Prabu Ranajaya keluar dari bilik Rara Anjani sambil mengusap peluh di dahinya. Sudut bibirnya mengurai senyum picik namun juga penuh kepuasan. Baru kali ini ia merasa telah merudapaksa selirnya sendiri. Tangisan dan penolakan justru membuat pria itu makin bergairah. Rara Anjani hanya bisa menangis di tepi pembaringannya. Pakaian dan riasannya compang-camping. Gincu merah di bibir sudah tak berada di tempatnya semula. Seluruh otot di tubuhnya terasa hancur, belum lagi rasa perih di organ intimnya. Perempuan itu merasa begitu hina sekarang. Rara Anjani bangkit dan berjalan gontai menuju kamar mandi. Entah karena merasa bernoda, perempuan itu ingin sekali bertemu dengan air. Sebuah wadah penampungan air menjadi sasarannya kini. Ia naik dan segera menenggelamkan dirinya ke wadah itu. “Sepertinya lebih baik aku mati saja. Tenggelam dalam penampung air rasanya terdengar cukup bagus sebagai penyebab kematian,” batin Rara Anjani setelah ujung rambutnya masuk sepenuhnya ke dalam air. Peremp
“Rara Anjani? Ada apa?” “Boleh aku masuk?” lirih Rara Anjani sambil tersenyum manis. Arya memperhatikan kondisi di sekitar sebelum mengijinkan selir Prabu Ranajaya ini masuk ke dalam biliknya. “Masuk lah!” ucap Arya setelah memastikan Rara Anjani hanya datang seorang diri. “Kau tahu ini penuh risiko. Aku harap yang akan kau sampaikan begitu penting.” Arya berjalan masuk mendahului Rara Anjani. Perempuan itu segera menutup pintu dan menguncinya menggunakan kayu besar yang diletakkan membentang di daun pintu. “Apa yang kau lakukan? Mengapa kau kunci pintunya?” protes Arya. Berdua saja dalam bilik bersama selir Raja adalah sebuah dosa besar. Ia akan mendapat masalah nanti. “Tak perlu khawatir, Arya. Semua sudah dalam kendaliku. Aku hanya ingin bersamamu sekarang,” ujar Rara Anjani tegas. Namun terdapat hal yang tersembunyi dari kerlingan matanya. Perempuan itu mendekat. Jaraknya dengan Arya hanya tersisa satu lengan saja. Rara Anjani lalu menjatuhkan selendang sutranya hingga bahu p
“Jangan lepaskan, Arya!” lirih Rara Anjani. Namun Arya tak menghiraukannya. Hanya ada dua pilihan sekarang. Menikmati tubuh perempuan cantik ini atau berusaha menyelamatkan diri. Dan dengan terus mencumbunya, Arya sama sekali tak bisa berpikir jernih. “Kita sudah dikepung, Rara! Aku mendengar ada yang menyiramkan sesuatu ke dinding dan atap bilik! Kalau pun pengintai tahu aku hanya pura-pura terlena, kita sudah terlambat! Ranajaya akan membunuh kita berdua!” seru Arya. Pemuda itu melerai pelukan Rara Anjani. Perempuan itu bersungut dan merapikan sebagian pakaiannya yang terbuka. Arya berjalan cepat menuju pintu biliknya, terkunci dari luar. Pun begitu dengan jendela. Dan ia juga tak bisa menemukan busur Agnitama-nya. “Bedebah! Mereka sudah merencanakan ini!” rutuk Arya. “Ayo, Arya, berpikir!” pemuda itu berjalan mondar-mandir sambil memegangi kepalanya. Berharap ada ide bagus di tengah kondisi darurat seperti ini. Rara Anjani terduduk lemas tak bersemangat. Ia menuangkan segelas ai
“Tunggu, mengapa aku tak merasakan panas?” gumam Arya heran. Ia hanya merasakan sakit akibat timpaan balok besar itu. “Astaga, kau bodoh, Arya! Sungguh bodoh! Kau ini putra Sanggageni yang mampu mengendalikan api. Tentu saja kau kebal terhadap api!” Arya segera merengkuh tubuh Rara Anjani dan berdiri dengan kedua kakinya yang gemetar. Ia mengambil ancang-ancang dan segera melompat keluar menembus atap yang rangkanya sudah hancur menimpanya tadi. “Ranajaya!” Arya muncul dari atap biliknya yang hancur. Ia membopong Rara Anjani yang telah terbungkus jubah. Pemuda itu menapakkan kakinya pada rangka atap yang masih utuh. Kobaran api itu bahkan tak mampu menyentuh kulitnya. Justru tubuhnya kini yang seolah terselimuti oleh api. *** “Apa yang terjadi?” bisik Legawa pada seorang Baka Nirdaya yang menyamar menjadi prajurit Astagina. “Mereka akan membakar Arya bersama Selir Raja, Tuan!” tandas pria itu. “Arya bersama Selir Raja? Di dalam biliknya? Maksudmu Rara Anjani?” cecar Legawa. Jika
Arya mendengus sesaat sebelum berteriak memanggil nama penguasa Astagina itu. Dengusan yang menyemburkan lidah api dari dua lubang hidungnya. Pemuda itu kini tak tampak seperti manusia biasa. Ia diliputi api, dengan mata merah menyala sejalan dengan amarahnya yang membara. Prabu Ranajaya mundur dua langkah sembari menahan hawa panas dengan menghamparkan kain di ambang wajahnya. Senopati Sakuntala dan beberapa prajurit segera bergerak mengamankan sang Raja. Pria itu kini berada beberapa lapis di belakang barisan prajurit. “Sakuntala, apa yang terjadi? Apa benar itu Arya?” tanya Prabu Ranajaya cemas. Bagaimana pun ia mulai panik. Ia merasa langkahnya telah salah. Maksud hati ingin membunuh Arya dengan membakarnya, justru hal itu malah membangkitkan kekuatan Patihnya itu hingga menjadi suatu makhluk mengerikan. “Ya, itu Arya, Gusti. Dan yang dibopongnya itu Rara Anjani!” seru Senopati Sakuntala. Pemuda itu sudah siaga dengan pedang terhunus. Semua orang yang berada di tempat itu terte
Prabu Ranajaya masih melanjutkan tawa jumawanya. Ia bertolak pinggang, sama sekali tak gentar meski Arya sudah sedemikian marah. Api di tubuhnya terus menyala-nyala. Semua yang melihat akan terkuras keberaniannya seperti air yang menguap karena api di bawah bejana. Arya terus mendengus dan mengeluarkan uap panas dari saluran pernapasannya. Dia kini tak ubahnya makhluk dalam lambang Astagina. Tiba-tiba hempasan energi memendar dari tubuhnya. Energi panas yang membuat daun-daun segera layu. Dan kulit-kulit segera melepuh bila tak dilindungi dengan tenaga dalam. Seperti yang terjadi pada prajurit-parajurit pengepung itu. Prabu Ranajaya tertegun dan terpaku di tempatnya berpijak. Beruntung ia sempat melindungi tubuhnya dengan aliran tenaga dalam. Bila tidak mungkin nasibnya serupa para prajurit yang kini menjerit kesakitan karena sebagian tubuh mereka melepuh. “Serang dia!” seru Senopati Sakuntala. Kini lebih dari separuh prajurit Astagina sisa peperangan di padang Kalaha sudah tiba di
“Bersembunyi lah, Ranajaya! Karena itu lah yang memang selalu kau lakukan!” seru Arya setelah melihat para prajurit yang melindungi rajanya dengan perisai. Kembali serangan ratusan anak panah dan tombak mengarah pada Arya. Berbeda dengan serangan awal tadi, Arya kini lebih banyak melindungi Rara Anjani dan membiarkan serangan-serangan itu menembus tubuhnya. Ia tak khawatir karena senjata-senjata itu segera meleleh setelahnya. Gelombang serangan terus mendera Arya. Pemuda itu sibuk melindungi Rara Anjani dalam balutan jubah tahan api milik Sanggageni. Ia terus memindahkan tubuh Rara Anjani karena serangan terus menderanya dari berbagai penjuru. “Terus serang dia! Sehebat apa pun, ia tak akan terus bertahan. Perempuan itu hanya menjadi beban untuknya.” Prabu Ranajaya memberikan titahnya dari perlindungan perisai para prajurit. Semakin lama serangan senjata-senjata itu semakin cepat dan banyak. Tubuh Arya tak henti-hentinya tertembus anak panah dan tombak. Pemuda itu mulai merasakan s
Melihat Senopatinya melarikan diri, prajurit yang menyusun perisai menjadi goyah. Dinding perisai itu tak kokoh lagi. Terdapat celah yang amat rentan untuk diserang. Sejatinya Prabu Ranajaya bukan lah orang sembarangan. Pria yang dulu menyandang gelar Patih pasti memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni. Namun orang seperti Waradhana saja mampu dikalahkan, alih-alih pria yang lebih sering berada dalam bilik selir-selirnya itu. Tusuk konde membara milik Rara Anjani melesat nyaris tak terlihat andai tak membara. Semakin bertabrakan dengan udara, maka semakin ia mengganda. Desis bara besi bergesekan dengan angin membuat suara serupa hembusan badai namun sedikit lebih tinggi. Bersamaan dengan dinding perisai yang bercerai berai, ribuan tusuk konde itu menghunjam apa pun yang berada dalam jalurnya. Prabu Ranajaya kembali mencabut keris Astratama demi menghalau serangan tusuk konde api itu. Pendar cahaya biru dari pamor pusaka Astagina itu memang berhasil menangkal lesatan tusuk konde yang ter
“Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”
Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati
Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini
“Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi
Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya
“Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan
Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati
Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka
Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat