1 bulan kemudian.
Headset yang masih mengumpal di kedua telingaku. Gurun di Senja hari yang cerah, memancarkan sinar oranye ke segala penjuru pandangan, yang bisa membuat setiap orang terhipnotis dan terpesona. Bulan yang Menikmati keindahan hamparan pasir dan bulan yang termenung menikmati embusan angin, yang dapat membuat wajah tertepa olehnya. Aluran musik instrumental yang berasal dari handphone menjadi soundtrack yang begitu serasi dengan keadaan sekitarnya.
Tak terasa, waktu melesat dengan begitu cepat. Dulu aku hannyalah seorang putri manja keluarganya. Berbeda dengan sekarang, si manja yang dulu kini menjelma menjadi putri yang mandiri yang mampu menopang tubuhnya agar tetap tegar berdiri dan melangkah di atas kerasnya hidup di dunia tanpa kasih sayang kedua orang tua. Meski sifat manjanya ini sering kambuh ketika berada bersama keluarganya.
Berat rasanya jika harus meninggalkan tempat ini. Begitu banyak cerita di sini. Suka dan duka sudah aku rasakan di sini selama aku SMA hingga sekarang aku lulus dengan gelar S1 di Kairo. Tempat yang bertahun-tahun membuatku bersemangat untuk menjalankan hidup setelah keterpurukkan di masa lalu.
Apakah semua kisah kasih yang sudahku rajut selama ini di sini harus aku tinggalkan begitu saja? Sungguh, ini sangat sulit untukku. Aku harus meninggalkan negara yang telah menyembuhkanku dari luka masa lalu dan aku harus menetap di negara yang membuatku luka selama bertahun-tahun, meskipun aku tahu jika itu adalah negara kelahiranku tapi tetap saja rasanya sangat sulit.
Sering kali memori di masa itu terputar kembali dalam pikiranku saat aku berada di negara kelahiranku, Indonesia. Ketika aku mulai mengingatnya, kepalaku sakit seperti di tusuk pisau yang tumpul, hatiku perih seperti luka yang di taburi garam dan air keras, tubuhku lemas seperti tak mempunyai tulang. Akankah aku merasakannya kembali?
‘Oh tuhan, aku tidak ingin pergi dari tempat ini, tapi aku juga tidak ingin membuat orang tuaku kecewa,' ucap batinku dengan mata terpejam.
"Dek!" panggil seorang laki-laki yang berhasil membuyarkan lamunanku. Aku tak berniat menoleh ke sumber suara dan memilih fokus ke arah jendela.
“Dek!” panggilnya lagi.
"Iya, kenapa?" ucapku sekilas menoleh ke sumber suara. Terlihat bang Rafan, yang kini tengah berada di ambang pintu.
"Udah siap-siapnya belum?" tanya bang Rafan yang masih berada di ambang pintu.
"Udah kok, bang!" jawabku datar tanpa menoleh ke sumber suara.
"Lagi ngapain, hah?" bukannya menjawab, ia malah balik bertanya. Perlahan, kakinya mulai melangkah mendekatiku dan duduk di sampingku. Tangannya mulai mendongkak kepalaku supaya aku dapat menatapnya.
"Enggak lagi ngapa-ngapain, kok. Cuma liat in pemandangan aja," lirihku, kembali menatap ke luar jendela. Saat ini aku tepat berada di depan jendela yang mengarah ke arah perkotaan yang padat. Kebetulan, kamarku berada di lantai atas jadi semua pemandangan di sekitar rumah dapat ter ekspos dengan jelas. Tak tegak rasanya, jika aku harus meninggalkan tempat ini, apalagi Abu dan Ummah.
“Coba sini liat Abang! Kan yang ngomongnya ada di sini bukan di luar,” ucapnya sembari membenarkan posisi dudukku yang tadinya bersebelahan dengannya sekarang menjadi berhadapan.
“Hem...,”
"Abang ke sini untuk bawa Adek pulang, bukan mau buat Adek sedih. Coba jujur, Adek kenapa? kok sedih, sih?" tanya bang Rafan yang melihatku sedih. Ia lalu duduk di sebelahku dan perlahan mendongak wajahku agar menatapnya.
"Adek enggak papa, kok," jawabku sembari di barengi gelengan kecil.
"Jangan bohong! Kenapa, hah? Ade enggak mau pulang ke Indonesia bareng Abang?” tanyanya sembari mendongkak kepalaku yang sedari tadi menunduk.
“Bukan gitu,” jawabku
“terus?” tanya bang Rafan sembari menaikkan sebelah alisnya.
“Ana,” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, bang Rafan dengan gesitnya memotong.
“Ana kenapa? Sakit? Mana yang sakit? Kasih tahu Abang mana yang sakit? Adek sakit ap...,” cerocos bang Rafan yang membuatku kesal tingkat akut.
“Abang!” ucapku sedikit berteriak agar bang Rafan berhenti berceloteh.
“Oke, maaf,” ucapnya sembari mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V.
“Jadi, Adek tuh kenapa?” sambungnya.
“Ana takut tidak bisa mengontrol diri Ana di sana, bang. Ana enggak kuat,” lirihku.
“Adek kan di sini udah konsultasi ke psikiater beberapa tahun, Bukannya udah sembuh?” tanyanya.
“Iya, memang, tapi ketika Abi menyuruh Ana untuk kembali ke Indonesia, memori itu kembali lagi, dan itu sangat menyakitkan bagi Ana, sampai-sampai Ana harus meminum obat Ani nyeri,” lirihku. Tak terasa buliran likuid jatuh dari pelupuk mata.
“Ayolah Dek, jangan terus membebani pikiranmu sendiri. Lupakan semuanya, lagi pula kejadian itu juga sudah 6 tahun yang lalu. Cobalah untuk melupakannya,” ucapnya. Kedua tangannya menungkup wajahku dan mengusap derai air di pipiku.
“Ana udah mencobanya, bang, tapi tetap saja itu sangat sulit bagi Ana. Hiks...,” jawabku dengan di barengi isakan.
“Sudah, jangan menangis lagi. Abang enggak suka kalau liat Adek nangis,” ucapnya. Di bawalah aku dalam dekapan hangatnya. Tangisku semakin menjadi di dekapan bang Rafan. Bang Rafan mengeratkan pelukannya ketika mendengar tangisanku semakin menjadi.
“Aw..., Hiks...,” Rintihan sakit terlontar dari mulutku secara tiba-tiba tatkala memori itu berputar di pikiranku.
“Dek, kamu kenapa?” tanya bang Rafan, khawatir. Melihatku yang kesakitan, bang Rafan sangat panik dan ia ikut menangi dengan posisi masih memelukku.
“Sakit, Bang. Aw...,” teriakku histeris sembari memegang kepalaku yang terasa sakit. Karena tak kuat menahan rasa sakit, akhirnya aku tak sadarkan diri di pelukan bang Rafan.
“Dek!” panggil bang Rafan sembari menepuk-nepuk pipiku yang sembab karena menangis. Karena tidak mendapat respons dariku, bang Rafan langsung menggendongku dan membaringkanku di atas ranjang king size.
“Abu, Ummah!” teriak Rafan setengah keluar dari ambang pintu, berharap jika Abu dan Ummah mendengar seruannya.
Belum sempat bang Rafan bicara, Abu sudah mendahuluinya dengan berbagai macam pertanyaan.
“Ada apa? Kenapa Abang teriak-teriak? Kasian Ana nanti bangun karena teriakanmu,” tanya Abu, khawatir. Abu belum sadar jika sesuatu telah terjadi pada mereka.
“Iya, Abang kenapa? Abis nangis ya?” tanya Ummah sembari mengamati setiap inci muka bang Rafan yang tengah berdiri di samping ranjangku.
“Loh, Adek juga kenapa itu? Kok pipinya sembab seperti orang yang sudah menangis,” lanjut Ummah setelah melihat ke arahku. Ummah berjalan mendekatiku yang sedang terbaring di ranjang.
“Ummah, Adek pingsan,” ucap bang Rafan.
“Loh, kenapa enggak ngomong dari tadi bang,” omel Abu sembari mengitari ranjang untuk mengecek keadaanku bersama Ummah.
“Mau gimana Rafan ngomong, kalau dari tadi Abu sama Ummah enggak kasih izin Rafan buat ngomong,” kesal Rafan.
“Abu, cepet telepon dokter Kanaya,” pinta Ummah pada Abu. Abu pun langsung keluar untuk menelepon dokter Kanaya. Setelah selesai menelepon, Abu langsung masuk ke dalam kamar kembali.
Dokter Kanaya adalah dokter keluarga Abu Hamka. Tak hanya dokter keluarga, dokter Kanaya juga merupakan kerabat dekat Abu, tepatnya anak dari adiknya Abu. Selama ini, dokter Kanaya lah yang membantu pengobatanku selain dari dokter psikiater di sini.
“Ummah, apakah Adek sering seperti ini?” tanya bang Rafan yang tengah duduk di tepi ranjangku.
“Udah sekian lama sih enggak pernah kaya gini lagi. Tapi setelah Miftah menelepon Adek untuk menetap di Indonesia, Adek sering mengalami seperti ini lagi. Entah apa penyebabnya, Ummah juga kurang tahu. Mungkin karena mental Adek belum siap untuk tinggal di negara yang membuatnya trauma, jadi Ana seperti ini,” jelas Ummah panjang lebar.
“Kenapa Abu sama Ummah enggak kasih tahu Abang kalau Adek sering kaya gini,” desak Rafan.
“Tadinya Abu sama Ummah juga ingin kasih tahu, Cuma Adek bilang enggak usah takutnya kalian di sana pada khawatir. Sampai-sampai Adek mengancam Abu sama Ummah, jika kami beri tahu kondisinya ia enggak mau berobat lagi. Dari pada gitu, lebih baik Abu dan Ummah tutup mulut aja,” jawab Abu tak kalah panjang dan lebar.
“Assalamualaikum,” ucap dokter Kanaya yang tiba-tiba muncul di balik pintu.
“Waalaikumsalam,”
“Ana kenapa lagi, Ummah?” tanya dokter Kanaya yang sekarang tengah berada di sampingku dan siap untuk memeriksaku.
“Biasalah, Kay. Si memori buruk datang tiba-tiba,” celetuk Abi.
“Ya sudah, Kay izin periksa dulu, ya,” izin Kanaya. Mereka hanya mengangguk setuju.
“Bagaimana, Kay?” kali ini Rafan yang bertanya.
“Tenang aja Raf, Ana enggak papa kok. Udah aku kasih obat penenang juga, bentar lagi juga sadar,” jawab Kanaya.
“Memangnya tidak ada obat yang langsung buat Ana sembuh apa, Kay?” tanya Rafan.
“Mana ada bang, semua butuh proses. Tapi kalau Ana sendiri bisa melupakannya dan mengikhlaskannya mungkin bisa sedikit membantu,” jawab Kanaya.
"Ya sudah, kalau gitu Kay izin pergi, soalnya masih ada pasien yang sudah nunggu Kay. Oh, iya, itu obatnya jangan lupa di minum dan jangan dulu mengungkit masa lalunya, kasihan Ana,” pesan kanannya pada mereka.
“Makasih ya, Kay,” ucap Rafan.
“Iya, sama-sama. Ya udah, Kay pergi dulu, ya, assalamualaikum,” ucap Kanaya, berlalu pergi dari kamaku.
“Hati-hati,” pesan bang Rafan. Kanaya hanya membalas dengan acungan jempol.
“Eughk...,” lenguhku yang baru saja terbangun dari pingsannya. Di sofa samping ranjangku, ku lihat bang Rafan yang tengah bersandar dengan kedua tangan yang berada di dadanya.“Adek udah sadar?” tanya Bang Rafan yang baru saja terbangun dari duduknya karena mendengar lengukanku. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil.“Aws..., kepalaku,” ucapku sambil memegangi kepala yang tera sakit, ketika aku hendak membenarkan posisiku menjadi duduk.“Kepalanya masih sakit? Udah istirahat dulu aja, jangan terlalu banyak pikiran,” ucapnya hendak menidurkanku kembali.“Cuma dikit kok, enggak papa,” sanggahku yang kekeh ingin duduk. Akhirnya Bang Rafan menuruti keinginanku, dan membantuku untuk duduk.“Dasar keras kepala,” celotehnya, aku hanya memasang bola mata jengah.“Jam berapa?” tanya
Bang Rafan menghentikan mobilnya saat tiba tepat di depan Mansion keluarga Abu Hamka. Bang Rafan segera keluar dari kursi kemudi. Mengitari mobil dengan membuka pintu untukku.“Makasih Abang,” ucap dengan melihat deretan gigi gingsul putihku.“Jang lupa siap-siap. Nanti luka kita pergi ke bandara,” ucapnya mengingatkan.“Iya, bawel,” jawabku malas.Aku berlalu meninggalkan Bang Rafan yang masih berada di belakangku. Ketika sampai di depan pintu utama, di sana sudah berdiri beberapa orang yang menyambut kedatanganku dan Bang Rafan.“Siapa mereka?” gumamku seraya mengatakan satu alisku.“Silakan Tuan, Nyonya,” ucapnya seraya tersenyum ramah padaku, aku hanya balas dengan senyum canggung. Aku menatap bingung ke arah Bang Rafan.“Ayo masuk, itu maid baru di sini. Abang yang pekerjakan mereka untuk
Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.“
Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.‘Hurft...,'“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.&nb
Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me
3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be
“Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak
Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar
Dret... Dret... Dret...,“Nomor tidak di kenal?” gumam Ana ketika melihat nomor Asing meneleponnya. Ragu-ragu Ana mengangkat.“Assalamualaikum,” ucap seorang perempuan di seberang sana.“Waalaikumsalam, dengan siapa ya?” tanya Ana terheran-heran.“Apa benar ini dengan Anaknya bapak Miftah Hengkara?” tanyanya lagi“Benar saya sendiri,” jawab Ana, sedikit khawatir.“Jadi begini, Mbak, Ayah, Ibu, dan kakak mbak sekarang ada di rumah sakit Pelita Jaya,”“Orang tua saya? Apa yang terjadi? Mereka baik-baik saja kan? Apa tidak ada yang serius? Dan siapa tadi? Kakak saya?” cecar Ana yang mulai hanyut dalam kesedihan. Pantas saja, perasaannya dari tadi tidak karuan dan gelisah.“Betul, Mbak. Ayah, Ibu dan kakak Mbak. Sebaiknya, Mbak seger
“Lantas hubungannya dengan saya apa? Kenapa seakan-akan saya juga bersalah di sini,” tanya Sean, tak mengerti.“Coba Lo pikir-pikir lagi. Hal apa yang Lo laku in waktu itu,” suruh Rafan.“Enggak ada kok, Gue yakin,” jawab Sean setelah lama berpikir.“Kalau Lo enggak laku in apa-apa, enggak mungkin Adek Gue sampe ke gitu liat Lo,” ucap Rafan.“Coba kamu pikir-pikir lagi!” suruh papa Reza.“Iya, coba ingat-ingat lagi! Mungkin kamu lupa,” timbal mama Tari.Sean berpikir sejenak, berusaha mengingat kejadian 7 tahun lalu.“Bener kok, Ma, Pa, Sean enggak laku in apa-apa sama Abel. Malahan Sean terakhir bertemu Abel itu 1 Minggu sebelum kejadian itu,” jelas Sean.“Terus hubungannya sama Nak Sean apa?” tanya Umi yang ikut pusing.
Ana dan Sean memang telah saling mengenal, mereka belajar di satu sekolah yang sama, tetapi berbeda tingkat. Sean memang tampan, putih, pintar, anaknya menyenangkan diajak ngobrol, postur tubuhnya proporsional, bisa di sebut primadona sekolah waktu itu, banyak orang-orang yang berusaha mendekatinya. Sean merupakan calon suami yang ideal, tetapi hanya satu permasalahannya, Ana tidak mencintainya karena Sean telah membuatnya kecewa.“Selamat malam Om, Tante, kak Se-,” ucapan Ana terhenti ketika pandangannya menatap manik hitam milik Sean.“Ayo duduk, sayang!” titah Abi Miftah.Ana pun hanya bisa diam dan tertunduk lesu di sofa, masih lekat di ingatan Ana tentang kejadian di hari itu, di mana Sean kakak kelasnya yang pernah ia cintai, tiba-tiba membuat Ana kecewa.Dunia terasa runtuh saat itu, bertahun-tahun Ana menghindari Sean, bahkan ia harus pindah negara untuk menghind
Di kediaman keluarga Dinata, nampak Reza Alexander Dinata dan Tarina Dinata, orang tua dari Sean Alexander Dinata. Mereka sedang duduk berdua di ruang keluarga sembari menunggu kedatangan Sean sang anak.“Bi, tolong panggil Sean di kamar! Bilang in kalau papa sama Mamanya nungguin di ruang keluarga,” ucap papa Reza menyuruh Bi Asih untuk memanggil Sean.“Baik, tuan,” ucap Bi Asih seraya pergi ke kamar Sean.“Papa rasa udah saat nya kita mengatakan tentang perjodohan ini kepada Sean!” ucap papa Reza kepada mama Tari sang istri.“Tapi enggak kecepetan itu, Pa? Apa Sean mau kita jodohin?” cecar mama Tari pada sang suami.“Menurut papa, ini udah waktu yang pas, lagian Sean juga sudah dewasa kan! Enggak kepengen apa dia nikah,” ucap papa Reza.“Kalau Sean enggak mau gimana, Pa?” tanya mama Tar
“Dek, kamu kenapa?” tanya Rafan setelah berada di dalam mobil. “Adek enggak papa, kok. Cuma lagi enggak enak badan aja, kok,” jawab Ana setelah menyeka air mata yang tadi meluncur di atas pipinya. “Kamu nangis?” tanyanya lagi. “Hehe, Adek enggak tahan nahan sakit, jadinya nangis deh,” kilah Ana seraya senyum terpaksa. “Jujur, Adek kenapa? Cerita aja sama Abang,” ucap Rafan. “Adek enggak papa, Bang, suer,” ucap Ana seraya mengangkat tangannya sehingga membentuk huruf V. “ “Kalau ada apa-apa, ngomong aja,” ucap Rafan. “Iya, bawel,” jawab Ana “Masih sakit enggak?” tanya Rafan seraya menatap sang Adik di sampingnya. “Lumayan,” jawab Ana. “Ya udah, kita ke dokter dulu,” ajak Rafan. “Enggak usah Bang. Adek mau istirahat aja di rumah,” tolak
3 bulan telah berlalu. Kondisi Ana kian hari kian membaik. Tiap bulan Ana pulang pergi ke luar negeri bersama Rafan sang kakak untuk konsultasi kesehatannya. Sekitar 70 persen kondisinya kian membaik.Hari ini, Ana dan Rafan baru saja sampai di Indonesia. Siang ini Rafan dan Ana sudah berada di kantor. Rafan memang benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuatnya bermalas-malas di rumah. Ana terpaksa ikut ke kantor karena permintaan sang kakak. Meskipun sebenarnya Ana sangat malas.Sifat Ana dan Rafan sangat berbeda, Rafan yang terkenal dengan kenarsisan serta keaktifannya, sedangkan Ana terkenal pendiam tetapi, Ana sangat cengeng. Ana akan berubah menjadi narsis dan dan manja ketika sedang bersama dengan orang-orang tertentu. Akan tetapi, Ana akan menjadi pendiam ketika berada di sekitar orang asing.Rafan terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, be
Suara adzan kini telah berkumandang. Ana bangun dari tidurnya. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah selesai, Ana langsung mengambil mukena dari lemari dan menggelar sejadah.Setelah selesai Shalat, Dzikir, dan tadarus Quran, Ana memutuskan untuk pergi ke lantai bawah.Tap... Tap... Tap...Satu persatu anak tangga Ana lewati. Ana langsung pergi ke dapur. Dilihatnya Mbok Sri yang sedang memotong daging dengan lihainya untuk sarapan.Memang, di keluarga Hengkara sengaja menyiapkan Roti beserta selainya dan makanan berkalori saat sarapan. Mereka hanya tinggal memilih mana yang ingin mereka makan.“Mbok, mau masak apa?” tanya Ana setelah berada di samping Mbok Sri.“Mbok mau masak Opor ayam, Neng,” jawab Mbok Sri, masih fokus pada ayam yang sedang di potongnya.“Ana bantuin ya, Mbok,” ucap Ana me
Sepulang kerja, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuhku menjadi lengket. Aku beranjak ke lantai bawah setelah selesai melaksanakan ritual mandiku. Mataku mendelik kesal saat menatap Bang Rafan yang tengah tersenyum devil ke arahku. Kapan ia sangat menyebalkan? Apalagi hari ini.‘Hurft...,'“Umi!” teriakku saat akan duduk bersama di ruang keluarga. Netra Bang Rafan terus menatapku kesal, senyuman devil terukir di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan, itu benar-benar menyeramkan.“kebiasaan deh teriak-teriak,” ketus Umi yang berada di sampingku.“Iya, Dek, lama-lama kuping Abi bermasalah lagi karena dengerin kamu teriak-teriak tiap hari,” sambung Abi sembari mengusap telinganya.“Ih, kok gitu sih,” ucapku seraya mengerucutkan bibirku.&nb
Sudah 7 tahun, aku tinggal dan menempuh pendidikan di Kairo untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas dan S1 di sana. Kini aku harus kembali ke negara asal, negara kelahiranku. Tak lama, perjalanan dari Kairo ke Indonesia, kini aku dan Bang Rafan sudah sampai di Bandara.“Den, teriak seorang laki-laki seraya melambai-lambaikan tangannya. Tanpa memberi jawaban, Bang Rafan langsung menghampiri orang tersebut.“Udah lama, Mang?” tanya Bang Rafan pada laki-laki tersebut. Ya, beliau adalah Mang Amin, sopir pribadi keluargaku. Beliau bekerja sudah sangat lama, mungkin sejak aku masih duduk di bangku SD beliau sudah bekerja di keluargaku.“Enggak kok, Den. Mungkin sekitar 5 menit aja,” jawab Mang Amin.“Maaf ya, Mang udah bikin Mang Amin nunggu,” ucapku.“Enggak papa kok, Neng. Santai aja,” jawab Mang Amin.“