Share

Dedek bayi

Author: Mustatirr
last update Last Updated: 2021-08-06 18:36:27

Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.

‘Hurft...,' 

 

“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.

 

“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.

 

“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.

 

“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.

 

“Dengerin bukan malah ih, ih,” ketus bang Rafan.

 

“Apaan sih, Bang. Masih marah yah? Kan Adek udah minta maaf tadi,” ucapku memelas.

 

“Maaf aja enggak cukup, Dek,” jawab Bang Rafan.

 

“Terus Adek harus gimana? Jungkel-jungkel? Gelindingan? Ayun-ayunan? Perosotan? Jungkat-jungkit? Lar...,”

 

“Enggak, enggak, enggak. Liatin aja nanti,” potong Bang Rafan seraya senyum devil.

 

“Dasar pendendam," ujarku.

 

“Bukan dendam, Cuma mau ngasih tahu Adek aja gimana rasanya di gituin. Biar mikir,” ketus Bang Rafan.

 

“Sama aja kali, Bang.  ‘Sesungguhnya lelaki yang paling dibenci Allah ialah yang paling gigih dalam permusuhan’ Hadits riwayat Bukhari dan Muslim,” ucapku. Sedangkan Bang Rafan hanya berohria saja.

 

“Kalian tuh kenapa sih ribut mulu. Emang enggak bisa gitu akur?” kesal Umi yang sedari tadi menyimak perdebatanku.

 

“Enggak,” jawabku dan Bang Rafan kompak seraya menggelengkan kepala.

 

“Inalillahi,” lirih Umi seraya mengusap kasar wajahnya.

 

“Sabar, Mi,” ucap Abi sembari mengusap-usap punggung Umi.

 

“Emang masalahnya kenapa?” tanya Umi.

 

“Masa ya, Mi, tadi di kantor Adek nempelin permen karet di rambut Abang. Gimana enggak sebel coba. Untung enggak ada yang liat, kalau ada yang liat reputasi Abang akan menurun di kantor,” adu Bang Rafan.

 

“Lebay,” ucapku tak berdosa.

 

“Liat ini, rambut Abang jadi pitak begini, untung Abang ganteng kalau enggak, mau di taro di mana ini muka. Pokonya Adek tanggung jawab,” ucap Bang Rafan.

 

“Cuma rambut doang kok, Bang. Besok juga tumbuh lagi. Lagi pula pitaknya juga Cuma dikit, enggak bakal kelihatan kali,” ucapku.

 

“Liat aja besok, kalau rambut Adek botak jangan nangis,” ucap Bang Rafan seraya tersenyum devil.

 

“Awas aja kalau Abang berani nyentuh rambut Adek. Dikit aja Abang sentuh rambut Adek, Ana enggak segan-segan buat sunat Abang,” ancamku.

 

“Loh, kok jadi Adek yang ngancem. Katanya kan tadi, besok juga rambut mah bakalan tumbuh lagi. Jadi enggak masalah dong, biar kita pitak barengan, lucu kali ya, hahah,” ucap Bang Rafan.

 

“Lucu dari Hongkong. Enggak ada ya kita pitak barengang. Kalau pitak ya pitak aja sendiri, enggak usah bawa-bawa Adek segala,” jawabku.

 

“Liat aja besok,” ucap Bang Rafan sembari tersenyum devil.

 

“Awas aja kalau berani macem-macem,”ucapku seraya memelototi Bang Rafan agar mengurungkan niat buruknya.

 

“Terserah Abang dong,”

 

“Abang,” teriakku, kesal.

 

“Ber,“ ucap bang Rafan yang terpotong oleh Abi.

 

"Udah cukup!” ucap Abi menengahi kami yang sedang berselisih.

 

“Abang sih,”

 

“Adek lah,”

 

“Abang,”

 

“Adek,”

 

“Astaghfirullah. Udah berisik, mau Abi Botakin kalian berdua? Biar Upin Ipin ada temen baru” kesal Abi. Akhirnya aku dan Bang Rafan diam. Hanya tatap mata saja yang berseteru.

 

“Apa Abi sama Umi salah ngadonan dulu. Bisa-bisanya yang keluar kek gini semua,” ucap Umi seraya menggelengkan kepalanya, prustasi.

 

“Kayanya gitu, Mi. Kita buat aja lagi yang baru, Mi, gimana?” tanya Abi seraya mengangkat sebelah alisnya.

 

“Abi!” teriakku dan Bang Rafan.

 

“Hahahh,” tawa Abi dan Umi pecah.

 

“Enggak, Adek enggak mau punya Adik bayi,” tolakku sembari menggelengkan kepala.

 

“Abang juga enggak mau. Cukup Ana aja satu, enggak perlu ada Ana dua. Bisa kejang-kejang Abang nanti,” tegas Bang Rafan.

 

“Terserah kita dong, toh kita yang buat ya, Mi,” ucap Abi menatap Umi. Umi membalas dengan anggukan.

 

“Enggak ada kaya gitu ya, Umi, Abi. Pokonya malam ini Umi tidur bareng Adek,” ucapku, tegas.

 

“Lah, terus Abi tidur sama siapa?”

 

“Sama Bang Rafan aja,” ucapku seraya mengangkat sebelah alisku kepada Bang Rafan.

 

“Iya, Abi tidur sama Abang aja. Lagi , kita kan udah lama enggak tidur bareng. Iyakan, Bi?” ucap Bang Rafan.

 

“Males banget Abi harus tidur sama kamu, Bang. Mendingan tidur sama Umi,” jawab Abi, tegas.

 

“Enggak boleh,” ucapku dan Bang Rafan kompak, seraya berdiri dari duduk kami.

 

“Terserah Abi dong, itu kan hak Abi. Kenapa jadi kalian yang atur,” ucap Abi.

 

“Pokonya enggak boleh,” ucapku, tegas.

 

“Kalau enggak mau Abi sama Umi yang kasih dedek bayi, ya udah kalian yang kasih dedek bayi buat kita,” ucap Abi.

 

“Abang aja yang kasih, Abang kan udah tua,” ucapku.

 

“Sembarangan kalau ngomong, Abang masih muda kek gini di sebut tua. Adek aja,” ucap Bang Rafan.

 

“Ana masih kecil, enggak boleh dedek-dedekan,”

 

“Enggak boleh tuh kalau belum nikah, kalau udah nikah ah boleh,” ucap Umi.

 

“Ana masih kecil, Umi,” tegasku.

 

“Kecil dari mana?” tanya Abang.

 

“Harusnya tuh Abang dulu yang nikah, kan Abang. Adek kan enggak boleh duluin Abang,” ucapku.

 

“Tapi enggak papa kalau Abangnya ikhlas Adek yang duluan,” ucap Abi.

 

“Abang ikhlas kok, Bi,” ucap Bang Rafan tak berdosa.

 

“Tapi Adek yang enggak ikhlas,” ujarku.

 

“Ya udah, kalau kalian enggak mau, biar Abi sama Umi aja yang kasih dedek bayi” ucap Abi enteng.

 

“Enggak boleh,” ucapku dan bang Rafan kompak.

 

"Kalau enggak boleh, ya enggak boleh," timbalku.

 

"Kalau enggak boleh, makanya kalian yang kasih dedek bayinya sama Abi," ucap Abi.

 

   "Ayo dong Bang, kasih Abi sama Umi dedek bayi," ucapku dramatis pada Bang Rafan.

 

"Adek pikir buat bayi, mudah? Harus urus itulah, itulah, susah tau," Ucap Bang Rafan.

 

"Susahnya dimana, Abang tinggal nikah, biar nanti Adek yang bantu urus ini itunya," ucapku asal.

 

"Calonnya yang susah, hiks," ucap Bang Rafan dramatis.

 

"Katanya ganteng, tapi pacar aja enggak punya, payah," ucapku.

 

"Emang Adek punya?"  tanya Bang Rafan.

 

"Emh, punya," kilahku.

 

"Nah itu punya, jadi Adek aja yang kasih Abi sama Umi dedek bayi," ucap Bang Rafan.

 

"Enggak mau, tadi Adek bohong kok. Adek enggak punya pacar, suer," ucapku seraya mengangkat tangan membentuk huruf V.

 

"Biar nanti Abang cariin om duda buat Adek, haha" ucapnya sambil terkekeh.

 

"Ogah," 

 

"Pokonya Minggu depan kamu, nikah," ucap Bang Rafan.

 

"Sembarangan," ucapku seraya menjitak kepala Bang Rafan.

 

"Sakit, Dek," ucap Bang Rafan seraya meringis kesakitan.

 

"Bodo amat," ketusku.

 

"Ayo, Mi. Kita pergi," ucap Abi sembari menarik tangan Umi.

 

"Mau kemana," tanyaku.

 

"Tidurlah, ini udah malam. Abi ngantuk," jawab Abi.

 

"Umi tidur sama Adek, Bi," ucapku sembari menarik tangan Umi.

 

"Enggak ada, Umi tidurnya sama Abi," tolak Abi.

 

"Enggak-enggak, Abi tidur sama Abang, biarin Umi tidur sama Adek," ucap Bang Rafan.

 

"Apaan sih kalian ini, giliran ngerecokin Abi sama Uminya aja kompaknya luar biasa," ucap Umi.

 

"Harus dong," ucapku yang di angguki Bang Rafan.

 

"Awas minggir, Abi sama Umi mau ke kamar," ucap Abi.

 

"Engak boleh," ucapku.

 

"Eh, Alva, kapan pulang?" ucap Umi sembari melirik ke arah pintu utama. Aku dan Bang Rafan pun ikut melirik ke arah pintu utama. Tapi hasilnya nihil, malahan pintu masih tertutup rapat.

 

"Umi!" teriakku tatkala aku melihat Umi dan Abi sedang berlari ke arah kamarnya.

 

"Tidur sana, udah malam," suruh Abi saat  akan membuka hendel pintu. Aku dan Bang Rafan berlari ke arah mereka, tapi saat kami sampai pintu tersebut keburu tertutup.

 

"Abi, pula pintunya," ujar Bang Rafan sembari menggedor-gedor pintu kamar Abi dan Umi.

 

"Umi, keluar," teriakku sembari menggedor-gedor pintu.

 

"Berisik, udah malam," teriak Umi dari dalam kamar.

 

"Makanya keluar," jawabku dari luar.

 

"Sana tidur, jangan ganggu Abi sama Umi buat dedek bayi," kali ini Abi yang teriak dari dalam kamar.

 

"Abi," teriakku dan Bang Rafan, kesal.

 

"Keluar cepet. Kalau enggak keluar Adek sama Abang enggak bakal berhenti gedor pintunya," Ancam Bang Rafan.

 

"Terserah," teriak Abi dalam kamar.

 

"Pelan-pelan, Bi, sakit," ucap Umi seraya meringis kesakitan di dalam kamar.

 

"Abi!"

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Harsia
lanjooootttt thorrr
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Cinta karena benci   Kerjasama dengan Alexsander grouf

    Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me

    Last Updated : 2021-08-09
  • Cinta karena benci   Bertemu dengan Sean Alexander Dinata

    3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be

    Last Updated : 2021-08-11
  • Cinta karena benci   Rencana perjodohan

    “Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak

    Last Updated : 2021-08-12
  • Cinta karena benci   Perjodohan

    Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar

    Last Updated : 2021-08-13
  • Cinta karena benci   Serpihan masa lalu

    Ana dan Sean memang telah saling mengenal, mereka belajar di satu sekolah yang sama, tetapi berbeda tingkat. Sean memang tampan, putih, pintar, anaknya menyenangkan diajak ngobrol, postur tubuhnya proporsional, bisa di sebut primadona sekolah waktu itu, banyak orang-orang yang berusaha mendekatinya. Sean merupakan calon suami yang ideal, tetapi hanya satu permasalahannya, Ana tidak mencintainya karena Sean telah membuatnya kecewa.“Selamat malam Om, Tante, kak Se-,” ucapan Ana terhenti ketika pandangannya menatap manik hitam milik Sean.“Ayo duduk, sayang!” titah Abi Miftah.Ana pun hanya bisa diam dan tertunduk lesu di sofa, masih lekat di ingatan Ana tentang kejadian di hari itu, di mana Sean kakak kelasnya yang pernah ia cintai, tiba-tiba membuat Ana kecewa.Dunia terasa runtuh saat itu, bertahun-tahun Ana menghindari Sean, bahkan ia harus pindah negara untuk menghind

    Last Updated : 2021-08-14
  • Cinta karena benci   Perampokan

    “Lantas hubungannya dengan saya apa? Kenapa seakan-akan saya juga bersalah di sini,” tanya Sean, tak mengerti.“Coba Lo pikir-pikir lagi. Hal apa yang Lo laku in waktu itu,” suruh Rafan.“Enggak ada kok, Gue yakin,” jawab Sean setelah lama berpikir.“Kalau Lo enggak laku in apa-apa, enggak mungkin Adek Gue sampe ke gitu liat Lo,” ucap Rafan.“Coba kamu pikir-pikir lagi!” suruh papa Reza.“Iya, coba ingat-ingat lagi! Mungkin kamu lupa,” timbal mama Tari.Sean berpikir sejenak, berusaha mengingat kejadian 7 tahun lalu.“Bener kok, Ma, Pa, Sean enggak laku in apa-apa sama Abel. Malahan Sean terakhir bertemu Abel itu 1 Minggu sebelum kejadian itu,” jelas Sean.“Terus hubungannya sama Nak Sean apa?” tanya Umi yang ikut pusing.

    Last Updated : 2021-08-15
  • Cinta karena benci   Sean Alexander Dinata

    Dret... Dret... Dret...,“Nomor tidak di kenal?” gumam Ana ketika melihat nomor Asing meneleponnya. Ragu-ragu Ana mengangkat.“Assalamualaikum,” ucap seorang perempuan di seberang sana.“Waalaikumsalam, dengan siapa ya?” tanya Ana terheran-heran.“Apa benar ini dengan Anaknya bapak Miftah Hengkara?” tanyanya lagi“Benar saya sendiri,” jawab Ana, sedikit khawatir.“Jadi begini, Mbak, Ayah, Ibu, dan kakak mbak sekarang ada di rumah sakit Pelita Jaya,”“Orang tua saya? Apa yang terjadi? Mereka baik-baik saja kan? Apa tidak ada yang serius? Dan siapa tadi? Kakak saya?” cecar Ana yang mulai hanyut dalam kesedihan. Pantas saja, perasaannya dari tadi tidak karuan dan gelisah.“Betul, Mbak. Ayah, Ibu dan kakak Mbak. Sebaiknya, Mbak seger

    Last Updated : 2021-08-16
  • Cinta karena benci   Telepon dari Abi

    Dret... Dret... Dret...Tiba-tiba handphone ku berdering. Aku yang merasa handphone berdering pun langsung mengambilnya dan terlihat nama 'Abi sayang' tertera di layar ponselku. Lalu aku langsung menggeser tombol hijau dan meletakkan ponsel tersebut di telingaku."Tumben sekali Abi meneleponku," gumamku dalam hati."Assalamualaikum, Sayang," terdengar ucapan salam dari seorang laki-laki paruh baya di seberang sana. Siapa lagi jika bukan Miftah Hengkara, Abi ku."Waalaikumsalam, Abi," jawabku girang, "bagaimana kabar Abi di sana? tumben, Abi menelepon Ana?" sambungku."Alhamdulillah, Abi baik. kamu sendiri, bagaimana?" tanya Abi ."Alhamdulillah, Ana juga baik, Bi," jawabku."Abi doang nih yang di tanya kabar?" sambung Aisyah Hengkara, Umi ku."Eh, Umi sayang. Ana kira Umi enggak ada, hhhe. Gimana kabar Umi, baik kan?" jawabku tak b

    Last Updated : 2021-07-24

Latest chapter

  • Cinta karena benci   Sean Alexander Dinata

    Dret... Dret... Dret...,“Nomor tidak di kenal?” gumam Ana ketika melihat nomor Asing meneleponnya. Ragu-ragu Ana mengangkat.“Assalamualaikum,” ucap seorang perempuan di seberang sana.“Waalaikumsalam, dengan siapa ya?” tanya Ana terheran-heran.“Apa benar ini dengan Anaknya bapak Miftah Hengkara?” tanyanya lagi“Benar saya sendiri,” jawab Ana, sedikit khawatir.“Jadi begini, Mbak, Ayah, Ibu, dan kakak mbak sekarang ada di rumah sakit Pelita Jaya,”“Orang tua saya? Apa yang terjadi? Mereka baik-baik saja kan? Apa tidak ada yang serius? Dan siapa tadi? Kakak saya?” cecar Ana yang mulai hanyut dalam kesedihan. Pantas saja, perasaannya dari tadi tidak karuan dan gelisah.“Betul, Mbak. Ayah, Ibu dan kakak Mbak. Sebaiknya, Mbak seger

  • Cinta karena benci   Perampokan

    “Lantas hubungannya dengan saya apa? Kenapa seakan-akan saya juga bersalah di sini,” tanya Sean, tak mengerti.“Coba Lo pikir-pikir lagi. Hal apa yang Lo laku in waktu itu,” suruh Rafan.“Enggak ada kok, Gue yakin,” jawab Sean setelah lama berpikir.“Kalau Lo enggak laku in apa-apa, enggak mungkin Adek Gue sampe ke gitu liat Lo,” ucap Rafan.“Coba kamu pikir-pikir lagi!” suruh papa Reza.“Iya, coba ingat-ingat lagi! Mungkin kamu lupa,” timbal mama Tari.Sean berpikir sejenak, berusaha mengingat kejadian 7 tahun lalu.“Bener kok, Ma, Pa, Sean enggak laku in apa-apa sama Abel. Malahan Sean terakhir bertemu Abel itu 1 Minggu sebelum kejadian itu,” jelas Sean.“Terus hubungannya sama Nak Sean apa?” tanya Umi yang ikut pusing.

  • Cinta karena benci   Serpihan masa lalu

    Ana dan Sean memang telah saling mengenal, mereka belajar di satu sekolah yang sama, tetapi berbeda tingkat. Sean memang tampan, putih, pintar, anaknya menyenangkan diajak ngobrol, postur tubuhnya proporsional, bisa di sebut primadona sekolah waktu itu, banyak orang-orang yang berusaha mendekatinya. Sean merupakan calon suami yang ideal, tetapi hanya satu permasalahannya, Ana tidak mencintainya karena Sean telah membuatnya kecewa.“Selamat malam Om, Tante, kak Se-,” ucapan Ana terhenti ketika pandangannya menatap manik hitam milik Sean.“Ayo duduk, sayang!” titah Abi Miftah.Ana pun hanya bisa diam dan tertunduk lesu di sofa, masih lekat di ingatan Ana tentang kejadian di hari itu, di mana Sean kakak kelasnya yang pernah ia cintai, tiba-tiba membuat Ana kecewa.Dunia terasa runtuh saat itu, bertahun-tahun Ana menghindari Sean, bahkan ia harus pindah negara untuk menghind

  • Cinta karena benci   Perjodohan

    Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar

  • Cinta karena benci   Rencana perjodohan

    “Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak

  • Cinta karena benci   Bertemu dengan Sean Alexander Dinata

    3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be

  • Cinta karena benci   Kerjasama dengan Alexsander grouf

    Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me

  • Cinta karena benci   Dedek bayi

    Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.‘Hurft...,'“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.&nb

  • Cinta karena benci   Permintaan ke dua

    Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.“

DMCA.com Protection Status