“Sepertinya kita harus cepat, Kakanda.” Sanggageni menatap Ki Bayanaka dengan tatapan kecemasan yang dalam. Ia tak ingin menjerumuskan putranya dalam dosa di bawah paksa Astagina. Bagaimana pun Arya hanya seorang remaja yang jauh dari bijaksana. “Benar, tapi kita tetap tak boleh gegabah. Jangan sampai Arya bertindak lebih dahulu dan melenceng dari rencana,” timpal Ki Bayanaka. “Legawa, bagaimana kondisi Baka Nirdaya?” tanya Sanggageni. “Itu lah yang ingin aku sampaikan mengapa aku memilih tempat ini untuk bertemu. Markas kita di selatan lereng Payoda sudah riskan. Musuh bisa kapan pun menyerang bahkan menyelinap dan menghancurkan dari dalam,” terang Legawa. “Apa yang terjadi? Bagaimana musuh bisa tahu markas kita?” Sanggageni mengepalkan kedua tinjunya. Sudah pasti ada yang tak beres selama sepeninggalnya dari padang Kalaha tempo hari. Selama itu pula ia tak pernah berurusan dengan Baka Nirdaya, meski sesungguhnya ia adalah pimpinan yang sah. “Apa Tuan ingat Patria?” “Maksudmu, p
“Pantas saja, kau sudah bersama pedangmu, Braja!” Ki Bayanaka berbicara tanpa ada satu pun seseorang di hadapannya. Hembusan angin setara badai ringan masih terus menerpa tubuhnya dan Jenar. Putrinya itu sampai harus berpegangan pada sebuah pohon di sisinya. Dua orang pria terhuyung karena kecepatan yang berhenti tiba-tiba. Sanggageni membuka mata karena tetap membuka mata saat kecepatan penuh membuat kepalanya sakit. Itu lah yang terjadi padanya terakhir kali karena Lembat Brabat milik Legawa. Legawa di belakang Sanggageni baru saja melepaskan sentuhan telapak tangan di bahu pria bergiwang itu. Ia tersenyum lalu buru-buru mengatur pernapasannya. Meski bukan pertama kali, Sanggageni masih saja takut membuka mata. Bahkan saat mengantarnya kembali ke Desa Girijajar saat kematian Gantari, pria itu sampai memuntahkan isi perutnya. “Syukurlah aku sampai!” Sanggageni menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Mengapa ada banyak angin saat kalian akan tiba? Tapi tidak begitu waktu Paman Leg
“Sudah lama aku menantimu, Gusti Patih Arya Nandika!” sambut Adipati Kertajaya di kediamannya, sebuah Kadipaten di sebelah selatan wilayah Astagina. Daerah itu memiliki ciri dikelilingi oleh tebing-tebing batu yang indah. Berimbang dengan sebutan ‘Lumbung Padi’ Astagina. Kedua laki-laki berbeda usia itu segera masuk ke dalam bangunan megah Astakencana. Adipati Kertajaya mempersilahkan Arya untuk duduk di sebuah kursi mewah dengan banyak hidangan di atas meja. “Adipati, terima kasih sudah menyambutku. Tapi maaf, hidangan seperti ini juga ada di Astagina. Apakah kau bisa menunjukkan padaku keindahan Astakencana ini?” pinta Arya sekaligus menolak secara halus. “Tentu saja, Gusti. Mari ikut aku!” Adipati Kertajaya memberikan isyarat pada beberapa prajurit. Seorang lelaki berpakaian paling berbeda datang kepadanya dengan penuh hormat. Lalu memasang telinganya untuk mendengar bisikan junjungannya. Lelaki itu mengangguk dan minta undur diri. Mereka berdua berjalan perlahan menuju sebuah
“Kalian berdua kembali lah ke Astagina! Katakan pada Gusti Prabu aku melakukan penyelidikan di Candikapura!” titah Arya pada dua orang pengawal yang senantiasa mengikutinya kemana pun ia pergi. “Tapi, Gusti. Kami diminta untuk terus membersamai Gusti Patih....” “Ini perintah! Aku ini Patih, aku bisa menjaga diriku sendiri!” potong Arya. Bagaimana pun ia merasa rikuh terus diikuti oleh dua orang pria bertubuh kekar itu. Ia lebih merasa menjadi anak bangsawan yang tak bisa apa-apa dari pada Patih Astagina. “Sendika, Gusti!” Tak ada lagi yang bisa didebat. Arya mengeluarkan kata-kata andalan seorang junjungan. Kedua pengawal itu menunduk memberi hormat, lalu mundur dan meninggalkan Arya tepat di gerbang Kadipaten Astakencana. “Aswabrama, sepertinya kali ini kita akan berpetualang berdua saja. Aku akan menjadi diriku yang sebenarnya. Tanpa segala perhiasan dan pakaian tak penting ini,” gumam Arya pada kudanya. Aswabrama menggeram perlahan saat Arya mengusap kedua sisi wajahnya. Arya
Sinar mentari menembus dahan dan daun pohon jati yang memenuhi lembah di perbatasan wilayah Candikapura. Dari Astakencana, wilayah penghasil perak dan tembaga ini hanya berjarak setengah hari berkuda. Daerahnya banyak dialiri sungai berbatu dan berpasir. Akan sangat dangkal bila tidak ada hujan di hulu. Berbekal petunjuk dari Adipati Kertajaya, Arya mengarahkan kudanya pada sebuah penginapan tempat para pembeli hasil perak dan tembaga Candikapura bermalam. Sebuah penginapan sederhana di tepi sungai Arutala yang seolah memantulkan kembali sinar rembulan di atasnya. Arya turun dari kudanya dan segera berjalan memasuki penginapan itu. Bangunan berbahan kayu dan bambu itu tampak sepi. Namun terdengar suara tawa banyak pria di lantai atas. Arya menghampiri sebuah meja besar di muka pintu, sepertinya tempat para pendatang memesan kamar. “Ada yang bisa aku bantu, Anak Muda?” tanya seorang pria tua bungkuk dengan tongkat kayu menyangga tubuhnya. “Aku mencari Ki Wungkuk. Dimana aku bisa men
“Kau pasti dari Astakencana. Kertajaya menyuruhmu ke mari mencariku,” ucap pria itu sambil terus memperhatikan anak panah api milik Arya. “Bagaimana kau bisa tahu?” Arya mengendurkan kembali tali busur dan menyimpan anak panahnya. “Ah, padahal aku sedang menikmati keindahannya!” seru Ki Wungkuk tak terima. “Sena Merbaba itu nama aslinya. Setelah naik tahta ia bergelar Kertajaya.” “Syukurlah kalau kau benar-benar Ki Wungkuk,” ucap Arya sambil menyandang lagi busur Agnitama di punggungnya. Ki Wungkuk terus memperhatikan Arya dari jarak dekat. Ia bahkan beberapa kali menyentuh lengan Arya yang tadi menarik busur dengan anak panah membara mengarah padanya. Suatu hal yang sudah tentu membuat Arya rikuh tak nyaman. Namun ia masih menghormati karena orang tua ini rupanya memiliki ilmu kanuragan yang cukup mumpuni. “Aku tak menyangka si Sena bisa menemukanmu. Kau pendekar terpilih itu.” Pria itu berhenti tepat di hadapan Arya. Ia menepuk bahu pemuda itu dengan tatap penuh takjub. “Kau su
Seorang pria dengan pakaian putih duduk bersila sambil memejamkan mata. Kedua tangannya pada posisi Surya Mudra di atas paha. Pria itu tampak begitu tenang dengan napas yang begitu teratur. Arya segera mundur dan duduk di sisi Ki Wungkung. “Ampun, Gusti Prabu! Hamba tidak tahu....” Ki Wungkung menghentikan kata-kata Arya dengan mengangkat tangannya tepat di hadapan wajah pemuda itu. Ia berkata, “tenang, Arya. Prabu Warasena belum mengetahui kehadiran kita!” Arya segera diam. Kini ia mendapatkan jawaban mengapa dirinya dan Ki Wungkung hanya berwujud serupa energi. Benda-benda di belakang samar-samar bisa dilihat. Benar dugaannya tadi, pria tua di sebelahnya ini bukan orang sembarangan. “Kau pandai juga, Arya. Kita kini hanya berupa ruh. Prabu Warasena sedang dalam proses keluar dari raga. Dia sudah mendapat tanda dariku, tunggu saja sebentar,” ujar Ki Wungkung begitu tenang. “Aku pernah mendengar ilmu macam ini. Apakah ini Meraga Sukma, Ki?” tanya Arya penasaran. Ilmu semacam ini a
Ki Bayanaka segera duduk bersila di sudut tenda. Ia atur napasnya hingga benar-benar tenang. Sudah lama pria itu tak menggunakan ilmu yang juga ia ajarkan pada Prabu Ranajaya. Setelah kemudian ia cabut ilmu itu dari Patih Astagina saat itu karena digunakan untuk mendatangi gadis-gadis cantik di tengah malam. Setelah pemusatan pikirannya cukup, maka tanpa dikomando ruhnya kini sudah keluar dari raga. Ki Bayanaka yakin Arya tengah berada di Candikapura meski ia tak tahu persis keberadaannya. Namun tak ada salahnya mengembara dengan mode seperti ini karena tak dibutuhkan waktu lama untuk mencapai tempat yang diinginkan. “Bayanaka!” Sekelebat bayangan muncul di hadapan Ki Bayanaka. Pria tua bungkuk mengenakan tongkat kayu tersenyum melihat Ki Bayanaka tampak terkejut dengan kehadirannya. “Wungkung? Lama tak bersua! Sudah aku duga kau lah pemilik energi besar yang berasal dari Candikapura ini!” seru Ki Bayanaka senang. Asumsinya tak salah. “Kau pasti mencari Ksatria Cundhamani itu, buk