Waktu berlalu begitu cepat. Dalam sekejap, tiba malam sebelum sidang perceraian Yara dan Yudha.Kakek Susilo sangat sadar malam itu. Dia bahkan menyuruh Agnes untuk memanggil semua orang dan makan malam bersama di lantai bawah.Ketika semua orang melihatnya seperti itu, mereka pun mengerti bahwa akhir hidup Kakek Susilo sudah dekat. Dia mungkin tidak akan bertahan melewati malam ini."Kakek." Yudha mengantar kakeknya ke lantai atas setelah makan malam. "Kamu mau kupanggilkan Yara?""Nggak, Kakek baik-baik saja." Kakek Susilo berkata dengan suara berat, "Dia pasti khawatir kalau kamu panggil dia jam segini."Yudha mengangguk. "Oke kalau Kakek bilang begitu.""Kamu keluar dulu. Panggil pamanmu. Sudah lama Kakek nggak ngobrol dengannya," perintah Kakek Susilo."Oke, Kakek tunggu sebentar, aku panggilkan dia." Yudha turun ke lantai bawah dan memanggil Tanto, sementara yang lain menunggu di ruang tamu.Felix berkata dengan ragu-ragu, "Apa kita panggil Rara saja?""Nggak usah. Aku sudah tany
Tanto bangkit dan berjalan keluar pintu. Ketika sampai di depan pintu, dia berhenti dan berkata tanpa menoleh, "Kamu tahu? Kata bahagia itu sangat ironis kalau kamu yang mengucapkan."Tanpa menunggu Kakek Susilo bicara lagi, dia membuka pintu dan pergi dengan langkah cepat.Sampai di lantai bawah, dia mengambil barang-barangnya dan bersiap untuk pergi. Dia menyampaikan sambil berjalan keluar, "Felix, kamu diminta naik dengarkan kata-kata terakhirnya.""Paman, kamu mau ke mana?" Felix mengejarnya beberapa langkah."Tanto, sudah jam segini, kamu mau ke mana?" Liana mengejarnya juga dan memegang lengan Tanto. "Jangan pergi malam ini.""Lepaskan aku." Tanto menatap Liana penuh rasa jijik."Tanto, kamu belum merasa cukup membuat masalah?" Agnes akhirnya tidak tahan. "Kamu nggak boleh pergi ke mana-mana malam ini."Tanto tertawa pelan dan tetap berjalan keluar. "Cukup? Seumur hidup, aku nggak akan merasa cukup!"Dia mendorong pintu dengan kuat dan pergi tanpa ragu."Bajingan!" Agnes mengumpa
Felix turun ke lantai bawah. Melihat Liana tidak ada di sana, dia mempersilakan Agnes untuk naik terlebih dahulu.Dia bertanya pada Yudha, "Tante nggak balik lagi?"Yudha menggeleng. "Pergi sama Paman."Felix mendesah panjang.Yudha lalu berkata, "Setelah sekian lama, apa menurutmu Tante sudah benar-benar memaafkan Kakek?"Felix mengerti bahwa Yudha sedang membicarakan saat Kakek Susilo mengirim Liana ke luar negeri. Dia hanya merasa lelah dan memejamkan mata dengan lemah. "Siapa yang tahu? Sebesar apa pun cinta yang pernah ada, pada akhirnya cuma bisa berakhir menjadi utang."Di lantai atas, Agnes duduk di tepi tempat tidur dan berseru dengan lembut, "Ayah, ini aku."Semburat kegembiraan tampak jelas di wajah Kakek. Pria tua itu menatap Agnes dengan penuh kekaguman. "Keputusan terbaik yang pernah aku ambil dalam hidupku adalah mempunyaimu sebagai menantuku.""Ayah, menjadi menantumu juga keberuntungan terbesar dalam hidupku." Agnes tampak berkaca-kaca, tapi masih bisa mengendalikan em
Kota Selayu, di sebuah vila dengan harga termahal.Yara Lubis berdiri di depan cermin dengan wajah merona merah. Dia bangun pagi-pagi sekali hari ini dan bahkan memakai lipstik untuk pertama kalinya.Memikirkan semua yang terjadi tadi malam bersama suaminya, Yudha Lastana, senyum manis di wajahnya semakin sulit disembunyikan.Setelah setahun menikah, mereka akhirnya menyempurnakan pernikahan mereka.Tampaknya, dia telah berhasil meluluhkan hati suaminya.Yara sangat berbahagia dalam hatinya. Dari dalam lemari, dia mengeluarkan tiga buah gaun dan membandingkannya di depan cermin. Dia ingin Yudha melihatnya dalam penampilan tercantiknya saat terbangun nanti.Gaun pertama berwarna biru langit yang dia beli saat masih sekolah. Mengenakannya membuat dia terlihat seperti bocah.Yang kedua adalah gaun pendek berwarna putih. Gaun ini sudah sangat lama sampai kerahnya sudah menguning.Gaun terakhir adalah gaun hitam dengan kesan lebih formal. Dia membelinya saat lulus kuliah dan bersiap mencari
Yara berjalan menuju pintu depan dengan tidak sabar.Kemarin sore, satu-satunya yang datang berkunjung hanyalah ibunya, Silvia Damara. Pasti dia yang meletakkan air itu di sana.Dia harus pergi ke rumah dan memastikannya.Yara naik taksi dan langsung menuju kediaman keluarga Lubis. Tak disangkanya, dia bertemu Yudha di depan rumah keluarga Lubis.Yudha melihatnya dengan tatapan yang lebih merendahkan.Seorang pelayan melihat mereka berdua dan tersenyum mencari muka. "Pulang bersama-sama? Hubungan Nona dan Tuan Yudha sangat harmonis."Yara menundukkan kepala. Dia tahu betul saat ini Yudha pasti salah paham lagi.Benar saja, ketika Yudha berjalan melewatinya, dia berkata dengan gigi terkatup, "Kamu bilang ingin cerai, tapi masih minta ibumu memanggilku ke sini?""Bukan begitu," timpal Yara dengan suara rendah, tetapi tidak dapat menghindar dari rasa bersalah yang mulai berkembang dalam hatinya.Apa maksud ibunya tiba-tiba memanggil Yudha?Silvia menyaksikan dua orang itu pulang bersama-s
Di dalam mobil, Yudha merasa seluruh darah di tubuhnya membeku.Dia melihat dengan jelas mobilnya menabrak Yara.Kenapa bisa sampai terjadi? Tangannya gemetaran dan gagal membuka pintu mobil sampai beberapa kali hingga akhirnya pintu terbuka.Setelah keluar, dia melihat Yara terbaring di depan mobil.Dia meringkuk memeluk salah satu kakinya. Keningnya berkerut dan matanya menatap penuh ketakutan."Yara, kamu beneran sudah gila, ya?"Yudha menggeram, tidak lagi bisa membendung emosinya."Sebegitu gilanya kamu ingin uang dariku?""Kamu mau minta berapa? Dua ratus miliar? Empat ratus miliar? Dua triliun?""Berapa yang kamu mau? Akan kuberikan."Hingga saat ini, tubuhnya masih gemetaran.Beraninya-beraninya.Sudah cukup sekali saja dia dijebak dengan trik mengancam nyawa seperti ini. Wanita itu pikir dia akan jatuh ke lubang yang sama dua kali?Yudha tidak peduli dia mau hidup atau mati!"Nggak, nggak ...."Yara menggelengkan kepalanya tak berdaya. Dia belum pernah melihat Yudha seperti in
"N-nggak apa-apa kok." Yara merasa hatinya diremas-remas dan cepat-cepat menggelengkan kepala.Benar juga. Melanie pulang, tentu saja dia akan menemui Yudha secepatnya.Atau mungkin Yudha pergi menjemputnya di bandara.Tidak salah, orang yang paling bahagia dengan kepulangannya pasti adalah Yudha.Tidak hanya Yudha, tetapi juga Silvia, keluarga Lastana .... Semua orang menantikan kepulangannya."Syukurlah kalau kamu nggak keberatan." Melanie meraih tangan Yara dengan penuh perhatian.Yara tanpa sadar mengelak, lalu dia mendongak dengan rasa bersalah, tetapi tidak ada sesirat pun ekspresi menyalahkan di wajah Melanie.Dia tersenyum ringan. "Kalau sesuatu terjadi padamu, Yudha dan aku akan merasa sangat bersalah."Yara merasa dadanya sesak, hampir tidak bisa bernapas."Rara, aku tahu nggak seharusnya aku pulang, apalagi mengirim pesan itu ....""Nggak," bantah Yara, tiba-tiba tersulut sesuatu.Mata Melanie mulai berkaca-kaca."Kukira aku nggak akan pernah pulang lagi seumur hidup. Kukira
Yara berjalan ke jendela dan mengangkat panggilan itu."Sudah pulang dari rumah sakit?" tanya pria itu dengan suara dalamnya yang menghanyutkan."Sudah," jawab Yara.Setelah lama tidak mendengar suaranya, Yara tiba-tiba menyadari bahwa dia sangat merindukan Yudha.Keduanya terdiam beberapa saat, lalu berbicara bersamaan, "Perjanjian ....""Kamu duluan," ucap Yara terlebih dahulu."Perjanjian cerainya sudah aku tanda tangani." Suara Yudha mengalun perlahan. "Aku sedang di luar kota beberapa hari ini ....""Oke, beri tahu aku kalau kamu sudah pulang, kita pergi selesaikan prosesnya secepatnya."Panggilan ditutup dari sana.Benar-benar tidak ingin mendengar satu patah kata yang tidak perlu.Yara tersenyum pahit dan meletakkan ponselnya.Siska dapat menebak siapa yang menelepon dan isi panggilannya.Dia tidak tahu harus apa untuk menghibur Yara, jadi dia harus mengganti topik pembicaraan. "Rencanamu apa setelah ini?""Siska," panggil Yara dengan nada tidak enak. "Aku boleh numpang di rumah