Bang Rafan menghentikan mobilnya saat tiba tepat di depan Mansion keluarga Abu Hamka. Bang Rafan segera keluar dari kursi kemudi. Mengitari mobil dengan membuka pintu untukku.
“Makasih Abang,” ucap dengan melihat deretan gigi gingsul putihku
.
“Jang lupa siap-siap. Nanti luka kita pergi ke bandara,” ucapnya mengingatkan.
“Iya, bawel,” jawabku malas.
Aku berlalu meninggalkan Bang Rafan yang masih berada di belakangku. Ketika sampai di depan pintu utama, di sana sudah berdiri beberapa orang yang menyambut kedatanganku dan Bang Rafan.
“Siapa mereka?” gumamku seraya mengatakan satu alisku.
“Silakan Tuan, Nyonya,” ucapnya seraya tersenyum ramah padaku, aku hanya balas dengan senyum canggung. Aku menatap bingung ke arah Bang Rafan.
“Ayo masuk, itu maid baru di sini. Abang yang pekerjakan mereka untuk membantu Abu dan Ummah di sini selama kamu di Indonesia,” tutur Bang Rafan seraya menarik tanganku untuk segera masuk.
“Sejak kapan Abang kerjakan mereka? Mencari maid dimana? Perasaan dari kemarin-kemarin, Abang selalu dengan Ana,” ucapku bingung.
“Sejak tadi, waktu kamu lagi konsultasi dengan psikiater. Kenapa harus ribet-ribet kalau punya tangan kanan. Lagi pula kenalan Abang di sini banyak,” tuturnya.
“Sombong,” ejekku.
“Bukannya sombong, memang kebenarannya seperti itu, kok. Ya udah sana, beres-beres, nanti keburu sore,” titah Bang Rafan.
“Ya udah, Ana ke kamar dulu,” ucapku yang hanya di jawab dengan anggukan.
Setelah sampai di kamar, dan mulai mengemasi semua barang yang akan aku bawa. Dirasa sudah selesai, Aku jatuhkan badangku ke kasur king seze berwarna biru laut itu untuk beristirahat sejenak. Entah kenapa, aku sangat menyukai warna tersebut. Perlahan, mataini menutup begitu saja.
“Dek, bangun!” panggil Bang Rafan sembari menepuk-nepuk pipiku.
Aku hanya menggeliat sejenak, lalu menarik selimut untuk menutupi semua badanku.
“Asli ni, enggak mau bangun? Abang jewer nih. Satu... Dua... Ti...,” Bang Rafan bergumam geram, kemudian mengangkat tangan kanannya dan bersiap menarik telingaku. Sebelum itu terjadi, aku memutuskan untuk bangun.
“Hoam... Iya, iya, Ana bangun,” ucapku sembari mengucek-ngucek kedua mataku dengan tangan.
“Udah Shalat belum? udah mau asar tuh,” ucap Bang Rafan.
“Adek lagi enggak Shalat,” jawabku.
“Ya udah, mandi dulu sana! 2 jam lagi kita berangkat ke bandara,” tutur bang Rafan yang membuat melongo.
“2 jam lagi?” ulangku, memastikan.
“Iya, makanya cepetan mandi, terus periksa lagi barang-barang yang mau di bawa, takutnya nanti ada yang ketinggalan. Nanti Adek ngerengek lagi suruh di ambilin,” oceh Bang Rafan.
“Abu sama Ummah udah pulang?” tanyaku.
“Udah barusan. Di bawah juga udah ada Om Ali, Om Yusuf sama tante Zahra. Katanya mereka ingin ketemu sama Ana,” tutur Bang Rafan.
Om Ali, Om Yusuf dan Tante Zahra adalah anak dari Abu Hamka dan Ummah Aisyah. Mereka memang jarang berada di Rumah karena beberapa urusan.
Om Ali yang sibuk dengan bisnisnya di Turki. Om Yusuf yang sibuk di salah satu Rumah sakit terbesar di Tarim sebagai dokter bedah. Tante Zahra yang sedang meneruskan jenjang pendidikan S2 nya di Inggris. Dan kebetulan sekali sekarang Om Ali dan om Yusuf sedang mengambil cuti. Sedangkan Tante Zahra, ia sedang libur semester 1 Minggu lalu. Dan mereka memutuskan untuk pulang bersamaan ke sini.
“Sejak kapan mereka ke sini? Kok Ana enggak tahu” tanyaku.
“Mau tahu bagaimana, tidurnya aja kaya kebo gitu,” ucapnya asal. Refleks, aku lempar bantal yang berada di sampingku ke arah Bang Rafan. Dengan lihainya, Bang Rafan menangkap bantal itu dengan cepat sebelum mengenainya.
“Udah sana, keluar. Ana mau mandi,” aku dorong tubuh kekarnya untuk keluar dari kamarku.
“Abang juga bisa jalan sendiri kali, enggak perlu di dorong-dorongan segala kaya orang lagi sakit. Marah nih?” tanyanya, tapi aku abaikan. Aku tutup pintu dengan keras setelah Bang Rafan keluar dari kamar.
JEBLAG...,
“Istigfar Dek,” teriaknya dari luar.
Tap... Tap... Tap...,
“Om, Tante!” teriakku. Aku menuruni setiap anak tangga. Semua mata memandang ke arahku. Entah apa yang mereka lihat. Yang jelas mereka sedang menatapku.
“Adek,” teriak Om Yusuf seraya merentangkan kedua tangannya. Aku berlari ke Arahnya dan aku balas pelukannya. Aku memang lebih dekat dengan Om Yusuf daripada anak Abu Hamka yang lainnya.
“Cuma Om Yusuf aja nih yang di peluk,” sindir Om Ali seraya meletakkan tangannya ke dada dengan memalingkan pandangannya ke arah lain.
“Gitulah kalau jadi kesayangan, selalu di utamakan,” timbal Tante Zahra dengan memasang muka cemberut.
“Ah Tante cembulu ya, ututuww sini Dedek peluk juga,” ucapku gelis seraya merentangkan tangan ke arah Tante Zahra, dan kami pun berpelukan.
“Om Ali juga cemburu tahu,” ketus Om Ali.
“Om Ali juga mau dipeluk? Ya udah sini!” seruku seraya melepaskan pelukanku dengan Tante Zahra dan berganti memeluk Om Ali.
“Oleh-oleh buat Adek mana?” tanyaku sembari mendongak wajahku ke arah Om Ali dan sesekali menatap Om Yusuf dan Tante Zahra.
“Astagfirullah, Om Ali lupa, Dek,” ucap Om Ali seraya memukul pelan keningnya.
“Ah, Om Ali mah kebiasaan,” jawabku ketus.
“Gitu aja cemberut, ini ada kok, tenang aja,” sambung Om Ali.
“Mana,” ucapku dengan menyodorkan tangan. Seketika, tanganku penuh dengan kado dari Om Ali, Om Yusuf dan Tante Zahra.
“Makasih,” ucapku sambil memasang muka cantik dengan senyum merekah di bibir. Mereka hanya beroharia saja menanggapiku.
“Jadi pulang kapan?” tanya Abu tiba-tiba. Aku melirik Bang Rafan untuk menjawab.
“1 jam lagi, Abu,” jawab Bang Rafan.
“Udah siap-siap belum?” kini Ummah yang bertanya seraya menatapku.
“Udah kok, Ummah,” lirihku tak bersemangat. Pasalnya aku belum siap meninggalkan mereka, tapi aku juga sangat rindu Abi dan Umi di Indonesia.
“Loh, kok mukanya di tekuk?” tanya Tante Zahra.
“Adek sedih harus ninggalin kalian di sini,” lirihku.
“Kenapa harus sedih, Adekkan masih bisa ke sini kapan aja,” usul Abu.
“Iya, tapikan,”
“Nanti kalau Ade rindu, Abang janji temenin Adek kesini,” ucap Bang Rafan seraya mengacungkan kelingkingnya.
“Janji, ya,” ucapku seraya menyatukan kelingkingku dan kelingking Bang Rafan.
“Nanti kita juga main ke sana, kalau lagi libur. Iya kan Abu, Ummah, Abang?” tanya Tante Zahra menatap Abu, Ummah, Om Ali dan Om Yusuf bergantian. Mereka hanya mengangguk setuju.
“Awas aja kalau bohong,” ancamku.
“Iya, tenang aja. Kami bukan tipe orang pembohong kok,” ucap Om Ali diiringi kekehan. Kami pun ikut terkekeh mendengar penuturannya.
"Oh iya, Bang. Makasih udah memperkejakan maid di sini. Padahal mah enggak perlu repot-repot, Ummah juga bisa kok sendiri," tutur Ummah.
"Enggak papa kok, Ummah. Enggak ngerepotin juga. Abang malah seneng ada yang bantu Ummmah di sini, jawab bang Rafan.
"Sekali lagi terimakasih," ucap Ummah yang di balas anggukan oleh bang Rafan.
“Ya udah, sana. Bawa barang-barangnya kesini. Biar enggak ribet nanti kalau mau pergi,” suruh Abu. Bang Rafan mengangguk dan pergi ke lantai atas untuk mengambil barang-barangku dan barang-barangnya. Aku hanya duduk menunggu bersama Abu, Ummah, Om Ali, Om Yusuf dan Tante Zahra di ruang keluarga.
“Abang langsung masukan ke mobil aja,” izin Bang Rafan. Lalu kembali duduk di antara kami lagi setelah selesai memasukkan barang-barang kami ke mobil.
“Udah pukul 17.00 kayanya kita harus berangkat sekarang deh, Abu, Ummah,” ucap Bang Rafan setelah melihat arloji di tangannya.
“Ya udah, hati-hati di jalan,” ucap Abu.
“Jaga diri baik-baik ya, sayang,” ucap Ummah sembari memelukku.
“Ummah juga jaga diri. Kalau ada apa-apa kasi tahu Ana,” ucapku sembari memeluk erat Ummah.
Aku peluk mereka satu persatu. Pelukan berakhir hingga Tante Zahra yang berada di paling ujung. Di ikuti oleh Bang Rafan di belakangku.
“Kita pergi ya,” ucap Bang Rafan sembari menggandeng tanganku.
“Assalamualaikum,” ucapku seraya melambaikan tangan ke arah mereka. Tak terasa air yang berada di pelupuk mataku, kini jatuh dengan derasnya, setelah aku menahannya begitu lama.
“Waalaikumsalam,” ucap mereka serentak seraya membalas lambaian tanganku.
Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.“
Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.‘Hurft...,'“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.&nb
Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me
3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be
“Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak
Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar
Ana dan Sean memang telah saling mengenal, mereka belajar di satu sekolah yang sama, tetapi berbeda tingkat. Sean memang tampan, putih, pintar, anaknya menyenangkan diajak ngobrol, postur tubuhnya proporsional, bisa di sebut primadona sekolah waktu itu, banyak orang-orang yang berusaha mendekatinya. Sean merupakan calon suami yang ideal, tetapi hanya satu permasalahannya, Ana tidak mencintainya karena Sean telah membuatnya kecewa.“Selamat malam Om, Tante, kak Se-,” ucapan Ana terhenti ketika pandangannya menatap manik hitam milik Sean.“Ayo duduk, sayang!” titah Abi Miftah.Ana pun hanya bisa diam dan tertunduk lesu di sofa, masih lekat di ingatan Ana tentang kejadian di hari itu, di mana Sean kakak kelasnya yang pernah ia cintai, tiba-tiba membuat Ana kecewa.Dunia terasa runtuh saat itu, bertahun-tahun Ana menghindari Sean, bahkan ia harus pindah negara untuk menghind
“Lantas hubungannya dengan saya apa? Kenapa seakan-akan saya juga bersalah di sini,” tanya Sean, tak mengerti.“Coba Lo pikir-pikir lagi. Hal apa yang Lo laku in waktu itu,” suruh Rafan.“Enggak ada kok, Gue yakin,” jawab Sean setelah lama berpikir.“Kalau Lo enggak laku in apa-apa, enggak mungkin Adek Gue sampe ke gitu liat Lo,” ucap Rafan.“Coba kamu pikir-pikir lagi!” suruh papa Reza.“Iya, coba ingat-ingat lagi! Mungkin kamu lupa,” timbal mama Tari.Sean berpikir sejenak, berusaha mengingat kejadian 7 tahun lalu.“Bener kok, Ma, Pa, Sean enggak laku in apa-apa sama Abel. Malahan Sean terakhir bertemu Abel itu 1 Minggu sebelum kejadian itu,” jelas Sean.“Terus hubungannya sama Nak Sean apa?” tanya Umi yang ikut pusing.
Dret... Dret... Dret...,“Nomor tidak di kenal?” gumam Ana ketika melihat nomor Asing meneleponnya. Ragu-ragu Ana mengangkat.“Assalamualaikum,” ucap seorang perempuan di seberang sana.“Waalaikumsalam, dengan siapa ya?” tanya Ana terheran-heran.“Apa benar ini dengan Anaknya bapak Miftah Hengkara?” tanyanya lagi“Benar saya sendiri,” jawab Ana, sedikit khawatir.“Jadi begini, Mbak, Ayah, Ibu, dan kakak mbak sekarang ada di rumah sakit Pelita Jaya,”“Orang tua saya? Apa yang terjadi? Mereka baik-baik saja kan? Apa tidak ada yang serius? Dan siapa tadi? Kakak saya?” cecar Ana yang mulai hanyut dalam kesedihan. Pantas saja, perasaannya dari tadi tidak karuan dan gelisah.“Betul, Mbak. Ayah, Ibu dan kakak Mbak. Sebaiknya, Mbak seger
“Lantas hubungannya dengan saya apa? Kenapa seakan-akan saya juga bersalah di sini,” tanya Sean, tak mengerti.“Coba Lo pikir-pikir lagi. Hal apa yang Lo laku in waktu itu,” suruh Rafan.“Enggak ada kok, Gue yakin,” jawab Sean setelah lama berpikir.“Kalau Lo enggak laku in apa-apa, enggak mungkin Adek Gue sampe ke gitu liat Lo,” ucap Rafan.“Coba kamu pikir-pikir lagi!” suruh papa Reza.“Iya, coba ingat-ingat lagi! Mungkin kamu lupa,” timbal mama Tari.Sean berpikir sejenak, berusaha mengingat kejadian 7 tahun lalu.“Bener kok, Ma, Pa, Sean enggak laku in apa-apa sama Abel. Malahan Sean terakhir bertemu Abel itu 1 Minggu sebelum kejadian itu,” jelas Sean.“Terus hubungannya sama Nak Sean apa?” tanya Umi yang ikut pusing.
Ana dan Sean memang telah saling mengenal, mereka belajar di satu sekolah yang sama, tetapi berbeda tingkat. Sean memang tampan, putih, pintar, anaknya menyenangkan diajak ngobrol, postur tubuhnya proporsional, bisa di sebut primadona sekolah waktu itu, banyak orang-orang yang berusaha mendekatinya. Sean merupakan calon suami yang ideal, tetapi hanya satu permasalahannya, Ana tidak mencintainya karena Sean telah membuatnya kecewa.“Selamat malam Om, Tante, kak Se-,” ucapan Ana terhenti ketika pandangannya menatap manik hitam milik Sean.“Ayo duduk, sayang!” titah Abi Miftah.Ana pun hanya bisa diam dan tertunduk lesu di sofa, masih lekat di ingatan Ana tentang kejadian di hari itu, di mana Sean kakak kelasnya yang pernah ia cintai, tiba-tiba membuat Ana kecewa.Dunia terasa runtuh saat itu, bertahun-tahun Ana menghindari Sean, bahkan ia harus pindah negara untuk menghind
Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar
“Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak
3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be
Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me
Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.‘Hurft...,'“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.&nb
Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.“