Angin pagi mengelus lembut wajah Laila saat ia berjalan menyusuri koridor kantor yang modern dan elegan. Langkah-langkahnya terdengar tegas, namun di balik penampilannya yang anggun dan berwibawa, hatinya tak pernah sepi dari kerinduan yang tertahan. Laila adalah wanita yang telah menggapai banyak hal—karier yang gemilang, prestasi yang diakui, dan kehormatan di mata rekan-rekan kerjanya. Namun, di kedalaman jiwanya, masih ada ruang kosong yang tak pernah terisi, sebuah bayang-bayang dari masa lalu yang terus menghantui, sebuah nama yang tak pernah bisa dilupakan: Raka.
Setiap kali Laila menatap keluar dari jendela kaca besar di ruang kantornya, matanya sering kali tertuju jauh ke cakrawala, seakan mencari sosok yang pernah menjadi pusat dunianya. Ia teringat kembali pada masa-masa ketika dunia terasa begitu sederhana, ketika cinta pertama menghampiri dengan tulus dan polos. Nama Raka selalu muncul di antara desah napasnya, bagai angin yang tak bisa dihalau, tak peduli seberapa keras ia mencoba melupakannya. Dulu, Raka adalah pria yang penuh semangat, dengan senyum yang meneduhkan dan hati yang sehangat mentari pagi. Bersama Raka, Laila merasa hidupnya penuh dengan warna, seolah dunia berputar lebih lambat saat mereka bersama. Cinta itu datang tanpa diminta, tumbuh di antara mereka tanpa disadari, lalu mekar menjadi sesuatu yang tak tergantikan. Namun, seiring waktu, takdir membawa mereka berpisah, menyisakan luka kecil yang terus menganga di hatinya. “Laila?” Suara lembut namun tegas dari Maya, sahabat dan rekan kerjanya, membuyarkan lamunannya. “Oh, ya, ada apa?” Laila tersentak, mengalihkan pandangannya dari jendela. “Kamu melamun lagi. Apa kamu baik-baik saja? Hari ini ada rapat penting dengan tim proyek gabungan. Kamu sudah siap?” tanya Maya, dengan nada yang sedikit khawatir namun penuh perhatian. Laila menarik napas dalam, menguatkan dirinya. “Aku siap, jangan khawatir. Ini hanya soal pekerjaan, dan aku bisa menanganinya.” Namun di balik senyumnya yang tenang, Laila tahu bahwa bukan pekerjaan yang menyita pikirannya. Ada perasaan yang tak kunjung usai, sesuatu yang terus membisik di dalam dirinya. Setiap kali ia mencoba fokus, bayangan masa lalu itu selalu kembali, membawanya pada ingatan-ingatan manis yang begitu kuat. Dan entah mengapa, hari ini, kenangan itu terasa lebih dekat dari biasanya. Rapat dimulai seperti biasa, suasana formal dengan diskusi mendalam tentang strategi dan target yang harus dicapai. Laila duduk di ujung meja, memimpin presentasi dengan ketenangan yang sudah menjadi ciri khasnya. Tapi saat salah satu peserta rapat menyebutkan nama tim dari perusahaan lain yang akan bekerja sama dengan mereka, tubuh Laila menegang. “Perusahaan Mitra Sejahtera,” sebut salah satu peserta. “Tim mereka dipimpin oleh Raka Ardiansyah.” Seolah dunia berhenti berputar, nama itu menusuk telinga Laila. Raka Ardiansyah. Cinta pertama yang selama ini hanya hidup dalam kenangan, kini disebutkan di hadapan semua orang, seolah takdir sedang mempermainkannya. Laila merasa jantungnya berdegup lebih cepat, tetapi ia berusaha keras untuk mempertahankan ketenangan. Maya, yang duduk di sebelahnya, melirik dengan tajam, seolah menyadari perubahan kecil di wajah Laila. “Kamu baik-baik saja?” bisik Maya pelan. “Ya, aku... aku baik-baik saja,” jawab Laila cepat, meskipun ada ketegangan dalam suaranya yang tak bisa disembunyikan. Rapat berlanjut, tetapi bagi Laila, kata-kata yang keluar dari mulut para peserta rapat mulai terdengar jauh, seolah ada jarak yang terbentang antara dirinya dan kenyataan. Nama Raka terus terngiang di benaknya, seperti alunan musik lama yang enggan berhenti. Perasaan yang dulu ia simpan dalam-dalam kini muncul ke permukaan, membuat hatinya bergetar tanpa ia bisa kendalikan. Setelah rapat selesai, Laila berjalan keluar dari ruang pertemuan dengan langkah sedikit tergesa. Maya, yang telah lama mengenal Laila, mengikuti dari belakang. Mereka berdua menuju kantin, sebuah tempat di mana mereka biasa berbincang lebih santai. Setibanya di sana, Maya langsung mengajukan pertanyaan yang sejak tadi membayangi pikirannya. “Laila, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Kamu bisa bercerita padaku,” ujar Maya sambil menyodorkan secangkir kopi pada Laila. Laila menggenggam cangkir itu, matanya menatap kosong ke permukaan hitam pekat di dalamnya. “Aku tidak pernah menyangka akan mendengar nama itu lagi. Raka Ardiansyah... Dia adalah cinta pertamaku.” Maya terkejut, meskipun ia sudah menduga sesuatu yang besar terjadi. “Kamu tidak pernah cerita soal dia. Apa yang terjadi?” Laila menghela napas panjang, menahan gejolak di dadanya. “Dulu, kami sangat dekat. Dia adalah orang yang selalu ada di sisiku, seseorang yang membuatku merasa... utuh. Tapi, hidup kami berjalan ke arah yang berbeda. Aku mengejar karier, dan dia... kami terpisah, dan sejak saat itu, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Hingga hari ini.” Maya terdiam, mencoba memahami perasaan sahabatnya. “Jadi, kamu masih menyimpan perasaan untuknya?” “Aku tidak tahu, Maya. Aku pikir, semua sudah terkubur dalam waktu. Tapi, mendengar namanya lagi... rasanya seperti luka lama yang terbuka kembali.” Maya mengangguk perlahan, memahami betapa dalamnya emosi yang Laila rasakan. “Kamu yakin ingin bertemu dengannya lagi?” Laila terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi satu hal yang pasti, aku harus tahu apa yang terjadi padanya selama ini.” Di dalam hati Laila, kerinduan yang selama ini terpendam mulai mencuat. Ada rasa takut, namun juga harapan, bahwa mungkin, pertemuan ini akan membawa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganggunya. Tapi satu hal yang pasti, pertemuannya dengan Raka tidak akan mudah. Sesuatu dalam dirinya berkata, bahwa hidup Raka kini telah berubah, dan ia tidak tahu apakah perubahan itu akan membawa kebahagiaan atau justru kesedihan yang lebih dalam. Namun, apapun yang terjadi, Laila tahu bahwa ia tidak bisa lagi lari dari masa lalu. Ia harus menghadapi apa pun yang menantinya, dan melihat apakah cinta pertama yang pernah ia simpan masih memiliki kekuatan untuk menyembuhkan atau justru menghancurkannya. Langit sore mulai merona jingga ketika Laila kembali ke ruangannya. Gedung tinggi yang menjulang di sekitarnya seakan berbaur dengan warna senja, membentuk lukisan alam yang menenangkan. Namun, hatinya masih dipenuhi gejolak. Nama itu—Raka—berdengung di kepalanya, seperti gema masa lalu yang terus berulang, menolak untuk hilang. Saat Laila duduk di kursi kerjanya, ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan memeriksa beberapa dokumen proyek yang baru saja diserahkan oleh timnya. Namun, perasaan ganjil itu masih membayang, seakan ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu di ujung jalan. Tak lama kemudian, sebuah email masuk. Notifikasi kecil di layar komputernya menampilkan nama pengirim: Divisi Proyek Gabungan. Laila mengklik email tersebut, membaca instruksi yang tertulis dengan cermat. Isi email itu tampak biasa, sebuah pemberitahuan formal bahwa perusahaan telah resmi bekerja sama dengan perusahaan mitra untuk proyek besar ini. Namun, kalimat terakhir membuat tangannya terhenti sejenak. "Tim dari Mitra Sejahtera akan dipimpin oleh Raka Ardiansyah, dan Anda akan menjadi koordinator utama dari pihak kami yang berkolaborasi dengan mereka." Jantung Laila berdetak kencang. Dunia di sekitarnya terasa berputar lebih cepat. Sesuatu yang telah lama ia takutkan akhirnya menjadi kenyataan. Laila mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang, tetapi perasaan itu terlalu kuat. Takdir benar-benar mempertemukan mereka kembali, bukan hanya melalui kenangan, tetapi juga dalam kenyataan. Kursi roda. Kata itu melintas dalam pikirannya seperti angin dingin yang menusuk. Ia ingat kabar samar-samar dari Maya tentang kondisi Raka, bahwa pria yang dulu penuh semangat itu kini duduk di kursi roda. Kabar yang membuatnya merasa tersentuh sekaligus cemas. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Bagaimana kecelakaan itu mengubah hidupnya? Tak ada jalan untuk mundur. Proyek ini adalah tanggung jawab besar, dan Laila tahu bahwa dirinya tak bisa menolak tanpa alasan yang jelas. Ia harus bersikap profesional, meskipun hatinya tak berhenti bergejolak. Perasaan yang sudah lama ia coba kubur kini kembali hadir dengan lebih kuat, membuatnya merasa tak siap menghadapi pertemuan yang tak terhindarkan ini. Malam itu, Laila berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangan dirinya sendiri. Pikirannya melayang-layang, terjebak antara masa lalu dan kenyataan yang baru saja ia hadapi. Bayangan wajah Raka di dalam benaknya masih sama—muda, penuh senyum, dengan mata yang memancarkan semangat hidup. Namun, kini ada keraguan yang menyusup. Seperti apa sosok Raka yang sekarang? Keesokan harinya, di kantor, suasana sibuk. Laila mengenakan setelan formalnya, mempersiapkan diri sebaik mungkin. Hari ini adalah hari pertemuan pertama dengan tim dari perusahaan Mitra Sejahtera. Di luar, udara pagi terasa segar, namun ada ketegangan yang menggantung di udara seolah alam ikut merasakan kegelisahannya. Laila melangkah menuju ruang rapat utama dengan langkah yang tampak tegas, namun hatinya berdebar tak menentu. Pintu kaca besar itu terasa berat ketika ia dorong, seakan menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemuan bisnis. Di dalam, tim dari kedua perusahaan sudah berkumpul, saling bersalaman dan bertukar sapa. Namun, saat Laila memasuki ruangan, matanya langsung tertuju pada sosok yang duduk di ujung meja. Pria itu duduk di kursi roda, dengan postur tegap dan wajah yang sedikit pucat, namun tetap memancarkan aura keanggunan. Wajah yang tak mungkin ia lupakan. Raka. Waktu seakan berhenti. Laila merasa seperti terseret ke dalam putaran memori masa lalu, ketika mereka masih muda, ketika Raka berdiri di sampingnya dengan senyumnya yang menawan. Namun kini, pria yang ia lihat jauh berbeda dari apa yang ada di ingatannya. Wajah yang dulu penuh kehidupan itu kini menyimpan luka dan keletihan yang mendalam. Mata Raka bertemu dengan mata Laila. Dalam sekejap, mereka saling mengenali, meski tak ada kata-kata yang terucap. Laila menahan napas. Ada jeda panjang di antara mereka, sebuah ruang yang penuh dengan kenangan yang tak terucap. Namun, Raka hanya menatapnya sejenak sebelum ia mengalihkan pandangannya, seakan ingin menghindar dari bayang-bayang masa lalu. "Laila," suara Maya terdengar dari belakang, membuyarkan keheningan yang terasa berat. "Ini Raka, kepala tim dari Mitra Sejahtera." Laila mengangguk, mencoba mengumpulkan dirinya. Ia tersenyum tipis dan mendekati Raka, mengulurkan tangan dengan sikap profesional. "Senang bertemu lagi, Raka," katanya dengan nada tenang, meskipun hatinya bergetar hebat. Raka menatap tangannya sejenak sebelum mengulurkan tangannya untuk menyambut. Jemarinya terasa dingin di genggaman Laila, tetapi ada kekuatan yang terselip di balik kulitnya yang pucat. Sekejap, Laila merasakan gemuruh perasaan yang sudah lama ia pendam kembali ke permukaan—rindu, haru, dan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. "Senang bertemu lagi, Laila," jawab Raka singkat, dengan senyum tipis yang sulit dibaca. Kehadiran Raka dalam ruangan itu, meskipun duduk di kursi roda, membawa aura yang tetap memancarkan wibawa. Namun, Laila bisa merasakan bahwa ada dinding tak kasatmata yang ia bangun di antara mereka—dinding yang lebih tinggi dan lebih tebal daripada yang pernah ada. Sebelum kecelakaan, Raka adalah pria yang penuh semangat dan percaya diri. Sekarang, meskipun ia masih tampak tegar di luar, ada sesuatu yang telah hilang—cahaya dalam matanya, semangat yang dulu selalu bersinar. Pertemuan berlangsung formal dan penuh profesionalisme. Laila memaparkan rencana proyek dengan detail, dan Raka menyampaikan perspektif dari timnya. Mereka berdua berbicara dengan nada yang tenang dan terukur, seolah-olah tidak ada masa lalu yang mengikat mereka. Namun, setiap kali Laila mencuri pandang ke arah Raka, ia bisa merasakan beban yang dibawa oleh pria itu. Ia tak bisa lagi melihat Raka yang dulu, pria yang selalu mampu membuat segalanya terasa lebih ringan dengan senyumnya yang lebar. Yang ada sekarang adalah sosok yang lebih pendiam, lebih tertutup, seolah ada beban berat yang tak terlihat di pundaknya. Waktu terasa berjalan begitu lambat selama pertemuan itu, dan Laila harus berusaha keras untuk tetap fokus. Namun, di sela-sela presentasi dan diskusi, pikirannya terus melayang pada kenyataan baru ini. Raka, cinta pertamanya, pria yang dulu selalu bisa membuat hatinya berdebar, kini hadir kembali dalam hidupnya—tetapi dalam keadaan yang jauh berbeda dari yang ia bayangkan. Ketika pertemuan akhirnya selesai, para anggota tim mulai berkemas dan meninggalkan ruangan. Laila, yang biasanya selalu menjadi yang pertama keluar, kali ini memilih untuk tinggal sejenak. Ia masih duduk di kursinya, menatap dokumen di depannya, tetapi pikirannya berada jauh dari sana. Saat semua orang sudah pergi, Laila mendengar suara roda kursi bergerak pelan di belakangnya. Ia berbalik, melihat Raka yang sedang mengatur posisi kursi rodanya. Mereka berdua kini sendirian di ruang rapat yang besar itu. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara halus pendingin ruangan yang berdengung. “Laila,” Raka memecah keheningan, suaranya serak dan terdengar berat. Laila menoleh, menatapnya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan—tentang kecelakaan itu, tentang bagaimana hidup Raka berubah, tentang bagaimana perasaannya kini. Namun, kata-kata itu terasa tersangkut di tenggorokannya. “Aku tahu ini pasti mengejutkan bagimu,” lanjut Raka pelan, “melihatku dalam kondisi seperti ini.” Laila menggeleng, mencoba mengusir perasaan iba yang perlahan merasuk ke dalam hatinya. “Bukan soal kondisi, Raka. Hanya saja... Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi di sini, dalam situasi seperti ini.” Raka menatapnya sejenak, ada keheningan yang panjang di antara mereka sebelum ia tersenyum kecut. “Aku juga tidak menyangka. Hidup ini lucu, ya?” Laila menunduk, menghela napas panjang. “Kenapa kau tak pernah menghubungiku? Setelah semuanya terjadi… Aku bahkan tak tahu apa yang terjadi padamu, sampai Maya memberitahuku.” Raka menghela napas dalam-dalam, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku… Aku tidak ingin kau melihatku seperti ini, Laila. Aku bukan lagi orang yang sama seperti dulu. Kecelakaan itu mengubah segalanya. Aku merasa… tak layak lagi untuk orang-orang di sekitarku. Terutama untukmu.” Kata-kata itu menembus hati Laila. Ia menatap Raka, menyadari betapa dalam luka batin yang pria itu rasakan. Ini bukan hanya tentang fisik, tetapi tentang harga diri dan perasaan tidak berdaya yang selama ini ia simpan sendiri. “Raka…” Laila berbisik lembut, berusaha menyusun kata-kata yang bisa membuat Raka merasa lebih baik. “Kondisi fisikmu tak pernah mengubah siapa dirimu. Kau tetap Raka yang sama di mataku. Tak ada yang berubah.” Raka tertawa kecil, suara tawanya terdengar pahit. “Kau salah, Laila. Banyak yang berubah. Dan mungkin… mungkin sudah terlambat untukku.” “Jangan bicara seperti itu,” potong Laila tegas. “Kau bukan hanya orang yang duduk di kursi roda. Kau lebih dari itu. Kau masih orang yang sama—orang yang dulu selalu tahu bagaimana membuatku tersenyum, yang selalu penuh ide brilian, yang selalu tahu caranya bertahan meski dunia ini tak bersahabat. Kau harus percaya pada dirimu sendiri.” Raka terdiam. Ia menatap Laila dengan mata yang penuh luka, tetapi di balik tatapan itu, Laila bisa melihat ada kerinduan yang tak terucap. Sebuah keinginan untuk kembali menjadi dirinya yang dulu, untuk percaya bahwa ia masih punya harapan. “Aku tak bisa melupakan apa yang terjadi, Laila,” ujar Raka pelan. “Terlalu banyak yang harus kuhadapi sekarang. Dan aku tak yakin aku bisa melewati semua ini.” “Kita bisa melaluinya bersama,” jawab Laila, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku di sini sekarang. Dan aku tak akan pergi lagi.” Kata-kata itu menggantung di udara, menyelimuti mereka berdua dalam keheningan yang penuh arti. Di saat itu, Laila tahu bahwa meski perjalanan ini akan sulit, ia tak akan menyerah. Raka adalah bagian dari hidupnya yang tak pernah bisa ia lupakan. Dan jika ada kesempatan untuk menyembuhkan luka yang pria itu rasakan, ia akan melakukannya—meski harus melalui rintangan yang tak mudah. Namun, di balik segala keteguhan hatinya, Laila tahu bahwa ini baru permulaan. Sebuah permulaan dari perjalanan panjang yang akan penuh dengan ujian.Hari itu, matahari menyelipkan sinarnya ke sela-sela gedung tinggi di pusat kota, memantulkan bayang-bayang yang bergerak mengikuti langkah cepat Laila. Setiap derap sepatunya di lantai marmer kantor bergaung di dalam benaknya, mengiringi ketegangan yang semakin meresap dalam tubuhnya. Laila berusaha menenangkan debar jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Ini bukan hanya rapat biasa—ini adalah pertemuan pertamanya dengan tim proyek yang melibatkan Raka. Hati Laila masih belum sepenuhnya pulih dari pertemuan kemarin. Meski ia sudah tahu akan bekerja dengan perusahaan mitra, tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa perusahaan itu akan melibatkan Raka, orang yang begitu penting dalam hidupnya di masa lalu. Pria yang pernah menjadi sumber kebahagiaannya, kini berada di ujung hatinya, mengundang luka lama yang ia kira sudah tertutup rapat. Ketika ia memasuki ruang rapat, suasana dingin AC menyambutnya, menambah kesan formal dan kaku. Beberapa anggota tim sudah berkumpul, sibuk de
Pagi itu, ruangan rapat masih tampak sunyi ketika Raka memasuki ruangan dengan langkah tenang, kursi rodanya bergerak perlahan di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia tiba lebih awal dari yang lain, berharap kehadirannya bisa menenangkan pikirannya sebelum pertemuan dimulai. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, penuh dengan diskusi dan pengambilan keputusan penting. Bagi Raka, ini adalah kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus-menerus menghantui sejak pertemuannya dengan Laila. Ia sudah bertekad untuk menjalani proyek ini dengan profesionalisme. Apapun yang ia rasakan terhadap Laila, apapun rasa sakit atau kenangan manis yang kembali menyeruak, harus ia simpan jauh di sudut hatinya. Sekarang bukan saatnya terjebak dalam emosi. Sebagai seorang pemimpin proyek, ia harus memastikan semua berjalan lancar. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca besar, memberikan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Namun, di balik ketenangan pagi itu, ada
Di penghujung hari yang melelahkan, Laila duduk di depan cangkir kopinya yang kini hanya tersisa setengah. Di balik jendela besar di ruangannya, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna jingga yang lembut. Hembusan angin senja yang hangat terasa menenangkan, namun pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan canggung yang terus menghantui sejak pertemuan dengan Raka. Kembali bekerja dengan seseorang yang pernah begitu dekat di hatinya membuatnya sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.Laila memejamkan mata, membiarkan dirinya. terlarut dalam kenangan yang muncul begitu saja, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Wajah Raka yang dulu, senyumnya, tatapannya, seolah begitu dekat dan nyata di depan mata. Seketika, ia teringat masa-masa saat mereka masih remaja, saat segala hal terasa lebih sederhana dan perasaan mereka begitu murni.Dulu, Laila dan Raka tidak hanya sekadar teman. Mereka adalah dua jiwa yang selalu menemukan tempat nyaman di sisi satu sama lain. Setiap
Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin
Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pi
Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan."Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kit