“Aku putuskan Arya Nandika akan menjadi Patih Astagina yang baru!” seru Prabu Ranajaya begitu yakin. Semua yang hadir di tempat itu terdiam beberapa masa, termasuk Arya. Ia tak melakukan apa pun, tatapannya kosong. Bahkan ia tak mempedulikan Raja Astagina yang tengah menatapnya penuh kebanggaan. Sebuah tepuk tangan dari Adipati Kertajaya memecah kesunyian pendopo istana Astagina. Ia bahkan berdiri seorang diri demi memberikan penghargaan pada Patih Astagina yang baru. Seseorang yang dikatakan putrinya mampu merubah keadaan. Pemuda yang memberi harapan pada hampir tiga puluh kerajaan kecil yang terpaksa menginduk pada Astagina. Kemudian baru tepuk tangan para punggawa Astagina lainnya mengekor. Hingga seluruh udara pendopo itu dipenuhi suara tepuk tangan yang membahana. Dua pria di sisi Arya segera menyalami dan mempersilahkan pemuda itu untuk maju ke hadapan Prabu Ranajaya dengan ramah. Entah itu keramahan murni atau bukan. “Penasihat! Segera siapkan prosesi pengukuhannya!” “Sendik
Tak ada lagi bisa Senopati Sakuntala rasakan selain dongkol dan malu. Prabu Ranajaya merasa begitu bangga dengan pembunuh Patih Waradhana yang baru saja diangkat menjadi Patih. Jabatan yang bertahun-tahun ia incar kini sudah pupus dan entah kapan lagi bisa ia raih. Arya lebih muda darinya, masih panjang waktu untuknya memangku jabatan itu. Apa lagi kalau kelak menjadi raja, kecil kemungkinan ia akan memilihnya menjadi Patih. Seluruh pejabat yang hadir segera mendatangi Arya dan Prabu Ranajaya demi mengucapkan selamat. Beberapa hanya seremoni saja, sisanya memang ingin sekali mengenal lebih dekat Patih Astagina yang baru. Apa lagi Arya memang baru menampakkan diri kali ini. Adipati Kertajaya kini sampai di hadapan Arya. Ia memberikan hormat dan segera memeluk pemuda itu meski Arya sudah mengulurkan tangannya hendak menjabat tangan. Arya tertegun dan tak mengerti mengapa pria paruh baya ini tampak begitu gembira akan kehadirannya. “Gusti Arya Nandika, aku titipkan harapan Astakencana
“Ampun, Gusti Patih, Gusti Prabu meminta Anda untuk datang ke Dirgagiri sekarang!” ujar seorang prajurit pengawal sambil bersimpuh. “Dirgagiri?” Arya mengernyitkan keningnya. Dalam hati ia sungguh tak tahu tempat apa itu. Namun tentu ia tak akan bertanya pada prajurit itu. Lebih baik ia bertanya saja pada pengawalnya. “Baik, aku akan segera datang. Terima kasih, Prajurit!” “Sendika, Gusti!” Prajurit pengawal yang membawa pesan itu tak segera bangkit. Ia terdiam dalam simpuhnya. Baru kali ini ada pejabat istana yang mengucapkan terima kasih pada prajurit rendah macam dirinya. Arya tersenyum memandang prajurit yang mungkin baru kali ini mendapatkan kata-kata penghargaan meski hanya melakukan tugasnya. Prajurit itu tampak rikuh dan berusaha mengendalikan emosinya. Ia pun mundur dan terus menunduk dan berbalik dengan kesan mendalam. “Prajurit, bisa antarkan aku ke Davana Raja?” pinta Arya pada seorang prajurit yang berjaga di depan biliknya. “Sendika, Gusti!” Prajurit itu menunduk dem
“Ya, andai bisa berulang, aku akan pulang secepatnya setelah bertugas di Wedari Praja agar bisa turut melindungi Kakekmu,” ratap Prabu Ranajaya, kelopak matanya sudah digenangi cairan bening yang akan segera meluncur bila tak ditahan pemiliknya. “Jadi, apa sampai sekarang tak ada kejelasan siapa dalangnya, Gusti?” Arya masih berusaha menahan emosinya. Getaran pada pada suaranya mencirikan hal itu. “Siapa lagi kalau bukan Baka Nirdaya?” Ucapan Prabu Ranajaya membuat Arya tersentak. “Mereka orang-orang yang tak puas dengan kepemimpinan Kakekmu, lalu menghasut banyak pendekar tangguh seperti Ayahandamu agar mendukung mereka.” Kelicikan pria di sisi Arya benar-benar kasar. Ia berujar seolah Arya tak memiliki hubungan dekat dengan orang-orang Baka Nirdaya. Orang ini tak mengerti bahwa para pendekar itu rela mati demi menumpas tirani. Sedang dia hanya meminta orang lain mati untuk mempertahankan kedudukannya. “Sudah, tak usah kau pikirkan. Baka Nirdaya sudah dipukul mundur. Butuh waktu b
“Sepertinya kita harus cepat, Kakanda.” Sanggageni menatap Ki Bayanaka dengan tatapan kecemasan yang dalam. Ia tak ingin menjerumuskan putranya dalam dosa di bawah paksa Astagina. Bagaimana pun Arya hanya seorang remaja yang jauh dari bijaksana. “Benar, tapi kita tetap tak boleh gegabah. Jangan sampai Arya bertindak lebih dahulu dan melenceng dari rencana,” timpal Ki Bayanaka. “Legawa, bagaimana kondisi Baka Nirdaya?” tanya Sanggageni. “Itu lah yang ingin aku sampaikan mengapa aku memilih tempat ini untuk bertemu. Markas kita di selatan lereng Payoda sudah riskan. Musuh bisa kapan pun menyerang bahkan menyelinap dan menghancurkan dari dalam,” terang Legawa. “Apa yang terjadi? Bagaimana musuh bisa tahu markas kita?” Sanggageni mengepalkan kedua tinjunya. Sudah pasti ada yang tak beres selama sepeninggalnya dari padang Kalaha tempo hari. Selama itu pula ia tak pernah berurusan dengan Baka Nirdaya, meski sesungguhnya ia adalah pimpinan yang sah. “Apa Tuan ingat Patria?” “Maksudmu, p
“Pantas saja, kau sudah bersama pedangmu, Braja!” Ki Bayanaka berbicara tanpa ada satu pun seseorang di hadapannya. Hembusan angin setara badai ringan masih terus menerpa tubuhnya dan Jenar. Putrinya itu sampai harus berpegangan pada sebuah pohon di sisinya. Dua orang pria terhuyung karena kecepatan yang berhenti tiba-tiba. Sanggageni membuka mata karena tetap membuka mata saat kecepatan penuh membuat kepalanya sakit. Itu lah yang terjadi padanya terakhir kali karena Lembat Brabat milik Legawa. Legawa di belakang Sanggageni baru saja melepaskan sentuhan telapak tangan di bahu pria bergiwang itu. Ia tersenyum lalu buru-buru mengatur pernapasannya. Meski bukan pertama kali, Sanggageni masih saja takut membuka mata. Bahkan saat mengantarnya kembali ke Desa Girijajar saat kematian Gantari, pria itu sampai memuntahkan isi perutnya. “Syukurlah aku sampai!” Sanggageni menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Mengapa ada banyak angin saat kalian akan tiba? Tapi tidak begitu waktu Paman Leg
“Sudah lama aku menantimu, Gusti Patih Arya Nandika!” sambut Adipati Kertajaya di kediamannya, sebuah Kadipaten di sebelah selatan wilayah Astagina. Daerah itu memiliki ciri dikelilingi oleh tebing-tebing batu yang indah. Berimbang dengan sebutan ‘Lumbung Padi’ Astagina. Kedua laki-laki berbeda usia itu segera masuk ke dalam bangunan megah Astakencana. Adipati Kertajaya mempersilahkan Arya untuk duduk di sebuah kursi mewah dengan banyak hidangan di atas meja. “Adipati, terima kasih sudah menyambutku. Tapi maaf, hidangan seperti ini juga ada di Astagina. Apakah kau bisa menunjukkan padaku keindahan Astakencana ini?” pinta Arya sekaligus menolak secara halus. “Tentu saja, Gusti. Mari ikut aku!” Adipati Kertajaya memberikan isyarat pada beberapa prajurit. Seorang lelaki berpakaian paling berbeda datang kepadanya dengan penuh hormat. Lalu memasang telinganya untuk mendengar bisikan junjungannya. Lelaki itu mengangguk dan minta undur diri. Mereka berdua berjalan perlahan menuju sebuah
“Kalian berdua kembali lah ke Astagina! Katakan pada Gusti Prabu aku melakukan penyelidikan di Candikapura!” titah Arya pada dua orang pengawal yang senantiasa mengikutinya kemana pun ia pergi. “Tapi, Gusti. Kami diminta untuk terus membersamai Gusti Patih....” “Ini perintah! Aku ini Patih, aku bisa menjaga diriku sendiri!” potong Arya. Bagaimana pun ia merasa rikuh terus diikuti oleh dua orang pria bertubuh kekar itu. Ia lebih merasa menjadi anak bangsawan yang tak bisa apa-apa dari pada Patih Astagina. “Sendika, Gusti!” Tak ada lagi yang bisa didebat. Arya mengeluarkan kata-kata andalan seorang junjungan. Kedua pengawal itu menunduk memberi hormat, lalu mundur dan meninggalkan Arya tepat di gerbang Kadipaten Astakencana. “Aswabrama, sepertinya kali ini kita akan berpetualang berdua saja. Aku akan menjadi diriku yang sebenarnya. Tanpa segala perhiasan dan pakaian tak penting ini,” gumam Arya pada kudanya. Aswabrama menggeram perlahan saat Arya mengusap kedua sisi wajahnya. Arya