Kau sangat Cantik!

Ah ….”

Harapan Samantha seketika pupus. Mungkin wanita yang akan ia temui itu tidak sebaik yang ia bayangkan. Mungkin dulu ia tidak sengaja menyelamatkan Nathan. Mungkin ia menyesal melakukannya. Mungkin waktu sudah mengubah watak dan sifatnya menjadi jahat.

“Kabarnya juga, keluarganya sedang mencari orang kaya yang mau menikahi anaknya dengan syarat mampu melunasi semua hutang-hutang keluarganya dan mau memberikan mahar sesuai yang mereka tentukan.”

Samantha membelalak, kaget.

“Itu pernikahan atau pegadaian.”

Maria yang sejak tadi hanya diam memerhatikan tiba-tiba bicara. Ia begitu gemas dengan kelakuan orang tua jahat seperti itu. Memanfaatkan anak sendiri demi keserakahan pribadi. Samantha dan Hilda bahkan kaget mendengar celetukan Maria.

“Menurutmu, apakah wanita itu memiliki sifat yang sama dengan keluarganya?” Samantha bertanya karena penasaran.

“Saya tidak sempat menanyakan hal itu. Tapi, bagaimana kalau Nyonya menemui suster yang di panti asuhan itu untuk mengkonfirmasi?”

“Benar juga. Lebih baik ditanyakan langsung.” Samantha mengangguk setuju.

**

Di rumahnya, Viola terus menangis di depan pintu kamar, memohon agar ibunya mau membuka pintu dan membiarkannya keluar. Sayangnya, tidak ada seorangpun yang mendengarkan dirinya. Mereka semua seolah buta dan tuli. Hanya memberikan makanan dan minuman tiga kali sehari ke kamar untuk menjaga ia tetap hidup. Setelah itu nihil. Mereka bahkan tidak peduli saat ia menjerit kesakitan karena kram perut, hingga pingsan karena tidak mau makan dan minum selama dua hari.

Akhirnya, Viola paham bahwa tidak ada gunanya ia menyiksa diri sendiri karena tidak akan ada yang peduli. Kini ia akan dengan antusias menghabiskan semua makanan dan minuman yang diberikan padanya. Ia tidur tepat waktu dan juga berolahraga agar tetap bugar. Ia butuh stamina yang kuat jika sewaktu-waktu ia punya kesempatan untuk melarikan diri.

“Apakah Viola tidak membuat ulah lagi?” tanya Helena pada dua penjaga di depan pintu kamar putrinya.

Dua penjaga itu menggeleng. “Sekarang dia sangat patuh. Tapi aku jadi curiga dengan hal itu,” ucap salah satu penjaga.

Helena diam sejenak, lalu memberi isyarat agar penjaga membuka pintu untuknya. Ia harus mencari tahu apa yang direncanakan putrinya yang licik itu.

Pintu kamar terbuka, Helena melihat Viola sedang tiduran santai di atas ranjang sambil membaca buku. Wanita muda itu seketika menoleh dan tersenyum ke arah ibunya.

“Ibu, tumben mengunjungiku.”

Ia turun dari ranjang dan mendekati ibunya. Helena mengernyit, curiga. Memerhatikan gerak-gerik Viola dengan seksama.

“Kamu sedang merencanakan apa sekarang?” Helena menyilangkan tangan di depan dada.

“Aku? Tidak sedang merencanakan apa-apa. Kenapa ibu selalu mencurigaiku?” Viola menjawab dengan santai pertanyaan ibunya. Berjalan ke arah jendela dan menatap jauh ke luar sana. “Aku sudah menyerah. Aku akan patuh pada keinginan ibu. Toh, tidak ada gunanya juga aku melawan. Semua akan terjadi sesuai keinginan ibu. Aku bisa apa? Bukankah menerimanya lebih cepat, lebih baik?”

Helena mematung, mencerna setiap kalimat yang diucapkan Viola. Pada akhirnya ia menghela nafas lega. “Seharusnya kamu paham hal itu sejak awal,” ketusnya lalu keluar kamar. Namun, saat sudah di ambang pintu, Helena mendadak berhenti. “Aku sudah menemukan pria yang bersedia membayar mahal untuk menjadi suamimu,” ucapnya kemudian berlalu.

Viola berbalik, tepat ketika salah satu pengawal menutup pintu kamarnya.

Jantungnya berdetak dua kali lebih kencang dari sebelumnya. Bagaimanapun berita itu sangat mengejutkan. Siapa pria yang akan menjadi suaminya nanti? Apakah ia pria brengsek? Pria berumur, atau pria beristri? Viola tidak mampu membayangkan. Yang pasti bukan pria baik-baik. Mana ada pria baik-baik yang mau membayar mahal untuk menikahi wanita yang sama sekali tidak dikenalnya. Itu mustahil.

Setelah mendengar berita itu, hari-hari Olivia di dalam kamar menjadi lebih suram. Ia bahkan kehilangan banyak berat badan karena tidak bisa tidur dan terus bermimpi buruk.

**

Sudah beberapa minggu Samantha tinggal di rumah sepupu Maria. Ia dan kepala kepala pelayannya itu sibuk mencari informasi tentang wanita penyelamat Nathan dulu. Hingga akhirnya dari beberapa sumber ia mengetahui kalau wanita yang ingin mereka cari adalah wanita yang sangat baik dan penuh kasih. Samantha sangat senang dan bersemangat untuk bertemu dengan Viola, wanita yang sangat berharga bagi Samantha itu.

“Nathan dimana, kenapa dia tidak mengangkat teleponku?” Samantha bertanya kepada salah satu pelayan di rumahnya. Ia ingin memberitahu Nathan tentang kabar bahagia itu.

“Tuan Nathan saat ini sedang bersama Nyonya Cecillia. Katanya tidak mau diganggu.” Pelayannya menjawab takut-takut. Paham kalau salah jawab sedikit saja bisa berujung dipecat dari pekerjaannya.

Samantha berdecak kesal lalu menutup sambungan telepon begitu saja. Wanita licik itu selalu berusaha menjauhkan Nathan dari dirinya. Bukan tanpa alasan, Cecillia membenci mertuanya sama seperti Samantha membenci Cecillia.

“Tidak masalah, aku akan pastikan Cecillia dilempar keluar oleh Nathan setelah aku membawa Viola masuk ke dalam rumahku. Lihat saja nanti!” Samantha bergumam.

Ia mengambil tas tangan dan bersiap-siap untuk mengunjungi Viola. Ia akan membayar, berapapun harga untuk wanita itu. Baginya uang bukan masalah sama sekali.

**

Sementara itu, keadaan di rumah Olivia saat ini sedikit ramai dihadiri oleh beberapa orang. Mereka adalah para pengawal yang disuruh oleh Edward untuk memastikan acara lamaran hari itu berjalan dengan lancar. Ia tidak mau dikecoh oleh Viola untuk yang kedua kali.

Di sofa ruang tamu duduk seorang pria paruh baya bertubuh tambun dengan kepala botak di bagian depan. Senyumnya sejak tadi mengembang, membayangkan kalau sebentar lagi ia akan menikah dengan seorang gadis perawan yang usianya bahkan lebih muda dari anaknya. Tidak masalah kalau ia harus membayar mahal, toh setelah puas bermain-main dengan Viola, ia bisa menjual gadis itu di diskotik miliknya dan memasang tarif mahal. Orang-orang pasti akan menyukainya karena ia tahu kalau Viola adalah gadis yang cantik dengan tubuh seksi yang sangat menggoda. Helena pernah memperlihatkan foto juga videonya.

Tak lama kemudian, Viola sudah dibawa turun oleh dua pengawal yang menjaganya. Hari itu Viola tampak sangat memukau dengan dress brokat berwarna kuning gading di bawah lutut yang dipadukan dengan heels berwarna senada. Rambutnya digelung ke atas memperlihatkan leher jenjangnya yang indah. Tuan Brown, pria tua itu tampak menelan ludah.

Dua pengawal di kiri dan kanan Viola memaksanya duduk di samping pria tambun itu. Pria itu tersenyum kepadanya, dan membuat bulu kuduk Viola seketika meremang. Ia takut jika nanti tidak bisa melarikan diri dan harus menikah dengan pria tua itu. Ia tidak mau.

“Kamu cantik sekali. Jauh lebih cantik dari foto yang diberikan ibumu.”

Tangan pria itu terulur hendak menyentuh dagu Viola, tapi Viola mengelak dengan cepat dan itu membuat si tua bangka marah. Tangan yang tadi tidak bisa meraih dagu calon istrinya, kini bergerak cepat menarik leher bagian belakang wanita itu ke arahnya hingga wajah mereka berhadapan dengan jarak kurang dari 10 senti.

“Jangan sok jual mahal. Kamu tahu kan, kalau aku sudah memberikan sejumlah uang yang diminta oleh ibumu,” bisiknya di dekat telinga Viola.

Deru nafasnya yang kasar dan panas membuat Viola merasa sangat jijik. Refleks ia mendorong pria itu dan bergerak mundur ke belakang.

“Jangan mendekat!” teriak Viola dan membuat Helena terkejut. Ia menatap tajam Viola. Namun, Viola menjauhkan pandangan dari ibunya.

“Mari segera kita selesaikan urusannya, tuan Brown,” ucap Helena terburu-buru.

Ia tidak mau pria tua itu berubah pikiran setelah melihat sikap Viola tadi. Namun, diluar dugaan, Brown tampak setuju dengan usulan Helena. Ia segera mengeluarkan cek dari dalam saku jas-nya dan meletakkannya di atas meja.

“Aku sudah menyiapkan sisanya. Sekarang tinggal surat-surat yang harus ditandatangani.”

Mata Helena membeliak melihat cek itu dan segera memberi isyarat kepada pengawal untuk menyerahkan surat-surat yang sudah disiapkan sebelumnya.

“Semua sudah siap, Tuan. Jangan khawatir. Aku orang yang menepati janji,” ucap Helena dengan senyum lebar di wajah.

Tuan Brown menyeringai, dalam hati ia menertawakan keserakahan Helena yang sanggup mengorbankan putrinya sendiri. Diambilnya pena yang sudah tersedia di meja, bersiap-siap untuk menandatangani surat kesepakatan yang mereka buat