Langkah kaki Yudha sangat berat, seperti sedang marah.Yara terkejut. Namun, sebelum dia sempat mencerna apa yang terjadi, Yudha menariknya dan mendorongnya ke samping.Yudha melangkah ke depan. Tangannya gemetar untuk merasakan napas Kakek Susilo. Benar saja, Kakek sudah tidak ada.Mati dengan mata terbuka!Kaki Yara lemas. Mulutnya terbuka lebar tak percaya. Dia tanpa sadar berpegangan pada mesin di sebelahnya, masih tidak bisa berdiri.Tiba-tiba, Yudha berbalik dan menatap Yara dengan penuh kebencian. "Apa kamu puas?"Yara tidak mengerti maksud Yudha dan menggelengkan kepalanya perlahan.Yudha mendekati Yara dan mencengkeram pundaknya dengan kedua tangan. "Apa kamu puas? Kamu puas dia mati dengan mata terbuka?""Nggak ... nggak ..." Yara terisak. Dia bahkan tidak bisa mengucapkan kalimat lengkap. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud Yudha. Bagaimana mungkin dia berharap Kakek Susilo meninggal dengan tidak tenang?"Itu keinginan terakhirnya sebelum meninggal, kenapa kamu nggak bisa b
Kota Selayu, di sebuah vila dengan harga termahal.Yara Lubis berdiri di depan cermin dengan wajah merona merah. Dia bangun pagi-pagi sekali hari ini dan bahkan memakai lipstik untuk pertama kalinya.Memikirkan semua yang terjadi tadi malam bersama suaminya, Yudha Lastana, senyum manis di wajahnya semakin sulit disembunyikan.Setelah setahun menikah, mereka akhirnya menyempurnakan pernikahan mereka.Tampaknya, dia telah berhasil meluluhkan hati suaminya.Yara sangat berbahagia dalam hatinya. Dari dalam lemari, dia mengeluarkan tiga buah gaun dan membandingkannya di depan cermin. Dia ingin Yudha melihatnya dalam penampilan tercantiknya saat terbangun nanti.Gaun pertama berwarna biru langit yang dia beli saat masih sekolah. Mengenakannya membuat dia terlihat seperti bocah.Yang kedua adalah gaun pendek berwarna putih. Gaun ini sudah sangat lama sampai kerahnya sudah menguning.Gaun terakhir adalah gaun hitam dengan kesan lebih formal. Dia membelinya saat lulus kuliah dan bersiap mencari
Yara berjalan menuju pintu depan dengan tidak sabar.Kemarin sore, satu-satunya yang datang berkunjung hanyalah ibunya, Silvia Damara. Pasti dia yang meletakkan air itu di sana.Dia harus pergi ke rumah dan memastikannya.Yara naik taksi dan langsung menuju kediaman keluarga Lubis. Tak disangkanya, dia bertemu Yudha di depan rumah keluarga Lubis.Yudha melihatnya dengan tatapan yang lebih merendahkan.Seorang pelayan melihat mereka berdua dan tersenyum mencari muka. "Pulang bersama-sama? Hubungan Nona dan Tuan Yudha sangat harmonis."Yara menundukkan kepala. Dia tahu betul saat ini Yudha pasti salah paham lagi.Benar saja, ketika Yudha berjalan melewatinya, dia berkata dengan gigi terkatup, "Kamu bilang ingin cerai, tapi masih minta ibumu memanggilku ke sini?""Bukan begitu," timpal Yara dengan suara rendah, tetapi tidak dapat menghindar dari rasa bersalah yang mulai berkembang dalam hatinya.Apa maksud ibunya tiba-tiba memanggil Yudha?Silvia menyaksikan dua orang itu pulang bersama-s
Di dalam mobil, Yudha merasa seluruh darah di tubuhnya membeku.Dia melihat dengan jelas mobilnya menabrak Yara.Kenapa bisa sampai terjadi? Tangannya gemetaran dan gagal membuka pintu mobil sampai beberapa kali hingga akhirnya pintu terbuka.Setelah keluar, dia melihat Yara terbaring di depan mobil.Dia meringkuk memeluk salah satu kakinya. Keningnya berkerut dan matanya menatap penuh ketakutan."Yara, kamu beneran sudah gila, ya?"Yudha menggeram, tidak lagi bisa membendung emosinya."Sebegitu gilanya kamu ingin uang dariku?""Kamu mau minta berapa? Dua ratus miliar? Empat ratus miliar? Dua triliun?""Berapa yang kamu mau? Akan kuberikan."Hingga saat ini, tubuhnya masih gemetaran.Beraninya-beraninya.Sudah cukup sekali saja dia dijebak dengan trik mengancam nyawa seperti ini. Wanita itu pikir dia akan jatuh ke lubang yang sama dua kali?Yudha tidak peduli dia mau hidup atau mati!"Nggak, nggak ...."Yara menggelengkan kepalanya tak berdaya. Dia belum pernah melihat Yudha seperti in
"N-nggak apa-apa kok." Yara merasa hatinya diremas-remas dan cepat-cepat menggelengkan kepala.Benar juga. Melanie pulang, tentu saja dia akan menemui Yudha secepatnya.Atau mungkin Yudha pergi menjemputnya di bandara.Tidak salah, orang yang paling bahagia dengan kepulangannya pasti adalah Yudha.Tidak hanya Yudha, tetapi juga Silvia, keluarga Lastana .... Semua orang menantikan kepulangannya."Syukurlah kalau kamu nggak keberatan." Melanie meraih tangan Yara dengan penuh perhatian.Yara tanpa sadar mengelak, lalu dia mendongak dengan rasa bersalah, tetapi tidak ada sesirat pun ekspresi menyalahkan di wajah Melanie.Dia tersenyum ringan. "Kalau sesuatu terjadi padamu, Yudha dan aku akan merasa sangat bersalah."Yara merasa dadanya sesak, hampir tidak bisa bernapas."Rara, aku tahu nggak seharusnya aku pulang, apalagi mengirim pesan itu ....""Nggak," bantah Yara, tiba-tiba tersulut sesuatu.Mata Melanie mulai berkaca-kaca."Kukira aku nggak akan pernah pulang lagi seumur hidup. Kukira
Yara berjalan ke jendela dan mengangkat panggilan itu."Sudah pulang dari rumah sakit?" tanya pria itu dengan suara dalamnya yang menghanyutkan."Sudah," jawab Yara.Setelah lama tidak mendengar suaranya, Yara tiba-tiba menyadari bahwa dia sangat merindukan Yudha.Keduanya terdiam beberapa saat, lalu berbicara bersamaan, "Perjanjian ....""Kamu duluan," ucap Yara terlebih dahulu."Perjanjian cerainya sudah aku tanda tangani." Suara Yudha mengalun perlahan. "Aku sedang di luar kota beberapa hari ini ....""Oke, beri tahu aku kalau kamu sudah pulang, kita pergi selesaikan prosesnya secepatnya."Panggilan ditutup dari sana.Benar-benar tidak ingin mendengar satu patah kata yang tidak perlu.Yara tersenyum pahit dan meletakkan ponselnya.Siska dapat menebak siapa yang menelepon dan isi panggilannya.Dia tidak tahu harus apa untuk menghibur Yara, jadi dia harus mengganti topik pembicaraan. "Rencanamu apa setelah ini?""Siska," panggil Yara dengan nada tidak enak. "Aku boleh numpang di rumah
Setelah kembali ke rumah Siska, Yara memberi tahu sahabatnya itu tentang kejadian tadi. Mereka berdua bersama-sama menelusuri di Internet dan dengan segera menemukan apa yang disebut karya asli itu.Total ada lima lukisan dan kelimanya memiliki kemiripan 95 persen dengan yang dikirimkan Yara ke Baruy. Semuanya meraih lima penghargaan yang sangat bergengsi di industri ini.Atas nama Lindari.Siska merasa sulit memercayainya. "Kamu kenal Lindari ini?""Nggak." Yara menggelengkan kepalanya. "Sepertinya bukan nama asli.""Benar. Seaneh-anehnya, pencuri lukisan itu nggak mungkin orang dari luar negeri." Lalu Siska bertanya lagi pada Yara, "Lukisan aslimu disimpan di rumah keluarga Lubis?"Yara mengangguk."Punya foto lukisan aslinya?""Ada!"Seketika Siska mendapat semangatnya kembali. "Urusannya gampang kalau begitu. Kirimkan foto-fotomu ke juri kompetisi itu dan minta mereka mengganti pemenangnya."Dia berpikir sejenak, kemudian menambahkan, "Lalu kirimkan ke forum desainer besar. Mungkin
"Rara." Melanie menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak bisa, nggak bisa diperbaiki.""Rara, kamu tahu aturan di industri desain. Kalau aku mengaku ... karierku akan hancur total."Yara masih tidak rela. "Tapi Melanie, kalau nggak diperbaiki, aku ....""Kamu ingin masuk ke Baruy, 'kan?" Melanie menyeka air matanya. "Serahkan masalah ini padaku.""Tapi ...." Yara tidak ingin masuk dengan nama plagiator."Rara." Melanie tampak penuh penyesalan. "Karena insiden antara kamu dan Yudha, aku nggak bisa menggambar apa pun, jadi aku khilaf dan membuat kesalahan besar."Dia menatap Yara dengan penuh emosi. "Bisakah kamu memaafkan aku kali ini? Aku percaya kamu pasti bisa membuktikan dirimu setelah masuk Baruy."Yara bimbang ingin berbicara. Dia sudah menyebabkan penderitaan untuk Melanie satu kali. Dia tidak bisa lagi melihat karier Melanie hancur karena masalah ini."Ya sudah, kalau begitu aku minta tolong padamu untuk urusan Baruy." Dia akan membuktikan kemampuan dirinya di masa depan.Melanie