Home / Romansa / Cinta karena benci / Telepon dari Abi

Share

Cinta karena benci
Cinta karena benci
Author: Mustatirr

Telepon dari Abi

Author: Mustatirr
last update Last Updated: 2021-07-24 18:34:11

Dret... Dret... Dret...

Tiba-tiba handphone ku berdering. Aku yang merasa handphone berdering pun langsung mengambilnya dan terlihat nama 'Abi sayang' tertera di layar ponselku. Lalu aku langsung menggeser tombol hijau dan meletakkan ponsel tersebut di telingaku.

"Tumben sekali Abi meneleponku," gumamku dalam hati.

"Assalamualaikum, Sayang," terdengar ucapan salam dari seorang laki-laki paruh baya di seberang sana. Siapa lagi jika bukan Miftah Hengkara, Abi ku.

"Waalaikumsalam, Abi," jawabku girang, "bagaimana kabar Abi di sana? tumben, Abi menelepon Ana?" sambungku.

"Alhamdulillah, Abi baik. kamu sendiri, bagaimana?" tanya Abi .

"Alhamdulillah, Ana juga baik, Bi," jawabku.

"Abi doang nih yang di tanya kabar?" sambung Aisyah Hengkara, Umi ku.

"Eh, Umi sayang. Ana kira Umi enggak ada, hhhe. Gimana kabar Umi, baik kan?" jawabku tak berdosa.

"Alhamdulillah, Umi juga baik," jawabnya.

"Oh, iya, bang Rafan ke mana? gimana kabarnya?" tanyaku, penasaran. Biasanya, jika umi sedang meneleponku, pasti bang Rafan yang selalu rusuh.

"Ada tuh di kamarnya, lagi ngurusin berkas kantor!" jelas Abi.

"Mau Umi panggil in?" usul Umi.

"Eh, enggak usah, mi. Biarin aja abangnya fokus dulu kerja. Nanti juga kalau Abang rindu, pasti bakal telepon Ana, kok. Salamnya aja buat bang Rafan," tolakku pada Umi, karena takut mengganggu pekerjaan bang Rafan.

"Iya, nanti Umi, salam in sama Abang,"

"Oh, iya, ada apa Abi telepon Ana? Tumben banget. Biasanya juga Umi atau bang Rafan yang suka telepon Ana," tanyaku, karena tidak seperti biasanya Abi meneleponku. Pasalnya, Umi lah yang selalu meneleponku.

"Tidak ada apa-apa kok. Cuma lagi rindu aja sama anak Abi yang satu ini," ucap Abi padaku, yang mampu membuatku terkekeh.

"Jujur saja lah, Bi. Tidak perlu gombalin Ana segala. Ana juga sudah tahu, jika Abi seperti ini, Abi pasti lagi ada maunya sama Ana. Iya kan?" desakku pada Abi. Ya, seperti ini lah Abi, ia akan mengeluarkan semua kata-kata manis jika sedang ada inginnya.

"Wah, anak Abi ini sudah pandai ternyata, hhha," ucap Abi sambil tertawa.

"Ya iyalah, masa mau gitu-gitu aja, hhha," jawabku sembari tertawa, " sudahlah Bi, katakan saja, apa yang Abi inginkan!" desakku pada Abi.

"Jadi begini, Nak, kamu kan sudah lama tinggal di Kairo bersama Abu dan Ummah. Apakah kamu tidak merindukan Umi dan Abi di sini? Tak inginkah kamu pulang ke kampung halamanmu? Atau jangan-jangan kamu sudah melupakan semuanya?" tanya Abi bertubi-tubi. 

Abu dan Ummah adalah orang tua Umi Aisya. Ya, Umi berasal dari Kairo. Umi tinggal di Indonesia karena mengikuti Abi sebagai suaminya. Abi tidak bisa tinggal di Kairo karena Abi memiliki beberapa perusahaan besar di Indonesia, yang tidak bisa di tinggalkan begitu saja. Apalagi perusahaan tersebut Abi sendiri yang rintik dari nol.

"Bukan gitu, Abi. Bukannya Ana sudah melupakan Abi dan Umi atau kampung halaman Ana. Lagi pula, Ana kan 6 bulan lalu baru saja pulang. Nanti juga, jika sudah waktunya, Ana juga akan pulang menemui Abi dan Umi,"

"kapan?" tanya Abi kembali.

"Entahlah, Bi. Ana juga belum tahu, Ana masih betah tinggal di sini bersama Abu dan Ummah. Abi juga tahu kan kalau  beberapa bulan lalu Ana baru saja diterima sebagai pekerja tetap di sebuah perusahaan di sini. Masa Ana harus keluar, kan sayang, Bi," jelasku panjang lebar pada Abi. Berharap jika Abi tidak mempermasalahkan hal ini.

"Iya, Abi juga tahu. Tapikan di sini juga bisa. Jika kamu tidak ingin bekerja di kantor Abi dan membantu abangmu, Abi bisa mengenalkan mu dengan sahabat Abi," bujuk Abi.

"Perasaanku mulai enggak enak nih," gumamku dalam hati.

"Pulanglah, dek! Bantu Abang di sini! Emangnya Adek enggak kasihan apa sama Abang?" kali ini bang Rafan yang bicara.

"Kasihan Abangmu, sayang. Dia udah cape mengurus perusahaan Abi sendirian," jelas Umi

"Biasanya juga kan Abang kerja suka sendiri, enggak suka kalau Ana bantu. Abang ingat gak, dulu aja Ana mau bantu in suka di larang sama Abang. Kenapa sekarang malah menyuruh Ana buat nemenin?" tanyaku.

"Itu kan dulu, dek. Sekarang mah udah beda lagi!" ucap bang Rafan.

"Beda dari mananya, Abang?" protesku

"Ya bedalah, sayang. Dulu kan Adek masih kecil, sekarang mah kan udah besar, jadi beda." jelas bang Rafan.

"Sama aja kali, bang," tegasku.

"Ih, bedalah, dek. Kalau dulu Adek itu masih sekolah, jadi Abang enggak mau ganggu sekolah kamu. Nah, sekarang kan sekolahnya udah lulus, jadi Abang minta bantuan kamu," jelas bang Rafan panjang lebar.

"Tapikan, bang," ucapanku terpotong.

"Ayolah, dek. Abang jemput deh," rayu bang Rafan.

"kok jadi maksa gini!" ujarku.

"Bukannya Abang maksa, sayang." lirih bang Rafan.

"Lah, terus apaan kalau bukan maksa?" ketusku pasalnya aku terasa terpaksa.

"Nyuruh," dengan ringannya bang Rafan berkata.

"Dulu aja, giliran Ana enggak betah di sini dan mau pulang ke Indonesia, enggak boleh. Lah, sekarang, Ana udah betah di sini sama Abu dan Ummah malah di suruh pulang. Egois banget, sih," kesalku.

"Berarti, Adek juga egois dong," timbal bang Rafan.

"Loh, kok Ana?" tanyaku, kesal.

"Ya, iyalah, Adek!" ucap bang Rafan yang mulai kesal. Terdengar dari suaranya yang mulai bernada tinggi.

"Abang lah," ucapku tak mau kalah.

"Adek lah,"

"Abang,"

"Adek,"

"Ih, Abang,"

"Udah-udah, apaan sih kalian ini, kok malah ribut!" ucap Abi, menengahi perdebatan ku dan bang Rafan.

"Abangnya aja nyebelin, egois,"

"Loh, kok malah nyalahin Abang lagi?"

"Ya, terus, Ana harus salah in siapa, Abi? Umi? toh, yang Salakan Abang," cibirku.

"Adek lah,"

"Abang lah,"

"Adek,"

"Abang,"

"Astagfirullah, udah pada gede juga masih aja berantem, enggak malu apa, hah?" kali ini Umi, angkat bicara.

"Gara-gara Adek, sih. Di marah in kan jadinya," sambung bang Rafan.

"Loh, kok Abang malah nyalahin Ana lagi, sih," kesalku

"Memang Adek yang...," ucap bang Rafan yang terpotong oleh Umi.

"Kata Umi kan udah, kenapa masih di lanjut in!" Kesal Umi.

"Adeknya, Mi, ngeselin," adu bang Rafan pada Umi.

"Udah tahu, adeknya kek gitu, masih aja di layani. Udah gede, bukannya ngalah," ucap Umi.

"Dengerin tuh, bang," ucapku dengan bangga karena di bela oleh Umi.

"Adek juga, kalau abangnya ngomong, jangan di bantah," ucap Abi padaku.

"Kedengaran gak, dek?" ledek bang Rafan, yang merasa di bela oleh Abi.

"Ngeselin!" cibirku. 

"Tuh kan, Abi denger sendirikan Adek ngomong apa!" adu bang Rafan pada Abi.

"Ana sayang, sudah ya, jangan membantah lagi. Ana tahukan dosa membantah orang tua seperti apa. Jadi, dengan mohon, Abi menyuruh Ana untuk pulang ke Indonesia. Bantulah Abang Ana di sini, kasihan dia capek mengurus semua perusahan di sini. Apa Ana tidak kasihan pada Abi dan Abang? Lagipula kuliah Ana kan sudah lulus 2 bulan yang lalu. Jadi, tidak ada malah kan?" ucap Abi panjang lebar.

"Pekerjaan Ana bagaimana?" tanyaku.

"Ana kan bisa berhenti." titah Abi.

"Tapi, Abi," bantahku.

"Tidak ada tapi, Ana sayang. Keputusan Abi udah bulat. 1 minggu lagi Abang akan menjemput Ana ke sana sembari silaturahmi kepada abu dan Ummah," ucap Abi.

"1 minggu lagi? Ayolah Abi, berikan Ana waktu lebih lama di sini. Semua terlalu mendadak untuk Ana," lirihku.

"Mendadak bagaimana, bukannya bang Rafan, sudah mengingatkan Ana dari satu bulan yang lalu?" ucap Abi.

"Benar kok, Abi, Rafan sudah mengingatkan adek dari 1 bulan yang lalu," timbal bang Rafan.

"Ana kira bang Rafan cuma becanda waktu itu," jawabku.

"Jadi benarkan bang Rafan sudah memberi tahu Ana 1 bulan yang lalu. Berarti keputusan Abi udah bulat yah, Ana pulang ke Indonesia 1 minggu lagi,"

"Abi sayang, ayolah kasih Ana perpanjangan waktu, jangan 1 minggu. 1 bulan aja gimana? Ayolah, Bi," rengek ku pada Abi.

"Deal, 1 bulan. Tidak ada alasan lagi. Biar nanti bang Rafan yang mengurus kepulangan mu," ucap Abi.

"Baiklah," lirihku.

"Ya, sudah, kalau begitu, Abi tutup telponnya. Jaga diri baik-baik. assalamualaikum," ucap Abi di sebrang sana, sembari mematikan telponnya.

"Waalaikumsalam," jawabku, ketika telpon sudah mati.

###

1 bulan kemudian

Related chapters

  • Cinta karena benci   Back to Indonesian

    1 bulan kemudian.Headset yang masih mengumpal di kedua telingaku. Gurun di Senja hari yang cerah, memancarkan sinar oranye ke segala penjuru pandangan, yang bisa membuat setiap orang terhipnotis dan terpesona. Bulan yang Menikmati keindahan hamparan pasir dan bulan yang termenung menikmati embusan angin, yang dapat membuat wajah tertepa olehnya. Aluran musik instrumental yang berasal dari handphone menjadi soundtrack yang begitu serasi dengan keadaan sekitarnya.Tak terasa, waktu melesat dengan begitu cepat. Dulu aku hannyalah seorang putri manja keluarganya. Berbeda dengan sekarang, si manja yang dulu kini menjelma menjadi putri yang mandiri yang mampu menopang tubuhnya agar tetap tegar berdiri dan melangkah di atas kerasnya hidup di dunia tanpa kasih sayang kedua orang tua. Meski sifat manjanya ini sering kambuh ketika berada bersama keluarganya.Berat rasanya jika harus meninggalkan tempat ini. Begitu banyak ce

    Last Updated : 2021-07-24
  • Cinta karena benci   3 permintaan

    “Eughk...,” lenguhku yang baru saja terbangun dari pingsannya. Di sofa samping ranjangku, ku lihat bang Rafan yang tengah bersandar dengan kedua tangan yang berada di dadanya.“Adek udah sadar?” tanya Bang Rafan yang baru saja terbangun dari duduknya karena mendengar lengukanku. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil.“Aws..., kepalaku,” ucapku sambil memegangi kepala yang tera sakit, ketika aku hendak membenarkan posisiku menjadi duduk.“Kepalanya masih sakit? Udah istirahat dulu aja, jangan terlalu banyak pikiran,” ucapnya hendak menidurkanku kembali.“Cuma dikit kok, enggak papa,” sanggahku yang kekeh ingin duduk. Akhirnya Bang Rafan menuruti keinginanku, dan membantuku untuk duduk.“Dasar keras kepala,” celotehnya, aku hanya memasang bola mata jengah.“Jam berapa?” tanya

    Last Updated : 2021-07-27
  • Cinta karena benci   Permintaan pertama

    Bang Rafan menghentikan mobilnya saat tiba tepat di depan Mansion keluarga Abu Hamka. Bang Rafan segera keluar dari kursi kemudi. Mengitari mobil dengan membuka pintu untukku.“Makasih Abang,” ucap dengan melihat deretan gigi gingsul putihku.“Jang lupa siap-siap. Nanti luka kita pergi ke bandara,” ucapnya mengingatkan.“Iya, bawel,” jawabku malas.Aku berlalu meninggalkan Bang Rafan yang masih berada di belakangku. Ketika sampai di depan pintu utama, di sana sudah berdiri beberapa orang yang menyambut kedatanganku dan Bang Rafan.“Siapa mereka?” gumamku seraya mengatakan satu alisku.“Silakan Tuan, Nyonya,” ucapnya seraya tersenyum ramah padaku, aku hanya balas dengan senyum canggung. Aku menatap bingung ke arah Bang Rafan.“Ayo masuk, itu maid baru di sini. Abang yang pekerjakan mereka untuk

    Last Updated : 2021-07-28
  • Cinta karena benci   Permintaan ke dua

    Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.“

    Last Updated : 2021-07-30
  • Cinta karena benci   Dedek bayi

    Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.‘Hurft...,'“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.&nb

    Last Updated : 2021-08-06
  • Cinta karena benci   Kerjasama dengan Alexsander grouf

    Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me

    Last Updated : 2021-08-09
  • Cinta karena benci   Bertemu dengan Sean Alexander Dinata

    3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be

    Last Updated : 2021-08-11
  • Cinta karena benci   Rencana perjodohan

    “Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak

    Last Updated : 2021-08-12

Latest chapter

  • Cinta karena benci   Sean Alexander Dinata

    Dret... Dret... Dret...,“Nomor tidak di kenal?” gumam Ana ketika melihat nomor Asing meneleponnya. Ragu-ragu Ana mengangkat.“Assalamualaikum,” ucap seorang perempuan di seberang sana.“Waalaikumsalam, dengan siapa ya?” tanya Ana terheran-heran.“Apa benar ini dengan Anaknya bapak Miftah Hengkara?” tanyanya lagi“Benar saya sendiri,” jawab Ana, sedikit khawatir.“Jadi begini, Mbak, Ayah, Ibu, dan kakak mbak sekarang ada di rumah sakit Pelita Jaya,”“Orang tua saya? Apa yang terjadi? Mereka baik-baik saja kan? Apa tidak ada yang serius? Dan siapa tadi? Kakak saya?” cecar Ana yang mulai hanyut dalam kesedihan. Pantas saja, perasaannya dari tadi tidak karuan dan gelisah.“Betul, Mbak. Ayah, Ibu dan kakak Mbak. Sebaiknya, Mbak seger

  • Cinta karena benci   Perampokan

    “Lantas hubungannya dengan saya apa? Kenapa seakan-akan saya juga bersalah di sini,” tanya Sean, tak mengerti.“Coba Lo pikir-pikir lagi. Hal apa yang Lo laku in waktu itu,” suruh Rafan.“Enggak ada kok, Gue yakin,” jawab Sean setelah lama berpikir.“Kalau Lo enggak laku in apa-apa, enggak mungkin Adek Gue sampe ke gitu liat Lo,” ucap Rafan.“Coba kamu pikir-pikir lagi!” suruh papa Reza.“Iya, coba ingat-ingat lagi! Mungkin kamu lupa,” timbal mama Tari.Sean berpikir sejenak, berusaha mengingat kejadian 7 tahun lalu.“Bener kok, Ma, Pa, Sean enggak laku in apa-apa sama Abel. Malahan Sean terakhir bertemu Abel itu 1 Minggu sebelum kejadian itu,” jelas Sean.“Terus hubungannya sama Nak Sean apa?” tanya Umi yang ikut pusing.

  • Cinta karena benci   Serpihan masa lalu

    Ana dan Sean memang telah saling mengenal, mereka belajar di satu sekolah yang sama, tetapi berbeda tingkat. Sean memang tampan, putih, pintar, anaknya menyenangkan diajak ngobrol, postur tubuhnya proporsional, bisa di sebut primadona sekolah waktu itu, banyak orang-orang yang berusaha mendekatinya. Sean merupakan calon suami yang ideal, tetapi hanya satu permasalahannya, Ana tidak mencintainya karena Sean telah membuatnya kecewa.“Selamat malam Om, Tante, kak Se-,” ucapan Ana terhenti ketika pandangannya menatap manik hitam milik Sean.“Ayo duduk, sayang!” titah Abi Miftah.Ana pun hanya bisa diam dan tertunduk lesu di sofa, masih lekat di ingatan Ana tentang kejadian di hari itu, di mana Sean kakak kelasnya yang pernah ia cintai, tiba-tiba membuat Ana kecewa.Dunia terasa runtuh saat itu, bertahun-tahun Ana menghindari Sean, bahkan ia harus pindah negara untuk menghind

  • Cinta karena benci   Perjodohan

    Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar

  • Cinta karena benci   Rencana perjodohan

    “Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak

  • Cinta karena benci   Bertemu dengan Sean Alexander Dinata

    3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be

  • Cinta karena benci   Kerjasama dengan Alexsander grouf

    Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me

  • Cinta karena benci   Dedek bayi

    Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.‘Hurft...,'“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.&nb

  • Cinta karena benci   Permintaan ke dua

    Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.“

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status