Prabu Ranajaya masih melanjutkan tawa jumawanya. Ia bertolak pinggang, sama sekali tak gentar meski Arya sudah sedemikian marah. Api di tubuhnya terus menyala-nyala. Semua yang melihat akan terkuras keberaniannya seperti air yang menguap karena api di bawah bejana. Arya terus mendengus dan mengeluarkan uap panas dari saluran pernapasannya. Dia kini tak ubahnya makhluk dalam lambang Astagina. Tiba-tiba hempasan energi memendar dari tubuhnya. Energi panas yang membuat daun-daun segera layu. Dan kulit-kulit segera melepuh bila tak dilindungi dengan tenaga dalam. Seperti yang terjadi pada prajurit-parajurit pengepung itu. Prabu Ranajaya tertegun dan terpaku di tempatnya berpijak. Beruntung ia sempat melindungi tubuhnya dengan aliran tenaga dalam. Bila tidak mungkin nasibnya serupa para prajurit yang kini menjerit kesakitan karena sebagian tubuh mereka melepuh. “Serang dia!” seru Senopati Sakuntala. Kini lebih dari separuh prajurit Astagina sisa peperangan di padang Kalaha sudah tiba di
“Bersembunyi lah, Ranajaya! Karena itu lah yang memang selalu kau lakukan!” seru Arya setelah melihat para prajurit yang melindungi rajanya dengan perisai. Kembali serangan ratusan anak panah dan tombak mengarah pada Arya. Berbeda dengan serangan awal tadi, Arya kini lebih banyak melindungi Rara Anjani dan membiarkan serangan-serangan itu menembus tubuhnya. Ia tak khawatir karena senjata-senjata itu segera meleleh setelahnya. Gelombang serangan terus mendera Arya. Pemuda itu sibuk melindungi Rara Anjani dalam balutan jubah tahan api milik Sanggageni. Ia terus memindahkan tubuh Rara Anjani karena serangan terus menderanya dari berbagai penjuru. “Terus serang dia! Sehebat apa pun, ia tak akan terus bertahan. Perempuan itu hanya menjadi beban untuknya.” Prabu Ranajaya memberikan titahnya dari perlindungan perisai para prajurit. Semakin lama serangan senjata-senjata itu semakin cepat dan banyak. Tubuh Arya tak henti-hentinya tertembus anak panah dan tombak. Pemuda itu mulai merasakan s
Melihat Senopatinya melarikan diri, prajurit yang menyusun perisai menjadi goyah. Dinding perisai itu tak kokoh lagi. Terdapat celah yang amat rentan untuk diserang. Sejatinya Prabu Ranajaya bukan lah orang sembarangan. Pria yang dulu menyandang gelar Patih pasti memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni. Namun orang seperti Waradhana saja mampu dikalahkan, alih-alih pria yang lebih sering berada dalam bilik selir-selirnya itu. Tusuk konde membara milik Rara Anjani melesat nyaris tak terlihat andai tak membara. Semakin bertabrakan dengan udara, maka semakin ia mengganda. Desis bara besi bergesekan dengan angin membuat suara serupa hembusan badai namun sedikit lebih tinggi. Bersamaan dengan dinding perisai yang bercerai berai, ribuan tusuk konde itu menghunjam apa pun yang berada dalam jalurnya. Prabu Ranajaya kembali mencabut keris Astratama demi menghalau serangan tusuk konde api itu. Pendar cahaya biru dari pamor pusaka Astagina itu memang berhasil menangkal lesatan tusuk konde yang ter
Sakuntala berusaha bangkit. Namun Prabu Ranajaya menggenggam pergelangan kaki kirinya dengan erat. Tak bisa dilepaskan meski pemuda itu meronta-ronta sekuat tenaga. Beberapa kali bahkan ia hempaskan kaki kanannya ke kepala pria yang mulai terbakar itu. Tak ada lagi pergerakan dan suara dari Prabu Ranajaya. “Prajurit! Apa yang kalian lihat? Tangkap pembunuh itu!” seru Senopati Sakuntala di tengah kepanikannya. Prajurit-prajurit itu mulai meragu. Meski Arya adalah pembunuh Prabu Ranajaya, tapi ia tetap seorang Patih. Sedang orang yang baru saja memberi perintah memang seorang Senopati, tapi ia orang yang meninggalkan mereka dan raja mereka dalam bahaya tadi. “Lihat lah, Sakuntala. Ini buah dari perbuatanmu. Tak ada yang menaruh hormat pada orang yang mementingkan diri sendiri!” seru Arya. “Kurang ajar kalian!” teriak Senopati Sakuntala geram. Sesungguhnya sekarang ia hanya ingin cengkeraman Prabu Ranajaya di kakinya terlepas. Tubuh penguasa Astagina itu sudah tak utuh lagi. Bahkan d
Sanggageni bernapas lega. Entah sudah berapa kali meremas bahu pria di sisinya melihat kemampuan anaknya mengendalikan kekuatan api. Ia bahkan sempat bersorak saat Arya menikam punggung Prabu Ranajaya dengan keris pusaka Astagina. Ada haru yang tiba-tiba menyeruak. Tampak dari rongga hidung penuh air. Lalu lelehan air mata, menandakan betapa bangganya pria itu pada putranya. Ia tak pernah ragu pada Arya. Putranya itu kini sudah melampauinya. Dari sisi pengendalian diri dan kekuatan api itu Arya jauh berada di atasnya. Pula saat anak semata wayangnya itu memberikan keris Astratama pada Senopati Sakuntala demi menyelamatkannya dari api Cundhamani. Arya mengerti api itu tak bisa dipadamkan. Namun ia memberikan pilihan pada pemuda itu. Memilih mati atau memotong kakinya sendiri dengan senjata yang tersedia. “Harusnya kau melihat ini, Gantari,” lirih Sanggageni sembari menyeka air matanya. Pria itu bangkit, ia ingin sekali memeluk putranya yang kini tengah berbincang dengan Rara Anjani.
"Maaf. Tuan. Meski Anda tak mau, kami akan tetap memaksa!" Sungguh sebuah kalimat yang begitu percaya diri sekaligus merendahkan seorang Arya Nandika. Pemuda yang mereka panggil Tuan itu tersenyum tipis. Lengannya separuh merentang akan sebuah perlindungan pada perempuan di belakangnya. Meski Rara Anjani sudah tak ingin lagi bergantung pada Arya. "Baik lah, aku punya penawaran bagus untuk kalian!" ucap Arya seolah baru saja mendapatkan sebuah ide yang terlintas begitu saja di kepala. Bahkan Rara Anjani menatapnya dengan heran. Bagaimana bisa membuat sebuah kesepakatan dengan pria yang tak jelas. "Jangan mencoba berkilah! Tugas kami sudah jelas, melindungi Ksatria Cundhamani dari siapa pun yang mencoba menjadikannya senjata!" tegas pria di sebelah kiri. "Lantas, siapa yang memberi kalian tugas?" Pertanyaan yang sudah pasti membuat dua pria berjubah itu diam. Arya yakin mereka pasti berkilah. "Tuan tak perlu tahu hal itu," ucap pria di sebelah kanan lirih. Arya tertawa dengan jumaw
“Benar, Gusti. Pada saat terjadi kudeta itu, seorang abdi datang kepada hamba sambil menggendong bayi perempuan. Dia hamba rawat hingga sekarang. Apa yang terjadi, Gusti?” tanya Ki Bayanaka. Ia merasa ada hal janggal yang akan menimpa Jenar. “Kudeta apa yang kau maksud, Ki Bayanaka?” cerca seorang Punggawa berpangkat menengah. Pria itu bertolak pinggang dengan pongahnya. Ia lupa bahwa pria tua di hadapan mereka adalah saksi hidup pergantian kekuasaan yang dipaksakan itu. “Birawa! Bersikap lah santun terhadap orang yang lebih tua darimu!” hardik Tumenggung Ramatungga. Pria seusia Ki Bayanaka itu bahkan belum kembali ke wilayahnya sejak pengangkatan Arya karena mengunjungi keluarganya di Astagina. “Mengapa aku harus bersikap santun pada pria tua yang berkhianat ini, Kakanda Tumenggung?” teriak Birawa masih penuh dengan kesombongan. Tumenggung Ramatungga menghela napasnya. Memang benar kata pendahulu. Sesuatu yang salah bila dilakukan oleh orang banyak secara terus-menerus akan beruba
“Apa yang terjadi, Arya? Mengapa kau tak kuasa melawan mereka berdua?” tanya Rara Anjani setelah mendapati Arya tersungkur tak jauh dari kakinya. Padahal dua pria berjubah hitam itu hanya bersenjatakan pedang kayu. “Aku pun tak tahu, Rara. Yang aku tahu kayu Sarayu bukan lah kayu biasa,” ucap Arya seraya bangkit memegangi dadanya. “Lalu apa rencanamu?” Rara Anjani mulai memasang kuda-kuda. Selendang sudah ia lilitkan beberapa kali hingga cukup kuat serupa tongkat. Paling tidak mampu menangkis serangan sebuah pedang kayu. “Aku akan menyibukkan mereka sekali lagi. Kau cari lah celah di tempat ini. Tak mungkin sebuah tempat tak memiliki pintu keluar,” ujar Arya dan mengambil posisi Rara Anjani untuk bersiap menyerang kembali. “Belum juga menyerah, Tuan?” Pria sebelah kanan meletakkan pedang kayu di pundaknya. Sebuah bahasa tubuh yang lagi-lagi begitu meremehkan musuhnya. “Sepertinya aku harus merebut pedang itu,” batin Arya. “Sudah aku bilang, tanpa busurmu dan logam, kau hanya rema