Di rumah, Nathan sedang duduk di depan televisi dengan sebuah buku di tangan. Ada secangkir kopi dan satu piring kecil kue yang belum disentuh sama sekali. Ia tidak menonton, ataupun membaca buku di tangannya karena sejak tadi pikirannya terus tertuju pada wanita aneh yang ia temui tadi. Entah kenapa Nathan merasakan sesuatu yang ia yakini adalah perasaan iba pada wanita itu.
Nathan bahkan tidak menyadari kehadiran Samantha yang sejak tadi memerhatikannya dari depan pintu kamar. “Sedang memikirkan apa?” tanya Samantha yang sedang berjalan ke arahnya kemudian duduk di samping anaknya. Pria berusia 35 tahun itu menoleh, tersenyum pada ibunya dan mencium pipinya sekilas. “Bukan apa-apa, Mom,” katanya. Samantha ikut tersenyum, dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Pura-pura menonton televisi, padahal dalam hati sedang mencari kalimat yang tepat untuk mengutarakan sesuatu pada putranya. “Cecillia dimana? Mommy tidak melihatnya sudah hampir dua minggu,” tanya Samantha hati-hati. Putranya sangat sensitif saat membahas masalah istrinya dan Samantha tidak mau bertengkar dengan Nathan seperti saat terakhir kali dan menyebabkan Nathan hampir saja menyetujui permintaan Cecillia untuk pindah dari rumah itu. “Cecil sedang berlibur di Paris, Mom. Dia ada pemotretan di sana selama beberapa hari dan memutuskan untuk sekalian berlibur,” jawab Nathan dengan suara lemah. Hati Samantha teriris mendengar suara putranya yang mirip sebuah keluhan. Ia tahu betapa Nathan sangat tergila-gila pada istrinya, dan itu juga yang membuat Samantha membenci Cecillia. Ia tidak tega melihat cinta Nathan yang begitu besar disia-siakan oleh Cecil. Wanita yang lebih mencintai karir daripada suaminya. Bahkan Cecillia tidak mau memiliki anak karena pekerjaannya sebagai model Internasional. Sementara Samantha harus memastikan Nathan memiliki penerus sebelum ia mati. Ia tidak boleh membiarkan silsilah keluarga Alexander putus di tangan Cecillia. “Apakah ….” Kalimat Samantha menggantung di udara saat Nathan menatapnya dengan tatapan memohon. Seolah tatapan itu berkata agar dirinya tidak memulai perdebatan tentang Cecillia. “Apakah kamu menyukai kue buatan bibi Maria?” Samantha mengalihkan pertanyaan. Nathan tersenyum getir, melirik kue di atas meja lalu mencoba sepotong dengan sendok. “Hmm, enak sekali,” serunya setelah menikmati kue itu beberapa saat di dalam mulut. Samantha ikut tersenyum. “Kata Maria ingin pulang beberapa hari. Ada kerabatnya yang meninggal dunia.” Samantha berkata lagi. “Oh, ya? Kenapa bibi Maria tidak mengatakannya lebih awal? Seharusnya kita bisa ikut ke sana, Mom. Apalagi bibi Maria sudah sangat lama bekerja dengan kita. Dia sudah seperti keluarga,” ucap Nathan sambil menghabiskan kuenya. Ia meneguk kopi lalu melihat sekeliling. “Apakah bibi sudah pergi?” tanyanya. “Sebentar lagi mungkin. Mommy sudah meminta sopir untuk mengantarnya.” Samantha menatap menyelidik, berharap Nathan masuk ke dalam jebakan yang ia dan Maria buat. Namun, sepertinya Nathan tidak berniat untuk ikut seperti yang diharapkan olehnya. “Mommy sebaiknya ikut bersama bibi Maria. Nathan akan menyuruh beberapa orang untuk mengawal Mommy.” Pria itu berkata. Sepasang netra Samantha berbinar. Ia memasang senyum lebar sembari memegang kedua telapak tangan putranya di depan dada. “Baiklah, Mommy akan dengan senang hati pergi bersama Maria,” ucap Samantha girang. Walaupun Nathan tidak bisa ikut, tapi setidaknya ia bisa membawa pengawal tanpa dicurigai oleh Nathan. Samantha yakin perjalanannya kali ini bukanlah sesuatu yang mudah jika memang keadaannya seperti yang dikatakan oleh Hilda, sepupu Maria tempo hari. Nathan mengerutkan kening, merasa heran dengan sikap ibunya yang sedikit berbeda, tapi ia tetap mengangguk. “Tentu saja Mommy bisa melakukan apapun yang Mommy suka,” ucapnya. Samantha memeluk Nathan sebelum pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap. Sebenarnya semua sudah disiapkan, hanya tinggal mengambil mantel dan tas tangannya saja. ** Samantha dan Maria -kepala pelayan- yang sudah sangat lama bekerja di keluarga Alexander, baru saja tiba di sebuah area perumahan di pinggiran kota. Bukan perumahan elit tapi juga bukan perumahan kumuh. Sepupu Maria tinggal di sana dan suaminya baru saja dinyatakan meninggal dunia. Namun, bukan hal itu yang membuat Samantha sangat antusias datang ke sana, melainkan sebuah informasi yang sudah sangat lama ia tunggu-tunggu. Dulu, Samantha dan almarhum suaminya sangat sering datang berkunjung ke sebuah panti asuhan di sana. Samantha bertemu dengan Maria juga di tempat itu. Namun, ada satu insiden mengerikan terjadi, yang membuat Samantha dan suaminya memutuskan untuk berhenti berkunjung. Saat itu Nathan diculik dan disiksa oleh penculiknya hingga hampir tewas. Beruntung ia bisa diselamatkan. Sejak saat itu keluarga Alexander hanya mengirimkan uang tetap setiap bulan melalui yayasan tanpa pernah datang lagi ke panti asuhan itu. Walau demikian, Samantha tidak berhenti mencari seorang anak perempuan yang sudah menyelamatkan Nathan dari penculikan. Nathan ditemukan selamat setelah polisi mendapatkan telepon dari seorang anak yang menjelaskan kondisi dan tempat Nathan disekap. Namun, saat polisi sampai di tempat itu, mereka tidak menemukan pelaku dan hanya menemukan Nathan yang terikat tak berdaya dan hampir kehilangan nyawa karena kehilangan banyak darah dan kekurangan cairan. Dan satu bulan yang lalu, sepupu Maria mengabarkan kalau ia menemukan seorang wanita dengan ciri-ciri yang pernah disebutkan oleh Nathan. Namun, ia tidak yakin dan meminta Maria dan Samantha untuk datang dan memastikan sendiri. Itulah sebabnya Samantha sangat antusias ketika akan datang ke tempat itu. Ia juga berencana akan menjodohkan Nathan dengan wanita penyelamatnya seandainya wanita itu baik dan belum menikah. Namun, mungkin niat itu tidak akan terwujud mengingat Nathan sudah menikah. Mana mungkin ada wanita yang mau menjadi istri kedua seorang pria beristri, kecuali Nathan bercerai dengan Cecillia. Samantha mungkin bisa menjalankan rencananya jika ia bisa membuka topeng Cecillia, menantunya. Ia merasa lebih bersemangat untuk bertemu dengan wanita itu. Sayangnya, sepupu Maria mendadak mengabari kalau suaminya meninggal dunia dan disinilah Samantha sekarang. Di rumah Hilda, sepupu Maria itu. “Maafkan saya karena tidak bisa membantu lebih banyak saat ini, Nyonya,” ucap Hilda penuh penyesalan. Mata dan wajahnya masih sembab karena kebanyakan menangis, tapi ia masih sempat memikirkan Samantha yang jauh-jauh datang ke tempat itu. “Aku datang untuk menyemangatimu. Hal lain bisa kita bicarakan nanti, jangan khawatir.” Samantha menyentuh pundak Hilda lembut dan menepuknya perlahan. “Aku turut berkabung,” ucapnya kemudian. Mata Hilda kembali basah oleh air mata. Selama ini Samantha sudah banyak sekali membantu keluarganya. Ia bahkan membiayai semua biaya pengobatan suami Hilda yang menderita sakit jantung langka. Sebagai gantinya, ia ditugaskan untuk mencari anak perempuan yang menyelamatkan Nathan. Saat itu mereka bertiga duduk di ruang tamu rumah Hilda. Pemakaman sudah selesai beberapa hari yang lalu dan tamu-tamu sudah pulang kemarin. Hilda mengeluarkan secarik kertas dari dalam kantong dan menyerahkannya pada Samantha. Ia sudah menyiapkan benda itu sebelumnya. “Awalnya saya ingin menemuinya di tempat ini, tapi keadaan suami saya memburuk dan saya tidak bisa meninggalkannya.” Hilda menunduk, merasa bersalah. Samantha membaca kalimat yang tertulis di atas kertas itu lalu kembali menatap Hilda. “Apakah kamu yakin dia wanita yang sama?” tanyanya meyakinkan. “Saya sangat yakin berdasarkan cerita beberapa suster di panti asuhan itu. Beberapa kali saya mencoba menunggu di sana untuk bertemu dengannya, sayang sekali ia tidak pernah lagi muncul. Akhirnya saya meminta alamatnya kepada salah satu suster yang lumayan dekat dengannya,” papar Hilda. Samantha kembali menatap kertas di tangannya. Perasaannya tidak bisa digambarkan saat itu membayangkan ia akan bertemu dengan anak perempuan yang sangat ingin dikenalnya itu. “Tapi –” Hilda menggantung kalimatnya. Samantha mengernyit. “Ada sesuatu yang tidak aku ketahui?” “Saya tidak yakin apakah berita ini benar, tapi beberapa yang saya tanyai tentang gadis itu mengatakan kalau ia memiliki keluarga yang tidak baik.” Hilda menjelaskan.Ah ….” Harapan Samantha seketika pupus. Mungkin wanita yang akan ia temui itu tidak sebaik yang ia bayangkan. Mungkin dulu ia tidak sengaja menyelamatkan Nathan. Mungkin ia menyesal melakukannya. Mungkin waktu sudah mengubah watak dan sifatnya menjadi jahat. “Kabarnya juga, keluarganya sedang mencari orang kaya yang mau menikahi anaknya dengan syarat mampu melunasi semua hutang-hutang keluarganya dan mau memberikan mahar sesuai yang mereka tentukan.” Samantha membelalak, kaget. “Itu pernikahan atau pegadaian.” Maria yang sejak tadi hanya diam memerhatikan tiba-tiba bicara. Ia begitu gemas dengan kelakuan orang tua jahat seperti itu. Memanfaatkan anak sendiri demi keserakahan pribadi. Samantha dan Hilda bahkan kaget mendengar celetukan Maria. “Menurutmu, apakah wanita itu memiliki sifat yang sama dengan keluarganya?” Samantha bertanya karena penasaran. “Saya tidak sempat menanyakan hal itu. Tapi, bagaimana kalau Nyonya menemui suster yang di panti asuhan itu untuk mengkonfirmasi
Namun sebelum ia sempat melakukannya, terdengar suara ribut dari depan. Baik Helena, Brown maupun yang lain tampak sedikit takut kalau-kalau saja yang datang adalah polisi, tapi mereka tahu itu tidak mungkin terjadi. “Ada apa di luar?” Helena berteriak untuk menghilangkan rasa takutnya. Seorang anak buah Edward muncul dengan tergopoh-gopoh. Setelah membungkuk hormat ia mulai bicara. “Ada wanita tua dan ajudannya di depan. Mereka ingin bertemu dengan Nona Viola,” ucapnya. Wajahnya memerah dan tubuhnya gemetar. “Usir saja. Katakan kalau Viola tidak bisa diganggu!” tegas Helena. Tangannya mengibas di udara, menyuruh pengawal itu pergi melaksanakan perintahnya. Namun, pengawal itu bergeming, tubuhnya semakin gemetar. Helena mengerutkan kening, “Ada apa? Bukannya cuma wanita tua saja? Kenapa kau sampai gemetar begitu?” cerca Helena. Wajahnya tampak sangat tidak puas. Di tempat duduknya, Viola merasa seperti mendapatkan sebuah peluang. Tidak penting siapa yang datang untuk menemuinya,
“Tuan Brown membayarnya dua milyar.” Helena berkata dengan cepat. Menutup matanya dengan kedua tangan mengatup kuat di depan dada. Ia tidak berani menatap wajah Tuan Brown. Samatha tersenyum senang. “Kau tidak bisa melakukan ini padaku Helena. Aku sudah banyak membantumu dan kuperingatkan, Edward tidak akan tinggal diam kalau kamu membatalkan kesepakatan kita.” Tuan Brown mulai putus asa. Wajah dan pelipisnya berkeringat dan ia seka dengan sapu tangan. Sesekali ia melirik Viola, memastikan gadis itu tidak berniat untuk berontak. “Edward akan mengerti, Tuan Brown dan aku akan mengembalikan uangmu tanpa kurang satu sen pun,” ucap Helena semakin berani dan yakin untuk mengambil keputusan. Setelah itu ia beralih pada Samantha, “Jadi, berapa yang akan Anda bayar, Nyonya?” katanya sambil tersenyum ramah dan mempersilahkan mereka duduk. Viola bahkan tidak percaya ibunya bisa berubah secepat itu. Baru saja ia meremehkan dan mengusir wanita tua itu dan sekarang ia sudah bersikap sangat ma
Hari sudah gelap saat Samantha dan yang lain tiba di rumah. Tidak ada siapapun di sana kecuali para pelayan. Samantha sedikit kecewa karena niatnya memberi kejutan pada Nathan jadi gagal. Namun ia menepis rasa kecewa itu karena setelah itu ia masih punya waktu banyak untuk mengenalkan Viola dengan Nathan -dan kalau takdir memungkinkan- Samantha ingin menjodohkan mereka. Namun sebelum itu ia harus melepas topeng kepalsuan Cecillia terlebih dahulu dan memastikan Nathan menyadari bahwa wanita itu sangat busuk.“Sekarang ini adalah rumahmu, Sayang,” ucap Samantha sambil mengelus rambut Viola yang hitam. Diperbaikinya letak poni Viola sambil menatap wanita itu lekat-lekat. “Kamu sangat manis,” katanya lagi. Viola tersipu malu dipuji begitu. Wajah yang kemerahan dengan bintik-bintik coklat di sekitarnya membuat kecantikannya semakin bertambah. Samantha sangat menyukai wajah itu. Polos dan natural tanpa sentuhan make up sedikitpun. “Terima kasih, Nyonya. Baru Anda yang mengatakan saya mani
Sudah satu minggu sejak Viola tinggal di sana dan ia sangat penasaran dengan anak Nyonya Samantha yang pernah ia selamatkan dulu. Viola kerap berlama-lama duduk di ruang tamu dengan harapan bisa bertemu dengan anak laki-laki gemuk yang dulu menangis tak berdaya di gudang kosong itu. Seperti apa rupanya sekarang? pikir Viola, lalu perlahan senyumnya mengembang membayangkan sosok seorang pria gemuk dengan pipi bulat seperti bakpao muncul dari balik pintu itu. Apakah ia masih gemuk atau sudah tumbuh menjadi pria tinggi yang tampan? batin Viola lagi. Pintu terbuka. Viola mengangkat wajah dengan antusias. Berharap itu adalah orang yang ia harapkan. Namun semangatnya segera luntur begitu melihat orang yang muncul adalah seorang wanita. Tinggi langsing dan sangat cantik. Viola menatapnya dengan penuh kekaguman. Sementara wanita itu, ia menatap sekilas dan berlalu dengan penuh keanggunan. Sama sekali tidak peduli dengan Viola yang menatapnya penuh pemujaan.“Cantik sekali,” lirih Viola tanp
Seorang tukang kebun yang asyik memangkas tanaman hias di taman samping, merasa terhibur dengan kehadiran Viola di sana. Mereka bercakap-cakap sambil pria berusia 30-an itu terus melakukan tugasnya sementara Viola duduk di salah satu kursi yang memang sudah ada di sana sejak awal.“Jadi, nama anak Nyonya Samantha itu Nathan?” Viola memastikan. Carl -tukang kebun itu- mengangguk tanpa melihat ke arah Viola. Ia terus sibuk menggerakkan gunting besar di tangannya. “Dan istrinya itu namanya Cecillia. Dia seorang model Internasional,” lanjutnya.“Aku sudah tahu namanya, tapi aku baru tahu kalau dia seorang model. Pantas saja dia sangat cantik. Seperti seorang dewi,” ucap Viola dengan pandangan menerawang. Mengingat kembali betapa cantik dan anggunnya wanita itu. “Pasti Nathan sangat mencintai istrinya,” gumamnya lirih tanpa sadar. “Carl mengangguk. Tidak memperhatikan perubahan di wajah Viola. “Tuan Nathan sangat mencintainya bahkan tergila-gila padanya, tapi Nyonya Samantha sangat membe
“Apa yang kau lakukan?” tanya Samantha saat melihat Viola asyik mencorat-coret di atas kertas. “Aku sedang banyak waktu luang.” Viola berkata tanpa melihat ke arah Samantha. Ia masih sibuk menyapukan pensil warna di atas kertas. Samantha mendekat karena penasaran dan begitu terkejut dengan hasil sketsa yang dibuat oleh Viola. “K -kamu yang membuat ini?” katanya. Viola mengangguk ringan, sambil tersenyum ia melanjutkan pekerjaannya. “Apa kamu tahu kalau kamu berbakat? Ini sangat luar biasa, Viola,” ucap Samantha setengah memekik karena senang. Ia seperti mendapatkan harta karun tersembunyi. “Aku tahu. Guru di sekolahku dulu mengatakannya,” jawab Viola enteng. “Apakah bagus?” Ia bertanya kemudian setelah sketsanya selesai. Menunjukkan pada Samantha dengan wajah penuh kepuasan. “Sangat bagus, Sayang,” balas Samantha dengan wajah berbinar-binar. “Kenapa kamu tidak melanjutkan belajar seni atau desain grafis? Mommy yakin kamu akan sukses,” ucap Samantha antusias. Viola tersenyum. Ha
Namun ia hanya ingin membuat menantunya marah dan ternyata ia berhasil. Cecillia berbalik dengan cepat, lalu dengan wajah merah padam ia melangkah mendekati Samantha dan Viola yang masih duduk di tempatnya semula. “Apa maksud Mommy bicara seperti itu?” Cecillia membentak. Satu tangannya bertengger di pinggang menatap tajam pada Samantha dan Viola bergantian. Samantha balik menatap menantunya. “Apa? Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan,” sanggahnya. Cecillia membelalak, membuka mulut hendak bicara, tapi Samantha mendahuluinya. “Dan sejujurnya Cecillia, kamu tidak pernah aku anggap ada di rumah ini. Jadi, tidak usah terlalu merasa bahwa dirimu berharga.” Ucapan Samantha yang dingin dan tajam itu menusuk tepat dan menghancurkan harga diri Cecillia yang tinggi. Ia menjerit kuat seperti orang kesetanan karena tidak terima dengan pernyataan Samantha. Ia merasa terhina. Viola kaget dengan reaksi Cecillia yang di luar nalar, berbeda dengan Samantha yang tetap bersikap biasa saja seo
Kata orang cinta itu buta, tapi bukan cinta saja yang buta, bahkan rasa benci pun ternyata tidak bisa melihat.~Viola~**Itulah yang saat ini sedang dirasakan oleh Cecillia. Rasa benci telah menggelapkan matanya sampai-sampai ia tidak menyadari sandiwara Samantha dan Viola yang sengaja ingin membuatnya marah. Ia buta dan tidak bisa membedakan lagi mana yang benar dan mana yang hanya permainan. Ia pergi dari rumah untuk menghindari Nathan. Ia marah dan sangat membenci suaminya. Dan rasa marah itu ia luapkan dengan minum-minum di sebuah ruang VVIP salah satu bar langganannya. Di sampingnya, Cath duduk dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Wajah wanita itu datar, menatap Cecillia sambil memainkan gelas anggurnya. Cecillia balas menatap. “Aku muak! Aku sudah tidak tahan, Cath,” racaunya. Ia menyeret tubuh mendekat ke arah Catherine. Memangkas jarak diantara mereka hingga kini wajah keduanya saling berhadapan. “Aku hanya ingin hidup dengan tenang. Itu saja,” ucapnya lagi. Wajahnya
Namun ia hanya ingin membuat menantunya marah dan ternyata ia berhasil. Cecillia berbalik dengan cepat, lalu dengan wajah merah padam ia melangkah mendekati Samantha dan Viola yang masih duduk di tempatnya semula. “Apa maksud Mommy bicara seperti itu?” Cecillia membentak. Satu tangannya bertengger di pinggang menatap tajam pada Samantha dan Viola bergantian. Samantha balik menatap menantunya. “Apa? Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan,” sanggahnya. Cecillia membelalak, membuka mulut hendak bicara, tapi Samantha mendahuluinya. “Dan sejujurnya Cecillia, kamu tidak pernah aku anggap ada di rumah ini. Jadi, tidak usah terlalu merasa bahwa dirimu berharga.” Ucapan Samantha yang dingin dan tajam itu menusuk tepat dan menghancurkan harga diri Cecillia yang tinggi. Ia menjerit kuat seperti orang kesetanan karena tidak terima dengan pernyataan Samantha. Ia merasa terhina. Viola kaget dengan reaksi Cecillia yang di luar nalar, berbeda dengan Samantha yang tetap bersikap biasa saja seo
“Apa yang kau lakukan?” tanya Samantha saat melihat Viola asyik mencorat-coret di atas kertas. “Aku sedang banyak waktu luang.” Viola berkata tanpa melihat ke arah Samantha. Ia masih sibuk menyapukan pensil warna di atas kertas. Samantha mendekat karena penasaran dan begitu terkejut dengan hasil sketsa yang dibuat oleh Viola. “K -kamu yang membuat ini?” katanya. Viola mengangguk ringan, sambil tersenyum ia melanjutkan pekerjaannya. “Apa kamu tahu kalau kamu berbakat? Ini sangat luar biasa, Viola,” ucap Samantha setengah memekik karena senang. Ia seperti mendapatkan harta karun tersembunyi. “Aku tahu. Guru di sekolahku dulu mengatakannya,” jawab Viola enteng. “Apakah bagus?” Ia bertanya kemudian setelah sketsanya selesai. Menunjukkan pada Samantha dengan wajah penuh kepuasan. “Sangat bagus, Sayang,” balas Samantha dengan wajah berbinar-binar. “Kenapa kamu tidak melanjutkan belajar seni atau desain grafis? Mommy yakin kamu akan sukses,” ucap Samantha antusias. Viola tersenyum. Ha
Seorang tukang kebun yang asyik memangkas tanaman hias di taman samping, merasa terhibur dengan kehadiran Viola di sana. Mereka bercakap-cakap sambil pria berusia 30-an itu terus melakukan tugasnya sementara Viola duduk di salah satu kursi yang memang sudah ada di sana sejak awal.“Jadi, nama anak Nyonya Samantha itu Nathan?” Viola memastikan. Carl -tukang kebun itu- mengangguk tanpa melihat ke arah Viola. Ia terus sibuk menggerakkan gunting besar di tangannya. “Dan istrinya itu namanya Cecillia. Dia seorang model Internasional,” lanjutnya.“Aku sudah tahu namanya, tapi aku baru tahu kalau dia seorang model. Pantas saja dia sangat cantik. Seperti seorang dewi,” ucap Viola dengan pandangan menerawang. Mengingat kembali betapa cantik dan anggunnya wanita itu. “Pasti Nathan sangat mencintai istrinya,” gumamnya lirih tanpa sadar. “Carl mengangguk. Tidak memperhatikan perubahan di wajah Viola. “Tuan Nathan sangat mencintainya bahkan tergila-gila padanya, tapi Nyonya Samantha sangat membe
Sudah satu minggu sejak Viola tinggal di sana dan ia sangat penasaran dengan anak Nyonya Samantha yang pernah ia selamatkan dulu. Viola kerap berlama-lama duduk di ruang tamu dengan harapan bisa bertemu dengan anak laki-laki gemuk yang dulu menangis tak berdaya di gudang kosong itu. Seperti apa rupanya sekarang? pikir Viola, lalu perlahan senyumnya mengembang membayangkan sosok seorang pria gemuk dengan pipi bulat seperti bakpao muncul dari balik pintu itu. Apakah ia masih gemuk atau sudah tumbuh menjadi pria tinggi yang tampan? batin Viola lagi. Pintu terbuka. Viola mengangkat wajah dengan antusias. Berharap itu adalah orang yang ia harapkan. Namun semangatnya segera luntur begitu melihat orang yang muncul adalah seorang wanita. Tinggi langsing dan sangat cantik. Viola menatapnya dengan penuh kekaguman. Sementara wanita itu, ia menatap sekilas dan berlalu dengan penuh keanggunan. Sama sekali tidak peduli dengan Viola yang menatapnya penuh pemujaan.“Cantik sekali,” lirih Viola tanp
Hari sudah gelap saat Samantha dan yang lain tiba di rumah. Tidak ada siapapun di sana kecuali para pelayan. Samantha sedikit kecewa karena niatnya memberi kejutan pada Nathan jadi gagal. Namun ia menepis rasa kecewa itu karena setelah itu ia masih punya waktu banyak untuk mengenalkan Viola dengan Nathan -dan kalau takdir memungkinkan- Samantha ingin menjodohkan mereka. Namun sebelum itu ia harus melepas topeng kepalsuan Cecillia terlebih dahulu dan memastikan Nathan menyadari bahwa wanita itu sangat busuk.“Sekarang ini adalah rumahmu, Sayang,” ucap Samantha sambil mengelus rambut Viola yang hitam. Diperbaikinya letak poni Viola sambil menatap wanita itu lekat-lekat. “Kamu sangat manis,” katanya lagi. Viola tersipu malu dipuji begitu. Wajah yang kemerahan dengan bintik-bintik coklat di sekitarnya membuat kecantikannya semakin bertambah. Samantha sangat menyukai wajah itu. Polos dan natural tanpa sentuhan make up sedikitpun. “Terima kasih, Nyonya. Baru Anda yang mengatakan saya mani
“Tuan Brown membayarnya dua milyar.” Helena berkata dengan cepat. Menutup matanya dengan kedua tangan mengatup kuat di depan dada. Ia tidak berani menatap wajah Tuan Brown. Samatha tersenyum senang. “Kau tidak bisa melakukan ini padaku Helena. Aku sudah banyak membantumu dan kuperingatkan, Edward tidak akan tinggal diam kalau kamu membatalkan kesepakatan kita.” Tuan Brown mulai putus asa. Wajah dan pelipisnya berkeringat dan ia seka dengan sapu tangan. Sesekali ia melirik Viola, memastikan gadis itu tidak berniat untuk berontak. “Edward akan mengerti, Tuan Brown dan aku akan mengembalikan uangmu tanpa kurang satu sen pun,” ucap Helena semakin berani dan yakin untuk mengambil keputusan. Setelah itu ia beralih pada Samantha, “Jadi, berapa yang akan Anda bayar, Nyonya?” katanya sambil tersenyum ramah dan mempersilahkan mereka duduk. Viola bahkan tidak percaya ibunya bisa berubah secepat itu. Baru saja ia meremehkan dan mengusir wanita tua itu dan sekarang ia sudah bersikap sangat ma
Namun sebelum ia sempat melakukannya, terdengar suara ribut dari depan. Baik Helena, Brown maupun yang lain tampak sedikit takut kalau-kalau saja yang datang adalah polisi, tapi mereka tahu itu tidak mungkin terjadi. “Ada apa di luar?” Helena berteriak untuk menghilangkan rasa takutnya. Seorang anak buah Edward muncul dengan tergopoh-gopoh. Setelah membungkuk hormat ia mulai bicara. “Ada wanita tua dan ajudannya di depan. Mereka ingin bertemu dengan Nona Viola,” ucapnya. Wajahnya memerah dan tubuhnya gemetar. “Usir saja. Katakan kalau Viola tidak bisa diganggu!” tegas Helena. Tangannya mengibas di udara, menyuruh pengawal itu pergi melaksanakan perintahnya. Namun, pengawal itu bergeming, tubuhnya semakin gemetar. Helena mengerutkan kening, “Ada apa? Bukannya cuma wanita tua saja? Kenapa kau sampai gemetar begitu?” cerca Helena. Wajahnya tampak sangat tidak puas. Di tempat duduknya, Viola merasa seperti mendapatkan sebuah peluang. Tidak penting siapa yang datang untuk menemuinya,
Ah ….” Harapan Samantha seketika pupus. Mungkin wanita yang akan ia temui itu tidak sebaik yang ia bayangkan. Mungkin dulu ia tidak sengaja menyelamatkan Nathan. Mungkin ia menyesal melakukannya. Mungkin waktu sudah mengubah watak dan sifatnya menjadi jahat. “Kabarnya juga, keluarganya sedang mencari orang kaya yang mau menikahi anaknya dengan syarat mampu melunasi semua hutang-hutang keluarganya dan mau memberikan mahar sesuai yang mereka tentukan.” Samantha membelalak, kaget. “Itu pernikahan atau pegadaian.” Maria yang sejak tadi hanya diam memerhatikan tiba-tiba bicara. Ia begitu gemas dengan kelakuan orang tua jahat seperti itu. Memanfaatkan anak sendiri demi keserakahan pribadi. Samantha dan Hilda bahkan kaget mendengar celetukan Maria. “Menurutmu, apakah wanita itu memiliki sifat yang sama dengan keluarganya?” Samantha bertanya karena penasaran. “Saya tidak sempat menanyakan hal itu. Tapi, bagaimana kalau Nyonya menemui suster yang di panti asuhan itu untuk mengkonfirmasi