Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.
“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.
“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.
“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.
“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.
“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.
“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar
Ana dan Sean memang telah saling mengenal, mereka belajar di satu sekolah yang sama, tetapi berbeda tingkat. Sean memang tampan, putih, pintar, anaknya menyenangkan diajak ngobrol, postur tubuhnya proporsional, bisa di sebut primadona sekolah waktu itu, banyak orang-orang yang berusaha mendekatinya. Sean merupakan calon suami yang ideal, tetapi hanya satu permasalahannya, Ana tidak mencintainya karena Sean telah membuatnya kecewa.“Selamat malam Om, Tante, kak Se-,” ucapan Ana terhenti ketika pandangannya menatap manik hitam milik Sean.“Ayo duduk, sayang!” titah Abi Miftah.Ana pun hanya bisa diam dan tertunduk lesu di sofa, masih lekat di ingatan Ana tentang kejadian di hari itu, di mana Sean kakak kelasnya yang pernah ia cintai, tiba-tiba membuat Ana kecewa.Dunia terasa runtuh saat itu, bertahun-tahun Ana menghindari Sean, bahkan ia harus pindah negara untuk menghind
“Lantas hubungannya dengan saya apa? Kenapa seakan-akan saya juga bersalah di sini,” tanya Sean, tak mengerti.“Coba Lo pikir-pikir lagi. Hal apa yang Lo laku in waktu itu,” suruh Rafan.“Enggak ada kok, Gue yakin,” jawab Sean setelah lama berpikir.“Kalau Lo enggak laku in apa-apa, enggak mungkin Adek Gue sampe ke gitu liat Lo,” ucap Rafan.“Coba kamu pikir-pikir lagi!” suruh papa Reza.“Iya, coba ingat-ingat lagi! Mungkin kamu lupa,” timbal mama Tari.Sean berpikir sejenak, berusaha mengingat kejadian 7 tahun lalu.“Bener kok, Ma, Pa, Sean enggak laku in apa-apa sama Abel. Malahan Sean terakhir bertemu Abel itu 1 Minggu sebelum kejadian itu,” jelas Sean.“Terus hubungannya sama Nak Sean apa?” tanya Umi yang ikut pusing.
Dret... Dret... Dret...,“Nomor tidak di kenal?” gumam Ana ketika melihat nomor Asing meneleponnya. Ragu-ragu Ana mengangkat.“Assalamualaikum,” ucap seorang perempuan di seberang sana.“Waalaikumsalam, dengan siapa ya?” tanya Ana terheran-heran.“Apa benar ini dengan Anaknya bapak Miftah Hengkara?” tanyanya lagi“Benar saya sendiri,” jawab Ana, sedikit khawatir.“Jadi begini, Mbak, Ayah, Ibu, dan kakak mbak sekarang ada di rumah sakit Pelita Jaya,”“Orang tua saya? Apa yang terjadi? Mereka baik-baik saja kan? Apa tidak ada yang serius? Dan siapa tadi? Kakak saya?” cecar Ana yang mulai hanyut dalam kesedihan. Pantas saja, perasaannya dari tadi tidak karuan dan gelisah.“Betul, Mbak. Ayah, Ibu dan kakak Mbak. Sebaiknya, Mbak seger
Dret... Dret... Dret...Tiba-tiba handphone ku berdering. Aku yang merasa handphone berdering pun langsung mengambilnya dan terlihat nama 'Abi sayang' tertera di layar ponselku. Lalu aku langsung menggeser tombol hijau dan meletakkan ponsel tersebut di telingaku."Tumben sekali Abi meneleponku," gumamku dalam hati."Assalamualaikum, Sayang," terdengar ucapan salam dari seorang laki-laki paruh baya di seberang sana. Siapa lagi jika bukan Miftah Hengkara, Abi ku."Waalaikumsalam, Abi," jawabku girang, "bagaimana kabar Abi di sana? tumben, Abi menelepon Ana?" sambungku."Alhamdulillah, Abi baik. kamu sendiri, bagaimana?" tanya Abi ."Alhamdulillah, Ana juga baik, Bi," jawabku."Abi doang nih yang di tanya kabar?" sambung Aisyah Hengkara, Umi ku."Eh, Umi sayang. Ana kira Umi enggak ada, hhhe. Gimana kabar Umi, baik kan?" jawabku tak b
1 bulan kemudian.Headset yang masih mengumpal di kedua telingaku. Gurun di Senja hari yang cerah, memancarkan sinar oranye ke segala penjuru pandangan, yang bisa membuat setiap orang terhipnotis dan terpesona. Bulan yang Menikmati keindahan hamparan pasir dan bulan yang termenung menikmati embusan angin, yang dapat membuat wajah tertepa olehnya. Aluran musik instrumental yang berasal dari handphone menjadi soundtrack yang begitu serasi dengan keadaan sekitarnya.Tak terasa, waktu melesat dengan begitu cepat. Dulu aku hannyalah seorang putri manja keluarganya. Berbeda dengan sekarang, si manja yang dulu kini menjelma menjadi putri yang mandiri yang mampu menopang tubuhnya agar tetap tegar berdiri dan melangkah di atas kerasnya hidup di dunia tanpa kasih sayang kedua orang tua. Meski sifat manjanya ini sering kambuh ketika berada bersama keluarganya.Berat rasanya jika harus meninggalkan tempat ini. Begitu banyak ce
“Eughk...,” lenguhku yang baru saja terbangun dari pingsannya. Di sofa samping ranjangku, ku lihat bang Rafan yang tengah bersandar dengan kedua tangan yang berada di dadanya.“Adek udah sadar?” tanya Bang Rafan yang baru saja terbangun dari duduknya karena mendengar lengukanku. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil.“Aws..., kepalaku,” ucapku sambil memegangi kepala yang tera sakit, ketika aku hendak membenarkan posisiku menjadi duduk.“Kepalanya masih sakit? Udah istirahat dulu aja, jangan terlalu banyak pikiran,” ucapnya hendak menidurkanku kembali.“Cuma dikit kok, enggak papa,” sanggahku yang kekeh ingin duduk. Akhirnya Bang Rafan menuruti keinginanku, dan membantuku untuk duduk.“Dasar keras kepala,” celotehnya, aku hanya memasang bola mata jengah.“Jam berapa?” tanya
Bang Rafan menghentikan mobilnya saat tiba tepat di depan Mansion keluarga Abu Hamka. Bang Rafan segera keluar dari kursi kemudi. Mengitari mobil dengan membuka pintu untukku.“Makasih Abang,” ucap dengan melihat deretan gigi gingsul putihku.“Jang lupa siap-siap. Nanti luka kita pergi ke bandara,” ucapnya mengingatkan.“Iya, bawel,” jawabku malas.Aku berlalu meninggalkan Bang Rafan yang masih berada di belakangku. Ketika sampai di depan pintu utama, di sana sudah berdiri beberapa orang yang menyambut kedatanganku dan Bang Rafan.“Siapa mereka?” gumamku seraya mengatakan satu alisku.“Silakan Tuan, Nyonya,” ucapnya seraya tersenyum ramah padaku, aku hanya balas dengan senyum canggung. Aku menatap bingung ke arah Bang Rafan.“Ayo masuk, itu maid baru di sini. Abang yang pekerjakan mereka untuk
Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.“
Dret... Dret... Dret...,“Nomor tidak di kenal?” gumam Ana ketika melihat nomor Asing meneleponnya. Ragu-ragu Ana mengangkat.“Assalamualaikum,” ucap seorang perempuan di seberang sana.“Waalaikumsalam, dengan siapa ya?” tanya Ana terheran-heran.“Apa benar ini dengan Anaknya bapak Miftah Hengkara?” tanyanya lagi“Benar saya sendiri,” jawab Ana, sedikit khawatir.“Jadi begini, Mbak, Ayah, Ibu, dan kakak mbak sekarang ada di rumah sakit Pelita Jaya,”“Orang tua saya? Apa yang terjadi? Mereka baik-baik saja kan? Apa tidak ada yang serius? Dan siapa tadi? Kakak saya?” cecar Ana yang mulai hanyut dalam kesedihan. Pantas saja, perasaannya dari tadi tidak karuan dan gelisah.“Betul, Mbak. Ayah, Ibu dan kakak Mbak. Sebaiknya, Mbak seger
“Lantas hubungannya dengan saya apa? Kenapa seakan-akan saya juga bersalah di sini,” tanya Sean, tak mengerti.“Coba Lo pikir-pikir lagi. Hal apa yang Lo laku in waktu itu,” suruh Rafan.“Enggak ada kok, Gue yakin,” jawab Sean setelah lama berpikir.“Kalau Lo enggak laku in apa-apa, enggak mungkin Adek Gue sampe ke gitu liat Lo,” ucap Rafan.“Coba kamu pikir-pikir lagi!” suruh papa Reza.“Iya, coba ingat-ingat lagi! Mungkin kamu lupa,” timbal mama Tari.Sean berpikir sejenak, berusaha mengingat kejadian 7 tahun lalu.“Bener kok, Ma, Pa, Sean enggak laku in apa-apa sama Abel. Malahan Sean terakhir bertemu Abel itu 1 Minggu sebelum kejadian itu,” jelas Sean.“Terus hubungannya sama Nak Sean apa?” tanya Umi yang ikut pusing.
Ana dan Sean memang telah saling mengenal, mereka belajar di satu sekolah yang sama, tetapi berbeda tingkat. Sean memang tampan, putih, pintar, anaknya menyenangkan diajak ngobrol, postur tubuhnya proporsional, bisa di sebut primadona sekolah waktu itu, banyak orang-orang yang berusaha mendekatinya. Sean merupakan calon suami yang ideal, tetapi hanya satu permasalahannya, Ana tidak mencintainya karena Sean telah membuatnya kecewa.“Selamat malam Om, Tante, kak Se-,” ucapan Ana terhenti ketika pandangannya menatap manik hitam milik Sean.“Ayo duduk, sayang!” titah Abi Miftah.Ana pun hanya bisa diam dan tertunduk lesu di sofa, masih lekat di ingatan Ana tentang kejadian di hari itu, di mana Sean kakak kelasnya yang pernah ia cintai, tiba-tiba membuat Ana kecewa.Dunia terasa runtuh saat itu, bertahun-tahun Ana menghindari Sean, bahkan ia harus pindah negara untuk menghind
Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar
“Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak
3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be
Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me
Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.‘Hurft...,'“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.&nb
Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.“