"Selamat datang, Kak. Bukunya mana?" Tanpa basa-basi kata itu terlontar dari seorang gadis kecil. Ia mendekat kepada Kiara menggunakan kursi roda yang ia jalankan sendiri. Dari ekspresi wajahnya, Kiara sudah paham gadis itu terlihat sangat penasaran dengan apa yang dibawanya hari ini kerumah.
Senang sekali rasanya melihat Elena begitu semangat dengan buku yang dibawanya, "Ini, Kiara. Kakak bawakan juga buku bagus yang lainnya" ujar Kiara lembut sembari menyentuh gemas pipi merah gadis kecil itu.
Giani berjalan ke arah ruang tamu dan menyambut Kiara. Elena yang sangat senang dengan buku barunya kini langsung meminta untuk diantar ke taman belakang rumahnya. Sementara Kiara dan Giani memilih untuk mengamati dan di gazebo yang tidak jauh dari posisi Elena.
"Terimakasih bukunya, Kiara. Elena selalu suka jika dibelikan buku baru. Setiap hari libur, kakaknya selalu membelikan buku baru." Giani mengatakan itu sembari menyodorkan teh hangat dan beberapa biskuit. Kiara mengangguk pelan dan mengisyaratkan dengan senang hati perihal ucapan terimakasih itu.
Pantas saja beberapa waktu yang lalu Kiara melihat Marven di toko buku. Ternyata tujuan mereka sama, menambahkan koleksi buku baru milik Elena. Sempat terlintas kilatan peristiwa tadi di pusat perbelanjaan, Kiara menemukan bahan eksklusif untuk dimuat sebagai headline.
Mungkin kali ini seniornya sedang menulis berita tentang Broto, salah seorang terpidana kasus korupsi yang seharusnya dipenjara malah berkeliaran memakan spaghetti disalah satu restaurant. Tcih, jika mengingat itu rasanya Kiara geram sendiri. Tunggu saja sampai berita tersebut tersebar dan Kiara ditugaskan untuk menginterogasi Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat Broto dipenjara, akan ia kupas tuntas mengapa bisa sampai ada salah satu tahanan yang keluar bisa keluar.
Namun tadi ia benar-benar berterimakasih kepada Marven, disaat-saat genting seperti itu pria itu mau diajak bekerjasama. Meskipun awalnya agak menganggu dengan pertanyaan tidak pentingnya itu, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa aksi heroik yang ia pilih untuk mengejar Kiara dan memberikan kunci mobilnya memang patut diacungi jempol.
"Elena lahir dalam keadaan normal, Kiara. Ketika sedang ada di taman kanak-kanak, ia dibully oleh teman-temannya. Pulang sekolah keadaan bajunya basah karena didorong sampai jatuh dalam kubangan air dan tulang kakinya terbentur sangat keras hingga patah dan lumpuh." Mata Giani tidak dapat berbohong saat menceritakan hal menyedihkan itu.
Rasa bersalah hingga kini masih terlihat dari caranya menatap Elena. Kiara mendengarkan dengan seksama sesekali menyentuh punggung perempuan itu menenangkan saat suaranya mulai bergetar.
Saat keadaan mulai tenang, Kiara bertanya dengan hati-hati kepada Giani "Maaf lancang tapi kalau Kiara boleh tahu mengapa Elena dibully, tante Giani?"
Tatapan Giani beralih pada hamparan langit yang terlihat begitu indah dari gazebo, matanya menyipit seperti berusaha menguatkan dirinya sendiri untuk menceritakan hal ini kepada Kiara.
"Salah satu temannya adalah anak wartawan dan mendapatkan berita bahwa keluarga kami ada hubungan dengan kasus pidana. Anaknya menceritakan kepada teman-temannya yang lain kalau Elena jahat dan tidak pantas jadi teman mereka..." Giani menghela oksigen disekitarnya lalu melanjutkan, "Akhirnya Elena diperlakukan seperti itu."
Netra Giani berkaca-kaca dan sesekali menatap Kiara. Sorot matanya terlihat sedih namun disisi lain ia harus mampu menjadi sosok ibu yang kuat bagi Elena. Semuanya terlihat sangat jelas bagi Kiara.
"Tante, kita tidak bisa menyalahkan diri kita sendiri terus menerus atas suatu kejadian. Saya yakin Elena gadis yang kuat dan tebak kekuatannya itu didapat dari siapa selain dari ibunya yang hebat? You're such a strong woman," ucap Kiara sembari merendahkan suaranya.
Kiara yakin bahwa tidak mudah bagi Giani untuk bercerita tentang apa yang dia rasakan terhadap Elena selama ini. Mendengar cerita itu batin Kiara berkecamuk, kode etik seorang jurnalis memang tetap harus diperhatikan agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi prasangka masyarakat.
Kiara melanjutkan kata-katanya, "Menjadi seorang disabilitas tidak bisa menghentikan Elena, justru sebaliknya hal itu akan memberikan keberanian dan kekuatan pada Elena."
Giani tersadar dengan kata-kata Kiara, "Sejak tidak lagi bisa bertemu dengan sembarangan orang saat ini, Elena lebih sering menghabiskan waktu dengan bermain piano. Dan bakatnya sangat terlihat ketika bermain musik."
Kiara mengangguk, tidak pernah sekalipun Kiara meragukan seseorang penyandang disabilitas. Mereka punya keistimewaan yang tidak dimiliki setiap orang. Setelah berbagi cerita dengan Giani, Kiara akhirnya berpamitan untuk pulang.
"Yah kakak sudah mau pulang?" Elena memasang wajah polosnya, ada nada kecewa dalam pertanyaan yang diajukan.
Kiara kembali memasang wajah manisnya, "Iya, sampai ketemu lagi Elena. Hubungi kakak jika butuh apapun. I'll be here soon." Ucapan Kiara sungguh menenangkan Elena yang sedang gusar saat seseorang yang mengunjunginya ingin pergi.
Kiara meminta Giani tidak perlu mengantarkannya keluar karena sebentar lagi guru les piano Elena akan datang. Tidak perlu waktu lama setelah ia keluar dari pintu utama kediaman Hadinata, penampakan seorang pria yang cukup familiar muncul dihadapannya.
Tampaknya keputusan Kiara untuk pulang sedikit terlambat, harusnya ia pulang lebih awal jika sekarang mengetahui ia harus berpapasan dengan pria itu. Pria itu sama sekali tidak menyadari Kiara ada disana.
Ia sedang membelakangi Kiara dan sedang berbicara diponselnya. Jujur saja, dari belakang Marven terlihat seperti atlet yang begitu merawat tubuhnya. Punggungnya yang lebar dibalut kaos polo putih lalu celana pendek berwarna coklat menjadi pilihan bawahannya.
"Aku tidak peduli, jika memang dia menyakitimu aku yang akan turun tangan!" Laki-laki itu setengah berseru dengan salah satu tangannya menumpu pada kap mobil didepannya.
Kiara sama sekali tidak memiliki maksud untuk menguping pembicaraan Marven dengan seseorang diseberang sana hanya saja percakapan itu ada saat Kiara tengah lewat. Malas berurusan dengan Marven, Kiara kemudian berpura-pura tidak mendengar apapun dan berjalan menuju mobilnya.
Marven menyadari ada seseorang yang berjalan dibelakangnya sontak menoleh dan sedikit terkejut mendapati gadis yang ia temui tadi kini ada dirumahnya. Marven mematikan teleponnya dengan dalih memiliki urusan yang lain.
"Sedang apa?" Marven masih tak percaya melihat gadis itu dirumahnya.
Kiara memutar bola matanya, drama apalagi yang terjadi hari ini. "Mau ke mobilku," jawab Kiara padat.
Saat hendak melangkahkan kakinya, suara itu kembali menahannya "Ayo kita bicara, nona Kiara. Tampaknya akhir-akhir ini kau sering sekali kesini."
Rasa tidak suka dari ucapan Marven bisa Kiara rasakan, "Aku kesini hanya untuk memberikan buku pada Elena."
Wajah datar Marven yang begitu mendominasi sukses membuat Kiara kesal, "Tidak usah sok perhatian pada Elena." Dingin sekali ucapan laki-laki itu dan pandangannya kepada Kiara seakan gadis itu akan melakukan sesuatu yang buruk kepada Elena.
"Aku berjanji padanya kemarin," Kiara berusaha tidak terpancing dengan tuduhan Marven.
"Terserah, nona Kiara. Aku peringatkan kepadamu jangan pernah sekalipun kau mendekati keluargaku karena pekerjaanmu itu. Lihat saja jika ada yang memanfaatkan keluargaku demi kepentingannya, untuk tetap hidup di muka bumi ini saja dia akan bersyukur." Ujar Marven ketus. Ia harus memastikan bahwa tidak ada seseorangpun dimuka bumi ini yang menyakiti keluarganya.
Mendengar ancaman itu Kiara melotot, ada kerutan diantara kedua alisnya. Kiara mengakui bahwa niat awalnya memang ingin mengetahui lebih dalam tentang keluarga Hadinata dan hubungan mereka dengan dugaan kasus pencucian uang itu, hanya saja jika niat tulusnya memberikan buku kepada Elena dianggap memanfaatkan gadis kecil itu maka sudah keterlaluan.
"Aku hanya bersikap tulus dan memberikan buku yang kurekomendasikan padanya kemarin," alis Kiara hampir menyatu saat mengatakan hal itu.
"Simpan pembelaan itu untuk dirimu sendiri. Aku tidak peduli." Singkat namun berhasil membuat wajah Kiara berubah merah padam, ia emosi mendengar tuduhan dan ancaman yang dilayangkan Marven kepadanya. Lelaki itu kemudian masuk ke dalam rumahnya tanpa berkata apa-apa lagi kepada Kiara.
Sore itu Kiara habiskan dengan memakan makanan pedas, ia perlu sesuatu yang bisa digunakan sebagai pelampiasan untuk mengekspresikan rasa marahnya pada Marven. Hari itu pikiran Kiara melayang entah kemana. Terlalu banyak hal yang terjadi pada hari itu hingga membuat ia perlu berpikir akan bersikap seperti apa kedepannya.
Kiara menikmati pagi itu dengan tersenyum melihat hamparan tanah basah sejauh mata memandang. Berbeda dengan biasanya, pagi kali ini begitu sendu. Tetes air hujan yang turun tidak menyurutkan semangatnya bekerja pagi ini. Justru hujan memberikan Kiara semangat tersendiri, kekuatan untuk menjalani hari hingga petang nanti.Udara segar setelah hujan membuat Kiara kegirangan dalam hati. Sebelum menjalankan mobilnya, dering ponsel memuat bunyi yang khas Kiara sekali berbunyi."Ra, kita ke tempat korban bunuh diri sekarang! Lokasi nanti aku share! Okay?" suara di seberang sana tampak terburu-buru.Meskipun orang disana sana tidak dapat melihat Kiara, namun Kiara reflek untuk mengangguk. Suasana pagi yang menyenangkan untuk Kiara mendadak berubah menjadi mengerikan. Dulu sekali, orang tua Kiara pernah dikira bunuh diri saat CCTV di tempat kejadian tidak dapat ditemukan. Jelas saja perkara bunuh diri bukanlah hal yang main-main.Tak butuh waktu lama
"Apa sih yang menyebabkan kasus pencucian uang ini lama diselidiki? Kurang bukti? Kenapa sampai ada pembatalan pemeriksaan keluarga Hadinata kak?" tanya Kiara tanpa berusaha menutupi apa yang ingin ia tahu. Baru saja sampai di kantor, ia tak bisa membendung dirinya lagi untuk langsung bertanya pada senior di kantornya. Penyidikan kasus Jiwabraga yang belum melaporkan perkembangan apapun membuat Kiara geram, belum lagi sebelumnya ia mengetahui fakta bahwa salah satu nasabah dari Jiwabraga memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri demi mendapatkan uang asuransi kematian. Setelah mendengarkan penuturan dari keluarga paling dekat anaknya, ternyata hal itu kemungkinan nekad dilakukan karena putrinya akan segera memasuki bangku kuliah dan membutuhkan biaya. Mendengar itu semua sungguh membuat hati dan perasaan Kiara gundah. Pasalnya ia tidak bisa melakukan apapun untuk bergerak mengungkap setiap orang yang terlibat kasus ini. Salah satunya adalah keluarga Hadinat
Wanita itu berjalan dengan langkah yang frustasi, coba ditelusurinya jalan yang penuh keramaian itu. Malam hari membuat jalan itu semakin menarik namun tak cukup membuat langkah pelannya kembali bersemangat.‘Kalian tahu keluarga Hadinata? Bertahun-tahun semua jurnalis disini mengejar bukti mengenai dugaan kasus pencucian uang yang mereka lakukan tapi nihil’Wanita itu kembali bergelut dengan kata-kata yang memenuhi sekat pikirnya. Bagaimana bisa dugaan kasus pencucian uang yang melibatkan keluarga Hadinata ini sama sekali tidak tersentuh?Konon katanya meski beberapa aliran dana mengarah pada masing-masing bidang bisnis milik keluarga Hadinata, tidak pernah ada yang memanggil salah satu dari mereka bahkan supirnya sekalipun untuk diperiksa.“Kiara!” sayup teriakan itu cukup membuat wanita bernama Kiara itu menoleh.Kiara menghentikan langkahnya untuk melihat dengan jelas siapa yang memanggilnya. Seorang laki-laki bertubuh t
Kiara memastikan dress yang sedang dikenakannya sudah terpakai dengan rapi. Pilihannya jatuh pada warna merah dengan high heels maroon menambah kesan elegan. Rambutnya yang indah disanggul kebelakang lalu anak rambut yang masih terjuntai membuatnya terlihat klasik dan natural.Sejujurnya tanpa harus bertanya lebih lanjut mengenai siapa yang akan ditemuinya malam ini, sudah tergambar dengan jelas siapa saja yang akan hadir disana dari tempat yang dipilih kakeknya.Private Room Golden Hotel selalu jadi salah satu tempat favorit keluarga besar Kiara. Entah mengapa sepertinya relasi kakeknya dengan pemilik Golden Hotel berjalan cukup baik.Dulu pernah Kiara memiliki satu kesempatan untuk memesan ruangan disana, ternyata harus reservasi sebelumnya. Namun ketika Kiara menyebutkan nama kakeknya, secara ajaib satu tempat sepertinya sudah disediakan secara khusus."Acara dimulai pukul 07.00 malam dan baru saja datang?" suara berat seorang laki-laki dari arah belak
Langkah Kiara terasa lebih cepat daripada biasanya, terpaan angin menyapa lembut surainya berikut dengan rambut panjangnya yang dibiarkan menjuntai. Hari ini ia harus lebih cepat sampai di kantor sebab hal penting mengenai penyelidikan kasus Jiwabraga mengalami perkembangan.Kini kasus itu telah dinaikkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Penyelidikan sebelumnya adalah proses menganalisa suatu perkara apakah termasuk perkara pidana, sedangkan penyidikan sudah dapat dipastikan perkara itu merupakan suatu tindak pidana lalu sedang dicari bukti yang lebih banyak untuk mencari tersangka sehingga mampu dinaikkan ke proses penuntutan di Kejaksaan.Semua hal itu tidak asing lagi bagi Kiara, ia mendapatkan gelar sarjana hukumnya dengan hasil yang sangat memuaskan. Lulusan terbaik yang saat itu dengan predikat cumlaude diraih Kiara tanpa menemui kesulitan yang berarti.Berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri terbaik di suatu negara, tidak pernah membuat Kiara
"Polisi yang memberikan pernyataan kemarin sudah dipindahkan ke daerah lain." Salah satu anggota polisi itu langsung menjawab sambil mengetik laporan dimejanya.Kiara dan Diska saling bertatapan heran, "Lalu untuk penyidikan kasus Jiwabraga dilimpahkan kepada siapa pak?""Kepala penyidik lainnya, namun sekarang sedang tidak disini. Apabila ada yang perlu disampaikan, bisa saya sampaikan nanti." Anggota polisi itu sedang terburu-buru seperti akan segera melakukan sesuatu.Kiara langsung menyerahkan kartu namanya dan meminta disampaikan jika berkenan ingin mendapatkan keterangan dari kepala penyidik yang baru.Keputusan untuk mencari tahu narasumber polisi yang memberikan pernyataan mengenai pemeriksaan keluarga Hadinata adalah keputusan tepat. Kecurigaan yang baru timbul begitu saja, baru lusa malam tepatnya polisi tersebut memberikan pernyataan lalu dengan tiba-tiba sudah tidak bertugas ditempat itu lagi.Ada begitu banyak hal janggal menyang
Tubuh Marven seketika membeku ditempatnya saat melihat Kiara ada didepan rumahnya, kali ini bukan lagi didepan pagar seperti beberapa hari yang lalu ia lakukan. Dengan didampingi beberapa orang disampingnya dan mengenakan dress rapi selutut, wanita itu sekarang baru terlihat seperti salah satu keluarga dari Atmaja."Sedang apa kau disini?" tanya Marven sembari memeriksa orang-orang disekelilingnya.Kiara tersenyum tipis, "Menurut anda, Tuan Marven?""Kami tidak pernah mengizinkan siapapun wartawan kesini.""Sambutan yang sinis sekali. Kau pasti sudah mencari tahu banyak tentangku," nada menyinggung telah Kiara keluarkan."Saya kira anda punya kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan jelas, Nona Kiara."Kiara tersenyum lebar sekarang, "Mengapa begitu panik, tuan Marven? Saya disini hanya diminta mewakili kakek."Meski mampu menyembunyikan segala ekspresi dari wajahnya, jauh didalam dirinya Marven sangat lega. Ia begitu serius tidak ak
Dengan dua buku ditangannya, Kiara mulai menimang mana yang akan dibeli dan diberikan kepada Elena. Sejujurnya buku utama yang ingin diberikan Kiara kepada gadis kecil itu sudah ada, hanya saja ketika melewati rak buku lain ia jadi ingin membelikan buku yang lainnya.Hari ini gadis itu memakai kemeja putih casual dipadankan dengan celana jeans panjang. Lengan panjang kemeja itu digulungnya sedikit diatas pergelangan tangan lalu diberikan sentuhan jam tangan silver yang sangat cocok dengan warna kulitnya yang putih bak porselen.Sudah banyak yang tahu bahwa cara Kiara berpakaian menjadi salah satu kelebihannya, ia selalu berhasil mengenakan apapun outfit sesuai dengan kegiatan yang akan ia datangi. Dan dengan kemampuannya memilih itu ditambah parasnya yang cantik nan tampak tangguh, terlihat menonjol diantara orang-orang sekitarnya sudah jadi makanan sehari-hari baginya."Sudah ini saja," Kiara menjawab sambil tersenyum ketika ditanya oleh kasir apakah ada
"Apa sih yang menyebabkan kasus pencucian uang ini lama diselidiki? Kurang bukti? Kenapa sampai ada pembatalan pemeriksaan keluarga Hadinata kak?" tanya Kiara tanpa berusaha menutupi apa yang ingin ia tahu. Baru saja sampai di kantor, ia tak bisa membendung dirinya lagi untuk langsung bertanya pada senior di kantornya. Penyidikan kasus Jiwabraga yang belum melaporkan perkembangan apapun membuat Kiara geram, belum lagi sebelumnya ia mengetahui fakta bahwa salah satu nasabah dari Jiwabraga memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri demi mendapatkan uang asuransi kematian. Setelah mendengarkan penuturan dari keluarga paling dekat anaknya, ternyata hal itu kemungkinan nekad dilakukan karena putrinya akan segera memasuki bangku kuliah dan membutuhkan biaya. Mendengar itu semua sungguh membuat hati dan perasaan Kiara gundah. Pasalnya ia tidak bisa melakukan apapun untuk bergerak mengungkap setiap orang yang terlibat kasus ini. Salah satunya adalah keluarga Hadinat
Kiara menikmati pagi itu dengan tersenyum melihat hamparan tanah basah sejauh mata memandang. Berbeda dengan biasanya, pagi kali ini begitu sendu. Tetes air hujan yang turun tidak menyurutkan semangatnya bekerja pagi ini. Justru hujan memberikan Kiara semangat tersendiri, kekuatan untuk menjalani hari hingga petang nanti.Udara segar setelah hujan membuat Kiara kegirangan dalam hati. Sebelum menjalankan mobilnya, dering ponsel memuat bunyi yang khas Kiara sekali berbunyi."Ra, kita ke tempat korban bunuh diri sekarang! Lokasi nanti aku share! Okay?" suara di seberang sana tampak terburu-buru.Meskipun orang disana sana tidak dapat melihat Kiara, namun Kiara reflek untuk mengangguk. Suasana pagi yang menyenangkan untuk Kiara mendadak berubah menjadi mengerikan. Dulu sekali, orang tua Kiara pernah dikira bunuh diri saat CCTV di tempat kejadian tidak dapat ditemukan. Jelas saja perkara bunuh diri bukanlah hal yang main-main.Tak butuh waktu lama
"Selamat datang, Kak. Bukunya mana?" Tanpa basa-basi kata itu terlontar dari seorang gadis kecil. Ia mendekat kepada Kiara menggunakan kursi roda yang ia jalankan sendiri. Dari ekspresi wajahnya, Kiara sudah paham gadis itu terlihat sangat penasaran dengan apa yang dibawanya hari ini kerumah.Senang sekali rasanya melihat Elena begitu semangat dengan buku yang dibawanya, "Ini, Kiara. Kakak bawakan juga buku bagus yang lainnya" ujar Kiara lembut sembari menyentuh gemas pipi merah gadis kecil itu.Giani berjalan ke arah ruang tamu dan menyambut Kiara. Elena yang sangat senang dengan buku barunya kini langsung meminta untuk diantar ke taman belakang rumahnya. Sementara Kiara dan Giani memilih untuk mengamati dan di gazebo yang tidak jauh dari posisi Elena."Terimakasih bukunya, Kiara. Elena selalu suka jika dibelikan buku baru. Setiap hari libur, kakaknya selalu membelikan buku baru." Giani mengatakan itu sembari menyodorkan teh hangat dan beberapa bisk
Dengan dua buku ditangannya, Kiara mulai menimang mana yang akan dibeli dan diberikan kepada Elena. Sejujurnya buku utama yang ingin diberikan Kiara kepada gadis kecil itu sudah ada, hanya saja ketika melewati rak buku lain ia jadi ingin membelikan buku yang lainnya.Hari ini gadis itu memakai kemeja putih casual dipadankan dengan celana jeans panjang. Lengan panjang kemeja itu digulungnya sedikit diatas pergelangan tangan lalu diberikan sentuhan jam tangan silver yang sangat cocok dengan warna kulitnya yang putih bak porselen.Sudah banyak yang tahu bahwa cara Kiara berpakaian menjadi salah satu kelebihannya, ia selalu berhasil mengenakan apapun outfit sesuai dengan kegiatan yang akan ia datangi. Dan dengan kemampuannya memilih itu ditambah parasnya yang cantik nan tampak tangguh, terlihat menonjol diantara orang-orang sekitarnya sudah jadi makanan sehari-hari baginya."Sudah ini saja," Kiara menjawab sambil tersenyum ketika ditanya oleh kasir apakah ada
Tubuh Marven seketika membeku ditempatnya saat melihat Kiara ada didepan rumahnya, kali ini bukan lagi didepan pagar seperti beberapa hari yang lalu ia lakukan. Dengan didampingi beberapa orang disampingnya dan mengenakan dress rapi selutut, wanita itu sekarang baru terlihat seperti salah satu keluarga dari Atmaja."Sedang apa kau disini?" tanya Marven sembari memeriksa orang-orang disekelilingnya.Kiara tersenyum tipis, "Menurut anda, Tuan Marven?""Kami tidak pernah mengizinkan siapapun wartawan kesini.""Sambutan yang sinis sekali. Kau pasti sudah mencari tahu banyak tentangku," nada menyinggung telah Kiara keluarkan."Saya kira anda punya kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan jelas, Nona Kiara."Kiara tersenyum lebar sekarang, "Mengapa begitu panik, tuan Marven? Saya disini hanya diminta mewakili kakek."Meski mampu menyembunyikan segala ekspresi dari wajahnya, jauh didalam dirinya Marven sangat lega. Ia begitu serius tidak ak
"Polisi yang memberikan pernyataan kemarin sudah dipindahkan ke daerah lain." Salah satu anggota polisi itu langsung menjawab sambil mengetik laporan dimejanya.Kiara dan Diska saling bertatapan heran, "Lalu untuk penyidikan kasus Jiwabraga dilimpahkan kepada siapa pak?""Kepala penyidik lainnya, namun sekarang sedang tidak disini. Apabila ada yang perlu disampaikan, bisa saya sampaikan nanti." Anggota polisi itu sedang terburu-buru seperti akan segera melakukan sesuatu.Kiara langsung menyerahkan kartu namanya dan meminta disampaikan jika berkenan ingin mendapatkan keterangan dari kepala penyidik yang baru.Keputusan untuk mencari tahu narasumber polisi yang memberikan pernyataan mengenai pemeriksaan keluarga Hadinata adalah keputusan tepat. Kecurigaan yang baru timbul begitu saja, baru lusa malam tepatnya polisi tersebut memberikan pernyataan lalu dengan tiba-tiba sudah tidak bertugas ditempat itu lagi.Ada begitu banyak hal janggal menyang
Langkah Kiara terasa lebih cepat daripada biasanya, terpaan angin menyapa lembut surainya berikut dengan rambut panjangnya yang dibiarkan menjuntai. Hari ini ia harus lebih cepat sampai di kantor sebab hal penting mengenai penyelidikan kasus Jiwabraga mengalami perkembangan.Kini kasus itu telah dinaikkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Penyelidikan sebelumnya adalah proses menganalisa suatu perkara apakah termasuk perkara pidana, sedangkan penyidikan sudah dapat dipastikan perkara itu merupakan suatu tindak pidana lalu sedang dicari bukti yang lebih banyak untuk mencari tersangka sehingga mampu dinaikkan ke proses penuntutan di Kejaksaan.Semua hal itu tidak asing lagi bagi Kiara, ia mendapatkan gelar sarjana hukumnya dengan hasil yang sangat memuaskan. Lulusan terbaik yang saat itu dengan predikat cumlaude diraih Kiara tanpa menemui kesulitan yang berarti.Berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri terbaik di suatu negara, tidak pernah membuat Kiara
Kiara memastikan dress yang sedang dikenakannya sudah terpakai dengan rapi. Pilihannya jatuh pada warna merah dengan high heels maroon menambah kesan elegan. Rambutnya yang indah disanggul kebelakang lalu anak rambut yang masih terjuntai membuatnya terlihat klasik dan natural.Sejujurnya tanpa harus bertanya lebih lanjut mengenai siapa yang akan ditemuinya malam ini, sudah tergambar dengan jelas siapa saja yang akan hadir disana dari tempat yang dipilih kakeknya.Private Room Golden Hotel selalu jadi salah satu tempat favorit keluarga besar Kiara. Entah mengapa sepertinya relasi kakeknya dengan pemilik Golden Hotel berjalan cukup baik.Dulu pernah Kiara memiliki satu kesempatan untuk memesan ruangan disana, ternyata harus reservasi sebelumnya. Namun ketika Kiara menyebutkan nama kakeknya, secara ajaib satu tempat sepertinya sudah disediakan secara khusus."Acara dimulai pukul 07.00 malam dan baru saja datang?" suara berat seorang laki-laki dari arah belak
Wanita itu berjalan dengan langkah yang frustasi, coba ditelusurinya jalan yang penuh keramaian itu. Malam hari membuat jalan itu semakin menarik namun tak cukup membuat langkah pelannya kembali bersemangat.‘Kalian tahu keluarga Hadinata? Bertahun-tahun semua jurnalis disini mengejar bukti mengenai dugaan kasus pencucian uang yang mereka lakukan tapi nihil’Wanita itu kembali bergelut dengan kata-kata yang memenuhi sekat pikirnya. Bagaimana bisa dugaan kasus pencucian uang yang melibatkan keluarga Hadinata ini sama sekali tidak tersentuh?Konon katanya meski beberapa aliran dana mengarah pada masing-masing bidang bisnis milik keluarga Hadinata, tidak pernah ada yang memanggil salah satu dari mereka bahkan supirnya sekalipun untuk diperiksa.“Kiara!” sayup teriakan itu cukup membuat wanita bernama Kiara itu menoleh.Kiara menghentikan langkahnya untuk melihat dengan jelas siapa yang memanggilnya. Seorang laki-laki bertubuh t