“Bagaimana, Kamu sudah mendapatkan uang yang ibu minta?”
Helena menghadang putrinya di depan pintu. Saat itu Viola baru saja pulang setelah seharian bekerja di dua tempat berbeda. Hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat itu, dan Viola sudah sangat lelah. Namun, ibunya tidak peduli. Yang Helena inginkan adalah uang untuk membayar hutang mereka yang tiga hari lagi akan jatuh tempo. “Aku belum mendapatkannya, Bu.” Viola mendesah pelan, “aku akan coba meminta kepada bos, agar gajiku dibayar di awal bulan ini,” lanjutnya. Helena mengernyitkan kening, membuka mulut hendak bicara, tapi Viola segera memeluknya dan berkata, “Aku lelah, Bu. Aku mau istirahat.” Dengan gontai Viola melanjutkan langkah ke kamar. Ingin sekali rasanya merebahkan tubuh di atas kasurnya yang empuk. Namun, ternyata Helena tidak puas dengan jawaban putrinya. Ia terus mengekor dari belakang tanpa sepengetahuan Viola. “Ibu?” Viola kaget melihat ibunya saat berbalik untuk menutup pintu. “Ada apa lagi?” Nada suaranya begitu lelah. “Sebaiknya kamu turuti permintaan Tuan Edward. Dengan begitu kita bisa melunasi semua hutang-hutang kita dan bahkan bisa hidup tenang seperti dulu lagi.” Helena berkata dengan ekspresi datar. Menatap Viola yang berdiri di depan pintu dengan tangan masih menggantung di handlenya. “Bu!” Wanita itu memanggil ibunya dengan nada tinggi. Sudah berulang kali ia menolak saran ibunya itu, tapi Helena tidak pernah bosan untuk menekannya. Viola tahu ujung percakapan itu akan kemana, “Aku capek, mau tidur.” Cepat-cepat ia bergerak untuk menutup pintu, tapi kalah cepat. Pintu itu ditahan oleh Helena. “Ibu tidak bisa terus seperti ini. Jika dalam waktu 2 hari kamu tidak bisa mendapatkan uang itu, maka kamu harus melakukan apa yang ibu katakan. Itu sudah keputusan ibu!” Helena melepaskan tangannya dari daun pintu, lalu pergi tanpa menunggu jawaban Viola. Ia sudah bertekad akan melakukan apa yang disarankan oleh Edward. Seorang rentenir, pemilik salah satu bar terkenal di kota itu. Ia akan melakukannya, walaupun harus memaksa Viola. ** Dua hari berlalu dengan sangat cepat dan Viola sama sekali tidak mengindahkan ucapan ibunya saat itu. Biasanya Helena hanya menekannya saja, tapi tidak pernah bersungguh-sungguh melakukan apa yang ia katakan. Sejahat apapun Helena, Viola yakin kalau ibunya tidak akan sanggup melakukan sesuatu yang akan menghancurkan harga diri putrinya. Namun, ternyata Viola salah. Hari itu, saat pulang bekerja di sore hari, ia terkejut melihat Edward ada di depan restoran tempat ia bekerja. Edward yang melihat Viola keluar dari dalam Restoran, tersenyum lalu melambaikan tangan sebagai isyarat agar ia mendekat. Karena tidak mau terjadi keributan, Viola terpaksa menemui pria berusia 40 tahun itu. “Ada apa?” Viola bertanya ketus. Edward terkekeh. Sepasang irisnya yang hitam berkilat menatap tubuh Viola dari atas hingga bawah seolah ingin menelanjangi wanita itu. Viola merasa risih. Memegang tas bahunya dan meletakkannya di depan dada. Melindungi diri. “Kau memang sangat cantik.” Edward berkata tanpa peduli dengan pertanyaan Viola sebelumnya. “Ayo, kita harus ke suatu tempat,” ucapnya lagi. Viola menegang. Pikirannya mulai memahami apa yang terjadi. Refleks ia mundur satu langkah dengan sikap waspada. Bagaimanapun, ia tidak akan mau mengikuti pria itu. Melihat Viola memasang sikap waspada, Edward kembali tertawa. Kali ini lebih keras. Bahunya sampai berguncang karenanya. Viola semakin cemas. Ia melirik ke sekeliling untuk mencari cara meloloskan diri. Namun, belum sempat ia bergerak, Edward sudah memberi aba-aba kepada anak buahnya yang sejak tadi sudah berdiri di sekitar Viola. “Bawa masuk!” perintahnya. Sontak Viola berontak, berusaha untuk kabur saat tangan-tangan pengawal Edward yang kekar mencengkram lengannya dengan kuat dan memaksanya masuk ke dalam mobil. Salah satu pengawal menempelkan saputangan yang sudah diberi obat bius ke wajahnya. Viola tidak berdaya. hanya dalam hitungan detik ia sudah dibawa dengan mobil Van hitam itu ke sebuah tempat yang Viola sendiri tidak tahu dimana. ** Samar-samar Viola mendengar suara di sekitar. Kepalanya berdenyut sakit, juga sekujur tubuhnya. Ia ingin bergerak, tapi tidak bisa. Perlahan Viola mencoba membuka mata dan melihat ibunya tengah berbicara dengan dua orang pria. Viola mengerjap beberapa kali untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Viola mengerang pelan saat kembali merasakan sakit di kepala. Helena dan dua pria lainnya segera menoleh ke arah Viola. Helena tersenyum lebar, seraya menghampiri putrinya. “Kamu sudah sadar? Syukurlah,” ucap Helena dengan nafas lega. Melihat ibunya tampak lega, Viola mengira kalau suatu kesalah pahaman telah terjadi. Ibunya pasti tidak tahu menahu soal penculikannya. Ibunya pasti datang untuk menyelamatkannya. “Syukurlah ibu ada disini,” ucap Viola lirih. Ia masih belum terlalu sadar akibat pengaruh obat bius tadi. Viola sudah tidak takut lagi. Ibunya ada disini untuknya. Ia merasa sangat kantuk dan ingin tidur. Viola mulai memejamkan mata kembali. Namun samar-samar Viola mendengar percakapan ibunya dengan dua pria itu. Mereka sedang melakukan kesepakatan tentang dirinya. Ia tidak menyangka kalau ibunya benar-benar menjualnya seperti menjual barang dagangan. Mereka saling tawar-menawar harga dirinya. Air mata menetes dari kedua sudut mata Viola. Ia tidak bisa melepaskan diri, bahkan sekedar membuka mata agar tetap sadar pun ia tidak mampu. Perlahan semuanya hening dan gelap. Viola tidak tahu apa-apa lagi. ** Saat sadar kembali, Viola merasakan udara dingin menembus kulitnya. Ia membuka mata dengan berat dan menyadari dirinya ada di sebuah kamar hotel dengan pakaian yang sangat minim. Melawan rasa sakit di kepalanya, Viola mencoba untuk fokus. Melihat sekeliling untuk mencari jalan keluar dari sana. Ia tidak mau membayar hutang keluarganya dengan menjadi pemuas nafsu para pria brengsek. Ia tahu karena Crist -kakak laki-lakinya- selalu mengatakan hal itu padanya, agar dia jadi pemuas nafsu pria hidung belang dan mendapatkan uang yang banyak daripada harus kerja keras dan hanya menghasilkan uang recehan. Ttiba-tiba Viola mendengar suara kucuran air di kamar mandi. Pasti seseorang sedang berada di sana, pikirnya. Dengan hati-hati sekali agar tidak menimbulkan suara, Viola berjalan ke arah kamar mandi dan menguncinya dari luar. Tak lupa kuncinya ia lemparkan ke sembarang tempat. Setelah itu ia meneliti seisi kamar, mencari barang-barangnya atau sesuatu yang berguna untuknya. Belum sempat mendapatkan apapun, tiba-tiba suara air di kamar mandi berhenti. Viola menegang. “Aku harus cepat-cepat keluar dari sini,” ucapnya pada diri sendiri. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari ke pintu, tepat ketika suara teriakan terdengar dari kamar mandi. Viola berlari keluar. Ia tidak peduli pada apapun. Saat ini yang harus ia lakukan adalah pergi dari sana sejauh mungkin. Namun langkahnya tiba-tiba berhenti saat ia melihat pengawal yang menyeretnya masuk ke dalam mobil sedang berlari ke arahnya. Mungkin pria di dalam kamar menghubunginya, pikir Viola. Ia melihat sekeliling dan segera masuk ke salah satu kamar yang pintunya sedikit terbuka dan menutupnya dengan cepat. Viola menarik nafas panjang dan berusaha menormalkan detak jantungnya yang memburu. Sepasang matanya terpejam, fokus mendengarkan langkah kaki di luar kamar. Ia menunggu. Tidak berani membuka mata atau bernafas dengan leluasa. Kedua tangannya saling meremas kuat. Ia sangat ketakutan.Tanpa Viola sadari bahwa sejak tadi seorang pria tengah menatap dirinya yang berdiri dengan tubuh gemetar di depan pintu. Pria itu tidak bicara dan hanya menatap Viola dengan pandangan yang aneh. Sementara di luar sana terdengar suara orang berteriak marah disusul suara langkah terburu-buru. Viola maupun pria itu tetap pada posisinya hingga beberapa saat. Setelah suara-suara di luar tidak lagi terdengar, barulah Viola bisa bernafas dengan lega. Itu artinya, para pengawal tadi tidak tahu ia masuk ke ruangan ini. Di detik itu Viola berhenti, lalu kembali mengingat dirinya yang sembarangan masuk tanpa berpikir. Cepat-cepat ia membuka mata dan langsung berteriak, tapi cepat-cepat menutup mulut kembali. Dengan gugup menempelkan telinga ke daun pintu. Mencari tahu apakah suaranya didengar oleh pengawal di luar atau tidak. Pria di depannya? Viola tidak sempat memikirkan pria itu saat ini.“Kamu siap–” Viola melompat dan langsung membekap mulut pria itu saat ia mendengar suara langkah kaki
Nathan mencoba menahan tangan wanita gila itu sebisanya. Rasanya rambutnya rontok dan kulit kepalanya terkelupas. Sudut matanya sampai berair karena merasakan sakit yang sangat. “Berhenti! Berhenti, aku tidak akan menyakitimu.” Nathan berteriak. Ia ngos-ngosan. Tidak menyangka kalau tenaga seorang gadis bertubuh mungil di depannya bisa sekuat itu. Diusapnya kepala berkali-kali untuk menghilangkan rasa sakit yang masih bertahan. Sial! Harusnya tadi aku tidak menolongnya, batin Nathan. Viola yang mendadak berhenti, terlihat bingung dan kaku. Kedua tangannya masih dipegang dengan erat oleh Nathan. Untuk beberapa lama, Nathan belum bicara sampai ia berhasil menetralkan nafas. “Aku hanya ingin membantu, oke?!” ucapnya kemudian perlahan melepaskan tangan Viola. Wanita itu membeku, antara merasa bersalah dan kedinginan. Nathan bisa melihatnya dengan jelas, jadi sekali lagi ia mengajak Viola untuk masuk ke dalam mobil. Kali ini sambil membukakan pintu untuknya. “Maaf!” Viola hany
Di rumah, Nathan sedang duduk di depan televisi dengan sebuah buku di tangan. Ada secangkir kopi dan satu piring kecil kue yang belum disentuh sama sekali. Ia tidak menonton, ataupun membaca buku di tangannya karena sejak tadi pikirannya terus tertuju pada wanita aneh yang ia temui tadi. Entah kenapa Nathan merasakan sesuatu yang ia yakini adalah perasaan iba pada wanita itu. Nathan bahkan tidak menyadari kehadiran Samantha yang sejak tadi memerhatikannya dari depan pintu kamar. “Sedang memikirkan apa?” tanya Samantha yang sedang berjalan ke arahnya kemudian duduk di samping anaknya. Pria berusia 35 tahun itu menoleh, tersenyum pada ibunya dan mencium pipinya sekilas. “Bukan apa-apa, Mom,” katanya. Samantha ikut tersenyum, dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Pura-pura menonton televisi, padahal dalam hati sedang mencari kalimat yang tepat untuk mengutarakan sesuatu pada putranya. “Cecillia dimana? Mommy tidak melihatnya sudah hampir dua minggu,” tanya Samantha hati-hati. Putranya s
Ah ….” Harapan Samantha seketika pupus. Mungkin wanita yang akan ia temui itu tidak sebaik yang ia bayangkan. Mungkin dulu ia tidak sengaja menyelamatkan Nathan. Mungkin ia menyesal melakukannya. Mungkin waktu sudah mengubah watak dan sifatnya menjadi jahat. “Kabarnya juga, keluarganya sedang mencari orang kaya yang mau menikahi anaknya dengan syarat mampu melunasi semua hutang-hutang keluarganya dan mau memberikan mahar sesuai yang mereka tentukan.” Samantha membelalak, kaget. “Itu pernikahan atau pegadaian.” Maria yang sejak tadi hanya diam memerhatikan tiba-tiba bicara. Ia begitu gemas dengan kelakuan orang tua jahat seperti itu. Memanfaatkan anak sendiri demi keserakahan pribadi. Samantha dan Hilda bahkan kaget mendengar celetukan Maria. “Menurutmu, apakah wanita itu memiliki sifat yang sama dengan keluarganya?” Samantha bertanya karena penasaran. “Saya tidak sempat menanyakan hal itu. Tapi, bagaimana kalau Nyonya menemui suster yang di panti asuhan itu untuk mengkonfirmasi
Namun sebelum ia sempat melakukannya, terdengar suara ribut dari depan. Baik Helena, Brown maupun yang lain tampak sedikit takut kalau-kalau saja yang datang adalah polisi, tapi mereka tahu itu tidak mungkin terjadi. “Ada apa di luar?” Helena berteriak untuk menghilangkan rasa takutnya. Seorang anak buah Edward muncul dengan tergopoh-gopoh. Setelah membungkuk hormat ia mulai bicara. “Ada wanita tua dan ajudannya di depan. Mereka ingin bertemu dengan Nona Viola,” ucapnya. Wajahnya memerah dan tubuhnya gemetar. “Usir saja. Katakan kalau Viola tidak bisa diganggu!” tegas Helena. Tangannya mengibas di udara, menyuruh pengawal itu pergi melaksanakan perintahnya. Namun, pengawal itu bergeming, tubuhnya semakin gemetar. Helena mengerutkan kening, “Ada apa? Bukannya cuma wanita tua saja? Kenapa kau sampai gemetar begitu?” cerca Helena. Wajahnya tampak sangat tidak puas. Di tempat duduknya, Viola merasa seperti mendapatkan sebuah peluang. Tidak penting siapa yang datang untuk menemuinya,
“Tuan Brown membayarnya dua milyar.” Helena berkata dengan cepat. Menutup matanya dengan kedua tangan mengatup kuat di depan dada. Ia tidak berani menatap wajah Tuan Brown. Samatha tersenyum senang. “Kau tidak bisa melakukan ini padaku Helena. Aku sudah banyak membantumu dan kuperingatkan, Edward tidak akan tinggal diam kalau kamu membatalkan kesepakatan kita.” Tuan Brown mulai putus asa. Wajah dan pelipisnya berkeringat dan ia seka dengan sapu tangan. Sesekali ia melirik Viola, memastikan gadis itu tidak berniat untuk berontak. “Edward akan mengerti, Tuan Brown dan aku akan mengembalikan uangmu tanpa kurang satu sen pun,” ucap Helena semakin berani dan yakin untuk mengambil keputusan. Setelah itu ia beralih pada Samantha, “Jadi, berapa yang akan Anda bayar, Nyonya?” katanya sambil tersenyum ramah dan mempersilahkan mereka duduk. Viola bahkan tidak percaya ibunya bisa berubah secepat itu. Baru saja ia meremehkan dan mengusir wanita tua itu dan sekarang ia sudah bersikap sangat ma
Hari sudah gelap saat Samantha dan yang lain tiba di rumah. Tidak ada siapapun di sana kecuali para pelayan. Samantha sedikit kecewa karena niatnya memberi kejutan pada Nathan jadi gagal. Namun ia menepis rasa kecewa itu karena setelah itu ia masih punya waktu banyak untuk mengenalkan Viola dengan Nathan -dan kalau takdir memungkinkan- Samantha ingin menjodohkan mereka. Namun sebelum itu ia harus melepas topeng kepalsuan Cecillia terlebih dahulu dan memastikan Nathan menyadari bahwa wanita itu sangat busuk.“Sekarang ini adalah rumahmu, Sayang,” ucap Samantha sambil mengelus rambut Viola yang hitam. Diperbaikinya letak poni Viola sambil menatap wanita itu lekat-lekat. “Kamu sangat manis,” katanya lagi. Viola tersipu malu dipuji begitu. Wajah yang kemerahan dengan bintik-bintik coklat di sekitarnya membuat kecantikannya semakin bertambah. Samantha sangat menyukai wajah itu. Polos dan natural tanpa sentuhan make up sedikitpun. “Terima kasih, Nyonya. Baru Anda yang mengatakan saya mani
Sudah satu minggu sejak Viola tinggal di sana dan ia sangat penasaran dengan anak Nyonya Samantha yang pernah ia selamatkan dulu. Viola kerap berlama-lama duduk di ruang tamu dengan harapan bisa bertemu dengan anak laki-laki gemuk yang dulu menangis tak berdaya di gudang kosong itu. Seperti apa rupanya sekarang? pikir Viola, lalu perlahan senyumnya mengembang membayangkan sosok seorang pria gemuk dengan pipi bulat seperti bakpao muncul dari balik pintu itu. Apakah ia masih gemuk atau sudah tumbuh menjadi pria tinggi yang tampan? batin Viola lagi. Pintu terbuka. Viola mengangkat wajah dengan antusias. Berharap itu adalah orang yang ia harapkan. Namun semangatnya segera luntur begitu melihat orang yang muncul adalah seorang wanita. Tinggi langsing dan sangat cantik. Viola menatapnya dengan penuh kekaguman. Sementara wanita itu, ia menatap sekilas dan berlalu dengan penuh keanggunan. Sama sekali tidak peduli dengan Viola yang menatapnya penuh pemujaan.“Cantik sekali,” lirih Viola tanp
Kata orang cinta itu buta, tapi bukan cinta saja yang buta, bahkan rasa benci pun ternyata tidak bisa melihat.~Viola~**Itulah yang saat ini sedang dirasakan oleh Cecillia. Rasa benci telah menggelapkan matanya sampai-sampai ia tidak menyadari sandiwara Samantha dan Viola yang sengaja ingin membuatnya marah. Ia buta dan tidak bisa membedakan lagi mana yang benar dan mana yang hanya permainan. Ia pergi dari rumah untuk menghindari Nathan. Ia marah dan sangat membenci suaminya. Dan rasa marah itu ia luapkan dengan minum-minum di sebuah ruang VVIP salah satu bar langganannya. Di sampingnya, Cath duduk dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Wajah wanita itu datar, menatap Cecillia sambil memainkan gelas anggurnya. Cecillia balas menatap. “Aku muak! Aku sudah tidak tahan, Cath,” racaunya. Ia menyeret tubuh mendekat ke arah Catherine. Memangkas jarak diantara mereka hingga kini wajah keduanya saling berhadapan. “Aku hanya ingin hidup dengan tenang. Itu saja,” ucapnya lagi. Wajahnya
Namun ia hanya ingin membuat menantunya marah dan ternyata ia berhasil. Cecillia berbalik dengan cepat, lalu dengan wajah merah padam ia melangkah mendekati Samantha dan Viola yang masih duduk di tempatnya semula. “Apa maksud Mommy bicara seperti itu?” Cecillia membentak. Satu tangannya bertengger di pinggang menatap tajam pada Samantha dan Viola bergantian. Samantha balik menatap menantunya. “Apa? Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan,” sanggahnya. Cecillia membelalak, membuka mulut hendak bicara, tapi Samantha mendahuluinya. “Dan sejujurnya Cecillia, kamu tidak pernah aku anggap ada di rumah ini. Jadi, tidak usah terlalu merasa bahwa dirimu berharga.” Ucapan Samantha yang dingin dan tajam itu menusuk tepat dan menghancurkan harga diri Cecillia yang tinggi. Ia menjerit kuat seperti orang kesetanan karena tidak terima dengan pernyataan Samantha. Ia merasa terhina. Viola kaget dengan reaksi Cecillia yang di luar nalar, berbeda dengan Samantha yang tetap bersikap biasa saja seo
“Apa yang kau lakukan?” tanya Samantha saat melihat Viola asyik mencorat-coret di atas kertas. “Aku sedang banyak waktu luang.” Viola berkata tanpa melihat ke arah Samantha. Ia masih sibuk menyapukan pensil warna di atas kertas. Samantha mendekat karena penasaran dan begitu terkejut dengan hasil sketsa yang dibuat oleh Viola. “K -kamu yang membuat ini?” katanya. Viola mengangguk ringan, sambil tersenyum ia melanjutkan pekerjaannya. “Apa kamu tahu kalau kamu berbakat? Ini sangat luar biasa, Viola,” ucap Samantha setengah memekik karena senang. Ia seperti mendapatkan harta karun tersembunyi. “Aku tahu. Guru di sekolahku dulu mengatakannya,” jawab Viola enteng. “Apakah bagus?” Ia bertanya kemudian setelah sketsanya selesai. Menunjukkan pada Samantha dengan wajah penuh kepuasan. “Sangat bagus, Sayang,” balas Samantha dengan wajah berbinar-binar. “Kenapa kamu tidak melanjutkan belajar seni atau desain grafis? Mommy yakin kamu akan sukses,” ucap Samantha antusias. Viola tersenyum. Ha
Seorang tukang kebun yang asyik memangkas tanaman hias di taman samping, merasa terhibur dengan kehadiran Viola di sana. Mereka bercakap-cakap sambil pria berusia 30-an itu terus melakukan tugasnya sementara Viola duduk di salah satu kursi yang memang sudah ada di sana sejak awal.“Jadi, nama anak Nyonya Samantha itu Nathan?” Viola memastikan. Carl -tukang kebun itu- mengangguk tanpa melihat ke arah Viola. Ia terus sibuk menggerakkan gunting besar di tangannya. “Dan istrinya itu namanya Cecillia. Dia seorang model Internasional,” lanjutnya.“Aku sudah tahu namanya, tapi aku baru tahu kalau dia seorang model. Pantas saja dia sangat cantik. Seperti seorang dewi,” ucap Viola dengan pandangan menerawang. Mengingat kembali betapa cantik dan anggunnya wanita itu. “Pasti Nathan sangat mencintai istrinya,” gumamnya lirih tanpa sadar. “Carl mengangguk. Tidak memperhatikan perubahan di wajah Viola. “Tuan Nathan sangat mencintainya bahkan tergila-gila padanya, tapi Nyonya Samantha sangat membe
Sudah satu minggu sejak Viola tinggal di sana dan ia sangat penasaran dengan anak Nyonya Samantha yang pernah ia selamatkan dulu. Viola kerap berlama-lama duduk di ruang tamu dengan harapan bisa bertemu dengan anak laki-laki gemuk yang dulu menangis tak berdaya di gudang kosong itu. Seperti apa rupanya sekarang? pikir Viola, lalu perlahan senyumnya mengembang membayangkan sosok seorang pria gemuk dengan pipi bulat seperti bakpao muncul dari balik pintu itu. Apakah ia masih gemuk atau sudah tumbuh menjadi pria tinggi yang tampan? batin Viola lagi. Pintu terbuka. Viola mengangkat wajah dengan antusias. Berharap itu adalah orang yang ia harapkan. Namun semangatnya segera luntur begitu melihat orang yang muncul adalah seorang wanita. Tinggi langsing dan sangat cantik. Viola menatapnya dengan penuh kekaguman. Sementara wanita itu, ia menatap sekilas dan berlalu dengan penuh keanggunan. Sama sekali tidak peduli dengan Viola yang menatapnya penuh pemujaan.“Cantik sekali,” lirih Viola tanp
Hari sudah gelap saat Samantha dan yang lain tiba di rumah. Tidak ada siapapun di sana kecuali para pelayan. Samantha sedikit kecewa karena niatnya memberi kejutan pada Nathan jadi gagal. Namun ia menepis rasa kecewa itu karena setelah itu ia masih punya waktu banyak untuk mengenalkan Viola dengan Nathan -dan kalau takdir memungkinkan- Samantha ingin menjodohkan mereka. Namun sebelum itu ia harus melepas topeng kepalsuan Cecillia terlebih dahulu dan memastikan Nathan menyadari bahwa wanita itu sangat busuk.“Sekarang ini adalah rumahmu, Sayang,” ucap Samantha sambil mengelus rambut Viola yang hitam. Diperbaikinya letak poni Viola sambil menatap wanita itu lekat-lekat. “Kamu sangat manis,” katanya lagi. Viola tersipu malu dipuji begitu. Wajah yang kemerahan dengan bintik-bintik coklat di sekitarnya membuat kecantikannya semakin bertambah. Samantha sangat menyukai wajah itu. Polos dan natural tanpa sentuhan make up sedikitpun. “Terima kasih, Nyonya. Baru Anda yang mengatakan saya mani
“Tuan Brown membayarnya dua milyar.” Helena berkata dengan cepat. Menutup matanya dengan kedua tangan mengatup kuat di depan dada. Ia tidak berani menatap wajah Tuan Brown. Samatha tersenyum senang. “Kau tidak bisa melakukan ini padaku Helena. Aku sudah banyak membantumu dan kuperingatkan, Edward tidak akan tinggal diam kalau kamu membatalkan kesepakatan kita.” Tuan Brown mulai putus asa. Wajah dan pelipisnya berkeringat dan ia seka dengan sapu tangan. Sesekali ia melirik Viola, memastikan gadis itu tidak berniat untuk berontak. “Edward akan mengerti, Tuan Brown dan aku akan mengembalikan uangmu tanpa kurang satu sen pun,” ucap Helena semakin berani dan yakin untuk mengambil keputusan. Setelah itu ia beralih pada Samantha, “Jadi, berapa yang akan Anda bayar, Nyonya?” katanya sambil tersenyum ramah dan mempersilahkan mereka duduk. Viola bahkan tidak percaya ibunya bisa berubah secepat itu. Baru saja ia meremehkan dan mengusir wanita tua itu dan sekarang ia sudah bersikap sangat ma
Namun sebelum ia sempat melakukannya, terdengar suara ribut dari depan. Baik Helena, Brown maupun yang lain tampak sedikit takut kalau-kalau saja yang datang adalah polisi, tapi mereka tahu itu tidak mungkin terjadi. “Ada apa di luar?” Helena berteriak untuk menghilangkan rasa takutnya. Seorang anak buah Edward muncul dengan tergopoh-gopoh. Setelah membungkuk hormat ia mulai bicara. “Ada wanita tua dan ajudannya di depan. Mereka ingin bertemu dengan Nona Viola,” ucapnya. Wajahnya memerah dan tubuhnya gemetar. “Usir saja. Katakan kalau Viola tidak bisa diganggu!” tegas Helena. Tangannya mengibas di udara, menyuruh pengawal itu pergi melaksanakan perintahnya. Namun, pengawal itu bergeming, tubuhnya semakin gemetar. Helena mengerutkan kening, “Ada apa? Bukannya cuma wanita tua saja? Kenapa kau sampai gemetar begitu?” cerca Helena. Wajahnya tampak sangat tidak puas. Di tempat duduknya, Viola merasa seperti mendapatkan sebuah peluang. Tidak penting siapa yang datang untuk menemuinya,
Ah ….” Harapan Samantha seketika pupus. Mungkin wanita yang akan ia temui itu tidak sebaik yang ia bayangkan. Mungkin dulu ia tidak sengaja menyelamatkan Nathan. Mungkin ia menyesal melakukannya. Mungkin waktu sudah mengubah watak dan sifatnya menjadi jahat. “Kabarnya juga, keluarganya sedang mencari orang kaya yang mau menikahi anaknya dengan syarat mampu melunasi semua hutang-hutang keluarganya dan mau memberikan mahar sesuai yang mereka tentukan.” Samantha membelalak, kaget. “Itu pernikahan atau pegadaian.” Maria yang sejak tadi hanya diam memerhatikan tiba-tiba bicara. Ia begitu gemas dengan kelakuan orang tua jahat seperti itu. Memanfaatkan anak sendiri demi keserakahan pribadi. Samantha dan Hilda bahkan kaget mendengar celetukan Maria. “Menurutmu, apakah wanita itu memiliki sifat yang sama dengan keluarganya?” Samantha bertanya karena penasaran. “Saya tidak sempat menanyakan hal itu. Tapi, bagaimana kalau Nyonya menemui suster yang di panti asuhan itu untuk mengkonfirmasi