Home / Romansa / Cinta karena benci / Permintaan ke dua

Share

Permintaan ke dua

Author: Mustatirr
last update Last Updated: 2021-07-30 13:05:34

Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.

“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.

“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.

“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.

“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.

“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.

“Ya udah, kita berangkat sekarang, Mang. Udah malam soalnya, kasihan Ana,” ucap Bang Rafan sembari menatap ke arahku. Tak perlu buang waktu, Mang Amir langsung mengambil alih barang-barang kami dan memasukkannya ke dalam mobil.

Setelah perjalanan kurang lebih 30 menit, akhirnya kami tiba di depan Rumah. Namun, saat itu juga aku sedikit terkejut. Pasalnya rumah yang aku tinggalkan 7 bulan lalu kini benar-benar berbeda. Rumahku kini sangat mewah bak istana kerajaan.

“Ayo masuk, kok malah bengong,” ucap Bang Rafan yang menyadarkanku dari ke tidak sadaran. 

“A... Apa ini benar rumah Abi, Bang?” tanyaku tak percaya.

“Adek pikir rumah siapa? Tetangga. Ayo ah, masuk udah malam, enggak baik lama-lama di luar, “ ucap bang Rafan seraya menarik tanganku untuk masuk.

“Kapan di renovasinya? Kok Ana enggak tahu,” tanyaku seraya mengekor Bang Rafan.

“1 bulan yang lalu. Gimana mau tahu, Adeknya juga enggak ada di sini,” tuturnya seraya mencubit pipiku yang kini tengah berada di sampingnya.

“Ya, senggaknya kasih tahu di telepon kek,” ucapku.

“Enggak ada waktu, sibuk,” ucap Bang Rafan.

“Nyebelin,” ucapku sembari mencubit tangan kekar Bang Rafan hingga meringis kesakitan.

“Sakit tahu, Dek,” ucap Bang Rafan sembari mengelus-elus tangannya yang aku cubit.

“Rasa in,” ketusku

“Silakan Den, Neng,” ucap mbok Sri dan beberapa maid lainnya. Lalu di ambil barang-barang yang sudah ada di ambang pintu.

“Terima kasih, Mbok,” ucapku seraya membungkukkan sedikit badanku sebagai tanda terima kasih.

“Nah, itu si Abang sama Adek, Bi. Umi udah sangat merindukannya!” Umi yang sudah tidak sabar langsung menghampiriku.

“Umi,” teriakku. Bang Rafan yang mendengar suaraku segera menutup telinganya, sedangkan Abi hanya tertawa melihatku dan Umi yang tengah berlari.

“Bukannya ucap salam, malah teriak-teriak,” seru Bang Rafan yang aku hiraukan.

“Sayang,” ucap Umi seraya mencium semua inci wajahku dan berlanjut memelukku. Buliran likuid terlihat di pelupuk matanya.

“Ana sangat merindukan Umi,” ucapku yang masih setia memeluk Umi. Tak terasa tetesan demi tetesan air jatuh begitu saja dari pelupuk mata.

“Umi juga sangat merindukan Ana,” ucap Umi seraya mendongkrak wajahku, “kamu baik-baik sajikan?” tanya Umi seraya memutar-mutarkan badanku.

“Umi, Ana pusing kalau terus-terusan Umi putar-putar. Lagian Ana enggak papa kok,” ucapku. Sontak, Abi, Umi dan Bang Rafan tertawa mendengar ucapanku.

“Ajak duduk dulu dong Adeknya, kasihan baru datang, pasti dia capek,” ucap Abi yang sedang duduk di ruang keluarga.

Kami kemudian berjalan menuju ruang keluarga. Aku yang masih setia memeluk Umi, sedangkan Bang Rafan sudah lebih dulu berjalan di depan kami untuk menghampiri dan menyalami tangan Abi.

“Yang katanya enggak mau pulang, tapi masih aja setia peluk Uminya dari tadi,” sindir Umi. Aku hanya memasang muka datar dan terus mencari sisi nyaman di pelukan Umi yang sedang duduk.

“Kalau terus Umi peluk Umi, terus kapan peluk Abi?” tanya Abi dengan nada cemburu.

“Besok aja,” ucapku asal.

“Gini nih kalau udah ketemu Umi, Abi pasti di lupa in. Apa harus Abi umpetin dulu Uminya, supaya Adek ingat sama Abi,” tanya Abi seraya mengangkat-angkatkan alisnya.

“Ih, enggak boleh, Abi,” ucapku sembari memper erat pelukanku kepada Umi.

“Abi juga kan mau di peluk sama Ana,” goda Abi.

“Abi di peluknya sama Bang Rafan aja dulu,” usulku sembari melirik ke arah Bang Rafan.

“Bosan peluk Abang terus, mana lagi si Abang jarang mandi lagi, bau,” ejek Abi seraya terkekeh.

“Ih, asal aja Abi kali ngomong. Abang mandi 7 kali sehari, mana ada bau,” jawab bang Rafan. Abi hanya makin terkekeh mendengar ucapan Bang Rafan di ikuti Umi yang terkekeh.

“Kalau Adek enggak mau peluk Abi, biarin Umi aja yang peluk Abi,” ucap Abi.

“Kata Ana kan enggak boleh, Abi,” tegasku.

“Tapi Abi mau. Ayok Bang!” ucap Abi seraya memberi kode kepada Bang Rafan dengan menaikkan dua alisnya. Aku hanya terheran-heran melihat mereka, entah apa yang akan mereka lakukan.

“Ayok, Bi,” Bang Rafan merespons kode dari Abi.

Tidak menunggu lama, Abi dan Bang Rafan menghampiriku dan Umi. Memaksa kami untuk saling melepaskan pelukan. Abi menarik Umi, sedangkan Bang Rafan menarikku. Karena kekuatanku yang tidak seberapa di bandingkan kekuatan bang Rafan, akhirnya pelukanku dan Umi lepas.

“Ih, Abang apaan sih, lepasin,” ucapku yang kini berada di pelukan Bang Rafan.

“Hmmm,”

“Umi,” lirihku yang berusaha melepaskan diri dari pelukan Bang Rafan. Di sisi lain, Umi sedang menatapku dengan posisi di peluk oleh Abi dari belakang.

“Apaan sih, Dek. Ini Abangmu kali, bukan culik,” ucap Bang Rafan.

Hiks... Hiks... Hiks...,

“Udah ah, kasihan Adek,” ucap Umi seraya menghampiriku yang tengah di peluk oleh Bang Rafan dan mengambil alihku. Di ikuti Abi yang mengekor di belakang umi dan ikut memelukku bersama Umi.

“Di Kairo udah 7 tahun ditambah lulus S1, dikira udah berubah, eh masih aja kek bocah,” ucap Bang Rafan.

“Hus, Ana bakal tetap jadi Putri kecil Umi,” ucap Umi seraya mengelus-elus pucuk kepalaku yang terhalang hijab.

“Kapan gedenya, Mi,” tanya Bang Rafan sembari memijit pelipisnya.

“Nanti kalau udah Abi nikahin,” ujar Abi.

Mataku membulat sempurna setelah mendengar penuturan Abi. Entah apa yang sebenarnya Abi rencanakan. Rasanya aku masih terlalu kecil untuk melangsungkan pernikahan.

“Ana istirahat gih, udah malam,” suruh Umi. Aku mengangguk setuju. Pasalnya aku sudah capek dan ngantuk.

“Udah jangan nangis, maaf in Abi sama Bang Rafan. Abi dan Abang hanya rindu bermain-main dengan Ana, itu saja,” ucap Abi sembari mengusap sisa-sisa air di pipiku. Aku hanya mengangguk.

“Iya, maaf in Abang ya,” ucap Bang Rafan membenarkan ucapan Abi. Elusan lembut kembali mendarat di pucuk kepalaku.

“Ya udah sana tidur, biar Umi antar ke kamar,” titah Abi sembari mencium keningku.

Aku dan Umi pun berlalu meninggalkan Abi dan Bang Rafan di ruang keluarga dan berjalan menuju ke lantai atas. Setelah mengantarkanku sampai kamar, Umi memutuskan untuk pergi kembali.

Aku Baringkan tubuhku di ranjang King size milikku yang sudah 7 bulan aku tinggalkan. Tapi tidak ada yang berbeda, semua tampak sama sebelum aku pergi. Aku Amati setiap sudut, tidak ada yang berbeda dari kamarku. Hanya saja tembok yang sudah cat dengan warna yang sama, terlihat dari warnanya yang masih cerah.

Tak terasa, rasa kantuk kini kian menguasa tubuhku, hingga akhirnya kesadaranku pergi ke alam mimpi.

“Adek, bangun udah siang, ayo kita sarapan,” ajak Umi seraya  membuka gorden kamarku, yang membuat cahaya sang Surya masuk begitu saja ke kamarku.

“Eughk...,”

“Ayo cepat mandi, Abi udah nunggu di meja makan,” ucap Umi yang berlalu begitu saja.

Tak butuh waktu lama, akhirnya aku selesai dengan ritual mandiku. Hari ini aku memakai baju gamis berwarna Moca dengan kerudung senada. Aku poles sedikit wajahku dengan make-up tipis. Pasalnya, hari ini Bang Rafan akan mengajakku jalan-jalan sebagai permintaan ke duanya.

“Lama,” ketus Bang Rafan. Aku hanya beroharia saja, takku pedulikan Bang Rafan yang berada di hadapanku. 

Hanya ada bunyi sendok dan piring yang menemani sarapan pagi ini. Tak butuh waktu lama, kami pun selesai sarapan. Dengan gesitnya, mbok Sri membereskan meja makan dan membawa piring kotor ke dapur untuk dicuci.

“Kita pergi dulu, Abi, Umi,” pamit Bang Rafan seraya menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Aku mengekor dari belakang.

Kurang lebih 30 menit, akhirnya Bang Rafan menghentikan mobilnya tepat di depan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Ya, kini kami sudah berada di kawasan HK grouf, perusahaan milik Abi Miftah Hengkara yang kini di pimpin oleh Rafan Putra Hengkara, Abangku.

“Loh, kok kita ke sini sih. Bukannya Abang mau mengajak Ana jalan-jalan?” tanyaku.

“Betul sekali. Memang Abang membawa Adek ke sini buat jalan-jalan,” jawab bang Rafan.

“Mana ada jalan-jalan ke kantor. Jalan-jalan tuh ke mal, taman, pantai, aneh banget sih. Kalau tahu gini, Ana enggak bakalan ikut deh,” ucapku sebal.

“Lupa, ya. Inikan permintaan ke dua Abang,” ucap Bang Rafan mengingatkan.

“Ta-,”

“Adek kan udah janji. Sedangkan janji itu kan,” ucap Bang Rafan yang terhenti karena aku potong.

“Ancam aja terus,” gerutuku kesal.

“Abang hanya mengingatkan, bukannya mengancam,”  ucap Bang Rafan membenarkan.

“Oke, Ana ACC permintaan ke duanya,” pasrahku

“Oke, mulai sekarang, Adek resmi jadi sekretaris Abang,” ucap Bang Rafan seraya merangkul pundakku.

“Terserah,” ketusku.

“Yang ikhlas, biar jadi pahala,” ucap Bang Rafan.

“Iya, ini juga ikhlas kok,” jawabku sembari memberi senyum manis kepada Bang Rafan meskipun  sedikit terpaksa.

“Ayo masuk,” ajak Bang Rafan.

Related chapters

  • Cinta karena benci   Dedek bayi

    Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.‘Hurft...,'“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.&nb

    Last Updated : 2021-08-06
  • Cinta karena benci   Kerjasama dengan Alexsander grouf

    Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me

    Last Updated : 2021-08-09
  • Cinta karena benci   Bertemu dengan Sean Alexander Dinata

    3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be

    Last Updated : 2021-08-11
  • Cinta karena benci   Rencana perjodohan

    “Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak

    Last Updated : 2021-08-12
  • Cinta karena benci   Perjodohan

    Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar

    Last Updated : 2021-08-13
  • Cinta karena benci   Serpihan masa lalu

    Ana dan Sean memang telah saling mengenal, mereka belajar di satu sekolah yang sama, tetapi berbeda tingkat. Sean memang tampan, putih, pintar, anaknya menyenangkan diajak ngobrol, postur tubuhnya proporsional, bisa di sebut primadona sekolah waktu itu, banyak orang-orang yang berusaha mendekatinya. Sean merupakan calon suami yang ideal, tetapi hanya satu permasalahannya, Ana tidak mencintainya karena Sean telah membuatnya kecewa.“Selamat malam Om, Tante, kak Se-,” ucapan Ana terhenti ketika pandangannya menatap manik hitam milik Sean.“Ayo duduk, sayang!” titah Abi Miftah.Ana pun hanya bisa diam dan tertunduk lesu di sofa, masih lekat di ingatan Ana tentang kejadian di hari itu, di mana Sean kakak kelasnya yang pernah ia cintai, tiba-tiba membuat Ana kecewa.Dunia terasa runtuh saat itu, bertahun-tahun Ana menghindari Sean, bahkan ia harus pindah negara untuk menghind

    Last Updated : 2021-08-14
  • Cinta karena benci   Perampokan

    “Lantas hubungannya dengan saya apa? Kenapa seakan-akan saya juga bersalah di sini,” tanya Sean, tak mengerti.“Coba Lo pikir-pikir lagi. Hal apa yang Lo laku in waktu itu,” suruh Rafan.“Enggak ada kok, Gue yakin,” jawab Sean setelah lama berpikir.“Kalau Lo enggak laku in apa-apa, enggak mungkin Adek Gue sampe ke gitu liat Lo,” ucap Rafan.“Coba kamu pikir-pikir lagi!” suruh papa Reza.“Iya, coba ingat-ingat lagi! Mungkin kamu lupa,” timbal mama Tari.Sean berpikir sejenak, berusaha mengingat kejadian 7 tahun lalu.“Bener kok, Ma, Pa, Sean enggak laku in apa-apa sama Abel. Malahan Sean terakhir bertemu Abel itu 1 Minggu sebelum kejadian itu,” jelas Sean.“Terus hubungannya sama Nak Sean apa?” tanya Umi yang ikut pusing.

    Last Updated : 2021-08-15
  • Cinta karena benci   Sean Alexander Dinata

    Dret... Dret... Dret...,“Nomor tidak di kenal?” gumam Ana ketika melihat nomor Asing meneleponnya. Ragu-ragu Ana mengangkat.“Assalamualaikum,” ucap seorang perempuan di seberang sana.“Waalaikumsalam, dengan siapa ya?” tanya Ana terheran-heran.“Apa benar ini dengan Anaknya bapak Miftah Hengkara?” tanyanya lagi“Benar saya sendiri,” jawab Ana, sedikit khawatir.“Jadi begini, Mbak, Ayah, Ibu, dan kakak mbak sekarang ada di rumah sakit Pelita Jaya,”“Orang tua saya? Apa yang terjadi? Mereka baik-baik saja kan? Apa tidak ada yang serius? Dan siapa tadi? Kakak saya?” cecar Ana yang mulai hanyut dalam kesedihan. Pantas saja, perasaannya dari tadi tidak karuan dan gelisah.“Betul, Mbak. Ayah, Ibu dan kakak Mbak. Sebaiknya, Mbak seger

    Last Updated : 2021-08-16

Latest chapter

  • Cinta karena benci   Sean Alexander Dinata

    Dret... Dret... Dret...,“Nomor tidak di kenal?” gumam Ana ketika melihat nomor Asing meneleponnya. Ragu-ragu Ana mengangkat.“Assalamualaikum,” ucap seorang perempuan di seberang sana.“Waalaikumsalam, dengan siapa ya?” tanya Ana terheran-heran.“Apa benar ini dengan Anaknya bapak Miftah Hengkara?” tanyanya lagi“Benar saya sendiri,” jawab Ana, sedikit khawatir.“Jadi begini, Mbak, Ayah, Ibu, dan kakak mbak sekarang ada di rumah sakit Pelita Jaya,”“Orang tua saya? Apa yang terjadi? Mereka baik-baik saja kan? Apa tidak ada yang serius? Dan siapa tadi? Kakak saya?” cecar Ana yang mulai hanyut dalam kesedihan. Pantas saja, perasaannya dari tadi tidak karuan dan gelisah.“Betul, Mbak. Ayah, Ibu dan kakak Mbak. Sebaiknya, Mbak seger

  • Cinta karena benci   Perampokan

    “Lantas hubungannya dengan saya apa? Kenapa seakan-akan saya juga bersalah di sini,” tanya Sean, tak mengerti.“Coba Lo pikir-pikir lagi. Hal apa yang Lo laku in waktu itu,” suruh Rafan.“Enggak ada kok, Gue yakin,” jawab Sean setelah lama berpikir.“Kalau Lo enggak laku in apa-apa, enggak mungkin Adek Gue sampe ke gitu liat Lo,” ucap Rafan.“Coba kamu pikir-pikir lagi!” suruh papa Reza.“Iya, coba ingat-ingat lagi! Mungkin kamu lupa,” timbal mama Tari.Sean berpikir sejenak, berusaha mengingat kejadian 7 tahun lalu.“Bener kok, Ma, Pa, Sean enggak laku in apa-apa sama Abel. Malahan Sean terakhir bertemu Abel itu 1 Minggu sebelum kejadian itu,” jelas Sean.“Terus hubungannya sama Nak Sean apa?” tanya Umi yang ikut pusing.

  • Cinta karena benci   Serpihan masa lalu

    Ana dan Sean memang telah saling mengenal, mereka belajar di satu sekolah yang sama, tetapi berbeda tingkat. Sean memang tampan, putih, pintar, anaknya menyenangkan diajak ngobrol, postur tubuhnya proporsional, bisa di sebut primadona sekolah waktu itu, banyak orang-orang yang berusaha mendekatinya. Sean merupakan calon suami yang ideal, tetapi hanya satu permasalahannya, Ana tidak mencintainya karena Sean telah membuatnya kecewa.“Selamat malam Om, Tante, kak Se-,” ucapan Ana terhenti ketika pandangannya menatap manik hitam milik Sean.“Ayo duduk, sayang!” titah Abi Miftah.Ana pun hanya bisa diam dan tertunduk lesu di sofa, masih lekat di ingatan Ana tentang kejadian di hari itu, di mana Sean kakak kelasnya yang pernah ia cintai, tiba-tiba membuat Ana kecewa.Dunia terasa runtuh saat itu, bertahun-tahun Ana menghindari Sean, bahkan ia harus pindah negara untuk menghind

  • Cinta karena benci   Perjodohan

    Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar

  • Cinta karena benci   Rencana perjodohan

    “Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak

  • Cinta karena benci   Bertemu dengan Sean Alexander Dinata

    3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be

  • Cinta karena benci   Kerjasama dengan Alexsander grouf

    Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me

  • Cinta karena benci   Dedek bayi

    Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.‘Hurft...,'“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.&nb

  • Cinta karena benci   Permintaan ke dua

    Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.“

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status