“Eughk...,” lenguhku yang baru saja terbangun dari pingsannya. Di sofa samping ranjangku, ku lihat bang Rafan yang tengah bersandar dengan kedua tangan yang berada di dadanya.
“Adek udah sadar?” tanya Bang Rafan yang baru saja terbangun dari duduknya karena mendengar lengukanku. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil.
“Aws..., kepalaku,” ucapku sambil memegangi kepala yang tera sakit, ketika aku hendak membenarkan posisiku menjadi duduk.
“Kepalanya masih sakit? Udah istirahat dulu aja, jangan terlalu banyak pikiran,” ucapnya hendak menidurkanku kembali.
“Cuma dikit kok, enggak papa,” sanggahku yang kekeh ingin duduk. Akhirnya Bang Rafan menuruti keinginanku, dan membantuku untuk duduk.
“Dasar keras kepala,” celotehnya, aku hanya memasang bola mata jengah.
“Jam berapa?” tanyaku.
“18.30,” jawab Bang Rafan sembari melihat arlojinya.
“Astagfirullah, Ana belum Shalat,” ucapku. Sejak kecil, Abi selalu mengajarkan anak-anaknya untuk melaksanakan Shalat lima waktu tepat waktu karena, Shalat itu tiangnya agama dan wajib bagi setiap orang untuk melaksanakannya. Jika anak-anaknya tidak melaksanakan Shalat, Abi tidak akan memberi kami uang jajan.
“ Ya udah, sana Shalat dulu, nanti keburu isya,” suruh Bang Rafan. Aku pun mulai beranjak dari ranjang dan menuju kamar mandi untuk berwudhu.
”Abang udah Shalat? “ tanyaku sebelum masuk kamar mandi.
“Udah, tadi berjamaah ke mesjid sama Abu. Abang ke bawah dulu ya, kalau Ana butuh sesuatu panggil aja Abang,” pesannya. Aku masuk ke kamar mandi setelah bang Rafan berlalu pergi meninggalkan kamarku.
Jam menunjukkan pukul 19.15. Terdengar suara ketukan dari luar.
“Masuk aja, enggak di kunci kok,” seruku di dalam kamar. Tak lama, muncullah bang Rafan dari balik pintu.
“Masih ada yang sakit, enggak?” tanya bang Rafan yang kini tengah duduk di tepi ranjang milikku.
“Enggak, kok,” jawabku dengan gelengan kepala.
“Syukurlah. Ayo kita makan malam, Abu sama Ummah udah menunggu di bawah,” ucap Bang Rafan yang hendak berdiri.
“Abang,”
“Iya, kenapa?” tanya Bang Rafan
“Apa kita jadi pulang?” tanyaku menatap Bang Rafan yang kini tengah berada di depanku.
“Jadi, Cuma enggak tahu kapan. Nunggu Ade mendingan dulu, baru kita pulang,” tuturnya.
“Kalau Ade masih belum sembuh, gimana?” tanyaku dengan mengangkat sebelah alis.
“Kalau kamu masih sakit, Abang akan tetep bawa Adek pulang, kita cari Dokter baru yang bagus di Indonesia, atau kita pulang pergi ke negara lain juga enggak masalah. Berapa pun biayanya, Abang bakalan usaha in, yang penting Adek Abang ini bisa kaya dulu ,” jelasnya panjang lebar.
“Yang benar ah, Abang kan sibuk, enggak ada waktu buat Ana,” jawabku ketus. Pasalnya, Abang itu orang yang rajin dan pekerja keras. Setiap harinya ia akan sibuk dengan pekerjaannya. Hanya hari libur aku dan Abang bisa bermain bersama, itu pun jarang.
“Benar dong, masalah uangmah kecil. Abang kerja dari pagi sampe malem kalau bukan buat keluarga buat siapa lagi. Apalagi buat kamu, nyawa aja Abang rela berkorban,” ucapnya sambil terkekeh.
“Lebay,” aku cubit perutnya hingga Bang Rafan meringis kesakitan.
“Udah ah, ayo makan dulu, nanti kamu sakit lagi. Kasihan Abu sama Ummah udah nunggu dari tadi,” ucap Bang Rafan sembari menarik tanganku untuk pergi.
Kamipun pergi keruang makan untuk makan malam bersama. Satu persatu anak tangga aku lalui. Tangan kekar bang Rafan setia menggandengku dari kamar hingga sampai di ruang makan. Ummah sudah mulai mengalas nasi dan lauk pauk di piring Abu. Lalu, aku duduk di samping Ummah, dan bang Rafan duduk berhadapan dengan Ummah.
Makan malam berlangsung dengan Hidmat. Tidak ada percakapan diantara , karena Abu sangat tidak suka jika ada orang yang makan sembari bercakap-cakap. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring.
Makan malam pun selesai. Aku hendak membantu Ummah untuk membereskan piring kotor ke dapur, tapi Ummah malah melarangku.
“Biar Ummah aja, Adek istirahat,” pinta Ummah.
“Enggak papa, Ummah. Biar Adek bantu. Ade enggak papa kok,” tentangku.
“Sudah, Ana istirahat saja, biar Ummah saja yang beresin. Ada yang ingin Abu bicarakan juga,” pinta Abu. Aku langsung duduk kembali karena tak berani melawan perintah Abu. Bagiku, perintah Abu itu bersifat wajib, tidak ada kata tidak untuk menolaknya. Karena Abu itu tipikal orang yang tidak suka di bantah.
Kami pindah ke ruang keluarga yang tak jauh dari dapur. Ummah masih setia dengan pekerjaannya di dapur, sedangkan Aku, Abu dan bang Rafan Sudah duduk di sofa empuk ruang keluarga.
“Besok Abang anter Konsultasi lagi ya,” ucap bang Rafan, memecah keheningan.
“Iya, Adek di anter Abang aja besok, soalnya Abu sama Ummah ada urusan di luar,” tutur Abu.
“Enggak usahlah, Adek baik-baik saja kok, Abu” tolakku.
“Pokoknya besok Adek di anter Abang pergi lagi ke psikiater,” tegas Abu.
“Tapi Ana enggak suka ke psikiater,” rengekku pada Abu, berharap Abu akan membatalkannya.
“Ana!” Abu menatapku dengan mata tajam.
“Baiklah,” lirihku memasang muka cemberut.
“Makanya kalau enggak mau pergi ke psikiater, Adek harus sembuh, Jangan kek gitu,” ledek Bang Rafan.
“Ana baik-baik kok, Abang,” ucapku. Bang Rafan hanya berohria.
“Kalian jadi pulang kapan?” tanya Abu menatapku dan Bang Rafan silih berganti.
“Abang sih maunya besok lusa, soalnya kerjaan udah numpuk dan banyak berkas yang harus di tandatangani. Tapi liat kondisi Adek dulu kayanya,” jawab bang Rafan.
“Gimana, udah ngabarin Abi kamu belum, kalau kepulangannya di undur?” tanya Abu.
“Udah, tadi Abang yang telepon ke Abi,” jawab bang Rafan.
“Baguslah. Ya sudah, Adek istirahat sana. Abi juga mau istirahat juga, capek,” seru Abu.
“Ya udah Abu, Adek ke kamar dulu,” izinku, lalu pergi menaiki anak tangga, untuk bisa sampai ke kamar.
“Anter jangan?” terik bang Rafan dari ruang keluarga.
“Enggak usah, Ana bisa sendiri kok,” tolakku sembari menoleh ke sumber suara.
“Obatnya jangan lupa di minum,” ucap bang Rafan yang kini tengah berdiri.
“Iya,” ucapku kembali berbalik ke arah bang Rafan yang kini tengah menatapku.
“Adek, cepet!” kesal Bang Rafan yang tengah menungguku bersiap-siap di depan pintu.
“Iya, bentar,” jawabku setengah berteriak. Aku buka pintu dan aku lihat bang Rafan yang sedang berdiri dengan wajah kesalnya karena bosan menungguku.
“Lama banget sih,” ketus Bang Rafan. Pasalnya bang Rafan itu orangnya disiplin enggak kaya aku, orangnya ngaret.
“Iya, maaf. Kaya enggak tahu cewe aja,” jawabku. Bang Rafan masih setia wajah kesalnya. Tidak ada jawaban dari Bang Rafan.
“Abang ih, maaf,” ucapku sembari menggoyangkan tangannya yang sudah berada di depan dadanya.
“Abang, jangan kek gitu mukanya jelek kaya Donald bebek, Adek enggak suka,” ucapku, berharap bang Rafan tertawa karena ucapan ku dan kembali memaafkanku. Bukannya memaafkan, Bang Rafan malah memasang tatapan tajam ke arahku.
“Abang ih, jangan diemin Ana dong,” ucapku kembali menggoyangkan tangannya. Akan tetapi, bang Rafan malah memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Adek kasih 3 permintaan, tapi Abang maafin Adek ya,” usulku asal.
“Oke, Abang setuju. Adek Abang maafin, dan Adek harus ngabulin 3 keinginan abang. Awas aja kalau bohong, Abang kasih hukuman,” ucapnya sembari menyodorkan kelingkingnya.
“Iya, tapi Abang jangan diemin Adek, marahin Adek, pokonya jangan ngelakuin yang Adek enggak suka, gimana?” saranku sebelum menautkan jari kelingkingku ke kelingking bang Rafan.
“Oke, setuju,” seru Bang Rafan yang langsung menyambar jari kelingkingku.
“Oke,”
“Ayo berangkat, nanti keburu siang. Kitakan belum siap-siap buat pulang nanti sore,” ucap Bang Rafan.
“Emang kita jadi pulang nanti lusa!” tanyaku. Pasalnya kemarin bang Rafan menyerahkan keputusan itu padaku.
“Iya dong, jadi. Itukan salah satu permintaan Abang yang pertama,” Ucapnya beranjak pergi meninggalkanku.
“Loh, kok Abang gitu. Jangan-jangan Abang kibulin Ana lagi?” tanyaku sembari berlari mengejar bang Rafan.
“Mungkin,” ucapnya tanpa menoleh ke arahku.
“Abang curang,” kesalku yang kini tengah berada di samping Bang Rafan.
“Sudahlah adekku sayang. Kitakan sudah membuat perjanjian barusan, dan Adek pun menyetujuinya,” jawab bang Rafan sembari merangkul pundakku.
“Ta,” ucapku terpotong.
“Adek tahukan, kalau janji itu adalah,” ucapnya sembari mengangkat sebelah alisnya.
“Hutang,” lirihku.
“Anak pintar,” ucapnya sembari mengusap-usap pucuk kepalaku. Aku hanya berohria mendengar penuturannya.
“Anak pintar,” ucapnya sembari mengusap-usap pucuk kepalaku. Aku hanya berohria mendengar penuturannya.
Bang Rafan menghentikan mobilnya saat tiba tepat di depan Mansion keluarga Abu Hamka. Bang Rafan segera keluar dari kursi kemudi. Mengitari mobil dengan membuka pintu untukku.“Makasih Abang,” ucap dengan melihat deretan gigi gingsul putihku.“Jang lupa siap-siap. Nanti luka kita pergi ke bandara,” ucapnya mengingatkan.“Iya, bawel,” jawabku malas.Aku berlalu meninggalkan Bang Rafan yang masih berada di belakangku. Ketika sampai di depan pintu utama, di sana sudah berdiri beberapa orang yang menyambut kedatanganku dan Bang Rafan.“Siapa mereka?” gumamku seraya mengatakan satu alisku.“Silakan Tuan, Nyonya,” ucapnya seraya tersenyum ramah padaku, aku hanya balas dengan senyum canggung. Aku menatap bingung ke arah Bang Rafan.“Ayo masuk, itu maid baru di sini. Abang yang pekerjakan mereka untuk
Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.“
Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.‘Hurft...,'“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.&nb
Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me
3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be
“Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak
Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar
Ana dan Sean memang telah saling mengenal, mereka belajar di satu sekolah yang sama, tetapi berbeda tingkat. Sean memang tampan, putih, pintar, anaknya menyenangkan diajak ngobrol, postur tubuhnya proporsional, bisa di sebut primadona sekolah waktu itu, banyak orang-orang yang berusaha mendekatinya. Sean merupakan calon suami yang ideal, tetapi hanya satu permasalahannya, Ana tidak mencintainya karena Sean telah membuatnya kecewa.“Selamat malam Om, Tante, kak Se-,” ucapan Ana terhenti ketika pandangannya menatap manik hitam milik Sean.“Ayo duduk, sayang!” titah Abi Miftah.Ana pun hanya bisa diam dan tertunduk lesu di sofa, masih lekat di ingatan Ana tentang kejadian di hari itu, di mana Sean kakak kelasnya yang pernah ia cintai, tiba-tiba membuat Ana kecewa.Dunia terasa runtuh saat itu, bertahun-tahun Ana menghindari Sean, bahkan ia harus pindah negara untuk menghind
Dret... Dret... Dret...,“Nomor tidak di kenal?” gumam Ana ketika melihat nomor Asing meneleponnya. Ragu-ragu Ana mengangkat.“Assalamualaikum,” ucap seorang perempuan di seberang sana.“Waalaikumsalam, dengan siapa ya?” tanya Ana terheran-heran.“Apa benar ini dengan Anaknya bapak Miftah Hengkara?” tanyanya lagi“Benar saya sendiri,” jawab Ana, sedikit khawatir.“Jadi begini, Mbak, Ayah, Ibu, dan kakak mbak sekarang ada di rumah sakit Pelita Jaya,”“Orang tua saya? Apa yang terjadi? Mereka baik-baik saja kan? Apa tidak ada yang serius? Dan siapa tadi? Kakak saya?” cecar Ana yang mulai hanyut dalam kesedihan. Pantas saja, perasaannya dari tadi tidak karuan dan gelisah.“Betul, Mbak. Ayah, Ibu dan kakak Mbak. Sebaiknya, Mbak seger
“Lantas hubungannya dengan saya apa? Kenapa seakan-akan saya juga bersalah di sini,” tanya Sean, tak mengerti.“Coba Lo pikir-pikir lagi. Hal apa yang Lo laku in waktu itu,” suruh Rafan.“Enggak ada kok, Gue yakin,” jawab Sean setelah lama berpikir.“Kalau Lo enggak laku in apa-apa, enggak mungkin Adek Gue sampe ke gitu liat Lo,” ucap Rafan.“Coba kamu pikir-pikir lagi!” suruh papa Reza.“Iya, coba ingat-ingat lagi! Mungkin kamu lupa,” timbal mama Tari.Sean berpikir sejenak, berusaha mengingat kejadian 7 tahun lalu.“Bener kok, Ma, Pa, Sean enggak laku in apa-apa sama Abel. Malahan Sean terakhir bertemu Abel itu 1 Minggu sebelum kejadian itu,” jelas Sean.“Terus hubungannya sama Nak Sean apa?” tanya Umi yang ikut pusing.
Ana dan Sean memang telah saling mengenal, mereka belajar di satu sekolah yang sama, tetapi berbeda tingkat. Sean memang tampan, putih, pintar, anaknya menyenangkan diajak ngobrol, postur tubuhnya proporsional, bisa di sebut primadona sekolah waktu itu, banyak orang-orang yang berusaha mendekatinya. Sean merupakan calon suami yang ideal, tetapi hanya satu permasalahannya, Ana tidak mencintainya karena Sean telah membuatnya kecewa.“Selamat malam Om, Tante, kak Se-,” ucapan Ana terhenti ketika pandangannya menatap manik hitam milik Sean.“Ayo duduk, sayang!” titah Abi Miftah.Ana pun hanya bisa diam dan tertunduk lesu di sofa, masih lekat di ingatan Ana tentang kejadian di hari itu, di mana Sean kakak kelasnya yang pernah ia cintai, tiba-tiba membuat Ana kecewa.Dunia terasa runtuh saat itu, bertahun-tahun Ana menghindari Sean, bahkan ia harus pindah negara untuk menghind
Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar
“Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak
3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be
Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me
Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.‘Hurft...,'“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.&nb
Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.“