Rara Anjani tengah memperhatikan wajahnya di cermin. Dua orang dayang menyisir rambut panjangnya dan mengasapi dengan ramuan agar mahkotanya itu senantiasa harum dan berkilau. Terkadang ia menyesal dianugerahi wajah cantik bila akhirnya hanya menjadi pemuas nafsu seorang raja tamak dan mesum. Namun setelah kedatangan Arya, ia jadi memiliki harapan lain. Sudah ia ceritakan semua pada ayahandanya. Kesaktian Arya bisa menjadi jaminan kebebasannya dari belenggu yang mengikat hidup. Menyandera keluarga tercintanya dan juga rakyat Astakencana. Padahal ia sudah disiapkan untuk menyandang gelar Ratu. Tak ada aturan di Astakencana seorang pewaris tahta harus laki-laki. Semua ilmu pengetahuan tentang pemerintahan sudah ia pelajari. Ilmu kanuragan pun tak kalah ia kuasai. Bahkan Rara Anjani adalah satu-satunya perempuan yang mampu menembus tes pasukan khusus di Astakencana. Suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya hanya pria. “Jika tidak ada lagi yang Dewi butuhkan, kami mohon
Prabu Ranajaya keluar dari bilik Rara Anjani sambil mengusap peluh di dahinya. Sudut bibirnya mengurai senyum picik namun juga penuh kepuasan. Baru kali ini ia merasa telah merudapaksa selirnya sendiri. Tangisan dan penolakan justru membuat pria itu makin bergairah. Rara Anjani hanya bisa menangis di tepi pembaringannya. Pakaian dan riasannya compang-camping. Gincu merah di bibir sudah tak berada di tempatnya semula. Seluruh otot di tubuhnya terasa hancur, belum lagi rasa perih di organ intimnya. Perempuan itu merasa begitu hina sekarang. Rara Anjani bangkit dan berjalan gontai menuju kamar mandi. Entah karena merasa bernoda, perempuan itu ingin sekali bertemu dengan air. Sebuah wadah penampungan air menjadi sasarannya kini. Ia naik dan segera menenggelamkan dirinya ke wadah itu. “Sepertinya lebih baik aku mati saja. Tenggelam dalam penampung air rasanya terdengar cukup bagus sebagai penyebab kematian,” batin Rara Anjani setelah ujung rambutnya masuk sepenuhnya ke dalam air. Peremp
“Rara Anjani? Ada apa?” “Boleh aku masuk?” lirih Rara Anjani sambil tersenyum manis. Arya memperhatikan kondisi di sekitar sebelum mengijinkan selir Prabu Ranajaya ini masuk ke dalam biliknya. “Masuk lah!” ucap Arya setelah memastikan Rara Anjani hanya datang seorang diri. “Kau tahu ini penuh risiko. Aku harap yang akan kau sampaikan begitu penting.” Arya berjalan masuk mendahului Rara Anjani. Perempuan itu segera menutup pintu dan menguncinya menggunakan kayu besar yang diletakkan membentang di daun pintu. “Apa yang kau lakukan? Mengapa kau kunci pintunya?” protes Arya. Berdua saja dalam bilik bersama selir Raja adalah sebuah dosa besar. Ia akan mendapat masalah nanti. “Tak perlu khawatir, Arya. Semua sudah dalam kendaliku. Aku hanya ingin bersamamu sekarang,” ujar Rara Anjani tegas. Namun terdapat hal yang tersembunyi dari kerlingan matanya. Perempuan itu mendekat. Jaraknya dengan Arya hanya tersisa satu lengan saja. Rara Anjani lalu menjatuhkan selendang sutranya hingga bahu p
“Jangan lepaskan, Arya!” lirih Rara Anjani. Namun Arya tak menghiraukannya. Hanya ada dua pilihan sekarang. Menikmati tubuh perempuan cantik ini atau berusaha menyelamatkan diri. Dan dengan terus mencumbunya, Arya sama sekali tak bisa berpikir jernih. “Kita sudah dikepung, Rara! Aku mendengar ada yang menyiramkan sesuatu ke dinding dan atap bilik! Kalau pun pengintai tahu aku hanya pura-pura terlena, kita sudah terlambat! Ranajaya akan membunuh kita berdua!” seru Arya. Pemuda itu melerai pelukan Rara Anjani. Perempuan itu bersungut dan merapikan sebagian pakaiannya yang terbuka. Arya berjalan cepat menuju pintu biliknya, terkunci dari luar. Pun begitu dengan jendela. Dan ia juga tak bisa menemukan busur Agnitama-nya. “Bedebah! Mereka sudah merencanakan ini!” rutuk Arya. “Ayo, Arya, berpikir!” pemuda itu berjalan mondar-mandir sambil memegangi kepalanya. Berharap ada ide bagus di tengah kondisi darurat seperti ini. Rara Anjani terduduk lemas tak bersemangat. Ia menuangkan segelas ai
“Tunggu, mengapa aku tak merasakan panas?” gumam Arya heran. Ia hanya merasakan sakit akibat timpaan balok besar itu. “Astaga, kau bodoh, Arya! Sungguh bodoh! Kau ini putra Sanggageni yang mampu mengendalikan api. Tentu saja kau kebal terhadap api!” Arya segera merengkuh tubuh Rara Anjani dan berdiri dengan kedua kakinya yang gemetar. Ia mengambil ancang-ancang dan segera melompat keluar menembus atap yang rangkanya sudah hancur menimpanya tadi. “Ranajaya!” Arya muncul dari atap biliknya yang hancur. Ia membopong Rara Anjani yang telah terbungkus jubah. Pemuda itu menapakkan kakinya pada rangka atap yang masih utuh. Kobaran api itu bahkan tak mampu menyentuh kulitnya. Justru tubuhnya kini yang seolah terselimuti oleh api. *** “Apa yang terjadi?” bisik Legawa pada seorang Baka Nirdaya yang menyamar menjadi prajurit Astagina. “Mereka akan membakar Arya bersama Selir Raja, Tuan!” tandas pria itu. “Arya bersama Selir Raja? Di dalam biliknya? Maksudmu Rara Anjani?” cecar Legawa. Jika
Arya mendengus sesaat sebelum berteriak memanggil nama penguasa Astagina itu. Dengusan yang menyemburkan lidah api dari dua lubang hidungnya. Pemuda itu kini tak tampak seperti manusia biasa. Ia diliputi api, dengan mata merah menyala sejalan dengan amarahnya yang membara. Prabu Ranajaya mundur dua langkah sembari menahan hawa panas dengan menghamparkan kain di ambang wajahnya. Senopati Sakuntala dan beberapa prajurit segera bergerak mengamankan sang Raja. Pria itu kini berada beberapa lapis di belakang barisan prajurit. “Sakuntala, apa yang terjadi? Apa benar itu Arya?” tanya Prabu Ranajaya cemas. Bagaimana pun ia mulai panik. Ia merasa langkahnya telah salah. Maksud hati ingin membunuh Arya dengan membakarnya, justru hal itu malah membangkitkan kekuatan Patihnya itu hingga menjadi suatu makhluk mengerikan. “Ya, itu Arya, Gusti. Dan yang dibopongnya itu Rara Anjani!” seru Senopati Sakuntala. Pemuda itu sudah siaga dengan pedang terhunus. Semua orang yang berada di tempat itu terte
Prabu Ranajaya masih melanjutkan tawa jumawanya. Ia bertolak pinggang, sama sekali tak gentar meski Arya sudah sedemikian marah. Api di tubuhnya terus menyala-nyala. Semua yang melihat akan terkuras keberaniannya seperti air yang menguap karena api di bawah bejana. Arya terus mendengus dan mengeluarkan uap panas dari saluran pernapasannya. Dia kini tak ubahnya makhluk dalam lambang Astagina. Tiba-tiba hempasan energi memendar dari tubuhnya. Energi panas yang membuat daun-daun segera layu. Dan kulit-kulit segera melepuh bila tak dilindungi dengan tenaga dalam. Seperti yang terjadi pada prajurit-parajurit pengepung itu. Prabu Ranajaya tertegun dan terpaku di tempatnya berpijak. Beruntung ia sempat melindungi tubuhnya dengan aliran tenaga dalam. Bila tidak mungkin nasibnya serupa para prajurit yang kini menjerit kesakitan karena sebagian tubuh mereka melepuh. “Serang dia!” seru Senopati Sakuntala. Kini lebih dari separuh prajurit Astagina sisa peperangan di padang Kalaha sudah tiba di
“Bersembunyi lah, Ranajaya! Karena itu lah yang memang selalu kau lakukan!” seru Arya setelah melihat para prajurit yang melindungi rajanya dengan perisai. Kembali serangan ratusan anak panah dan tombak mengarah pada Arya. Berbeda dengan serangan awal tadi, Arya kini lebih banyak melindungi Rara Anjani dan membiarkan serangan-serangan itu menembus tubuhnya. Ia tak khawatir karena senjata-senjata itu segera meleleh setelahnya. Gelombang serangan terus mendera Arya. Pemuda itu sibuk melindungi Rara Anjani dalam balutan jubah tahan api milik Sanggageni. Ia terus memindahkan tubuh Rara Anjani karena serangan terus menderanya dari berbagai penjuru. “Terus serang dia! Sehebat apa pun, ia tak akan terus bertahan. Perempuan itu hanya menjadi beban untuknya.” Prabu Ranajaya memberikan titahnya dari perlindungan perisai para prajurit. Semakin lama serangan senjata-senjata itu semakin cepat dan banyak. Tubuh Arya tak henti-hentinya tertembus anak panah dan tombak. Pemuda itu mulai merasakan s