"Polisi yang memberikan pernyataan kemarin sudah dipindahkan ke daerah lain." Salah satu anggota polisi itu langsung menjawab sambil mengetik laporan dimejanya.
Kiara dan Diska saling bertatapan heran, "Lalu untuk penyidikan kasus Jiwabraga dilimpahkan kepada siapa pak?"
"Kepala penyidik lainnya, namun sekarang sedang tidak disini. Apabila ada yang perlu disampaikan, bisa saya sampaikan nanti." Anggota polisi itu sedang terburu-buru seperti akan segera melakukan sesuatu.
Kiara langsung menyerahkan kartu namanya dan meminta disampaikan jika berkenan ingin mendapatkan keterangan dari kepala penyidik yang baru.
Keputusan untuk mencari tahu narasumber polisi yang memberikan pernyataan mengenai pemeriksaan keluarga Hadinata adalah keputusan tepat. Kecurigaan yang baru timbul begitu saja, baru lusa malam tepatnya polisi tersebut memberikan pernyataan lalu dengan tiba-tiba sudah tidak bertugas ditempat itu lagi.
Ada begitu banyak hal janggal menyangkut keluarga Hadinata. Dan Kiara ingin mengupas lapisan demi lapisan yang ditutupi oleh kehebatan dan kekuasaan mereka. Meski kesulitan itu sudah tampak didepan mata, namun justru menjadi semangat dan tantangan tersendiri bagi Kiara.
Diska bertanya kepada anggota polisi lainnya mengenai kemana kepala penyidik yang dulu dipindahkan, dan ternyata di luar pulau dan butuh waktu sehari dari tempat mereka sekarang untuk menemui sang penyidik.
Tidak mungkin Kiara dan Diska mengandalkan penyidik yang dulu, sementara ketika coba dihubungi nomornya tidak tersambung.
Kiara melangkah bolak balik untuk memastikan targetnya yaitu kepala penyidik yang baru dapat ditemui sehingga menunggu beberapa waktu di kantor kepolisian merupakan jalan terbaik saat ini.
Benar saja, laki-laki berusia 30-an tahun datang dengan jaket kulit hitam miliknya.
"Kami masih melakukan proses penyidikan dan setelah dilakukan penelurusan lebih lanjut sepertinya tidak ada kaitannya kasus Jiwabraga dengan Hadinata Group." Pria itu menjawab dengan sangat yakin pertanyaan dari Kiara.
Meski telah menghujani lawan bicaranya dengan banyak pertanyaan, tetap saja tidak ada jawaban yang mengarah pada pemeriksaan keluarga Hadinata.
Kiara tidak menyerah namun sesi pada hari itu diakhirinya dan memilih untuk kembali ke kediaman Hadinata. Samuel yang masih disana memberitahukan bahwa sama sekali tidak ada pergerakan dari keluarga Hadinata.
Dan satu persatu jurnalis dari media cetak digital yang lainnya pergi dari sana. Pulang dengan tangan kosong. Tak terkecuali mereka bertiga setelah paham waktu semakin larut. Sungguh tidak mungkin untuk tidur disana dan menjadi gelandangan.
Kiara, Diska dan Samuel melaporkan apa yang telah mereka dapatkan kepada koordinator redaksi dikantornya, namun ternyata sepertinya orang-orang yang ada dikantornya sudah memutuskan sesuatu bahkan sebelum mereka tiba disana.
"Kita tidak bisa menulis apapun mengenai Hadinata," Pimpinan Redaksi kini langsung mengambil alih.
Kiara yang sudah mendapatkan bahan dari kepolisian sontak menanggapi, "Menurut saya masih ada yang bisa kita tulis terkait pemindahan dari kepala penyidik yang lama dan diserahkannya kasus Jiwabraga kepada kepala penyidik yang baru."
"Tidak, Kiara. Pernyataannya juga sudah jelas mengenai ketidakterlibatan Hadinata dalam kasus Jiwabraga." Tiba-tiba Adeline masuk dalam percakapan antara Pimpinan Redaksi dan Kiara.
"T-tapi..." Kiara belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Pimpinan Redaksi segera menyudahi rapat internal mereka.
"There is no but, tidak punya cukup bahan untuk ditulis jadi tidak kita tulis. Dan kita tidak akan menulis apapun tentang Hadinata dan Jiwabraga. Rapat selesai, silahkan kalian boleh pulang." Semua yang ada dalam ruangan itu mulai melangkah pergi.
Dalam perjalanan pulang, Kiara melewati perusahaan inti Hadinata Group. Gedung yang menjulang begitu tinggi itu memiliki desain yang berbeda dari beberapa gedung disekitarnya.
Apa sebenarnya yang ada didalam sana? Semua hal buruk tentang Hadinata seolah hilang. Ingin sekali Kiara mengacak-acak isi perusahaan itu dan menemukan bahan apapun yang bisa membuat masyarakat menyadari kemungkinan keterlibatan Hadinata dalam kasus yang merugikan mereka.
Memori pada malam itu kembali menyeruak masuk dalam benak Kiara. Keluarga Hadinata yang waktu itu ditemuinya pada acara makan malam keluarganya memang orang yang terlihat baik, kecuali sosok pria angkuh yang mengatakan bahwa kesibukan Kiara tidak penting.
Saat dirumah, Kiara mencari tahu melalui mesin pencari perihal Marven Hadinata. Menjadi salah satu CEO Termuda yang sukses mengembangkan bisnis Hadinata Group hingga ke beberapa negara bahkan benua Eropa.
Meski tidak sulit mencari informasi mengenai seorang milyarder apalagi yang mempunyai pengaruh penting di negara ini melalui mesin pencari, namun tetap saja beberapa sumber laman tidak membuat Kiara puas.
Ia memberanikan diri untuk menelepon kakeknya, "Halo, Kakek. Ceritakan Kiara mengenai Hadinata Group." Kiara langsung mendapatkan nada kesal dari kakeknya.
"Jadi Kiara menelepon Kakek hanya untuk tahu soal Hadinata?" tanya kakeknya.
Kiara merasa bersalah, "Kiara sedang mengumpulkan informasi mengenai Hadinata Group, dan tidak mendapatkan sumber yang cukup dari manapun."
Mendengar nada frustasi dari cucunya, hilang sudah kesal yang menghinggapi Toro.
"Dulu kakek berteman baik dengan ayahnya Peter Hadinata. Setelah Benny meninggal dunia, Peter sudah menganggap kakek seperti ayahnya sendiri. Kita bekerja sama dengan mereka untuk memenuhi stok bahan makanan langsung perusahaan bidang kuliner mereka." Toro menjelaskan dengan detail.
"Perusahaan yang bergerak di perkebunan? Tempat papa kerja dulu, Kek?" tanya Kiara karena memang ia tidak terlalu tahu dan mengerti perkembangan perusahaan keluarganya.
Kiara tidak tertarik untuk menjadi seorang CEO salah satu anak perusahaan, terlebih lagi setelah orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil.
Awalnya hal itu memang menimbulkan kesedihan bagi Kiara, namun setelah media melakukan blowup kasus akhirnya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ternyata rem mobil yang ditumpangi orangtuanya sengaja disabotase.
Kesedihan Kiara berupa menjadi amarah dan mengutuk setiap orang yang kemungkinan melakukan itu kepada kedua orangtuanya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia memutuskan belajar hukum dan menjadi seorang jurnalis.
"Iya, Kiara. Perusahaan yang dihandle papa Kiara dulu dan sekarang om Yordan." Toro cukup tahu luka luar biasa dari cucunya belum sembuh saat membahas kedua orangtuanya.
Kiara menggigit bibir bawahnya, bayangan mengenai peristiwa pembunuhan yang merenggut nyawa kedua orangtuanya selalu jadi kelemahan Kiara. Napasnya menjadi tidak teratur saat mengingat hal itu.
"Kiara, tidak apa-apa? Katakan kepada Kakek kapanpun Kiara butuh apapun, Kakek akan segera tiba disana." Toro sangat khawatir pada cucunya.
Dibalik sosok Kiara yang berani dan cerdas, ia cukup tahu bahwa cucunya itu juga mempunyai post-traumatic stress disorder semenjak mengetahui kedua orangtuanya meninggal karena pembunuhan berencana.
Kiara berusaha mengendalikan kontrol dirinya, suara panik dari kakeknya diseberang sana membuatnya kembali tersadar.
"Tidak apa-apa, Kakek. Kiara baik-baik saja, don't worry." Kiara meyakinkan kakeknya.
Tidak ingin terlalu lama membahas mengenai ayah Kiara, Toro langsung kembali pada pembahasan pertama mereka.
"Minggu ini kebetulan Kakek ada beberapa urusan bisnis dengan Peter dirumahnya," Kiara melihat peluang.
"Kakek akan kesana?" tanya Kiara.
Toro berhasil, pikiran Kiara teralihkan "Biasanya Kakek mengirim orang untuk kesana."
"Kek, Kiara boleh ikut orang itu ke rumah keluarga Hadinata?" cecar Kiara.
Toro tersenyum lembut, "Apa kakek perlu ikut?"
Kiara menggeleng pelan, akan sangat sulit untuk mencari tahu apa yang ada dalam rumah itu jika kakek ikut dengannya. Ia tidak akan bisa kemana-mana.
"Tidak perlu, Kek. Biar Kiara dengan karyawan kakek saja." Keyakinan itu keluar dari bibir Kiara.
"Baiklah kalau begitu, akan Kakek urus segala hal yang diperlukan dan meminta karyawan kakek menjemput Kiara sebelum berangkat kesana nanti."
Kiara sedikit dapat bernapas lega sekarang, bisa mendapatkan kesempatan untuk masuk ke dalam rumah Hadinata adalah hal yang langka.
Saat Kiara menjadi jurnalis, jangankan untuk masuk mampu melewati pagarnya saja tampak mustahil terjadi.
Kiara menatap pemandangan malam kota yang begitu indah dari apartemennya. Ia sudah tak sabar mencari tahu tentang Hadinata dan Jiwabraga.
'Lihat saja Hadinata, akan kuungkap apa yang perlu diungkap.'
Kiara sudah bertekad. Dan tak ada satupun yang mampu menghentikannya.
Tubuh Marven seketika membeku ditempatnya saat melihat Kiara ada didepan rumahnya, kali ini bukan lagi didepan pagar seperti beberapa hari yang lalu ia lakukan. Dengan didampingi beberapa orang disampingnya dan mengenakan dress rapi selutut, wanita itu sekarang baru terlihat seperti salah satu keluarga dari Atmaja."Sedang apa kau disini?" tanya Marven sembari memeriksa orang-orang disekelilingnya.Kiara tersenyum tipis, "Menurut anda, Tuan Marven?""Kami tidak pernah mengizinkan siapapun wartawan kesini.""Sambutan yang sinis sekali. Kau pasti sudah mencari tahu banyak tentangku," nada menyinggung telah Kiara keluarkan."Saya kira anda punya kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan jelas, Nona Kiara."Kiara tersenyum lebar sekarang, "Mengapa begitu panik, tuan Marven? Saya disini hanya diminta mewakili kakek."Meski mampu menyembunyikan segala ekspresi dari wajahnya, jauh didalam dirinya Marven sangat lega. Ia begitu serius tidak ak
Dengan dua buku ditangannya, Kiara mulai menimang mana yang akan dibeli dan diberikan kepada Elena. Sejujurnya buku utama yang ingin diberikan Kiara kepada gadis kecil itu sudah ada, hanya saja ketika melewati rak buku lain ia jadi ingin membelikan buku yang lainnya.Hari ini gadis itu memakai kemeja putih casual dipadankan dengan celana jeans panjang. Lengan panjang kemeja itu digulungnya sedikit diatas pergelangan tangan lalu diberikan sentuhan jam tangan silver yang sangat cocok dengan warna kulitnya yang putih bak porselen.Sudah banyak yang tahu bahwa cara Kiara berpakaian menjadi salah satu kelebihannya, ia selalu berhasil mengenakan apapun outfit sesuai dengan kegiatan yang akan ia datangi. Dan dengan kemampuannya memilih itu ditambah parasnya yang cantik nan tampak tangguh, terlihat menonjol diantara orang-orang sekitarnya sudah jadi makanan sehari-hari baginya."Sudah ini saja," Kiara menjawab sambil tersenyum ketika ditanya oleh kasir apakah ada
"Selamat datang, Kak. Bukunya mana?" Tanpa basa-basi kata itu terlontar dari seorang gadis kecil. Ia mendekat kepada Kiara menggunakan kursi roda yang ia jalankan sendiri. Dari ekspresi wajahnya, Kiara sudah paham gadis itu terlihat sangat penasaran dengan apa yang dibawanya hari ini kerumah.Senang sekali rasanya melihat Elena begitu semangat dengan buku yang dibawanya, "Ini, Kiara. Kakak bawakan juga buku bagus yang lainnya" ujar Kiara lembut sembari menyentuh gemas pipi merah gadis kecil itu.Giani berjalan ke arah ruang tamu dan menyambut Kiara. Elena yang sangat senang dengan buku barunya kini langsung meminta untuk diantar ke taman belakang rumahnya. Sementara Kiara dan Giani memilih untuk mengamati dan di gazebo yang tidak jauh dari posisi Elena."Terimakasih bukunya, Kiara. Elena selalu suka jika dibelikan buku baru. Setiap hari libur, kakaknya selalu membelikan buku baru." Giani mengatakan itu sembari menyodorkan teh hangat dan beberapa bisk
Kiara menikmati pagi itu dengan tersenyum melihat hamparan tanah basah sejauh mata memandang. Berbeda dengan biasanya, pagi kali ini begitu sendu. Tetes air hujan yang turun tidak menyurutkan semangatnya bekerja pagi ini. Justru hujan memberikan Kiara semangat tersendiri, kekuatan untuk menjalani hari hingga petang nanti.Udara segar setelah hujan membuat Kiara kegirangan dalam hati. Sebelum menjalankan mobilnya, dering ponsel memuat bunyi yang khas Kiara sekali berbunyi."Ra, kita ke tempat korban bunuh diri sekarang! Lokasi nanti aku share! Okay?" suara di seberang sana tampak terburu-buru.Meskipun orang disana sana tidak dapat melihat Kiara, namun Kiara reflek untuk mengangguk. Suasana pagi yang menyenangkan untuk Kiara mendadak berubah menjadi mengerikan. Dulu sekali, orang tua Kiara pernah dikira bunuh diri saat CCTV di tempat kejadian tidak dapat ditemukan. Jelas saja perkara bunuh diri bukanlah hal yang main-main.Tak butuh waktu lama
"Apa sih yang menyebabkan kasus pencucian uang ini lama diselidiki? Kurang bukti? Kenapa sampai ada pembatalan pemeriksaan keluarga Hadinata kak?" tanya Kiara tanpa berusaha menutupi apa yang ingin ia tahu. Baru saja sampai di kantor, ia tak bisa membendung dirinya lagi untuk langsung bertanya pada senior di kantornya. Penyidikan kasus Jiwabraga yang belum melaporkan perkembangan apapun membuat Kiara geram, belum lagi sebelumnya ia mengetahui fakta bahwa salah satu nasabah dari Jiwabraga memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri demi mendapatkan uang asuransi kematian. Setelah mendengarkan penuturan dari keluarga paling dekat anaknya, ternyata hal itu kemungkinan nekad dilakukan karena putrinya akan segera memasuki bangku kuliah dan membutuhkan biaya. Mendengar itu semua sungguh membuat hati dan perasaan Kiara gundah. Pasalnya ia tidak bisa melakukan apapun untuk bergerak mengungkap setiap orang yang terlibat kasus ini. Salah satunya adalah keluarga Hadinat
Wanita itu berjalan dengan langkah yang frustasi, coba ditelusurinya jalan yang penuh keramaian itu. Malam hari membuat jalan itu semakin menarik namun tak cukup membuat langkah pelannya kembali bersemangat.‘Kalian tahu keluarga Hadinata? Bertahun-tahun semua jurnalis disini mengejar bukti mengenai dugaan kasus pencucian uang yang mereka lakukan tapi nihil’Wanita itu kembali bergelut dengan kata-kata yang memenuhi sekat pikirnya. Bagaimana bisa dugaan kasus pencucian uang yang melibatkan keluarga Hadinata ini sama sekali tidak tersentuh?Konon katanya meski beberapa aliran dana mengarah pada masing-masing bidang bisnis milik keluarga Hadinata, tidak pernah ada yang memanggil salah satu dari mereka bahkan supirnya sekalipun untuk diperiksa.“Kiara!” sayup teriakan itu cukup membuat wanita bernama Kiara itu menoleh.Kiara menghentikan langkahnya untuk melihat dengan jelas siapa yang memanggilnya. Seorang laki-laki bertubuh t
Kiara memastikan dress yang sedang dikenakannya sudah terpakai dengan rapi. Pilihannya jatuh pada warna merah dengan high heels maroon menambah kesan elegan. Rambutnya yang indah disanggul kebelakang lalu anak rambut yang masih terjuntai membuatnya terlihat klasik dan natural.Sejujurnya tanpa harus bertanya lebih lanjut mengenai siapa yang akan ditemuinya malam ini, sudah tergambar dengan jelas siapa saja yang akan hadir disana dari tempat yang dipilih kakeknya.Private Room Golden Hotel selalu jadi salah satu tempat favorit keluarga besar Kiara. Entah mengapa sepertinya relasi kakeknya dengan pemilik Golden Hotel berjalan cukup baik.Dulu pernah Kiara memiliki satu kesempatan untuk memesan ruangan disana, ternyata harus reservasi sebelumnya. Namun ketika Kiara menyebutkan nama kakeknya, secara ajaib satu tempat sepertinya sudah disediakan secara khusus."Acara dimulai pukul 07.00 malam dan baru saja datang?" suara berat seorang laki-laki dari arah belak
Langkah Kiara terasa lebih cepat daripada biasanya, terpaan angin menyapa lembut surainya berikut dengan rambut panjangnya yang dibiarkan menjuntai. Hari ini ia harus lebih cepat sampai di kantor sebab hal penting mengenai penyelidikan kasus Jiwabraga mengalami perkembangan.Kini kasus itu telah dinaikkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Penyelidikan sebelumnya adalah proses menganalisa suatu perkara apakah termasuk perkara pidana, sedangkan penyidikan sudah dapat dipastikan perkara itu merupakan suatu tindak pidana lalu sedang dicari bukti yang lebih banyak untuk mencari tersangka sehingga mampu dinaikkan ke proses penuntutan di Kejaksaan.Semua hal itu tidak asing lagi bagi Kiara, ia mendapatkan gelar sarjana hukumnya dengan hasil yang sangat memuaskan. Lulusan terbaik yang saat itu dengan predikat cumlaude diraih Kiara tanpa menemui kesulitan yang berarti.Berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri terbaik di suatu negara, tidak pernah membuat Kiara
"Apa sih yang menyebabkan kasus pencucian uang ini lama diselidiki? Kurang bukti? Kenapa sampai ada pembatalan pemeriksaan keluarga Hadinata kak?" tanya Kiara tanpa berusaha menutupi apa yang ingin ia tahu. Baru saja sampai di kantor, ia tak bisa membendung dirinya lagi untuk langsung bertanya pada senior di kantornya. Penyidikan kasus Jiwabraga yang belum melaporkan perkembangan apapun membuat Kiara geram, belum lagi sebelumnya ia mengetahui fakta bahwa salah satu nasabah dari Jiwabraga memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri demi mendapatkan uang asuransi kematian. Setelah mendengarkan penuturan dari keluarga paling dekat anaknya, ternyata hal itu kemungkinan nekad dilakukan karena putrinya akan segera memasuki bangku kuliah dan membutuhkan biaya. Mendengar itu semua sungguh membuat hati dan perasaan Kiara gundah. Pasalnya ia tidak bisa melakukan apapun untuk bergerak mengungkap setiap orang yang terlibat kasus ini. Salah satunya adalah keluarga Hadinat
Kiara menikmati pagi itu dengan tersenyum melihat hamparan tanah basah sejauh mata memandang. Berbeda dengan biasanya, pagi kali ini begitu sendu. Tetes air hujan yang turun tidak menyurutkan semangatnya bekerja pagi ini. Justru hujan memberikan Kiara semangat tersendiri, kekuatan untuk menjalani hari hingga petang nanti.Udara segar setelah hujan membuat Kiara kegirangan dalam hati. Sebelum menjalankan mobilnya, dering ponsel memuat bunyi yang khas Kiara sekali berbunyi."Ra, kita ke tempat korban bunuh diri sekarang! Lokasi nanti aku share! Okay?" suara di seberang sana tampak terburu-buru.Meskipun orang disana sana tidak dapat melihat Kiara, namun Kiara reflek untuk mengangguk. Suasana pagi yang menyenangkan untuk Kiara mendadak berubah menjadi mengerikan. Dulu sekali, orang tua Kiara pernah dikira bunuh diri saat CCTV di tempat kejadian tidak dapat ditemukan. Jelas saja perkara bunuh diri bukanlah hal yang main-main.Tak butuh waktu lama
"Selamat datang, Kak. Bukunya mana?" Tanpa basa-basi kata itu terlontar dari seorang gadis kecil. Ia mendekat kepada Kiara menggunakan kursi roda yang ia jalankan sendiri. Dari ekspresi wajahnya, Kiara sudah paham gadis itu terlihat sangat penasaran dengan apa yang dibawanya hari ini kerumah.Senang sekali rasanya melihat Elena begitu semangat dengan buku yang dibawanya, "Ini, Kiara. Kakak bawakan juga buku bagus yang lainnya" ujar Kiara lembut sembari menyentuh gemas pipi merah gadis kecil itu.Giani berjalan ke arah ruang tamu dan menyambut Kiara. Elena yang sangat senang dengan buku barunya kini langsung meminta untuk diantar ke taman belakang rumahnya. Sementara Kiara dan Giani memilih untuk mengamati dan di gazebo yang tidak jauh dari posisi Elena."Terimakasih bukunya, Kiara. Elena selalu suka jika dibelikan buku baru. Setiap hari libur, kakaknya selalu membelikan buku baru." Giani mengatakan itu sembari menyodorkan teh hangat dan beberapa bisk
Dengan dua buku ditangannya, Kiara mulai menimang mana yang akan dibeli dan diberikan kepada Elena. Sejujurnya buku utama yang ingin diberikan Kiara kepada gadis kecil itu sudah ada, hanya saja ketika melewati rak buku lain ia jadi ingin membelikan buku yang lainnya.Hari ini gadis itu memakai kemeja putih casual dipadankan dengan celana jeans panjang. Lengan panjang kemeja itu digulungnya sedikit diatas pergelangan tangan lalu diberikan sentuhan jam tangan silver yang sangat cocok dengan warna kulitnya yang putih bak porselen.Sudah banyak yang tahu bahwa cara Kiara berpakaian menjadi salah satu kelebihannya, ia selalu berhasil mengenakan apapun outfit sesuai dengan kegiatan yang akan ia datangi. Dan dengan kemampuannya memilih itu ditambah parasnya yang cantik nan tampak tangguh, terlihat menonjol diantara orang-orang sekitarnya sudah jadi makanan sehari-hari baginya."Sudah ini saja," Kiara menjawab sambil tersenyum ketika ditanya oleh kasir apakah ada
Tubuh Marven seketika membeku ditempatnya saat melihat Kiara ada didepan rumahnya, kali ini bukan lagi didepan pagar seperti beberapa hari yang lalu ia lakukan. Dengan didampingi beberapa orang disampingnya dan mengenakan dress rapi selutut, wanita itu sekarang baru terlihat seperti salah satu keluarga dari Atmaja."Sedang apa kau disini?" tanya Marven sembari memeriksa orang-orang disekelilingnya.Kiara tersenyum tipis, "Menurut anda, Tuan Marven?""Kami tidak pernah mengizinkan siapapun wartawan kesini.""Sambutan yang sinis sekali. Kau pasti sudah mencari tahu banyak tentangku," nada menyinggung telah Kiara keluarkan."Saya kira anda punya kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan jelas, Nona Kiara."Kiara tersenyum lebar sekarang, "Mengapa begitu panik, tuan Marven? Saya disini hanya diminta mewakili kakek."Meski mampu menyembunyikan segala ekspresi dari wajahnya, jauh didalam dirinya Marven sangat lega. Ia begitu serius tidak ak
"Polisi yang memberikan pernyataan kemarin sudah dipindahkan ke daerah lain." Salah satu anggota polisi itu langsung menjawab sambil mengetik laporan dimejanya.Kiara dan Diska saling bertatapan heran, "Lalu untuk penyidikan kasus Jiwabraga dilimpahkan kepada siapa pak?""Kepala penyidik lainnya, namun sekarang sedang tidak disini. Apabila ada yang perlu disampaikan, bisa saya sampaikan nanti." Anggota polisi itu sedang terburu-buru seperti akan segera melakukan sesuatu.Kiara langsung menyerahkan kartu namanya dan meminta disampaikan jika berkenan ingin mendapatkan keterangan dari kepala penyidik yang baru.Keputusan untuk mencari tahu narasumber polisi yang memberikan pernyataan mengenai pemeriksaan keluarga Hadinata adalah keputusan tepat. Kecurigaan yang baru timbul begitu saja, baru lusa malam tepatnya polisi tersebut memberikan pernyataan lalu dengan tiba-tiba sudah tidak bertugas ditempat itu lagi.Ada begitu banyak hal janggal menyang
Langkah Kiara terasa lebih cepat daripada biasanya, terpaan angin menyapa lembut surainya berikut dengan rambut panjangnya yang dibiarkan menjuntai. Hari ini ia harus lebih cepat sampai di kantor sebab hal penting mengenai penyelidikan kasus Jiwabraga mengalami perkembangan.Kini kasus itu telah dinaikkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Penyelidikan sebelumnya adalah proses menganalisa suatu perkara apakah termasuk perkara pidana, sedangkan penyidikan sudah dapat dipastikan perkara itu merupakan suatu tindak pidana lalu sedang dicari bukti yang lebih banyak untuk mencari tersangka sehingga mampu dinaikkan ke proses penuntutan di Kejaksaan.Semua hal itu tidak asing lagi bagi Kiara, ia mendapatkan gelar sarjana hukumnya dengan hasil yang sangat memuaskan. Lulusan terbaik yang saat itu dengan predikat cumlaude diraih Kiara tanpa menemui kesulitan yang berarti.Berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri terbaik di suatu negara, tidak pernah membuat Kiara
Kiara memastikan dress yang sedang dikenakannya sudah terpakai dengan rapi. Pilihannya jatuh pada warna merah dengan high heels maroon menambah kesan elegan. Rambutnya yang indah disanggul kebelakang lalu anak rambut yang masih terjuntai membuatnya terlihat klasik dan natural.Sejujurnya tanpa harus bertanya lebih lanjut mengenai siapa yang akan ditemuinya malam ini, sudah tergambar dengan jelas siapa saja yang akan hadir disana dari tempat yang dipilih kakeknya.Private Room Golden Hotel selalu jadi salah satu tempat favorit keluarga besar Kiara. Entah mengapa sepertinya relasi kakeknya dengan pemilik Golden Hotel berjalan cukup baik.Dulu pernah Kiara memiliki satu kesempatan untuk memesan ruangan disana, ternyata harus reservasi sebelumnya. Namun ketika Kiara menyebutkan nama kakeknya, secara ajaib satu tempat sepertinya sudah disediakan secara khusus."Acara dimulai pukul 07.00 malam dan baru saja datang?" suara berat seorang laki-laki dari arah belak
Wanita itu berjalan dengan langkah yang frustasi, coba ditelusurinya jalan yang penuh keramaian itu. Malam hari membuat jalan itu semakin menarik namun tak cukup membuat langkah pelannya kembali bersemangat.‘Kalian tahu keluarga Hadinata? Bertahun-tahun semua jurnalis disini mengejar bukti mengenai dugaan kasus pencucian uang yang mereka lakukan tapi nihil’Wanita itu kembali bergelut dengan kata-kata yang memenuhi sekat pikirnya. Bagaimana bisa dugaan kasus pencucian uang yang melibatkan keluarga Hadinata ini sama sekali tidak tersentuh?Konon katanya meski beberapa aliran dana mengarah pada masing-masing bidang bisnis milik keluarga Hadinata, tidak pernah ada yang memanggil salah satu dari mereka bahkan supirnya sekalipun untuk diperiksa.“Kiara!” sayup teriakan itu cukup membuat wanita bernama Kiara itu menoleh.Kiara menghentikan langkahnya untuk melihat dengan jelas siapa yang memanggilnya. Seorang laki-laki bertubuh t