Zee mengintip dari balik tiang besar di sebuah mall megah.
“Huh… pengawal resek! Disuruh jauh-jauh malah nempel kayak perangko.” Ia tersengal-sengal setelah berhasil kabur dari adegan petak umpet dengan pengawal baru yang dikirim ayahnya.
Tiang besar mall itu membuatnya merasa aman dari intaian sang pengawal. Meski jantungnya berdetak kencang dan pipi memerah, namun ia puas saat melihat pria bersafari hitam itu celingak-celinguk kebingungan mencari sosok mungilnya di antara pengunjung mall yang ramai.
Dengan santai ia duduk ngedeprok di lantai, menyandar pada tiang, berusaha menstabilkan kembali denyut jantungnya yang terasa mau meledak. Senyum jail tersungging di sudut bibirnya.
“Welcome to the jungle.”
Gadis bermata belo itu sehari-hari tampil cuek dengan kaos vintage dan leather jacket warna hitam beserta celana jeans belel kesukaannya. Rambutnya tertutup topi yang dipakai menghadap ke belakang. Sneaker hitam menghiasi kakinya yang saat melangkah bisa mengalahkan kecepatan kereta. Meski sudah berusia dua puluh satu tahun, penampilannya tak pernah berubah. Boyfriend look ala pemain Drama Korea.
Zee sebenarnya sedang bertugas. Ia baru saja lulus kuliah dan bertanggung jawab mengawasi operasional mall. Setiap hari ia wara-wiri di mall itu dengan penampilan santai. Namun tak ada pekerja di lantai bawah yang mengetahuinya. Hanya top manajemen mall yang tahu siapa Zee. Tapi mereka tak berani ikut campur mengoreksi penampilan gadis tomboy itu. Sedangkan pria bersafari yang menguntitnya adalah pengawal yang dikirim sang ayah.
“Sungguh konyol.” Ia selalu protes setiap ada pengawal baru.
Meski terganggu, ia tak bisa melawan kehendak Will, sang ayah. Dia lelah berdebat mengenai pria-pria penguntit kiriman Will. Sebagai pemilik DAN Tiga Karate, dia merasa dilecehkan diikuti setiap hari oleh pengawal yang dari penampilan pun kadang tidak meyakinkan. Namun ayahnya bergeming. Baginya, Zee tetap gadis kecil yang senantiasa harus aman, tak peduli setinggi apa ilmu beladiri yang dimilikinya.
Sikap protektif itu muncul sejak Zee menjadi satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tom dan sang mama telah mendahului mereka. Trauma atas kehilangan dua orang yang sangat mereka cintai membuat ayah Zee menjadi senantiasa mengkhawatirkan putri satu-satunya.
Meski berusaha memahami, Zee tetap merasa terganggu.
Baru saja ia bernafas lega, tiba-tiba pengawal itu muncul di hadapannya. Dia ikut berjongkok di hadapan Zee dan menatap gadis itu tepat di bola matanya. Belum seminggu bertugas, ia sudah beberapa kali menjadi bulan-bulanan si gadis tomboy.
Ia tampak marah. Rahangnya mengeras, tatapannya mengintimidasi.
“Cukup, nona. Main-mainnya selesai.”
Zee tersentak. Sejak kecil, baru kali ini ada pengawal yang berani bersikap tegas padanya.
Ia melotot menatap sang pengawal. Nafasnya kembali tersengal menahan marah. Ia bangkit berdiri, sekali lagi melototkan mata padanya dan berlalu meninggalkan laki-laki yang tak kalah kaget menerima responnya.
Setengah berlari, ia mempercepat langkah keluar mall. Pria itu mengikuti dengan langkah tak kalah gesit. Saat tiba di area parkir yang jauh dari keramaian, tiba-tiba Zee menghentikan langkah dan berbalik arah menatap sang pengawal dengan mata terbuka lebar. Pria itu terkejut. Seperti direm, dia berhenti mendadak dan nyaris menabrak sang gadis.
“Ya ampun, nona. Brenti mbok bilang-bilang. Kalo ketabrak gimana?” Suaranya tegas.
Tak tampak sedikitpun rasa khawatir melihat ekpresi Zee yang jengkel. Sebaliknya, ia tetap percaya diri dan santai.
“Sudah kubilang, pulang aja. Aku gak butuh pengawal!”
Gadis itu cuma seleher sang pengawal, namun nyalinya tak mewakili tingginya yang seratus enam puluh sentimeter. Pengawal itu tampak menjulang di hadapannya.
“Tidak bisa. Saya sudah dibayar untuk mengawal anda.”
Zee melotot. “Bodo amat. Aku gak butuh dikawal.”
“Tapi si Amat gak bodo.” Ia membalas santai.
Zee makin membesarkan bola matanya. “Gak lucu!”
"Saya memang gak lagi ngelawak." Dengan cueknya ia menjawab setiap ucapan Zee.
Zee melotot marah, namun pengawal itu tak mau kalah. Ia balas melotot.
“Kata ayah anda, anda sudah tamat kuliah. Tapi kelakuan anda seperti anak SD.” Ia menunduk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Zee hingga membuat sang gadis tersentak kaget.
“Haiiii…. Hello….. Jangan kurang ajar ya!” Tangannya bergerak ingin menampar pengawal lancang itu. Namun secepat kilat ditangkis dan digenggam oleh sang pengawal disertai wajah meringis.
“Ah iya, saya lupa anda pemegang Dan Tiga Karate. Tapi saya Dan Lima. Jadi jangan berani-berani bermain kasar dengan saya. Saya senior anda, Nona.” Ia mempermainkan tangan Zee yang ada di dalam genggamannya.
Zee diserbu rasa marah luar biasa. Dia tak terima diperlakukan kurang ajar, namun tenaga pria itu jauh lebih kuat. Ia meronta dan memberi tendangan keras ke tulang keringnya. Seketika si pengawal melepaskan genggaman dan berteriak kesakitan.
“Awww... Astaga. Anda ini! Pantas saja tidak ada yang betah jadi pengawal anda.”
“Jangan kurang ajar ya.” Zee murka. Air mata nyaris menyeruak di sudut matanya karena amarah yang menggelora akibat diperlakukan kurang ajar. Namun sekuat tenaga ia tahan. Ia gengsi tampak lemah di hadapan laki-laki jangkung yang telah merontokkan harga dirinya.
Selama ini belum pernah ada yang berani bersikap kasar padanya. Apalagi seorang pengawal. Orang bayaran papanya. Betapa kurang ajar.
Dengan kesal ia memperhatikan laki-laki itu lekat-lekat. Wajah tampan dengan sepasang lesung pipi yang tampak serasi di wajahnya yang bersih. Matanya menyiratkan pribadi cerdas yang tidak mudah diintimidasi.
Seketika gadis itu diliputi rasa penasaran. Siapa gerangan pengawal yang kali ini dikirim papa untuk mengawasi setiap gerak geriknya.
Pengawal terakhir, jelas tidak cocok untuk menjaganya. Selain tampak lemah, dia juga terlalu takut bersikap pada Zee. Namun laki-laki ini berbeda. Rasa percaya dirinya sangat tinggi dan sama sekali tidak gentar dengan ancaman Zee.
“Kok malah melotot liatin saya. Naksir ya!” Dengan pedenya ia menggerak-gerakkan jemarinya di depan hidung Zee.
“Ge er kamu!”
“Lah itu. Kok malah ngeliatin kayak naksir gitu.”
“Terus kalo gue naksir, kamu mau apa?” Zee asal ceplos, seperti kebiasaannya selama ini.
“Wah, saya dapat durian runtuh dong.” Sang pengawal justru memberikan senyum manis dan langsung mencetak lesung pipinya dengan sempurna.
“Dasar gila!” Zee tidak menyangka jawaban pengawal lancang itu. Dengan kesal ia beranjak meninggalkannya.
“Eeh .. nona … tunggu... Anda mau kemana?”
“Neraka!” Zee menjawab sekenanya.
Pengawal itu hendak mengikuti. Tapi Zee memperingatkan sambil menunjuk hidungnya.
“Stop. Jangan ngikutin aku. Kamu harus jaga jarak. Setidaknya tiga ratus meter dari aku!” Lalu ia berjalan cepat meninggalkan laki-laki yang justru membalas dengan seringai di sudut bibir. Wajahnya tampak senang.
“Hmm.. tidak salah aku terima tawaran Papa untuk jadi pengawal kamu, karena aku pasti menang.”
Namun kemudian, ia menatap tak percaya ketika gadis tomboy itu menuju ke arah tukang parkir yang ada di halaman mall. Dengan santai ia ngobrol dan duduk di pembatas parkir yang ada. Mereka tampak akrab dan asyik ngobrol. Tak lama mereka tertawa dengan lepas. Entah apa yang sedang dibicarakan.Sang pengawal geleng-geleng kepala melihat tingkah gadis tomboy yang kini berada dalam tanggungjawabnya.
***
“Neng Zee ngapain sih tiap hari ke mall?” Joni si tukang parkir hampir selalu menanyakan pertanyaan yang sama saat didatangi gadis itu. Sudah nyaris sebulan ia melihat Zee mondar mandir di mall.Dulu Zee malah ikut membantunya memarkirkan mobil-mobil yang keluar masuk. Tapi Joni melarang. “Nanti saya yang kena skors, Neng. Tukang parkir di mari harus pakai seragam.” Ia khawatir ditegur atasannya jika melihat Zee ikut memarkirkan mobil-mobil tamu. Sejak itu Zee berhenti memarkirkan mobil. Ia sadar tamu pasti tak nyaman jika dilayani tukang parkir layaknya di pinggir jalan. Tapi ia masih sering nongkrong ke tempat Joni di saat-saat tertentu.“Neng….!” Joni mengagetkan Zee yang sedang celingukan mencari Rai, pengawalnya yang menyebalkan itu.“Inspeksi.” Ia menjawab singkat.“Yaelah si Neng. Inspeksi segala. Kayak pejabat aja.” Joni tertawa mendengar jawaban Zee yang lucu.“Inspeksi Kang Parkir. Biar gak kerja sembarangan.” Zee tertawa menanggapi kome
Dena bergelayut manja di lengan Zee. Ia memang sangat menyayangi sahabat tomboy-nya itu. Meski tomboy, ia tahu persis, Zee adalah pribadi humble dan lembut hati. Empat tahun ia mengenal Zee, gadis itu selalu ada saat Dena membutuhkan. Meski tampak cuek, tapi Zee sangat perhatian dan peduli jika terjadi sesuatu pada teman-teman, terutama pada Dena. Mereka saling menyayangi, apalagi Zee dan Dena sama-sama anak tunggal.Mereka memiliki seorang sahabat lain, Zack, salah satu cowok idola dan atlit serba bisa pemegang sabuk hitam taekwondo. Bertiga mereka dijuluki Double ZD. Mereka hampir selalu bersama semasa kuliah. Dena satu-satunya yang tidak bisa bela diri, sehingga menjadi anak manja yang selalu diproteksi oleh Double Z.Kini hampir sebulan ia tidak bertemu Zee. Ia kangen berat, namun Zee sulit dihubungi. Ia pun tak menyangka bertemu Zee hari ini di mall. Dena sangat senang dan tak henti-henti menanyai Zee ini itu.“Zee, seriusan. Tadi ngapain sih di mall ini? Tadi
Zee mendapat kesempatan kabur dari Rai. Saat film sedang tayang, ia sengaja ke luar dan mencari tahu keberadaan Rai. Setelah celingukan mencari laki-laki itu di seputar bioskop dan turun satu lantai di bawahnya, tak juga terlihat si pengawal sombong. Tiba-tiba ia menemukan ide untuk membalas dendam atas perlakuan kurang ajar Rai tadi siang.Bergegas ia kembali masuk dan memaksa Dena keluar. Dena yang tengah asik menikmati film, protes. Tapi Zee ngotot.“Kenapa sih Zee. Kan lagi seru ini filmnya.” Dena cemberut ditarik-tarik Zee untuk keluar.“Ayolah Na. Kita jalan ke luar. Ajak Zack.” Ia berbisik di kuping Dena.Begitu mendengar nama Zack, Dena langsung semangat.“Eh iya. Gue juga kangen sama Zack. Yuk.” Dena otomatis beranjak dari tempat duduk. Mereka berjalan merunduk di antara deretan kursi bioskop agar tidak menghalangi penonton lain.Zee setengah berlari menarik tangan Dena agar cepat sampai ke parkir. Ia ingin ngumpet di mobil Dena dan seger
Rai memacu mobil dengan santai. Meski marah ia berusaha tetap tenang. Saat ini ia tak ingin kemana-mana. Tujuannya cuma satu. Pulang. Hari ini ia merasa sangat konyol karena berhasil dikecoh dengan mudah oleh seorang anak perempuan. Ia, Raihan si Jagoan, dibuat tampak bodoh gara-gara gadis kecil dengan tinggi tak sampai sedadanya yang bidang. Jika Dre tahu, anak itu pasti tertawa puas atas segala penderitaannya.“What? Lu dikibulin bocah?” Seketika wajah jail Dre terbayang di depan matanya.“Lu harus lebih manusiawi sama cewek. Peran pangeran berhati dingin itu udah gak jaman. Nyesal lu gak sempat senang-senang di masa muda bersama cewek-cewek cantik.” Dre yang playboy cap kampak selalu berusaha mengajak Rai masuk ke dunianya yang hingar bingar dan sering gonta ganti cewek. Tapi Rai tak tertarik dengan gaya hidup Dre yang hedon. Ia lebih suka menghabiskan waktu berlatih dan melatih karate di dojo milik salah seorang sahabatnya.“Gan
Sesampai di rumah Rai membereskan koper dan menukar mobil dengan motor. Salmah sang asisten rumah tangga heran melihat tuan mudanya menyeret tas besar menuju motor.“Mau kemana, Mas?” Kok pake motor?”‘Dinas.” Ia menjawab singkat.‘Dinas kemana?”“Ke bulan.” Rai tidak suka ditanya-tanya.“Ke bulan kok naik motor.” Sang asisten yang sudah lama bekerja di rumah Rai sama cuek dengan majikan mudanya.“Nanti kalau Ibu tanya bilang kemana?” Ia masih penasaran.“Bilang pergi tugas. Sudah! Gak usah cerewet kamu.”“Ih, ditanya baik-baik juga. Kenapa marah-marah?” Salmah yang agak ganjen tak pernah merasa sungkan pada tuan mudanya yang tampan. Terkadang ia sengaja menggoda Rai. Namun Rai tidak pernah menggubris kelakuan minus asistennya.“Mau dibantuin gak bawa kopernya?” Ia masih berusaha cari perhatian.Rai me
Zack menyambut kedatangan kedua sahabatnya dengan heboh. Masih menggunakan celana pendek dan kaos, ia menarik kedua gadis cantik itu ke dalam rumah.“Kalian ketemu dimana? Zee lu kenapa penuh rahasia banget tadi ngomongnya? Gue sempat kesel banget. Lu ngomong kayak orang ketakutan gitu. Lagian telpon gak diaktifin. Nyebelin tau. Ada apa sih?” Ia memberondong kedua sahabatnya dengan berbagai pertanyaan.“Gak ada apa-apa.” Zee menjawab santai.“Iya, Zee kayak orang ketakutan. Gue juga berasa begitu. Tapi dia gak mau cerita.” Dena menambahkan dan dibalas dengan mata mendelik oleh Zack.“Feeling gue bener. Gue juga berasa Zee begitu. Dan itu sangat menjengkelkan.” Zack merasa dapat support dari Dena.“Sembarangan. Mana ada dalam kamus Lizzy takut seperti begitu.” Ia menatap Zack dengan pandangan tidak terima."Tapi lu emang gak biasanya, Zee. Lu aneh dan jadi nyebelin.” Dena menim
Zee melayangkan tangan ingin menampar Rai yang membuatnya sangat marah. Namun Rai kembali menangkap tangan mungil itu dengan pandangan sinis dan meremehkan.“Cukup, Nona. Ini tengah malam. Anda mau menampar saya lagi di tengah malam buta begini? Anda mau bikin drama? Ingin menjadi topik berita?” Rai menggenggam tangan Zee dan bicara dengan suara pelan sambil membungkukkan tubuh di hadapan Zee.“Sebaiknya anda bersiap-siap untuk istirahat. Ini sudah hampir pukul setengah tiga. Besok pagi anda harus ke mall lagi. Saya tunggu anda pukul tujuh pagi untuk mengantar anda ke sana.”“Heh! Siapa bilang gue mau diantarin sama kamu? Jangan lancang kamu!” Zee masih belum bisa terima perlakuan Rai, namun ia pun tak tahu harus bagaimana bersikap menghadapi pengawal lancang dan kurang ajar itu.“Saya tidak mau berdebat di tengah malam dengan anak perempuan berkelakuan seperti bayi. Jadi sekarang silahkan istirahat. Sampai jumpa besok pagi.” Rai melepaskan tangan Zee dan ber
Zee melayangkan tangan ingin menampar Rai yang membuatnya sangat marah. Namun Rai kembali menangkap tangan mungil itu dengan pandangan sinis dan meremehkan.“Cukup, Nona. Ini tengah malam. Anda mau menampar saya lagi di tengah malam buta begini? Anda mau bikin drama? Ingin menjadi topik berita?” Rai menggenggam tangan Zee dan bicara dengan suara pelan sambil membungkukkan tubuh di hadapan Zee.“Sebaiknya anda bersiap-siap untuk istirahat. Ini sudah hampir pukul setengah tiga. Besok pagi anda harus ke mall lagi. Saya tunggu anda pukul tujuh pagi untuk mengantar anda ke sana.”“Heh! Siapa bilang gue mau diantarin sama kamu? Jangan lancang kamu!” Zee masih belum bisa terima perlakuan Rai, namun ia pun tak tahu harus bagaimana bersikap menghadapi pengawal lancang dan kurang ajar itu.“Saya tidak mau berdebat di tengah malam dengan anak perempuan berkelakuan seperti bayi. Jadi sekarang silahkan istirahat. Sampai jumpa besok pagi.” Rai melepaskan tangan Zee dan ber
Zack menyambut kedatangan kedua sahabatnya dengan heboh. Masih menggunakan celana pendek dan kaos, ia menarik kedua gadis cantik itu ke dalam rumah.“Kalian ketemu dimana? Zee lu kenapa penuh rahasia banget tadi ngomongnya? Gue sempat kesel banget. Lu ngomong kayak orang ketakutan gitu. Lagian telpon gak diaktifin. Nyebelin tau. Ada apa sih?” Ia memberondong kedua sahabatnya dengan berbagai pertanyaan.“Gak ada apa-apa.” Zee menjawab santai.“Iya, Zee kayak orang ketakutan. Gue juga berasa begitu. Tapi dia gak mau cerita.” Dena menambahkan dan dibalas dengan mata mendelik oleh Zack.“Feeling gue bener. Gue juga berasa Zee begitu. Dan itu sangat menjengkelkan.” Zack merasa dapat support dari Dena.“Sembarangan. Mana ada dalam kamus Lizzy takut seperti begitu.” Ia menatap Zack dengan pandangan tidak terima."Tapi lu emang gak biasanya, Zee. Lu aneh dan jadi nyebelin.” Dena menim
Sesampai di rumah Rai membereskan koper dan menukar mobil dengan motor. Salmah sang asisten rumah tangga heran melihat tuan mudanya menyeret tas besar menuju motor.“Mau kemana, Mas?” Kok pake motor?”‘Dinas.” Ia menjawab singkat.‘Dinas kemana?”“Ke bulan.” Rai tidak suka ditanya-tanya.“Ke bulan kok naik motor.” Sang asisten yang sudah lama bekerja di rumah Rai sama cuek dengan majikan mudanya.“Nanti kalau Ibu tanya bilang kemana?” Ia masih penasaran.“Bilang pergi tugas. Sudah! Gak usah cerewet kamu.”“Ih, ditanya baik-baik juga. Kenapa marah-marah?” Salmah yang agak ganjen tak pernah merasa sungkan pada tuan mudanya yang tampan. Terkadang ia sengaja menggoda Rai. Namun Rai tidak pernah menggubris kelakuan minus asistennya.“Mau dibantuin gak bawa kopernya?” Ia masih berusaha cari perhatian.Rai me
Rai memacu mobil dengan santai. Meski marah ia berusaha tetap tenang. Saat ini ia tak ingin kemana-mana. Tujuannya cuma satu. Pulang. Hari ini ia merasa sangat konyol karena berhasil dikecoh dengan mudah oleh seorang anak perempuan. Ia, Raihan si Jagoan, dibuat tampak bodoh gara-gara gadis kecil dengan tinggi tak sampai sedadanya yang bidang. Jika Dre tahu, anak itu pasti tertawa puas atas segala penderitaannya.“What? Lu dikibulin bocah?” Seketika wajah jail Dre terbayang di depan matanya.“Lu harus lebih manusiawi sama cewek. Peran pangeran berhati dingin itu udah gak jaman. Nyesal lu gak sempat senang-senang di masa muda bersama cewek-cewek cantik.” Dre yang playboy cap kampak selalu berusaha mengajak Rai masuk ke dunianya yang hingar bingar dan sering gonta ganti cewek. Tapi Rai tak tertarik dengan gaya hidup Dre yang hedon. Ia lebih suka menghabiskan waktu berlatih dan melatih karate di dojo milik salah seorang sahabatnya.“Gan
Zee mendapat kesempatan kabur dari Rai. Saat film sedang tayang, ia sengaja ke luar dan mencari tahu keberadaan Rai. Setelah celingukan mencari laki-laki itu di seputar bioskop dan turun satu lantai di bawahnya, tak juga terlihat si pengawal sombong. Tiba-tiba ia menemukan ide untuk membalas dendam atas perlakuan kurang ajar Rai tadi siang.Bergegas ia kembali masuk dan memaksa Dena keluar. Dena yang tengah asik menikmati film, protes. Tapi Zee ngotot.“Kenapa sih Zee. Kan lagi seru ini filmnya.” Dena cemberut ditarik-tarik Zee untuk keluar.“Ayolah Na. Kita jalan ke luar. Ajak Zack.” Ia berbisik di kuping Dena.Begitu mendengar nama Zack, Dena langsung semangat.“Eh iya. Gue juga kangen sama Zack. Yuk.” Dena otomatis beranjak dari tempat duduk. Mereka berjalan merunduk di antara deretan kursi bioskop agar tidak menghalangi penonton lain.Zee setengah berlari menarik tangan Dena agar cepat sampai ke parkir. Ia ingin ngumpet di mobil Dena dan seger
Dena bergelayut manja di lengan Zee. Ia memang sangat menyayangi sahabat tomboy-nya itu. Meski tomboy, ia tahu persis, Zee adalah pribadi humble dan lembut hati. Empat tahun ia mengenal Zee, gadis itu selalu ada saat Dena membutuhkan. Meski tampak cuek, tapi Zee sangat perhatian dan peduli jika terjadi sesuatu pada teman-teman, terutama pada Dena. Mereka saling menyayangi, apalagi Zee dan Dena sama-sama anak tunggal.Mereka memiliki seorang sahabat lain, Zack, salah satu cowok idola dan atlit serba bisa pemegang sabuk hitam taekwondo. Bertiga mereka dijuluki Double ZD. Mereka hampir selalu bersama semasa kuliah. Dena satu-satunya yang tidak bisa bela diri, sehingga menjadi anak manja yang selalu diproteksi oleh Double Z.Kini hampir sebulan ia tidak bertemu Zee. Ia kangen berat, namun Zee sulit dihubungi. Ia pun tak menyangka bertemu Zee hari ini di mall. Dena sangat senang dan tak henti-henti menanyai Zee ini itu.“Zee, seriusan. Tadi ngapain sih di mall ini? Tadi
“Neng Zee ngapain sih tiap hari ke mall?” Joni si tukang parkir hampir selalu menanyakan pertanyaan yang sama saat didatangi gadis itu. Sudah nyaris sebulan ia melihat Zee mondar mandir di mall.Dulu Zee malah ikut membantunya memarkirkan mobil-mobil yang keluar masuk. Tapi Joni melarang. “Nanti saya yang kena skors, Neng. Tukang parkir di mari harus pakai seragam.” Ia khawatir ditegur atasannya jika melihat Zee ikut memarkirkan mobil-mobil tamu. Sejak itu Zee berhenti memarkirkan mobil. Ia sadar tamu pasti tak nyaman jika dilayani tukang parkir layaknya di pinggir jalan. Tapi ia masih sering nongkrong ke tempat Joni di saat-saat tertentu.“Neng….!” Joni mengagetkan Zee yang sedang celingukan mencari Rai, pengawalnya yang menyebalkan itu.“Inspeksi.” Ia menjawab singkat.“Yaelah si Neng. Inspeksi segala. Kayak pejabat aja.” Joni tertawa mendengar jawaban Zee yang lucu.“Inspeksi Kang Parkir. Biar gak kerja sembarangan.” Zee tertawa menanggapi kome
Zee mengintip dari balik tiang besar di sebuah mall megah.“Huh… pengawal resek! Disuruh jauh-jauh malah nempel kayak perangko.” Ia tersengal-sengal setelah berhasil kabur dari adegan petak umpet dengan pengawal baru yang dikirim ayahnya.Tiang besar mall itu membuatnya merasa aman dari intaian sang pengawal. Meski jantungnya berdetak kencang dan pipi memerah, namun ia puas saat melihat pria bersafari hitam itu celingak-celinguk kebingungan mencari sosok mungilnya di antara pengunjung mall yang ramai.Dengan santai ia duduk ngedeprok di lantai, menyandar pada tiang, berusaha menstabilkan kembali denyut jantungnya yang terasa mau meledak. Senyum jail tersungging di sudut bibirnya.“Welcome to the jungle.”Gadis bermata belo itu sehari-hari tampil cuek dengan kaos vintage dan leather jacket warna hitam beserta celana jeans belel kesukaannya. Rambutnya tertutup topi yang dipakai menghadap ke belak