“Jangan lepaskan, Arya!” lirih Rara Anjani. Namun Arya tak menghiraukannya. Hanya ada dua pilihan sekarang. Menikmati tubuh perempuan cantik ini atau berusaha menyelamatkan diri. Dan dengan terus mencumbunya, Arya sama sekali tak bisa berpikir jernih. “Kita sudah dikepung, Rara! Aku mendengar ada yang menyiramkan sesuatu ke dinding dan atap bilik! Kalau pun pengintai tahu aku hanya pura-pura terlena, kita sudah terlambat! Ranajaya akan membunuh kita berdua!” seru Arya. Pemuda itu melerai pelukan Rara Anjani. Perempuan itu bersungut dan merapikan sebagian pakaiannya yang terbuka. Arya berjalan cepat menuju pintu biliknya, terkunci dari luar. Pun begitu dengan jendela. Dan ia juga tak bisa menemukan busur Agnitama-nya. “Bedebah! Mereka sudah merencanakan ini!” rutuk Arya. “Ayo, Arya, berpikir!” pemuda itu berjalan mondar-mandir sambil memegangi kepalanya. Berharap ada ide bagus di tengah kondisi darurat seperti ini. Rara Anjani terduduk lemas tak bersemangat. Ia menuangkan segelas ai
“Tunggu, mengapa aku tak merasakan panas?” gumam Arya heran. Ia hanya merasakan sakit akibat timpaan balok besar itu. “Astaga, kau bodoh, Arya! Sungguh bodoh! Kau ini putra Sanggageni yang mampu mengendalikan api. Tentu saja kau kebal terhadap api!” Arya segera merengkuh tubuh Rara Anjani dan berdiri dengan kedua kakinya yang gemetar. Ia mengambil ancang-ancang dan segera melompat keluar menembus atap yang rangkanya sudah hancur menimpanya tadi. “Ranajaya!” Arya muncul dari atap biliknya yang hancur. Ia membopong Rara Anjani yang telah terbungkus jubah. Pemuda itu menapakkan kakinya pada rangka atap yang masih utuh. Kobaran api itu bahkan tak mampu menyentuh kulitnya. Justru tubuhnya kini yang seolah terselimuti oleh api. *** “Apa yang terjadi?” bisik Legawa pada seorang Baka Nirdaya yang menyamar menjadi prajurit Astagina. “Mereka akan membakar Arya bersama Selir Raja, Tuan!” tandas pria itu. “Arya bersama Selir Raja? Di dalam biliknya? Maksudmu Rara Anjani?” cecar Legawa. Jika
Arya mendengus sesaat sebelum berteriak memanggil nama penguasa Astagina itu. Dengusan yang menyemburkan lidah api dari dua lubang hidungnya. Pemuda itu kini tak tampak seperti manusia biasa. Ia diliputi api, dengan mata merah menyala sejalan dengan amarahnya yang membara. Prabu Ranajaya mundur dua langkah sembari menahan hawa panas dengan menghamparkan kain di ambang wajahnya. Senopati Sakuntala dan beberapa prajurit segera bergerak mengamankan sang Raja. Pria itu kini berada beberapa lapis di belakang barisan prajurit. “Sakuntala, apa yang terjadi? Apa benar itu Arya?” tanya Prabu Ranajaya cemas. Bagaimana pun ia mulai panik. Ia merasa langkahnya telah salah. Maksud hati ingin membunuh Arya dengan membakarnya, justru hal itu malah membangkitkan kekuatan Patihnya itu hingga menjadi suatu makhluk mengerikan. “Ya, itu Arya, Gusti. Dan yang dibopongnya itu Rara Anjani!” seru Senopati Sakuntala. Pemuda itu sudah siaga dengan pedang terhunus. Semua orang yang berada di tempat itu terte
Prabu Ranajaya masih melanjutkan tawa jumawanya. Ia bertolak pinggang, sama sekali tak gentar meski Arya sudah sedemikian marah. Api di tubuhnya terus menyala-nyala. Semua yang melihat akan terkuras keberaniannya seperti air yang menguap karena api di bawah bejana. Arya terus mendengus dan mengeluarkan uap panas dari saluran pernapasannya. Dia kini tak ubahnya makhluk dalam lambang Astagina. Tiba-tiba hempasan energi memendar dari tubuhnya. Energi panas yang membuat daun-daun segera layu. Dan kulit-kulit segera melepuh bila tak dilindungi dengan tenaga dalam. Seperti yang terjadi pada prajurit-parajurit pengepung itu. Prabu Ranajaya tertegun dan terpaku di tempatnya berpijak. Beruntung ia sempat melindungi tubuhnya dengan aliran tenaga dalam. Bila tidak mungkin nasibnya serupa para prajurit yang kini menjerit kesakitan karena sebagian tubuh mereka melepuh. “Serang dia!” seru Senopati Sakuntala. Kini lebih dari separuh prajurit Astagina sisa peperangan di padang Kalaha sudah tiba di
“Bersembunyi lah, Ranajaya! Karena itu lah yang memang selalu kau lakukan!” seru Arya setelah melihat para prajurit yang melindungi rajanya dengan perisai. Kembali serangan ratusan anak panah dan tombak mengarah pada Arya. Berbeda dengan serangan awal tadi, Arya kini lebih banyak melindungi Rara Anjani dan membiarkan serangan-serangan itu menembus tubuhnya. Ia tak khawatir karena senjata-senjata itu segera meleleh setelahnya. Gelombang serangan terus mendera Arya. Pemuda itu sibuk melindungi Rara Anjani dalam balutan jubah tahan api milik Sanggageni. Ia terus memindahkan tubuh Rara Anjani karena serangan terus menderanya dari berbagai penjuru. “Terus serang dia! Sehebat apa pun, ia tak akan terus bertahan. Perempuan itu hanya menjadi beban untuknya.” Prabu Ranajaya memberikan titahnya dari perlindungan perisai para prajurit. Semakin lama serangan senjata-senjata itu semakin cepat dan banyak. Tubuh Arya tak henti-hentinya tertembus anak panah dan tombak. Pemuda itu mulai merasakan s
Melihat Senopatinya melarikan diri, prajurit yang menyusun perisai menjadi goyah. Dinding perisai itu tak kokoh lagi. Terdapat celah yang amat rentan untuk diserang. Sejatinya Prabu Ranajaya bukan lah orang sembarangan. Pria yang dulu menyandang gelar Patih pasti memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni. Namun orang seperti Waradhana saja mampu dikalahkan, alih-alih pria yang lebih sering berada dalam bilik selir-selirnya itu. Tusuk konde membara milik Rara Anjani melesat nyaris tak terlihat andai tak membara. Semakin bertabrakan dengan udara, maka semakin ia mengganda. Desis bara besi bergesekan dengan angin membuat suara serupa hembusan badai namun sedikit lebih tinggi. Bersamaan dengan dinding perisai yang bercerai berai, ribuan tusuk konde itu menghunjam apa pun yang berada dalam jalurnya. Prabu Ranajaya kembali mencabut keris Astratama demi menghalau serangan tusuk konde api itu. Pendar cahaya biru dari pamor pusaka Astagina itu memang berhasil menangkal lesatan tusuk konde yang ter
Sakuntala berusaha bangkit. Namun Prabu Ranajaya menggenggam pergelangan kaki kirinya dengan erat. Tak bisa dilepaskan meski pemuda itu meronta-ronta sekuat tenaga. Beberapa kali bahkan ia hempaskan kaki kanannya ke kepala pria yang mulai terbakar itu. Tak ada lagi pergerakan dan suara dari Prabu Ranajaya. “Prajurit! Apa yang kalian lihat? Tangkap pembunuh itu!” seru Senopati Sakuntala di tengah kepanikannya. Prajurit-prajurit itu mulai meragu. Meski Arya adalah pembunuh Prabu Ranajaya, tapi ia tetap seorang Patih. Sedang orang yang baru saja memberi perintah memang seorang Senopati, tapi ia orang yang meninggalkan mereka dan raja mereka dalam bahaya tadi. “Lihat lah, Sakuntala. Ini buah dari perbuatanmu. Tak ada yang menaruh hormat pada orang yang mementingkan diri sendiri!” seru Arya. “Kurang ajar kalian!” teriak Senopati Sakuntala geram. Sesungguhnya sekarang ia hanya ingin cengkeraman Prabu Ranajaya di kakinya terlepas. Tubuh penguasa Astagina itu sudah tak utuh lagi. Bahkan d
Sanggageni bernapas lega. Entah sudah berapa kali meremas bahu pria di sisinya melihat kemampuan anaknya mengendalikan kekuatan api. Ia bahkan sempat bersorak saat Arya menikam punggung Prabu Ranajaya dengan keris pusaka Astagina. Ada haru yang tiba-tiba menyeruak. Tampak dari rongga hidung penuh air. Lalu lelehan air mata, menandakan betapa bangganya pria itu pada putranya. Ia tak pernah ragu pada Arya. Putranya itu kini sudah melampauinya. Dari sisi pengendalian diri dan kekuatan api itu Arya jauh berada di atasnya. Pula saat anak semata wayangnya itu memberikan keris Astratama pada Senopati Sakuntala demi menyelamatkannya dari api Cundhamani. Arya mengerti api itu tak bisa dipadamkan. Namun ia memberikan pilihan pada pemuda itu. Memilih mati atau memotong kakinya sendiri dengan senjata yang tersedia. “Harusnya kau melihat ini, Gantari,” lirih Sanggageni sembari menyeka air matanya. Pria itu bangkit, ia ingin sekali memeluk putranya yang kini tengah berbincang dengan Rara Anjani.