Namun sebelum ia sempat melakukannya, terdengar suara ribut dari depan. Baik Helena, Brown maupun yang lain tampak sedikit takut kalau-kalau saja yang datang adalah polisi, tapi mereka tahu itu tidak mungkin terjadi.
“Ada apa di luar?” Helena berteriak untuk menghilangkan rasa takutnya. Seorang anak buah Edward muncul dengan tergopoh-gopoh. Setelah membungkuk hormat ia mulai bicara. “Ada wanita tua dan ajudannya di depan. Mereka ingin bertemu dengan Nona Viola,” ucapnya. Wajahnya memerah dan tubuhnya gemetar. “Usir saja. Katakan kalau Viola tidak bisa diganggu!” tegas Helena. Tangannya mengibas di udara, menyuruh pengawal itu pergi melaksanakan perintahnya. Namun, pengawal itu bergeming, tubuhnya semakin gemetar. Helena mengerutkan kening, “Ada apa? Bukannya cuma wanita tua saja? Kenapa kau sampai gemetar begitu?” cerca Helena. Wajahnya tampak sangat tidak puas. Di tempat duduknya, Viola merasa seperti mendapatkan sebuah peluang. Tidak penting siapa yang datang untuk menemuinya, saat itu yang paling penting adalah pergi dari tempat itu. Hal lain bisa ia pikirkan nanti. “Biar aku menemuinya sebentar, Bu! Siapa tahu ada hal penting yang perlu disampaikan padaku,” pinta Viola berusaha selembut mungkin untuk membujuk ibunya. Helena mengangkat tangan sebagai penolakan. Brown yang tadi hendak bicara, mengurungkan niat dan mulai tersenyum karena ia juga tidak mengizinkan Olivia untuk bertemu dengan siapapun sebelum benar-benar menjadi miliknya. Siapa tahu orang itu hendak menggagalkan rencananya. Anak buah Edward ingin menjelaskan kalau wanita tua yang ia maksud bukanlah wanita sembarangan, tapi belum sempat ia bicara, pintu ruang tamu rumah Helena sudah terbuka lebar. Samantha bersama Maria dan Hilda masuk. “Selamat siang, semua.” Samantha mengedarkan pandangan ke sekeliling dan berhenti saat melihat Viola. Ia tersenyum pada wanita itu. “Kamu siapa dan mau apa? Beraninya memaksa masuk ke rumah orang lain. Kamu mau saya laporkan ke polisi?!” bentak Helena marah. Wajahnya merah padam dengan kedua tangan mengepal. Ia sama sekali tidak mengenal dua wanita di depan, tapi ia seperti mengenal salah satu diantaranya. Ya, Helena mengenal Hilda. Mereka sering berpapasan di rumah sakit saat ia membawa suaminya untuk kontrol. Mereka juga beberapa kali ngobrol sambil minum segelas kopi di kafetaria rumah sakit saat menunggui suami masing-masing. HIlda tersenyum. “Hai, Helena,” sapanya. Ibu Viola semakin bingung. Ia menatap Hilda dan putrinya bergantian, lalu menatap Samantha. Sebenarnya ada apa ini, batin Helena risau. “Nyonya Samantha ingin bicara sebentar dengan Viola, putrimu. Tidak apa-apa, kan?” tanya Hilda lagi. Senyumnya masih sama. “Tidak bisa! Dia akan segera menikah denganku,” potong tuan Brown semakin merasa khawatir dengan nasibnya. Entah mengapa ia merasa kalau semua rencananya untuk memiliki Viola akan gagal. “Aku tidak bicara denganmu, Pak tua. Dan bukankah usia kita tidak jauh berbeda? Apa kau tidak punya kaca di rumah sampai -sampai berpikiran untuk menikah dengan seorang wanita seusia cucumu?” Ucapan Samantha yang blak-blakan membuat tuan Brown memerah marah. Ia berdiri dengan dada dibusungkan, menunjuk ke arah Samantha dengan lantang. “Berani sekali kau menghinaku! Apa kau tidak tahu siapa aku, hah!” teriaknya. Usai berkata seperti itu, beberapa pengawal yang tadi ikut dengannya serentak bergerak mengepung Samantha. Wajah mereka meremehkan wanita tua itu. “Bereskan wanita itu!!” perintahnya. Viola berdiri, takut wanita tua dan temannya itu disakiti oleh anak buah Brown. Ia berlutut. “Tolong, jangan sakiti mereka, tuan Brown. Aku akan menuruti permintaanmu, tapi biarkan mereka pergi. Dia hanya wanita tua yang hendak bicara sebentar denganku. Aku jamin tidak akan terjadi apa-apa,” ucap Viola memohon. Samantha menatap sedih pada Viola. gadis itu rela merendahkan diri demi menyelamatkannya. “Gadis bodoh! Kau tidak perlu berlutut di depan orang tidak berguna seperti pria tua itu. Aku tidak akan kenapa-napa. Percayalah padaku.” Viola mengerjap. Baru kali ini ada orang yang membela dirinya. Perlahan ia bangkit dan menjauh dari Brown. Namun, tangan Brown bergerak lebih cepat menarik dirinya kembali. “Tetaplah di tempatmu! Jangan buat aku kehilangan kesabaran,” ancam tua bangka itu. Samantha menghela nafas, mulai bosan dengan permainan mereka. “Aku akan langsung pada intinya, Helena.” Ia menoleh ke arah ibu Viola. “Berapa harga putrimu agar kau menyerahkannya padaku?” Ucapan Samantha yang tenang dan tanpa ekspresi membuat semua orang kaget. Termasuk Viola. Membelinya? Wanita tua itu? Tapi untuk apa? Begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepala Viola, tapi satupun tidak ada yang bisa ia jawab. “Jangan main-main. Kau tidak bisa seenaknya datang ke sini dan menghancurkan bisnis orang lain.” Tuan Brown berteriak. Ia sangat marah. “Kau juga tidak bisa seenaknya membatalkan kesepakatan kita. Ingat! Aku sudah memberimu uang,” seru tuan Brown mengacungkan jari telunjuk ke arah Helena. Wanita paruh baya itu diam saja. Otaknya berpikir keras antara ingin mempercayai ucapan Samantha atau tidak. Namun, wanita itu bilang ia bisa menyebutkan berapapun jumlah yang ia mau. Helena goyah. Samantha tersenyum miring. Ia paham betul watak manusia seperti Helena yang bisa melakukan apa saja demi uang. Jadi, ia akan menggunakan uang untuk menaklukkan wanita itu dan membawa Viola. “Aku tidak bisa! Viola sudah dibeli oleh Tuan Brown,” lirih Helena dengan suara bergetar. Sejujurnya, dia juga ragu saat mengatakan itu, tapi lebih baik menggenggam apa yang sudah ada di tangan daripada mengharapkan sesuatu yang belum tampak, bukan? “Lima ratus juta?” Samantha berkata. Helena membelalak. Begitu juga dengan Brown. “Aku membayarnya jauh lebih dari itu.” Pria tua itu terbahak. “Satu miliar?” Samantha berkata lagi. Helena berkeringat dingin dan tuan Brown gemetar. Samantha tersenyum. Ia tahu uang bisa membuat orang tidak berdaya. Dalam hati, wanita itu mulai menghitung. Satu … Dua …“Tuan Brown membayarnya dua milyar.” Helena berkata dengan cepat. Menutup matanya dengan kedua tangan mengatup kuat di depan dada. Ia tidak berani menatap wajah Tuan Brown. Samatha tersenyum senang. “Kau tidak bisa melakukan ini padaku Helena. Aku sudah banyak membantumu dan kuperingatkan, Edward tidak akan tinggal diam kalau kamu membatalkan kesepakatan kita.” Tuan Brown mulai putus asa. Wajah dan pelipisnya berkeringat dan ia seka dengan sapu tangan. Sesekali ia melirik Viola, memastikan gadis itu tidak berniat untuk berontak. “Edward akan mengerti, Tuan Brown dan aku akan mengembalikan uangmu tanpa kurang satu sen pun,” ucap Helena semakin berani dan yakin untuk mengambil keputusan. Setelah itu ia beralih pada Samantha, “Jadi, berapa yang akan Anda bayar, Nyonya?” katanya sambil tersenyum ramah dan mempersilahkan mereka duduk. Viola bahkan tidak percaya ibunya bisa berubah secepat itu. Baru saja ia meremehkan dan mengusir wanita tua itu dan sekarang ia sudah bersikap sangat ma
Hari sudah gelap saat Samantha dan yang lain tiba di rumah. Tidak ada siapapun di sana kecuali para pelayan. Samantha sedikit kecewa karena niatnya memberi kejutan pada Nathan jadi gagal. Namun ia menepis rasa kecewa itu karena setelah itu ia masih punya waktu banyak untuk mengenalkan Viola dengan Nathan -dan kalau takdir memungkinkan- Samantha ingin menjodohkan mereka. Namun sebelum itu ia harus melepas topeng kepalsuan Cecillia terlebih dahulu dan memastikan Nathan menyadari bahwa wanita itu sangat busuk.“Sekarang ini adalah rumahmu, Sayang,” ucap Samantha sambil mengelus rambut Viola yang hitam. Diperbaikinya letak poni Viola sambil menatap wanita itu lekat-lekat. “Kamu sangat manis,” katanya lagi. Viola tersipu malu dipuji begitu. Wajah yang kemerahan dengan bintik-bintik coklat di sekitarnya membuat kecantikannya semakin bertambah. Samantha sangat menyukai wajah itu. Polos dan natural tanpa sentuhan make up sedikitpun. “Terima kasih, Nyonya. Baru Anda yang mengatakan saya mani
Sudah satu minggu sejak Viola tinggal di sana dan ia sangat penasaran dengan anak Nyonya Samantha yang pernah ia selamatkan dulu. Viola kerap berlama-lama duduk di ruang tamu dengan harapan bisa bertemu dengan anak laki-laki gemuk yang dulu menangis tak berdaya di gudang kosong itu. Seperti apa rupanya sekarang? pikir Viola, lalu perlahan senyumnya mengembang membayangkan sosok seorang pria gemuk dengan pipi bulat seperti bakpao muncul dari balik pintu itu. Apakah ia masih gemuk atau sudah tumbuh menjadi pria tinggi yang tampan? batin Viola lagi. Pintu terbuka. Viola mengangkat wajah dengan antusias. Berharap itu adalah orang yang ia harapkan. Namun semangatnya segera luntur begitu melihat orang yang muncul adalah seorang wanita. Tinggi langsing dan sangat cantik. Viola menatapnya dengan penuh kekaguman. Sementara wanita itu, ia menatap sekilas dan berlalu dengan penuh keanggunan. Sama sekali tidak peduli dengan Viola yang menatapnya penuh pemujaan.“Cantik sekali,” lirih Viola tanp
Seorang tukang kebun yang asyik memangkas tanaman hias di taman samping, merasa terhibur dengan kehadiran Viola di sana. Mereka bercakap-cakap sambil pria berusia 30-an itu terus melakukan tugasnya sementara Viola duduk di salah satu kursi yang memang sudah ada di sana sejak awal.“Jadi, nama anak Nyonya Samantha itu Nathan?” Viola memastikan. Carl -tukang kebun itu- mengangguk tanpa melihat ke arah Viola. Ia terus sibuk menggerakkan gunting besar di tangannya. “Dan istrinya itu namanya Cecillia. Dia seorang model Internasional,” lanjutnya.“Aku sudah tahu namanya, tapi aku baru tahu kalau dia seorang model. Pantas saja dia sangat cantik. Seperti seorang dewi,” ucap Viola dengan pandangan menerawang. Mengingat kembali betapa cantik dan anggunnya wanita itu. “Pasti Nathan sangat mencintai istrinya,” gumamnya lirih tanpa sadar. “Carl mengangguk. Tidak memperhatikan perubahan di wajah Viola. “Tuan Nathan sangat mencintainya bahkan tergila-gila padanya, tapi Nyonya Samantha sangat membe
“Apa yang kau lakukan?” tanya Samantha saat melihat Viola asyik mencorat-coret di atas kertas. “Aku sedang banyak waktu luang.” Viola berkata tanpa melihat ke arah Samantha. Ia masih sibuk menyapukan pensil warna di atas kertas. Samantha mendekat karena penasaran dan begitu terkejut dengan hasil sketsa yang dibuat oleh Viola. “K -kamu yang membuat ini?” katanya. Viola mengangguk ringan, sambil tersenyum ia melanjutkan pekerjaannya. “Apa kamu tahu kalau kamu berbakat? Ini sangat luar biasa, Viola,” ucap Samantha setengah memekik karena senang. Ia seperti mendapatkan harta karun tersembunyi. “Aku tahu. Guru di sekolahku dulu mengatakannya,” jawab Viola enteng. “Apakah bagus?” Ia bertanya kemudian setelah sketsanya selesai. Menunjukkan pada Samantha dengan wajah penuh kepuasan. “Sangat bagus, Sayang,” balas Samantha dengan wajah berbinar-binar. “Kenapa kamu tidak melanjutkan belajar seni atau desain grafis? Mommy yakin kamu akan sukses,” ucap Samantha antusias. Viola tersenyum. Ha
Namun ia hanya ingin membuat menantunya marah dan ternyata ia berhasil. Cecillia berbalik dengan cepat, lalu dengan wajah merah padam ia melangkah mendekati Samantha dan Viola yang masih duduk di tempatnya semula. “Apa maksud Mommy bicara seperti itu?” Cecillia membentak. Satu tangannya bertengger di pinggang menatap tajam pada Samantha dan Viola bergantian. Samantha balik menatap menantunya. “Apa? Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan,” sanggahnya. Cecillia membelalak, membuka mulut hendak bicara, tapi Samantha mendahuluinya. “Dan sejujurnya Cecillia, kamu tidak pernah aku anggap ada di rumah ini. Jadi, tidak usah terlalu merasa bahwa dirimu berharga.” Ucapan Samantha yang dingin dan tajam itu menusuk tepat dan menghancurkan harga diri Cecillia yang tinggi. Ia menjerit kuat seperti orang kesetanan karena tidak terima dengan pernyataan Samantha. Ia merasa terhina. Viola kaget dengan reaksi Cecillia yang di luar nalar, berbeda dengan Samantha yang tetap bersikap biasa saja seo
Kata orang cinta itu buta, tapi bukan cinta saja yang buta, bahkan rasa benci pun ternyata tidak bisa melihat.~Viola~**Itulah yang saat ini sedang dirasakan oleh Cecillia. Rasa benci telah menggelapkan matanya sampai-sampai ia tidak menyadari sandiwara Samantha dan Viola yang sengaja ingin membuatnya marah. Ia buta dan tidak bisa membedakan lagi mana yang benar dan mana yang hanya permainan. Ia pergi dari rumah untuk menghindari Nathan. Ia marah dan sangat membenci suaminya. Dan rasa marah itu ia luapkan dengan minum-minum di sebuah ruang VVIP salah satu bar langganannya. Di sampingnya, Cath duduk dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Wajah wanita itu datar, menatap Cecillia sambil memainkan gelas anggurnya. Cecillia balas menatap. “Aku muak! Aku sudah tidak tahan, Cath,” racaunya. Ia menyeret tubuh mendekat ke arah Catherine. Memangkas jarak diantara mereka hingga kini wajah keduanya saling berhadapan. “Aku hanya ingin hidup dengan tenang. Itu saja,” ucapnya lagi. Wajahnya
“Bagaimana, Kamu sudah mendapatkan uang yang ibu minta?” Helena menghadang putrinya di depan pintu. Saat itu Viola baru saja pulang setelah seharian bekerja di dua tempat berbeda. Hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat itu, dan Viola sudah sangat lelah. Namun, ibunya tidak peduli. Yang Helena inginkan adalah uang untuk membayar hutang mereka yang tiga hari lagi akan jatuh tempo. “Aku belum mendapatkannya, Bu.” Viola mendesah pelan, “aku akan coba meminta kepada bos, agar gajiku dibayar di awal bulan ini,” lanjutnya. Helena mengernyitkan kening, membuka mulut hendak bicara, tapi Viola segera memeluknya dan berkata, “Aku lelah, Bu. Aku mau istirahat.” Dengan gontai Viola melanjutkan langkah ke kamar. Ingin sekali rasanya merebahkan tubuh di atas kasurnya yang empuk. Namun, ternyata Helena tidak puas dengan jawaban putrinya. Ia terus mengekor dari belakang tanpa sepengetahuan Viola.“Ibu?” Viola kaget melihat ibunya saat berbalik untuk menutup pintu. “Ada apa lagi?” Nada sua
Kata orang cinta itu buta, tapi bukan cinta saja yang buta, bahkan rasa benci pun ternyata tidak bisa melihat.~Viola~**Itulah yang saat ini sedang dirasakan oleh Cecillia. Rasa benci telah menggelapkan matanya sampai-sampai ia tidak menyadari sandiwara Samantha dan Viola yang sengaja ingin membuatnya marah. Ia buta dan tidak bisa membedakan lagi mana yang benar dan mana yang hanya permainan. Ia pergi dari rumah untuk menghindari Nathan. Ia marah dan sangat membenci suaminya. Dan rasa marah itu ia luapkan dengan minum-minum di sebuah ruang VVIP salah satu bar langganannya. Di sampingnya, Cath duduk dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Wajah wanita itu datar, menatap Cecillia sambil memainkan gelas anggurnya. Cecillia balas menatap. “Aku muak! Aku sudah tidak tahan, Cath,” racaunya. Ia menyeret tubuh mendekat ke arah Catherine. Memangkas jarak diantara mereka hingga kini wajah keduanya saling berhadapan. “Aku hanya ingin hidup dengan tenang. Itu saja,” ucapnya lagi. Wajahnya
Namun ia hanya ingin membuat menantunya marah dan ternyata ia berhasil. Cecillia berbalik dengan cepat, lalu dengan wajah merah padam ia melangkah mendekati Samantha dan Viola yang masih duduk di tempatnya semula. “Apa maksud Mommy bicara seperti itu?” Cecillia membentak. Satu tangannya bertengger di pinggang menatap tajam pada Samantha dan Viola bergantian. Samantha balik menatap menantunya. “Apa? Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan,” sanggahnya. Cecillia membelalak, membuka mulut hendak bicara, tapi Samantha mendahuluinya. “Dan sejujurnya Cecillia, kamu tidak pernah aku anggap ada di rumah ini. Jadi, tidak usah terlalu merasa bahwa dirimu berharga.” Ucapan Samantha yang dingin dan tajam itu menusuk tepat dan menghancurkan harga diri Cecillia yang tinggi. Ia menjerit kuat seperti orang kesetanan karena tidak terima dengan pernyataan Samantha. Ia merasa terhina. Viola kaget dengan reaksi Cecillia yang di luar nalar, berbeda dengan Samantha yang tetap bersikap biasa saja seo
“Apa yang kau lakukan?” tanya Samantha saat melihat Viola asyik mencorat-coret di atas kertas. “Aku sedang banyak waktu luang.” Viola berkata tanpa melihat ke arah Samantha. Ia masih sibuk menyapukan pensil warna di atas kertas. Samantha mendekat karena penasaran dan begitu terkejut dengan hasil sketsa yang dibuat oleh Viola. “K -kamu yang membuat ini?” katanya. Viola mengangguk ringan, sambil tersenyum ia melanjutkan pekerjaannya. “Apa kamu tahu kalau kamu berbakat? Ini sangat luar biasa, Viola,” ucap Samantha setengah memekik karena senang. Ia seperti mendapatkan harta karun tersembunyi. “Aku tahu. Guru di sekolahku dulu mengatakannya,” jawab Viola enteng. “Apakah bagus?” Ia bertanya kemudian setelah sketsanya selesai. Menunjukkan pada Samantha dengan wajah penuh kepuasan. “Sangat bagus, Sayang,” balas Samantha dengan wajah berbinar-binar. “Kenapa kamu tidak melanjutkan belajar seni atau desain grafis? Mommy yakin kamu akan sukses,” ucap Samantha antusias. Viola tersenyum. Ha
Seorang tukang kebun yang asyik memangkas tanaman hias di taman samping, merasa terhibur dengan kehadiran Viola di sana. Mereka bercakap-cakap sambil pria berusia 30-an itu terus melakukan tugasnya sementara Viola duduk di salah satu kursi yang memang sudah ada di sana sejak awal.“Jadi, nama anak Nyonya Samantha itu Nathan?” Viola memastikan. Carl -tukang kebun itu- mengangguk tanpa melihat ke arah Viola. Ia terus sibuk menggerakkan gunting besar di tangannya. “Dan istrinya itu namanya Cecillia. Dia seorang model Internasional,” lanjutnya.“Aku sudah tahu namanya, tapi aku baru tahu kalau dia seorang model. Pantas saja dia sangat cantik. Seperti seorang dewi,” ucap Viola dengan pandangan menerawang. Mengingat kembali betapa cantik dan anggunnya wanita itu. “Pasti Nathan sangat mencintai istrinya,” gumamnya lirih tanpa sadar. “Carl mengangguk. Tidak memperhatikan perubahan di wajah Viola. “Tuan Nathan sangat mencintainya bahkan tergila-gila padanya, tapi Nyonya Samantha sangat membe
Sudah satu minggu sejak Viola tinggal di sana dan ia sangat penasaran dengan anak Nyonya Samantha yang pernah ia selamatkan dulu. Viola kerap berlama-lama duduk di ruang tamu dengan harapan bisa bertemu dengan anak laki-laki gemuk yang dulu menangis tak berdaya di gudang kosong itu. Seperti apa rupanya sekarang? pikir Viola, lalu perlahan senyumnya mengembang membayangkan sosok seorang pria gemuk dengan pipi bulat seperti bakpao muncul dari balik pintu itu. Apakah ia masih gemuk atau sudah tumbuh menjadi pria tinggi yang tampan? batin Viola lagi. Pintu terbuka. Viola mengangkat wajah dengan antusias. Berharap itu adalah orang yang ia harapkan. Namun semangatnya segera luntur begitu melihat orang yang muncul adalah seorang wanita. Tinggi langsing dan sangat cantik. Viola menatapnya dengan penuh kekaguman. Sementara wanita itu, ia menatap sekilas dan berlalu dengan penuh keanggunan. Sama sekali tidak peduli dengan Viola yang menatapnya penuh pemujaan.“Cantik sekali,” lirih Viola tanp
Hari sudah gelap saat Samantha dan yang lain tiba di rumah. Tidak ada siapapun di sana kecuali para pelayan. Samantha sedikit kecewa karena niatnya memberi kejutan pada Nathan jadi gagal. Namun ia menepis rasa kecewa itu karena setelah itu ia masih punya waktu banyak untuk mengenalkan Viola dengan Nathan -dan kalau takdir memungkinkan- Samantha ingin menjodohkan mereka. Namun sebelum itu ia harus melepas topeng kepalsuan Cecillia terlebih dahulu dan memastikan Nathan menyadari bahwa wanita itu sangat busuk.“Sekarang ini adalah rumahmu, Sayang,” ucap Samantha sambil mengelus rambut Viola yang hitam. Diperbaikinya letak poni Viola sambil menatap wanita itu lekat-lekat. “Kamu sangat manis,” katanya lagi. Viola tersipu malu dipuji begitu. Wajah yang kemerahan dengan bintik-bintik coklat di sekitarnya membuat kecantikannya semakin bertambah. Samantha sangat menyukai wajah itu. Polos dan natural tanpa sentuhan make up sedikitpun. “Terima kasih, Nyonya. Baru Anda yang mengatakan saya mani
“Tuan Brown membayarnya dua milyar.” Helena berkata dengan cepat. Menutup matanya dengan kedua tangan mengatup kuat di depan dada. Ia tidak berani menatap wajah Tuan Brown. Samatha tersenyum senang. “Kau tidak bisa melakukan ini padaku Helena. Aku sudah banyak membantumu dan kuperingatkan, Edward tidak akan tinggal diam kalau kamu membatalkan kesepakatan kita.” Tuan Brown mulai putus asa. Wajah dan pelipisnya berkeringat dan ia seka dengan sapu tangan. Sesekali ia melirik Viola, memastikan gadis itu tidak berniat untuk berontak. “Edward akan mengerti, Tuan Brown dan aku akan mengembalikan uangmu tanpa kurang satu sen pun,” ucap Helena semakin berani dan yakin untuk mengambil keputusan. Setelah itu ia beralih pada Samantha, “Jadi, berapa yang akan Anda bayar, Nyonya?” katanya sambil tersenyum ramah dan mempersilahkan mereka duduk. Viola bahkan tidak percaya ibunya bisa berubah secepat itu. Baru saja ia meremehkan dan mengusir wanita tua itu dan sekarang ia sudah bersikap sangat ma
Namun sebelum ia sempat melakukannya, terdengar suara ribut dari depan. Baik Helena, Brown maupun yang lain tampak sedikit takut kalau-kalau saja yang datang adalah polisi, tapi mereka tahu itu tidak mungkin terjadi. “Ada apa di luar?” Helena berteriak untuk menghilangkan rasa takutnya. Seorang anak buah Edward muncul dengan tergopoh-gopoh. Setelah membungkuk hormat ia mulai bicara. “Ada wanita tua dan ajudannya di depan. Mereka ingin bertemu dengan Nona Viola,” ucapnya. Wajahnya memerah dan tubuhnya gemetar. “Usir saja. Katakan kalau Viola tidak bisa diganggu!” tegas Helena. Tangannya mengibas di udara, menyuruh pengawal itu pergi melaksanakan perintahnya. Namun, pengawal itu bergeming, tubuhnya semakin gemetar. Helena mengerutkan kening, “Ada apa? Bukannya cuma wanita tua saja? Kenapa kau sampai gemetar begitu?” cerca Helena. Wajahnya tampak sangat tidak puas. Di tempat duduknya, Viola merasa seperti mendapatkan sebuah peluang. Tidak penting siapa yang datang untuk menemuinya,
Ah ….” Harapan Samantha seketika pupus. Mungkin wanita yang akan ia temui itu tidak sebaik yang ia bayangkan. Mungkin dulu ia tidak sengaja menyelamatkan Nathan. Mungkin ia menyesal melakukannya. Mungkin waktu sudah mengubah watak dan sifatnya menjadi jahat. “Kabarnya juga, keluarganya sedang mencari orang kaya yang mau menikahi anaknya dengan syarat mampu melunasi semua hutang-hutang keluarganya dan mau memberikan mahar sesuai yang mereka tentukan.” Samantha membelalak, kaget. “Itu pernikahan atau pegadaian.” Maria yang sejak tadi hanya diam memerhatikan tiba-tiba bicara. Ia begitu gemas dengan kelakuan orang tua jahat seperti itu. Memanfaatkan anak sendiri demi keserakahan pribadi. Samantha dan Hilda bahkan kaget mendengar celetukan Maria. “Menurutmu, apakah wanita itu memiliki sifat yang sama dengan keluarganya?” Samantha bertanya karena penasaran. “Saya tidak sempat menanyakan hal itu. Tapi, bagaimana kalau Nyonya menemui suster yang di panti asuhan itu untuk mengkonfirmasi