Seorang pria dengan pakaian putih duduk bersila sambil memejamkan mata. Kedua tangannya pada posisi Surya Mudra di atas paha. Pria itu tampak begitu tenang dengan napas yang begitu teratur. Arya segera mundur dan duduk di sisi Ki Wungkung. “Ampun, Gusti Prabu! Hamba tidak tahu....” Ki Wungkung menghentikan kata-kata Arya dengan mengangkat tangannya tepat di hadapan wajah pemuda itu. Ia berkata, “tenang, Arya. Prabu Warasena belum mengetahui kehadiran kita!” Arya segera diam. Kini ia mendapatkan jawaban mengapa dirinya dan Ki Wungkung hanya berwujud serupa energi. Benda-benda di belakang samar-samar bisa dilihat. Benar dugaannya tadi, pria tua di sebelahnya ini bukan orang sembarangan. “Kau pandai juga, Arya. Kita kini hanya berupa ruh. Prabu Warasena sedang dalam proses keluar dari raga. Dia sudah mendapat tanda dariku, tunggu saja sebentar,” ujar Ki Wungkung begitu tenang. “Aku pernah mendengar ilmu macam ini. Apakah ini Meraga Sukma, Ki?” tanya Arya penasaran. Ilmu semacam ini a
Ki Bayanaka segera duduk bersila di sudut tenda. Ia atur napasnya hingga benar-benar tenang. Sudah lama pria itu tak menggunakan ilmu yang juga ia ajarkan pada Prabu Ranajaya. Setelah kemudian ia cabut ilmu itu dari Patih Astagina saat itu karena digunakan untuk mendatangi gadis-gadis cantik di tengah malam. Setelah pemusatan pikirannya cukup, maka tanpa dikomando ruhnya kini sudah keluar dari raga. Ki Bayanaka yakin Arya tengah berada di Candikapura meski ia tak tahu persis keberadaannya. Namun tak ada salahnya mengembara dengan mode seperti ini karena tak dibutuhkan waktu lama untuk mencapai tempat yang diinginkan. “Bayanaka!” Sekelebat bayangan muncul di hadapan Ki Bayanaka. Pria tua bungkuk mengenakan tongkat kayu tersenyum melihat Ki Bayanaka tampak terkejut dengan kehadirannya. “Wungkung? Lama tak bersua! Sudah aku duga kau lah pemilik energi besar yang berasal dari Candikapura ini!” seru Ki Bayanaka senang. Asumsinya tak salah. “Kau pasti mencari Ksatria Cundhamani itu, buk
Rara Anjani tengah memperhatikan wajahnya di cermin. Dua orang dayang menyisir rambut panjangnya dan mengasapi dengan ramuan agar mahkotanya itu senantiasa harum dan berkilau. Terkadang ia menyesal dianugerahi wajah cantik bila akhirnya hanya menjadi pemuas nafsu seorang raja tamak dan mesum. Namun setelah kedatangan Arya, ia jadi memiliki harapan lain. Sudah ia ceritakan semua pada ayahandanya. Kesaktian Arya bisa menjadi jaminan kebebasannya dari belenggu yang mengikat hidup. Menyandera keluarga tercintanya dan juga rakyat Astakencana. Padahal ia sudah disiapkan untuk menyandang gelar Ratu. Tak ada aturan di Astakencana seorang pewaris tahta harus laki-laki. Semua ilmu pengetahuan tentang pemerintahan sudah ia pelajari. Ilmu kanuragan pun tak kalah ia kuasai. Bahkan Rara Anjani adalah satu-satunya perempuan yang mampu menembus tes pasukan khusus di Astakencana. Suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya hanya pria. “Jika tidak ada lagi yang Dewi butuhkan, kami mohon
Prabu Ranajaya keluar dari bilik Rara Anjani sambil mengusap peluh di dahinya. Sudut bibirnya mengurai senyum picik namun juga penuh kepuasan. Baru kali ini ia merasa telah merudapaksa selirnya sendiri. Tangisan dan penolakan justru membuat pria itu makin bergairah. Rara Anjani hanya bisa menangis di tepi pembaringannya. Pakaian dan riasannya compang-camping. Gincu merah di bibir sudah tak berada di tempatnya semula. Seluruh otot di tubuhnya terasa hancur, belum lagi rasa perih di organ intimnya. Perempuan itu merasa begitu hina sekarang. Rara Anjani bangkit dan berjalan gontai menuju kamar mandi. Entah karena merasa bernoda, perempuan itu ingin sekali bertemu dengan air. Sebuah wadah penampungan air menjadi sasarannya kini. Ia naik dan segera menenggelamkan dirinya ke wadah itu. “Sepertinya lebih baik aku mati saja. Tenggelam dalam penampung air rasanya terdengar cukup bagus sebagai penyebab kematian,” batin Rara Anjani setelah ujung rambutnya masuk sepenuhnya ke dalam air. Peremp
“Rara Anjani? Ada apa?” “Boleh aku masuk?” lirih Rara Anjani sambil tersenyum manis. Arya memperhatikan kondisi di sekitar sebelum mengijinkan selir Prabu Ranajaya ini masuk ke dalam biliknya. “Masuk lah!” ucap Arya setelah memastikan Rara Anjani hanya datang seorang diri. “Kau tahu ini penuh risiko. Aku harap yang akan kau sampaikan begitu penting.” Arya berjalan masuk mendahului Rara Anjani. Perempuan itu segera menutup pintu dan menguncinya menggunakan kayu besar yang diletakkan membentang di daun pintu. “Apa yang kau lakukan? Mengapa kau kunci pintunya?” protes Arya. Berdua saja dalam bilik bersama selir Raja adalah sebuah dosa besar. Ia akan mendapat masalah nanti. “Tak perlu khawatir, Arya. Semua sudah dalam kendaliku. Aku hanya ingin bersamamu sekarang,” ujar Rara Anjani tegas. Namun terdapat hal yang tersembunyi dari kerlingan matanya. Perempuan itu mendekat. Jaraknya dengan Arya hanya tersisa satu lengan saja. Rara Anjani lalu menjatuhkan selendang sutranya hingga bahu p
“Jangan lepaskan, Arya!” lirih Rara Anjani. Namun Arya tak menghiraukannya. Hanya ada dua pilihan sekarang. Menikmati tubuh perempuan cantik ini atau berusaha menyelamatkan diri. Dan dengan terus mencumbunya, Arya sama sekali tak bisa berpikir jernih. “Kita sudah dikepung, Rara! Aku mendengar ada yang menyiramkan sesuatu ke dinding dan atap bilik! Kalau pun pengintai tahu aku hanya pura-pura terlena, kita sudah terlambat! Ranajaya akan membunuh kita berdua!” seru Arya. Pemuda itu melerai pelukan Rara Anjani. Perempuan itu bersungut dan merapikan sebagian pakaiannya yang terbuka. Arya berjalan cepat menuju pintu biliknya, terkunci dari luar. Pun begitu dengan jendela. Dan ia juga tak bisa menemukan busur Agnitama-nya. “Bedebah! Mereka sudah merencanakan ini!” rutuk Arya. “Ayo, Arya, berpikir!” pemuda itu berjalan mondar-mandir sambil memegangi kepalanya. Berharap ada ide bagus di tengah kondisi darurat seperti ini. Rara Anjani terduduk lemas tak bersemangat. Ia menuangkan segelas ai
“Tunggu, mengapa aku tak merasakan panas?” gumam Arya heran. Ia hanya merasakan sakit akibat timpaan balok besar itu. “Astaga, kau bodoh, Arya! Sungguh bodoh! Kau ini putra Sanggageni yang mampu mengendalikan api. Tentu saja kau kebal terhadap api!” Arya segera merengkuh tubuh Rara Anjani dan berdiri dengan kedua kakinya yang gemetar. Ia mengambil ancang-ancang dan segera melompat keluar menembus atap yang rangkanya sudah hancur menimpanya tadi. “Ranajaya!” Arya muncul dari atap biliknya yang hancur. Ia membopong Rara Anjani yang telah terbungkus jubah. Pemuda itu menapakkan kakinya pada rangka atap yang masih utuh. Kobaran api itu bahkan tak mampu menyentuh kulitnya. Justru tubuhnya kini yang seolah terselimuti oleh api. *** “Apa yang terjadi?” bisik Legawa pada seorang Baka Nirdaya yang menyamar menjadi prajurit Astagina. “Mereka akan membakar Arya bersama Selir Raja, Tuan!” tandas pria itu. “Arya bersama Selir Raja? Di dalam biliknya? Maksudmu Rara Anjani?” cecar Legawa. Jika
Arya mendengus sesaat sebelum berteriak memanggil nama penguasa Astagina itu. Dengusan yang menyemburkan lidah api dari dua lubang hidungnya. Pemuda itu kini tak tampak seperti manusia biasa. Ia diliputi api, dengan mata merah menyala sejalan dengan amarahnya yang membara. Prabu Ranajaya mundur dua langkah sembari menahan hawa panas dengan menghamparkan kain di ambang wajahnya. Senopati Sakuntala dan beberapa prajurit segera bergerak mengamankan sang Raja. Pria itu kini berada beberapa lapis di belakang barisan prajurit. “Sakuntala, apa yang terjadi? Apa benar itu Arya?” tanya Prabu Ranajaya cemas. Bagaimana pun ia mulai panik. Ia merasa langkahnya telah salah. Maksud hati ingin membunuh Arya dengan membakarnya, justru hal itu malah membangkitkan kekuatan Patihnya itu hingga menjadi suatu makhluk mengerikan. “Ya, itu Arya, Gusti. Dan yang dibopongnya itu Rara Anjani!” seru Senopati Sakuntala. Pemuda itu sudah siaga dengan pedang terhunus. Semua orang yang berada di tempat itu terte