria dengan pakaian putih duduk bersila sambil memejamkan mata. Kedua tangannya pada posisi Surya Mudra di atas paha. Pria itu tampak begitu tenang dengan napas yang begitu teratur. Arya segera mundur dan duduk di sisi Ki Wungkung. “Ampun, Gusti Prabu! Hamba tidak tahu....” Ki Wungkung menghentikan kata-kata Arya dengan mengangkat tangannya tepat di hadapan wajah pemuda itu. Ia berkata, “tenang, Arya. Prabu Warasena belum mengetahui kehadiran kita!” Arya segera diam. Kini ia mendapatkan jawaban mengapa dirinya dan Ki Wungkung hanya berwujud serupa energi. Benda-benda di belakang samar-samar bisa dilihat. Benar dugaannya tadi, pria tua di sebelahnya ini bukan orang sembarangan. “Kau pandai juga, Arya. Kita kini hanya berupa ruh. Prabu Warasena sedang dalam proses keluar dari raga. Dia sudah mendapat tanda dariku, tunggu saja sebentar,” ujar Ki Wungkung begitu tenang. “Aku pernah mendengar ilmu macam ini. Apakah ini Meraga Sukma, Ki?” tanya Arya penasaran. Ilmu semacam ini a
Ki Bayanaka segera duduk bersila di sudut tenda. Ia atur napasnya hingga benar-benar tenang. Sudah lama pria itu tak menggunakan ilmu yang juga ia ajarkan pada Prabu Ranajaya. Setelah kemudian ia cabut ilmu itu dari Patih Astagina saat itu karena digunakan untuk mendatangi gadis-gadis cantik di tengah malam. Setelah pemusatan pikirannya cukup, maka tanpa dikomando ruhnya kini sudah keluar dari raga. Ki Bayanaka yakin Arya tengah berada di Candikapura meski ia tak tahu persis keberadaannya. Namun tak ada salahnya mengembara dengan mode seperti ini karena tak dibutuhkan waktu lama untuk mencapai tempat yang diinginkan. “Bayanaka!” Sekelebat bayangan muncul di hadapan Ki Bayanaka. Pria tua bungkuk mengenakan tongkat kayu tersenyum melihat Ki Bayanaka tampak terkejut dengan kehadirannya. “Wungkung? Lama tak bersua! Sudah aku duga kau lah pemilik energi besar yang berasal dari Candikapura ini!” seru Ki Bayanaka senang. Asumsinya tak salah. “Kau pasti mencari Ksatria Cundhamani itu, buk
Rara Anjani tengah memperhatikan wajahnya di cermin. Dua orang dayang menyisir rambut panjangnya dan mengasapi dengan ramuan agar mahkotanya itu senantiasa harum dan berkilau. Terkadang ia menyesal dianugerahi wajah cantik bila akhirnya hanya menjadi pemuas nafsu seorang raja tamak dan mesum. Namun setelah kedatangan Arya, ia jadi memiliki harapan lain. Sudah ia ceritakan semua pada ayahandanya. Kesaktian Arya bisa menjadi jaminan kebebasannya dari belenggu yang mengikat hidup. Menyandera keluarga tercintanya dan juga rakyat Astakencana. Padahal ia sudah disiapkan untuk menyandang gelar Ratu. Tak ada aturan di Astakencana seorang pewaris tahta harus laki-laki. Semua ilmu pengetahuan tentang pemerintahan sudah ia pelajari. Ilmu kanuragan pun tak kalah ia kuasai. Bahkan Rara Anjani adalah satu-satunya perempuan yang mampu menembus tes pasukan khusus di Astakencana. Suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya hanya pria. “Jika tidak ada lagi yang Dewi butuhkan, kami mohon
Prabu Ranajaya keluar dari bilik Rara Anjani sambil mengusap peluh di dahinya. Sudut bibirnya mengurai senyum picik namun juga penuh kepuasan. Baru kali ini ia merasa telah merudapaksa selirnya sendiri. Tangisan dan penolakan justru membuat pria itu makin bergairah. Rara Anjani hanya bisa menangis di tepi pembaringannya. Pakaian dan riasannya compang-camping. Gincu merah di bibir sudah tak berada di tempatnya semula. Seluruh otot di tubuhnya terasa hancur, belum lagi rasa perih di organ intimnya. Perempuan itu merasa begitu hina sekarang. Rara Anjani bangkit dan berjalan gontai menuju kamar mandi. Entah karena merasa bernoda, perempuan itu ingin sekali bertemu dengan air. Sebuah wadah penampungan air menjadi sasarannya kini. Ia naik dan segera menenggelamkan dirinya ke wadah itu. “Sepertinya lebih baik aku mati saja. Tenggelam dalam penampung air rasanya terdengar cukup bagus sebagai penyebab kematian,” batin Rara Anjani setelah ujung rambutnya masuk sepenuhnya ke dalam air. Peremp
“Rara Anjani? Ada apa?” “Boleh aku masuk?” lirih Rara Anjani sambil tersenyum manis. Arya memperhatikan kondisi di sekitar sebelum mengijinkan selir Prabu Ranajaya ini masuk ke dalam biliknya. “Masuk lah!” ucap Arya setelah memastikan Rara Anjani hanya datang seorang diri. “Kau tahu ini penuh risiko. Aku harap yang akan kau sampaikan begitu penting.” Arya berjalan masuk mendahului Rara Anjani. Perempuan itu segera menutup pintu dan menguncinya menggunakan kayu besar yang diletakkan membentang di daun pintu. “Apa yang kau lakukan? Mengapa kau kunci pintunya?” protes Arya. Berdua saja dalam bilik bersama selir Raja adalah sebuah dosa besar. Ia akan mendapat masalah nanti. “Tak perlu khawatir, Arya. Semua sudah dalam kendaliku. Aku hanya ingin bersamamu sekarang,” ujar Rara Anjani tegas. Namun terdapat hal yang tersembunyi dari kerlingan matanya. Perempuan itu mendekat. Jaraknya dengan Arya hanya tersisa satu lengan saja. Rara Anjani lalu menjatuhkan selendang sutranya hingga bahu p