Sesampai di rumah Rai membereskan koper dan menukar mobil dengan motor. Salmah sang asisten rumah tangga heran melihat tuan mudanya menyeret tas besar menuju motor.
“Mau kemana, Mas?” Kok pake motor?”
‘Dinas.” Ia menjawab singkat.
‘Dinas kemana?”
“Ke bulan.” Rai tidak suka ditanya-tanya.
“Ke bulan kok naik motor.” Sang asisten yang sudah lama bekerja di rumah Rai sama cuek dengan majikan mudanya.
“Nanti kalau Ibu tanya bilang kemana?” Ia masih penasaran.
“Bilang pergi tugas. Sudah! Gak usah cerewet kamu.”
“Ih, ditanya baik-baik juga. Kenapa marah-marah?” Salmah yang agak ganjen tak pernah merasa sungkan pada tuan mudanya yang tampan. Terkadang ia sengaja menggoda Rai. Namun Rai tidak pernah menggubris kelakuan minus asistennya.
“Mau dibantuin gak bawa kopernya?” Ia masih berusaha cari perhatian.
Rai melengos. “Udah sana. Urus aja kerjaan kamu. Gak usah ikut campur.”
Salmah malah melempar senyum menggoda, yang dibalas dengan mata melotot oleh Rai.
“Lagian masak bawa koper besar gitu pake motor? Naik taksi aja.” Ia mencoba memberi saran melihat Rai kesulitan menyusun koper ke atas motor.
“Hush. Diam!” Rai kesal dengan keusilan Salmah.
“Mas Rai mau kemana sih?”
“Salmah. Kamu berdiri di pojok sana. Dan diam! Bisa kan?” Rai menatap asisten itu dengan tatapan tajam.
“Gue sedang sibuk. Jadi jangan berisik!”
Salmah memonyongkan bibir dan tetap berdiri di samping Rai yang sibuk menyusun koper di motornya.
“Bawa-bawa koper besar berarti mas Rai mau pergi lama ya. Itu kan motor operasional Salmah. Nanti Salmah pake apa dong belanja ke tukang sayur.” Asisten ganjen itu seperti baru menyadari Rai bakal pergi lama dengan membawa motor yang biasa ia pakai untuk kesana kemari.
“Nanti minta beliin lagi sama Ibu.” Rai menjawab cuek.
“Idih, mana bisa beli motor segampang itu. Memangnya Mas Rai mau pergi berapa lama? Kenapa bawa motor sih? Naik taksi atau pake ojek online aja.” Sepertinya ia mulai mengkhawatirkan nasibnya tanpa ada motor di rumah.
Rai bergeming, dan ketika koper sudah aman, ia menyalakan mesin.
“Sudah sana bukain pagar. Gak usah banyak omong!”
Salmah tergopoh-gopoh membukan pintu untuk tuan mudanya yang bertingkah aneh. Ia tak lagi protes karena tahu Rai tak akan menggubris keberatannya.
“Hati-hati di jalan, Mas Rai Ganteng.” Salmah melambaikan tangan dengan genit, dan dibalas dengan pandangan jutek oleh Rai.
“Dasar ganjen.” Ia mengomel, dan berlalu meninggalkan sang asisten.
***
Motor bebek yang biasa dipakai Salmah tampak kecil bagi tubuh tinggi besar Rai. Namun ia cuek. Sam sudah mengingatkan Rai bahwa Zee tidak menyukai kemewahan. Ia memutuskan menggunakan motor agar bisa memenangkan taruhan dari Sang Ayah.
“Jika dia tidak suka kemewahan, sekalian akan kupaksa dia merasakan ketidaknyamanan.” Ia bertekad membuat hidup Zee tidak lagi mudah.
Rai telah menghubungi sang ayah untuk minta ijin menjalankan rencananya. Sam sangat gembira menyambut rencana yang ia ajukan. Sam langsung berkoordinasi dengan Will, ayah Zee. Kedua laki-laki itu takjub karena akhirnya Rai totalitas merima tantangan Sam. Kedua sahabat itu begitu bahagia karena merasa harapan mereka sepertinya bakal terwujud.
Sementara itu, Rai yang tengah mengendarai motor di jalanan yang macet sibuk menyusun rencana untuk menghadapi Zee. Tekadnya jelas. Gadis itu harus bisa ditaklukkan, entah bagaimana caranya. Dan Rai harus bertahan menjadi pengawalnya selama enam bulan. Menyebalkan, namun juga penuh tantangan. Namun Rai yakin, kemenangannya hanya masalah waktu.
Butuh waktu satu jam perjalanan hingga akhirnya ia sampai di rumah Zee. Bik Jah membukakan pintu dan menyambut kehadirannya dengan ramah.
“Mas Rai, ya? Saya Bik Jah. Tadi Tuan Will sudah telpon bibik, katanya Mas Rai mau kesini.”
“Iya, Bik. Saya Rai. Zee ada?”
“Non Zee belum pulang, Mas. Tadi telpon katanya pulang malam.”
“Oh, iya. Tidak apa-apa Bik.”
“Kamar sudah bik Jah siapin di atas. Mas Rai langsung naik aja.”
“Terima kasih Bik.” Ia memarkir motor dan menurunkan koper.
“Mau bibik bawain kopernya, Mas?”
“Oh, gak usah Bik. Berat ini. Tolong tunjukin aja kamarnya.”
Bik Jah memandu Rai menuju ke dalam rumah.
“Boleh istirahat dulu sebentar di ruang tamu ya Bik. Masih pegel naik motor.” Ia menghempaskan tubuh di sofa empuk ruang tamu Zee yang nyaman. Bik Jah tersenyum.
“Silahkan Mas. Santai aja. Bibik ambilin minum dulu ya.” Bik Jah meninggalkan Rai.
Rai melayangkan pandangan ke seisi rumah mewah itu. Di ruang tamu terdapat foto-foto Zee kecil bersama kedua orang tua dan kakak laki-lakinya. Foto-foto yang menampilkan kegembiraan sebuah keluarga bahagia. Zee yang selalu berpose dengan gaya santai, tampak ceria dalam pelukan mama dan kakak laki-lakinya. Rai ikut tersenyum ketika menatap satu per satu foto-foto tersebut. Tak bisa ia bayangkan, gadis kecil di foto itu kini mampu membuat ia kalang kabut dan harus melakukan hal-hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Tak lama Bik Jah datang membawa minuman.
“Silahkan Mas Rai. Minum dulu. Nanti kalau Mas sudah santai, bibik antar ke kamar di lantai atas.”
“Baik Bik. Terima kasih. Oya, tolong jangan bilang Zee kalau saya di sini.” Ia tak ingin gadis itu tahu keberadaan Rai di rumahnya. Ia harus memberi kejutan pada gadis tomboy itu.
“Baik Mas. Tapi biasanya kalo Non Zee bilang pulang malam, pulangnya malam beneran lho. Mas Rai gak usah tunggu.”
“Iya. Bibik gak usah nungguin juga. Saya pengawal Zee. Jadi biar saya nanti yang bukain pintu malam-malam buat dia.” Rai memberi penjelasan pada Bik Jah yang menatapnya dengan pandangan heran.
“Benar Mas Rai pengawal Non Zee? Biasanya gak ada yang nginap, Mas. Kalaupun ada yang nginap, tinggal di paviliun belakang sama tukang kebun dan Supir.” Bik Jah kembali menatap Rai penuh tanda tanya.
“Tapi tadi Tuan Will bilang, Kamar Mas Rai di lantai atas.”
“Iya, saya pengawal Non Zee.” Ia membalas acuh tak acuh.
Sudah tiga hari ia menjadi pengawal Zee, namun selama ini ia tidak pernah ke rumah Zee. Ia langsung ke mall sesuai arahan ayahnya. Pulang pun ia hanya mengintai Zee dari jauh. Kini, setelah tiga hari ia dibikin tampak konyol oleh Zee, ia ingin mengawal langsung gadis itu sejak bangun tidur hingga kembali tidur. Jika perlu ia akan mengikutinya selama dua puluh empat jam. Tekad yang disetujui dengan suka cita oleh kedua orang tua mereka.
“Jangan kira kamu bakal menang melawan Rai Sukmadilaga.” Tanpa sadar ia tersenyum senang membayangkan reaksi gadis itu jika tahu rencananya.
“Pengawal kok ganteng bener.” Bik Jah tampaknya tak tahan tidak memberi komentar melihat penampilan Rai. Sejak kecil ia menjadi pengasuh Zee, tapi belum ada pengawal yang seperti Rai. Bik Jah langsung merasa suka pada pengawal baru Nona kesayangannya.
“Non Zee itu anak baik, Mas. Tapi gak ada pengawal yang betah.” Ia berusaha memberi kesan baik pada Rai.
“Bibik harap Mas Rai bisa betah mengawal Non Zee. Kalau Non Zee berlaku gimana-gimana, gak usah dimasukin hati, ya.”
“Memangnya Zee anak satu-satunya?”
“Mama Non dan kakak sudah meninggal sejak dia usia sepuluh tahun. Sejak itu Non Zee seperti anak tunggal. Makanya Tuan selalu memberi pengawal.”
“Kenapa para pengawal gak ada yang betah?” Rai merasa perlu mengorek info dari Bik Jah yang sangat mengenal Zee.
“Karena pengawal-pengawal Non Zee sebelumnya gak ada yang bisa ngalahin Non. Mereka lembek, jadi Non Zee suka ngerjain. Akhirnya malah mengundurkan diri.” Ia memberi keterangan sembari menatap jenaka pada Rai.
Rai membelakkan mata mendengar penjelasan Bik Jah.
“Oya?? Memangnya Non Zee sekuat apa?”
“Wah, Mas Rai belum kenal ya? Nanti aja Mas Rai lihat sendiri, biar tahu seperti apa Non Zee. Tapi sebenarnya dia sangat baik. Mudah-mudahan mas Rai bisa menghadapinya.” Sebuah senyum tampak di bibir Bik Jah yang berusia separuh baya.
“Bibik sudah ngasuh Non sejak dia kecil. Jadi tahu betul siapa dia.” Bik Jah menambahkan info.
“Hmm… menarik… Mari kita mulai peperangan ini, kalau begitu.” Rai membatin. Ia tak sabar untuk segera bertemu dan berhadapan face to face dengan gadis yang akan dia kawal selama dua puluh empat jam sejak sekarang hingga enam bulan ke depan.
***
Zack menyambut kedatangan kedua sahabatnya dengan heboh. Masih menggunakan celana pendek dan kaos, ia menarik kedua gadis cantik itu ke dalam rumah.“Kalian ketemu dimana? Zee lu kenapa penuh rahasia banget tadi ngomongnya? Gue sempat kesel banget. Lu ngomong kayak orang ketakutan gitu. Lagian telpon gak diaktifin. Nyebelin tau. Ada apa sih?” Ia memberondong kedua sahabatnya dengan berbagai pertanyaan.“Gak ada apa-apa.” Zee menjawab santai.“Iya, Zee kayak orang ketakutan. Gue juga berasa begitu. Tapi dia gak mau cerita.” Dena menambahkan dan dibalas dengan mata mendelik oleh Zack.“Feeling gue bener. Gue juga berasa Zee begitu. Dan itu sangat menjengkelkan.” Zack merasa dapat support dari Dena.“Sembarangan. Mana ada dalam kamus Lizzy takut seperti begitu.” Ia menatap Zack dengan pandangan tidak terima."Tapi lu emang gak biasanya, Zee. Lu aneh dan jadi nyebelin.” Dena menim
Zee melayangkan tangan ingin menampar Rai yang membuatnya sangat marah. Namun Rai kembali menangkap tangan mungil itu dengan pandangan sinis dan meremehkan.“Cukup, Nona. Ini tengah malam. Anda mau menampar saya lagi di tengah malam buta begini? Anda mau bikin drama? Ingin menjadi topik berita?” Rai menggenggam tangan Zee dan bicara dengan suara pelan sambil membungkukkan tubuh di hadapan Zee.“Sebaiknya anda bersiap-siap untuk istirahat. Ini sudah hampir pukul setengah tiga. Besok pagi anda harus ke mall lagi. Saya tunggu anda pukul tujuh pagi untuk mengantar anda ke sana.”“Heh! Siapa bilang gue mau diantarin sama kamu? Jangan lancang kamu!” Zee masih belum bisa terima perlakuan Rai, namun ia pun tak tahu harus bagaimana bersikap menghadapi pengawal lancang dan kurang ajar itu.“Saya tidak mau berdebat di tengah malam dengan anak perempuan berkelakuan seperti bayi. Jadi sekarang silahkan istirahat. Sampai jumpa besok pagi.” Rai melepaskan tangan Zee dan ber
Zee mengintip dari balik tiang besar di sebuah mall megah.“Huh… pengawal resek! Disuruh jauh-jauh malah nempel kayak perangko.” Ia tersengal-sengal setelah berhasil kabur dari adegan petak umpet dengan pengawal baru yang dikirim ayahnya.Tiang besar mall itu membuatnya merasa aman dari intaian sang pengawal. Meski jantungnya berdetak kencang dan pipi memerah, namun ia puas saat melihat pria bersafari hitam itu celingak-celinguk kebingungan mencari sosok mungilnya di antara pengunjung mall yang ramai.Dengan santai ia duduk ngedeprok di lantai, menyandar pada tiang, berusaha menstabilkan kembali denyut jantungnya yang terasa mau meledak. Senyum jail tersungging di sudut bibirnya.“Welcome to the jungle.”Gadis bermata belo itu sehari-hari tampil cuek dengan kaos vintage dan leather jacket warna hitam beserta celana jeans belel kesukaannya. Rambutnya tertutup topi yang dipakai menghadap ke belak
“Neng Zee ngapain sih tiap hari ke mall?” Joni si tukang parkir hampir selalu menanyakan pertanyaan yang sama saat didatangi gadis itu. Sudah nyaris sebulan ia melihat Zee mondar mandir di mall.Dulu Zee malah ikut membantunya memarkirkan mobil-mobil yang keluar masuk. Tapi Joni melarang. “Nanti saya yang kena skors, Neng. Tukang parkir di mari harus pakai seragam.” Ia khawatir ditegur atasannya jika melihat Zee ikut memarkirkan mobil-mobil tamu. Sejak itu Zee berhenti memarkirkan mobil. Ia sadar tamu pasti tak nyaman jika dilayani tukang parkir layaknya di pinggir jalan. Tapi ia masih sering nongkrong ke tempat Joni di saat-saat tertentu.“Neng….!” Joni mengagetkan Zee yang sedang celingukan mencari Rai, pengawalnya yang menyebalkan itu.“Inspeksi.” Ia menjawab singkat.“Yaelah si Neng. Inspeksi segala. Kayak pejabat aja.” Joni tertawa mendengar jawaban Zee yang lucu.“Inspeksi Kang Parkir. Biar gak kerja sembarangan.” Zee tertawa menanggapi kome
Dena bergelayut manja di lengan Zee. Ia memang sangat menyayangi sahabat tomboy-nya itu. Meski tomboy, ia tahu persis, Zee adalah pribadi humble dan lembut hati. Empat tahun ia mengenal Zee, gadis itu selalu ada saat Dena membutuhkan. Meski tampak cuek, tapi Zee sangat perhatian dan peduli jika terjadi sesuatu pada teman-teman, terutama pada Dena. Mereka saling menyayangi, apalagi Zee dan Dena sama-sama anak tunggal.Mereka memiliki seorang sahabat lain, Zack, salah satu cowok idola dan atlit serba bisa pemegang sabuk hitam taekwondo. Bertiga mereka dijuluki Double ZD. Mereka hampir selalu bersama semasa kuliah. Dena satu-satunya yang tidak bisa bela diri, sehingga menjadi anak manja yang selalu diproteksi oleh Double Z.Kini hampir sebulan ia tidak bertemu Zee. Ia kangen berat, namun Zee sulit dihubungi. Ia pun tak menyangka bertemu Zee hari ini di mall. Dena sangat senang dan tak henti-henti menanyai Zee ini itu.“Zee, seriusan. Tadi ngapain sih di mall ini? Tadi
Zee mendapat kesempatan kabur dari Rai. Saat film sedang tayang, ia sengaja ke luar dan mencari tahu keberadaan Rai. Setelah celingukan mencari laki-laki itu di seputar bioskop dan turun satu lantai di bawahnya, tak juga terlihat si pengawal sombong. Tiba-tiba ia menemukan ide untuk membalas dendam atas perlakuan kurang ajar Rai tadi siang.Bergegas ia kembali masuk dan memaksa Dena keluar. Dena yang tengah asik menikmati film, protes. Tapi Zee ngotot.“Kenapa sih Zee. Kan lagi seru ini filmnya.” Dena cemberut ditarik-tarik Zee untuk keluar.“Ayolah Na. Kita jalan ke luar. Ajak Zack.” Ia berbisik di kuping Dena.Begitu mendengar nama Zack, Dena langsung semangat.“Eh iya. Gue juga kangen sama Zack. Yuk.” Dena otomatis beranjak dari tempat duduk. Mereka berjalan merunduk di antara deretan kursi bioskop agar tidak menghalangi penonton lain.Zee setengah berlari menarik tangan Dena agar cepat sampai ke parkir. Ia ingin ngumpet di mobil Dena dan seger
Rai memacu mobil dengan santai. Meski marah ia berusaha tetap tenang. Saat ini ia tak ingin kemana-mana. Tujuannya cuma satu. Pulang. Hari ini ia merasa sangat konyol karena berhasil dikecoh dengan mudah oleh seorang anak perempuan. Ia, Raihan si Jagoan, dibuat tampak bodoh gara-gara gadis kecil dengan tinggi tak sampai sedadanya yang bidang. Jika Dre tahu, anak itu pasti tertawa puas atas segala penderitaannya.“What? Lu dikibulin bocah?” Seketika wajah jail Dre terbayang di depan matanya.“Lu harus lebih manusiawi sama cewek. Peran pangeran berhati dingin itu udah gak jaman. Nyesal lu gak sempat senang-senang di masa muda bersama cewek-cewek cantik.” Dre yang playboy cap kampak selalu berusaha mengajak Rai masuk ke dunianya yang hingar bingar dan sering gonta ganti cewek. Tapi Rai tak tertarik dengan gaya hidup Dre yang hedon. Ia lebih suka menghabiskan waktu berlatih dan melatih karate di dojo milik salah seorang sahabatnya.“Gan
Zee melayangkan tangan ingin menampar Rai yang membuatnya sangat marah. Namun Rai kembali menangkap tangan mungil itu dengan pandangan sinis dan meremehkan.“Cukup, Nona. Ini tengah malam. Anda mau menampar saya lagi di tengah malam buta begini? Anda mau bikin drama? Ingin menjadi topik berita?” Rai menggenggam tangan Zee dan bicara dengan suara pelan sambil membungkukkan tubuh di hadapan Zee.“Sebaiknya anda bersiap-siap untuk istirahat. Ini sudah hampir pukul setengah tiga. Besok pagi anda harus ke mall lagi. Saya tunggu anda pukul tujuh pagi untuk mengantar anda ke sana.”“Heh! Siapa bilang gue mau diantarin sama kamu? Jangan lancang kamu!” Zee masih belum bisa terima perlakuan Rai, namun ia pun tak tahu harus bagaimana bersikap menghadapi pengawal lancang dan kurang ajar itu.“Saya tidak mau berdebat di tengah malam dengan anak perempuan berkelakuan seperti bayi. Jadi sekarang silahkan istirahat. Sampai jumpa besok pagi.” Rai melepaskan tangan Zee dan ber
Zack menyambut kedatangan kedua sahabatnya dengan heboh. Masih menggunakan celana pendek dan kaos, ia menarik kedua gadis cantik itu ke dalam rumah.“Kalian ketemu dimana? Zee lu kenapa penuh rahasia banget tadi ngomongnya? Gue sempat kesel banget. Lu ngomong kayak orang ketakutan gitu. Lagian telpon gak diaktifin. Nyebelin tau. Ada apa sih?” Ia memberondong kedua sahabatnya dengan berbagai pertanyaan.“Gak ada apa-apa.” Zee menjawab santai.“Iya, Zee kayak orang ketakutan. Gue juga berasa begitu. Tapi dia gak mau cerita.” Dena menambahkan dan dibalas dengan mata mendelik oleh Zack.“Feeling gue bener. Gue juga berasa Zee begitu. Dan itu sangat menjengkelkan.” Zack merasa dapat support dari Dena.“Sembarangan. Mana ada dalam kamus Lizzy takut seperti begitu.” Ia menatap Zack dengan pandangan tidak terima."Tapi lu emang gak biasanya, Zee. Lu aneh dan jadi nyebelin.” Dena menim
Sesampai di rumah Rai membereskan koper dan menukar mobil dengan motor. Salmah sang asisten rumah tangga heran melihat tuan mudanya menyeret tas besar menuju motor.“Mau kemana, Mas?” Kok pake motor?”‘Dinas.” Ia menjawab singkat.‘Dinas kemana?”“Ke bulan.” Rai tidak suka ditanya-tanya.“Ke bulan kok naik motor.” Sang asisten yang sudah lama bekerja di rumah Rai sama cuek dengan majikan mudanya.“Nanti kalau Ibu tanya bilang kemana?” Ia masih penasaran.“Bilang pergi tugas. Sudah! Gak usah cerewet kamu.”“Ih, ditanya baik-baik juga. Kenapa marah-marah?” Salmah yang agak ganjen tak pernah merasa sungkan pada tuan mudanya yang tampan. Terkadang ia sengaja menggoda Rai. Namun Rai tidak pernah menggubris kelakuan minus asistennya.“Mau dibantuin gak bawa kopernya?” Ia masih berusaha cari perhatian.Rai me
Rai memacu mobil dengan santai. Meski marah ia berusaha tetap tenang. Saat ini ia tak ingin kemana-mana. Tujuannya cuma satu. Pulang. Hari ini ia merasa sangat konyol karena berhasil dikecoh dengan mudah oleh seorang anak perempuan. Ia, Raihan si Jagoan, dibuat tampak bodoh gara-gara gadis kecil dengan tinggi tak sampai sedadanya yang bidang. Jika Dre tahu, anak itu pasti tertawa puas atas segala penderitaannya.“What? Lu dikibulin bocah?” Seketika wajah jail Dre terbayang di depan matanya.“Lu harus lebih manusiawi sama cewek. Peran pangeran berhati dingin itu udah gak jaman. Nyesal lu gak sempat senang-senang di masa muda bersama cewek-cewek cantik.” Dre yang playboy cap kampak selalu berusaha mengajak Rai masuk ke dunianya yang hingar bingar dan sering gonta ganti cewek. Tapi Rai tak tertarik dengan gaya hidup Dre yang hedon. Ia lebih suka menghabiskan waktu berlatih dan melatih karate di dojo milik salah seorang sahabatnya.“Gan
Zee mendapat kesempatan kabur dari Rai. Saat film sedang tayang, ia sengaja ke luar dan mencari tahu keberadaan Rai. Setelah celingukan mencari laki-laki itu di seputar bioskop dan turun satu lantai di bawahnya, tak juga terlihat si pengawal sombong. Tiba-tiba ia menemukan ide untuk membalas dendam atas perlakuan kurang ajar Rai tadi siang.Bergegas ia kembali masuk dan memaksa Dena keluar. Dena yang tengah asik menikmati film, protes. Tapi Zee ngotot.“Kenapa sih Zee. Kan lagi seru ini filmnya.” Dena cemberut ditarik-tarik Zee untuk keluar.“Ayolah Na. Kita jalan ke luar. Ajak Zack.” Ia berbisik di kuping Dena.Begitu mendengar nama Zack, Dena langsung semangat.“Eh iya. Gue juga kangen sama Zack. Yuk.” Dena otomatis beranjak dari tempat duduk. Mereka berjalan merunduk di antara deretan kursi bioskop agar tidak menghalangi penonton lain.Zee setengah berlari menarik tangan Dena agar cepat sampai ke parkir. Ia ingin ngumpet di mobil Dena dan seger
Dena bergelayut manja di lengan Zee. Ia memang sangat menyayangi sahabat tomboy-nya itu. Meski tomboy, ia tahu persis, Zee adalah pribadi humble dan lembut hati. Empat tahun ia mengenal Zee, gadis itu selalu ada saat Dena membutuhkan. Meski tampak cuek, tapi Zee sangat perhatian dan peduli jika terjadi sesuatu pada teman-teman, terutama pada Dena. Mereka saling menyayangi, apalagi Zee dan Dena sama-sama anak tunggal.Mereka memiliki seorang sahabat lain, Zack, salah satu cowok idola dan atlit serba bisa pemegang sabuk hitam taekwondo. Bertiga mereka dijuluki Double ZD. Mereka hampir selalu bersama semasa kuliah. Dena satu-satunya yang tidak bisa bela diri, sehingga menjadi anak manja yang selalu diproteksi oleh Double Z.Kini hampir sebulan ia tidak bertemu Zee. Ia kangen berat, namun Zee sulit dihubungi. Ia pun tak menyangka bertemu Zee hari ini di mall. Dena sangat senang dan tak henti-henti menanyai Zee ini itu.“Zee, seriusan. Tadi ngapain sih di mall ini? Tadi
“Neng Zee ngapain sih tiap hari ke mall?” Joni si tukang parkir hampir selalu menanyakan pertanyaan yang sama saat didatangi gadis itu. Sudah nyaris sebulan ia melihat Zee mondar mandir di mall.Dulu Zee malah ikut membantunya memarkirkan mobil-mobil yang keluar masuk. Tapi Joni melarang. “Nanti saya yang kena skors, Neng. Tukang parkir di mari harus pakai seragam.” Ia khawatir ditegur atasannya jika melihat Zee ikut memarkirkan mobil-mobil tamu. Sejak itu Zee berhenti memarkirkan mobil. Ia sadar tamu pasti tak nyaman jika dilayani tukang parkir layaknya di pinggir jalan. Tapi ia masih sering nongkrong ke tempat Joni di saat-saat tertentu.“Neng….!” Joni mengagetkan Zee yang sedang celingukan mencari Rai, pengawalnya yang menyebalkan itu.“Inspeksi.” Ia menjawab singkat.“Yaelah si Neng. Inspeksi segala. Kayak pejabat aja.” Joni tertawa mendengar jawaban Zee yang lucu.“Inspeksi Kang Parkir. Biar gak kerja sembarangan.” Zee tertawa menanggapi kome
Zee mengintip dari balik tiang besar di sebuah mall megah.“Huh… pengawal resek! Disuruh jauh-jauh malah nempel kayak perangko.” Ia tersengal-sengal setelah berhasil kabur dari adegan petak umpet dengan pengawal baru yang dikirim ayahnya.Tiang besar mall itu membuatnya merasa aman dari intaian sang pengawal. Meski jantungnya berdetak kencang dan pipi memerah, namun ia puas saat melihat pria bersafari hitam itu celingak-celinguk kebingungan mencari sosok mungilnya di antara pengunjung mall yang ramai.Dengan santai ia duduk ngedeprok di lantai, menyandar pada tiang, berusaha menstabilkan kembali denyut jantungnya yang terasa mau meledak. Senyum jail tersungging di sudut bibirnya.“Welcome to the jungle.”Gadis bermata belo itu sehari-hari tampil cuek dengan kaos vintage dan leather jacket warna hitam beserta celana jeans belel kesukaannya. Rambutnya tertutup topi yang dipakai menghadap ke belak