"Kamu mau coba?" Melanie bertanya kepada Amel sambil memegang benda itu.Amel langsung menggeleng. "Nggak, ini barang bagus, barang bagus untuk Ibu.""Haha ..." Melanie tertawa, meletakkan benda itu dan meninggalkan pikiran gilanya yang baru saja muncul.Anak-anak tetaplah anak-anak. Akan sangat menyulitkan kalau sampai punya kebiasaan buruk. Jadi, lupakan saja dan biarkan anak kecil itu lepas untuk sekarang.Amel duduk di samping Melanie dan menyandarkan tubuh kecilnya padanya. "Adik yang kata Paman Yudha itu ada di perut Bibi Rara?""Iya." Melanie melirik dari sudut matanya. "Kenapa? Bahagia?"Amel menggeleng dan berkata dengan nada yang tidak nyaman, "Jadi, Paman Yudha lebih sayang ke mereka mulai sekarang? Nggak sayang Amel lagi?"Melihatnya seperti ini, Melanie tiba-tiba merasa sangat tertarik. "Pasti. Mereka 'kan anak kandung Paman Yudha, sedangkan kamu ...""Aku nggak jadi suka mereka." Amel memeluk lututnya dengan wajah penuh kebencian.Melanie pun terhibur. "Ibu juga nggak suk
Gio menyilangkan kedua tangannya dan berkata dingin, "Bajingan, keluar!"Tanto mengayunkan tinjunya untuk menyerang, tapi Felix menahannya."Paman, jangan membuat masalah. Kalau kamu mengacau di sini, biar kuantar kamu keluar." Felix terlalu kuat, Tanto tidak bisa melawannya.Tiba-tiba, Siska turun dari tempat tidur dan menggenggam tangan Gio. "Tanto, kamu kemarin tanya 'kan, aku foto pernikahan dengan siapa? Dengan Dokter Gio."Mata Tanto terbelalak tak percaya. "Nggak mungkin!""Nggak mungkin bagaimana?" Siska mengubah posisinya dan memeluk lengan Gio. "Kami sudah memutuskan untuk menikah. Aku juga sudah membawanya menemui ibuku. Ibuku sudah setuju.""Nggak mungkin, aku nggak percaya." Tanto hampir histeris. "Siska, kamu nggak perlu sengaja membohongi aku seperti ini. Aku nggak akan percaya.""Kamu memang orang yang humoris." Gio tertawa kecil. "Lalu apa yang bisa membuatmu percaya?"Dia menatap bibir Siska. "Apa perlu kami ciuman di depanmu?"Saat kata-kata ini keluar, seluruh tubuh
Waktu berlalu begitu cepat. Dalam sekejap, tiba malam sebelum sidang perceraian Yara dan Yudha.Kakek Susilo sangat sadar malam itu. Dia bahkan menyuruh Agnes untuk memanggil semua orang dan makan malam bersama di lantai bawah.Ketika semua orang melihatnya seperti itu, mereka pun mengerti bahwa akhir hidup Kakek Susilo sudah dekat. Dia mungkin tidak akan bertahan melewati malam ini."Kakek." Yudha mengantar kakeknya ke lantai atas setelah makan malam. "Kamu mau kupanggilkan Yara?""Nggak, Kakek baik-baik saja." Kakek Susilo berkata dengan suara berat, "Dia pasti khawatir kalau kamu panggil dia jam segini."Yudha mengangguk. "Oke kalau Kakek bilang begitu.""Kamu keluar dulu. Panggil pamanmu. Sudah lama Kakek nggak ngobrol dengannya," perintah Kakek Susilo."Oke, Kakek tunggu sebentar, aku panggilkan dia." Yudha turun ke lantai bawah dan memanggil Tanto, sementara yang lain menunggu di ruang tamu.Felix berkata dengan ragu-ragu, "Apa kita panggil Rara saja?""Nggak usah. Aku sudah tany
Tanto bangkit dan berjalan keluar pintu. Ketika sampai di depan pintu, dia berhenti dan berkata tanpa menoleh, "Kamu tahu? Kata bahagia itu sangat ironis kalau kamu yang mengucapkan."Tanpa menunggu Kakek Susilo bicara lagi, dia membuka pintu dan pergi dengan langkah cepat.Sampai di lantai bawah, dia mengambil barang-barangnya dan bersiap untuk pergi. Dia menyampaikan sambil berjalan keluar, "Felix, kamu diminta naik dengarkan kata-kata terakhirnya.""Paman, kamu mau ke mana?" Felix mengejarnya beberapa langkah."Tanto, sudah jam segini, kamu mau ke mana?" Liana mengejarnya juga dan memegang lengan Tanto. "Jangan pergi malam ini.""Lepaskan aku." Tanto menatap Liana penuh rasa jijik."Tanto, kamu belum merasa cukup membuat masalah?" Agnes akhirnya tidak tahan. "Kamu nggak boleh pergi ke mana-mana malam ini."Tanto tertawa pelan dan tetap berjalan keluar. "Cukup? Seumur hidup, aku nggak akan merasa cukup!"Dia mendorong pintu dengan kuat dan pergi tanpa ragu."Bajingan!" Agnes mengumpa
Felix turun ke lantai bawah. Melihat Liana tidak ada di sana, dia mempersilakan Agnes untuk naik terlebih dahulu.Dia bertanya pada Yudha, "Tante nggak balik lagi?"Yudha menggeleng. "Pergi sama Paman."Felix mendesah panjang.Yudha lalu berkata, "Setelah sekian lama, apa menurutmu Tante sudah benar-benar memaafkan Kakek?"Felix mengerti bahwa Yudha sedang membicarakan saat Kakek Susilo mengirim Liana ke luar negeri. Dia hanya merasa lelah dan memejamkan mata dengan lemah. "Siapa yang tahu? Sebesar apa pun cinta yang pernah ada, pada akhirnya cuma bisa berakhir menjadi utang."Di lantai atas, Agnes duduk di tepi tempat tidur dan berseru dengan lembut, "Ayah, ini aku."Semburat kegembiraan tampak jelas di wajah Kakek. Pria tua itu menatap Agnes dengan penuh kekaguman. "Keputusan terbaik yang pernah aku ambil dalam hidupku adalah mempunyaimu sebagai menantuku.""Ayah, menjadi menantumu juga keberuntungan terbesar dalam hidupku." Agnes tampak berkaca-kaca, tapi masih bisa mengendalikan em
Kota Selayu, di sebuah vila dengan harga termahal.Yara Lubis berdiri di depan cermin dengan wajah merona merah. Dia bangun pagi-pagi sekali hari ini dan bahkan memakai lipstik untuk pertama kalinya.Memikirkan semua yang terjadi tadi malam bersama suaminya, Yudha Lastana, senyum manis di wajahnya semakin sulit disembunyikan.Setelah setahun menikah, mereka akhirnya menyempurnakan pernikahan mereka.Tampaknya, dia telah berhasil meluluhkan hati suaminya.Yara sangat berbahagia dalam hatinya. Dari dalam lemari, dia mengeluarkan tiga buah gaun dan membandingkannya di depan cermin. Dia ingin Yudha melihatnya dalam penampilan tercantiknya saat terbangun nanti.Gaun pertama berwarna biru langit yang dia beli saat masih sekolah. Mengenakannya membuat dia terlihat seperti bocah.Yang kedua adalah gaun pendek berwarna putih. Gaun ini sudah sangat lama sampai kerahnya sudah menguning.Gaun terakhir adalah gaun hitam dengan kesan lebih formal. Dia membelinya saat lulus kuliah dan bersiap mencari
Yara berjalan menuju pintu depan dengan tidak sabar.Kemarin sore, satu-satunya yang datang berkunjung hanyalah ibunya, Silvia Damara. Pasti dia yang meletakkan air itu di sana.Dia harus pergi ke rumah dan memastikannya.Yara naik taksi dan langsung menuju kediaman keluarga Lubis. Tak disangkanya, dia bertemu Yudha di depan rumah keluarga Lubis.Yudha melihatnya dengan tatapan yang lebih merendahkan.Seorang pelayan melihat mereka berdua dan tersenyum mencari muka. "Pulang bersama-sama? Hubungan Nona dan Tuan Yudha sangat harmonis."Yara menundukkan kepala. Dia tahu betul saat ini Yudha pasti salah paham lagi.Benar saja, ketika Yudha berjalan melewatinya, dia berkata dengan gigi terkatup, "Kamu bilang ingin cerai, tapi masih minta ibumu memanggilku ke sini?""Bukan begitu," timpal Yara dengan suara rendah, tetapi tidak dapat menghindar dari rasa bersalah yang mulai berkembang dalam hatinya.Apa maksud ibunya tiba-tiba memanggil Yudha?Silvia menyaksikan dua orang itu pulang bersama-s
Di dalam mobil, Yudha merasa seluruh darah di tubuhnya membeku.Dia melihat dengan jelas mobilnya menabrak Yara.Kenapa bisa sampai terjadi? Tangannya gemetaran dan gagal membuka pintu mobil sampai beberapa kali hingga akhirnya pintu terbuka.Setelah keluar, dia melihat Yara terbaring di depan mobil.Dia meringkuk memeluk salah satu kakinya. Keningnya berkerut dan matanya menatap penuh ketakutan."Yara, kamu beneran sudah gila, ya?"Yudha menggeram, tidak lagi bisa membendung emosinya."Sebegitu gilanya kamu ingin uang dariku?""Kamu mau minta berapa? Dua ratus miliar? Empat ratus miliar? Dua triliun?""Berapa yang kamu mau? Akan kuberikan."Hingga saat ini, tubuhnya masih gemetaran.Beraninya-beraninya.Sudah cukup sekali saja dia dijebak dengan trik mengancam nyawa seperti ini. Wanita itu pikir dia akan jatuh ke lubang yang sama dua kali?Yudha tidak peduli dia mau hidup atau mati!"Nggak, nggak ...."Yara menggelengkan kepalanya tak berdaya. Dia belum pernah melihat Yudha seperti in