Beranda / Romansa / Cinta di Kursi Roda / Bab 3: Batas Profesionalisme

Share

Bab 3: Batas Profesionalisme

Penulis: Restu Bumi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-04 14:41:41

Pagi itu, ruangan rapat masih tampak sunyi ketika Raka memasuki ruangan dengan langkah tenang, kursi rodanya bergerak perlahan di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia tiba lebih awal dari yang lain, berharap kehadirannya bisa menenangkan pikirannya sebelum pertemuan dimulai. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, penuh dengan diskusi dan pengambilan keputusan penting. Bagi Raka, ini adalah kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus-menerus menghantui sejak pertemuannya dengan Laila.

Ia sudah bertekad untuk menjalani proyek ini dengan profesionalisme. Apapun yang ia rasakan terhadap Laila, apapun rasa sakit atau kenangan manis yang kembali menyeruak, harus ia simpan jauh di sudut hatinya. Sekarang bukan saatnya terjebak dalam emosi. Sebagai seorang pemimpin proyek, ia harus memastikan semua berjalan lancar.

Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca besar, memberikan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Namun, di balik ketenangan pagi itu, ada ketegangan yang tak terlihat. Laila. Nama itu masih berputar di kepalanya, mengisi setiap celah pikirannya. Betapa sulitnya untuk mengabaikan perasaan yang dulu pernah ia pikir telah mati—perasaan yang kini kembali muncul dengan begitu kuat, seolah waktu tak pernah berlalu.

Pintu ruang rapat terbuka, dan suara langkah kaki yang familiar mengisi ruangan. Raka tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Aroma parfum lembut yang menyertainya sudah cukup mengonfirmasi. Laila.

"Selamat pagi, Raka," sapa Laila lembut, suaranya berusaha terdengar profesional, meskipun ada ketegangan tipis yang terselip di antara kata-katanya.

"Selamat pagi," jawab Raka, mengangkat wajahnya dan memberikan senyum tipis. Ia berusaha sebaik mungkin untuk terlihat tenang, meskipun hatinya bergetar. Pertemuan mata mereka terasa canggung, tetapi Raka tahu ia harus menghadapinya dengan kepala dingin.

Laila duduk di kursi di sebelahnya, agak jauh tetapi cukup dekat untuk membuat kehadirannya terasa. Suasana di antara mereka berdua berubah menjadi sunyi yang tak nyaman, seolah setiap kata yang diucapkan harus dipilih dengan sangat hati-hati. Namun, Raka memutuskan untuk memecah kebekuan itu dengan berbicara.

"Ini akan menjadi proyek yang besar dan menantang," kata Raka, suaranya terdengar lebih datar dari yang ia harapkan. "Aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik."

Laila mengangguk, tersenyum kecil. "Tentu saja. Aku yakin kita bisa memberikan yang terbaik."

Mereka berdua terdiam lagi, masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Raka merasakan kehadiran Laila seperti dua sisi pedang; di satu sisi, ia merasakan kebahagiaan kecil bisa berada di dekatnya lagi, tapi di sisi lain, ada rasa sakit yang menyelip di setiap tatapan, setiap gerakan, setiap napas yang ia ambil saat berada di dekatnya.

"Raka, aku ingin kita tetap profesional." Laila tiba-tiba berbicara dengan nada tegas, matanya menatap langsung ke arah Raka. "Aku tahu situasi ini tidak mudah, tapi aku ingin memastikan kalau kita tidak membiarkan masa lalu memengaruhi pekerjaan kita."

Raka menelan ludahnya. Kalimat itu menohoknya dalam. Laila begitu tegas, begitu jelas menyatakan niatnya, seolah mengingatkan Raka bahwa perasaan lama mereka harus diabaikan demi proyek ini. Raka menghargai kejelasan itu, namun di dalam hatinya, ada bagian kecil yang berharap Laila masih memikirkan tentang masa lalu mereka.

"Tentu," jawab Raka dengan datar. "Aku setuju. Kita harus fokus pada proyek ini."

Kata-kata itu meluncur dari mulutnya dengan mudah, tetapi di dalam dirinya, ada badai yang berputar. Bagaimana mungkin ia bisa tetap profesional ketika hati dan pikirannya terus-menerus terperangkap dalam kenangan lama? Bagaimana mungkin ia bisa bersikap seolah semuanya baik-baik saja ketika kehadiran Laila mengguncang dunianya setiap kali ia menatap mata cokelatnya?

Namun, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Ini adalah kehidupan nyata, bukan mimpi atau ilusi tentang cinta yang tak berbalas. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa sekarang, mereka adalah dua profesional yang bekerja sama. Tidak lebih. Tidak kurang.

Waktu terus berlalu, dan anggota tim lainnya mulai berdatangan. Suasana di ruangan perlahan-lahan berubah menjadi sibuk, suara-suara diskusi mulai mengisi udara. Raka merasa lega dengan kehadiran orang lain; itu setidaknya memberinya jeda dari ketegangan di antara mereka berdua.

Namun, di balik semua itu, ia tetap tak bisa benar-benar melepaskan perasaan yang membebani hatinya. Setiap kali ia melihat Laila, bahkan sekilas, ada sesuatu yang tak bisa diabaikan. Sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Setiap gerakan kecil, setiap senyum yang terpancar dari wajahnya, membawa Raka kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana segalanya lebih sederhana, lebih bahagia.

"Baiklah," kata Raka, memulai pertemuan setelah semua orang telah berkumpul. Suaranya kembali tenang, menunjukkan profesionalisme yang ia coba pertahankan. "Kita akan membahas agenda proyek hari ini, termasuk tenggat waktu dan tanggung jawab masing-masing."

Pertemuan berjalan lancar, dan Raka berusaha fokus sepenuhnya pada pekerjaan. Setiap kali ia merasa pikirannya mulai melayang, ia dengan cepat mengembalikannya ke pembahasan proyek. Tidak ada ruang untuk emosi sekarang, hanya ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Tetapi, sepanjang pertemuan itu, di sudut pandangnya, ia bisa melihat Laila yang sesekali menatapnya, meski hanya dengan cepat. Ada perasaan yang tak terucapkan di antara mereka, sesuatu yang belum selesai. Namun, untuk saat ini, mereka berdua memilih untuk menyimpannya, membiarkannya tetap tertahan di sudut hati mereka masing-masing.

Ketika rapat akhirnya selesai, semua orang mulai membereskan barang-barang mereka, bersiap untuk kembali ke tugas masing-masing. Laila mengemasi laptopnya dengan hati-hati, menghindari tatapan langsung dengan Raka. Dia berusaha sebaik mungkin menjaga sikap profesionalnya, namun Raka tahu bahwa di dalam hatinya, Laila juga merasakan hal yang sama—kegugupan, keraguan, dan perasaan tak terucapkan yang terus menggelayuti mereka.

Sebelum Laila sempat berdiri, Raka menghentikannya dengan panggilan singkat. “Laila.”

Laila menoleh, sedikit terkejut. "Ya?"

“Terima kasih,” ucap Raka pelan. “Untuk tetap profesional, dan untuk—” Ia ragu sejenak, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Untuk tetap di sini.”

Laila tersenyum tipis, ada kehangatan dalam senyumnya yang tulus. “Sama-sama, Raka. Aku yakin kita bisa melalui ini.”

Raka hanya mengangguk, membiarkan Laila pergi lebih dulu. Saat Laila melangkah keluar dari ruangan, Raka menghela napas panjang, merasa sedikit lebih lega namun tetap dibayangi oleh pertanyaan yang tak terjawab: Apakah mereka benar-benar bisa tetap profesional, atau perasaan lama itu akan terus membayangi setiap langkah mereka?

Langkah Laila terdengar lembut di koridor kantor yang sepi, hanya terdengar suara sepatu haknya yang beradu dengan lantai marmer. Hatinya berdegup kencang, masih merasakan ketegangan yang menggantung di udara setelah pertemuan dengan Raka. Meskipun ia berusaha keras bersikap profesional, perasaan yang terpendam tak mudah diredam begitu saja. Pertemuan yang tadinya diharapkan hanya menjadi sebuah diskusi bisnis biasa ternyata lebih dalam, lebih rumit. Ada emosi yang bergejolak, tetapi harus ia simpan di sudut hati terdalam.

Laila menghentikan langkahnya sejenak di depan jendela besar yang menghadap taman kantor. Matanya menatap ke luar, seolah-olah mencoba menenangkan pikirannya dengan keindahan alam di luar sana. Daun-daun hijau yang bergoyang ditiup angin mengingatkannya pada sesuatu yang lembut dan tenang, namun ia sadar bahwa dalam dirinya saat ini, tak ada ketenangan.

"Tarik napas, Laila. Ini hanya soal pekerjaan," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, ia tahu itu bukan hanya tentang pekerjaan. Kehadiran Raka di sini, di kehidupan profesionalnya, telah membangkitkan kenangan lama yang ia pikir sudah terkubur. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan senyum itu? Bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan tatapan mata yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta begitu dalam?

Rapat tadi berjalan lancar, secara teknis. Semua pembahasan proyek disampaikan dengan rapi dan detail. Raka, meskipun terkesan tenang dan terkendali, jelas berusaha keras menjaga jarak emosional. Laila menghargai usahanya, meskipun ia sendiri merasakan betapa canggung situasi itu. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka seolah dipenuhi oleh kekakuan yang tak bisa mereka sembunyikan, sebuah pengingat tentang luka masa lalu yang belum benar-benar sembuh.

Namun, Laila harus tetap kuat. Ia tidak boleh membiarkan emosi menguasai dirinya. Apalagi di depan Raka. Meskipun hatinya masih terasa perih melihat keadaan Raka yang sekarang, duduk di kursi roda dengan sorot mata yang penuh duka, ia tahu bahwa ia tidak boleh terlihat lemah. Ini bukan saatnya untuk mengungkit-ungkit kenangan atau meratapi apa yang sudah hilang.

Ia berusaha fokus pada hal-hal praktis. Proyek ini sangat penting, bukan hanya untuk kariernya, tetapi juga bagi timnya. Dan untuk itu, ia perlu menjaga pikiran dan hatinya tetap jernih.

Ketika Laila kembali ke meja kerjanya, ia langsung membuka laptop dan mulai memeriksa beberapa dokumen proyek yang baru saja dibahas. Ia mengetik dengan kecepatan yang lebih lambat dari biasanya, jemarinya masih sedikit gemetar akibat percakapan tadi. Ada sesuatu dalam cara Raka memandangnya yang membuat hatinya terasa semakin berat.

Waktu berjalan lambat saat ia berusaha keras untuk tenggelam dalam pekerjaannya. Setiap kali pikirannya mulai melayang kembali ke masa lalu, ia dengan cepat mengalihkannya, mencoba untuk tidak memikirkan Raka. Namun, bayangan lelaki itu seolah terus hadir, membayanginya.

Laila berhenti sejenak, menutup matanya, dan menghela napas panjang. Ia harus menemukan cara untuk menghadapi ini. Tidak mungkin ia menghindari Raka selamanya, terlebih karena proyek ini akan membuat mereka bekerja sangat dekat. Namun, di sisi lain, bagaimana ia bisa bekerja dengan seseorang yang hatinya masih memendam rasa terhadapnya? Bagaimana ia bisa berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja, padahal ada begitu banyak kata-kata yang ingin ia sampaikan, perasaan yang tak pernah ia ungkapkan?

Telepon di mejanya berdering, mengalihkan pikirannya. Laila segera mengangkatnya, berharap panggilan ini bisa menjadi alasan baginya untuk kembali fokus.

"Ya, Laila di sini," suaranya terdengar lebih tenang daripada perasaannya saat ini.

"Laila, saya butuh revisi cepat untuk presentasi kita besok. Bisa datang ke ruang rapat sebentar lagi?" Suara rekan kerjanya terdengar tergesa-gesa di ujung telepon.

"Tentu, saya akan segera ke sana," jawab Laila tanpa ragu.

Ia menutup telepon dan merapikan dokumen di mejanya. Sebuah tugas mendesak, meskipun kecil, terasa seperti penyelamat bagi pikirannya yang sedang kacau. Ia butuh distraksi—sesuatu yang bisa membantunya melupakan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.

Namun, tak lama setelah itu, telepon berdering kembali. Kali ini, suara yang ia dengar di ujung telepon membuat dadanya berdegup lebih kencang.

"Laila, ini Raka."

Nama itu terucap begitu ringan, namun dampaknya begitu besar. Laila merasakan debaran di dadanya semakin cepat, meskipun ia berusaha mati-matian untuk tetap tenang.

"Ada apa, Raka?" jawabnya dengan nada datar, mencoba menutupi perasaan yang terselubung.

"Aku ingin memastikan kita sejalan mengenai pembahasan tadi. Jika ada hal yang perlu didiskusikan, mungkin kita bisa mengatur pertemuan singkat sebelum rapat besok."

Laila terdiam sejenak. Pertemuan singkat dengan Raka. Kedengarannya seperti mimpi buruk, tapi ia tahu itu penting. Profesionalitas harus tetap dijaga, tak peduli seberapa sulit situasinya.

"Tentu. Aku akan lihat jadwalku, nanti aku kabari," jawab Laila, berusaha tetap terdengar lugas.

"Baik, terima kasih," kata Raka sebelum menutup telepon.

Laila menghela napas panjang setelah telepon itu berakhir. Pertemuan dengan Raka—lagi. Pikiran itu membuat hatinya terasa lebih berat, namun ia tahu ini tidak bisa dihindari. Setiap pertemuan mereka akan selalu dipenuhi ketegangan, perasaan-perasaan yang tertahan, dan kata-kata yang belum terucap. Tapi sebagai seorang profesional, ia harus bisa mengesampingkan semua itu.

Saat ia berjalan menuju ruang rapat, Laila terus mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap fokus. Ini bukan tentang masa lalu. Ini tentang masa kini, tentang proyek yang harus ia selesaikan dengan baik. Tak peduli seberapa rumit perasaannya, Laila tahu ia harus menghadapinya dengan kepala tegak.

Namun di lubuk hatinya, Laila tahu bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang terus menggelitik di sudut-sudut hatinya. Sesuatu yang menuntut untuk dihadapi, meski ia belum siap untuk melakukannya.

Laila berjanji pada dirinya sendiri, bahwa apapun yang terjadi, ia akan menjaga profesionalisme di atas segalanya. Tapi dalam kesunyian batinnya, ia sadar bahwa menjaga hati dari terombang-ambing di lautan kenangan bersama Raka mungkin adalah tantangan terbesar yang harus ia hadapi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 4: Kenangan yang Terukir di Masa Lalu

    Di penghujung hari yang melelahkan, Laila duduk di depan cangkir kopinya yang kini hanya tersisa setengah. Di balik jendela besar di ruangannya, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna jingga yang lembut. Hembusan angin senja yang hangat terasa menenangkan, namun pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan canggung yang terus menghantui sejak pertemuan dengan Raka. Kembali bekerja dengan seseorang yang pernah begitu dekat di hatinya membuatnya sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.Laila memejamkan mata, membiarkan dirinya. terlarut dalam kenangan yang muncul begitu saja, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Wajah Raka yang dulu, senyumnya, tatapannya, seolah begitu dekat dan nyata di depan mata. Seketika, ia teringat masa-masa saat mereka masih remaja, saat segala hal terasa lebih sederhana dan perasaan mereka begitu murni.Dulu, Laila dan Raka tidak hanya sekadar teman. Mereka adalah dua jiwa yang selalu menemukan tempat nyaman di sisi satu sama lain. Setiap

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 5: Jarak yang Tak Terjangkau

    Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 6: Luka yang Tersembunyi di Balik Waktu

    Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 7: Riak-riak di Bawah Permukaan

    Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan."Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kit

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 8: Batas-batas yang Tak Terlihat

    Pagi itu, sinar matahari menyusup perlahan melalui celah-celah jendela ruang kantor, menciptakan bayangan lembut yang menari di dinding. Suara burung-burung berkicau dari kejauhan, namun di dalam ruangan yang diisi Laila dan Raka, keheningan mendominasi. Ada perasaan tegang yang menyelubungi udara, meskipun tidak ada kata yang terucap.Raka duduk di meja kerjanya, jarak fisik antara mereka terasa begitu dekat, namun di antara mereka ada tembok-tembok tak terlihat yang semakin menjulang tinggi. Setiap gerakan Laila, setiap helaan napasnya, seakan menarik Raka untuk mendekat, namun ia menahan dirinya. Di balik wajahnya yang tenang, tersimpan lautan emosi yang bergejolak, tetapi ia tahu, jika ia membiarkan dirinya hanyut terlalu jauh, ia mungkin tidak akan pernah bisa kembali.Ia menjaga jarak.Laila menyadari sikap Raka yang semakin menjauh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Sudah beberapa hari berlalu sejak mereka mulai bekerja lebih intensif bersama, namun seiring waktu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 9: Senyum yang Tertahan di Antara Jarak

    Pagi itu terasa berbeda. Meski matahari masih malu-malu menyusup dari balik tirai awan, ada kehangatan yang lembut merambati ruangan tempat Laila dan Raka bekerja. Seperti biasanya, mereka tenggelam dalam tugas-tugas proyek yang menyita perhatian. Keduanya larut dalam keheningan yang tak lagi terasa begitu membebani, namun tetap ada jarak yang belum tersentuh. Jarak yang seakan dibuat oleh garis-garis tak terlihat, namun nyata.Laila duduk di meja kerjanya, matanya sesekali melirik ke arah Raka. Sejak hari-hari terakhir, ada perubahan kecil yang terasa dalam sikapnya. Raka memang masih menjaga jarak, masih tersembunyi di balik sikap dinginnya, tapi Laila tahu, di balik semua itu, ada sesuatu yang mulai mencair. Mungkin itu hanya imajinasinya, atau mungkin harapannya, namun setiap kali Laila berada di dekat Raka, ia bisa merasakan denyut kecil di antara keduanya—seperti sisa-sisa cinta yang pernah ada.Di sudut ruangan, Raka sedang berdiri, mengamati papan tulis yang penuh dengan skets

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 10: Kenangan yang Terpendam

    Sore itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Laila duduk di balkon apartemennya, memandangi langit yang berwarna jingga, memikirkan perasaannya yang mulai tidak bisa ia abaikan. Cahaya matahari yang perlahan memudar seolah menggambarkan apa yang tengah terjadi dalam hatinya—kenangan lama yang kembali menyeruak, membawa perasaan yang dulu begitu kuat, namun kini dibalut oleh penyesalan.Sudah bertahun-tahun berlalu sejak hari itu. Hari di mana semuanya berubah, saat ia dan Raka memilih jalan masing-masing tanpa sempat menyelesaikan apa yang terlanjur hancur. Ketika mereka masih remaja, dunia terasa begitu besar dan penuh kemungkinan, tetapi juga dipenuhi oleh ketidakpastian yang menyelimuti masa depan mereka. Sekarang, di hadapannya, dunia itu terasa lebih kecil, namun luka lama yang terpendam kembali mencuat, menghantui setiap detik waktu yang ia habiskan bersama Raka di proyek ini.Laila memejamkan mata, membiarkan ingatannya kembali ke masa-masa re

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 11: Di Ambang Frustrasi

    Langit pagi yang biasanya terasa hangat kini tampak kelabu, seolah mencerminkan apa yang berkecamuk di dalam hati Laila. Sudah beberapa minggu berlalu, dan meskipun ia terus berusaha untuk tetap sabar, ada perasaan frustrasi yang perlahan-lahan mulai tumbuh. Raka, dengan segala ketidakpastian dan dinding emosionalnya, masih tetap berusaha menjaga jarak, dan hal itu membuat Laila semakin sulit untuk mendekat.Setiap kali Laila mencoba membuka diri, mengulurkan tangan melalui kata-kata yang lembut, atau sekadar dengan kehadirannya yang diam namun mendukung, Raka selalu berhasil menemukan cara untuk menghindar. Ia mengalihkan pandangan, menyibukkan diri dengan pekerjaan, atau sekadar membatasi percakapan mereka pada hal-hal yang sifatnya formal dan teknis. Laila bisa melihat perubahan kecil dalam sikapnya, momen-momen di mana Raka hampir saja membuka dirinya, tetapi kemudian menarik diri lagi secepat kilat, seolah takut dengan apa yang mungkin terjadi jika ia benar-benar membiarkan hatin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21

Bab terbaru

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 107: Hal Bahagia yang Telah Dijanjikan—END

    Pagi itu, matahari terbit dengan keindahan yang seakan dirancang khusus untuk mereka, memberikan pancaran lembut ke seluruh penjuru. Di dalam ruangan yang dipenuhi dengan wangi bunga melati dan mawar, suasana terasa sakral, seolah alam semesta turut memberi restu atas persatuan dua jiwa yang telah melalui perjalanan panjang penuh suka dan duka. Hari ini adalah hari yang telah lama mereka nantikan, hari yang ditetapkan oleh cinta dan keteguhan mereka.Laila berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana namun anggun yang menjuntai hingga ke lantai. Ia memandang dirinya, melihat pantulan wajah yang penuh dengan kebahagiaan dan keteguhan hati. Ada kilatan air mata di sudut matanya, tetapi ia berusaha menahannya, takut merusak riasan yang telah dipersiapkan dengan cermat. Namun, ini bukanlah air mata sedih, melainkan air mata syukur, air mata dari perasaan yang begitu penuh dan meluap-luap di hatinya.Saat pintu diketuk, Laila berbalik, mendapati ayahnya berdiri di sana dengan s

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 106: Refleksi Sebelum Janji Suci

    Malam itu, gemerlap bintang tampak lebih terang, seakan alam semesta turut merayakan keheningan yang menyelimuti hati Laila dan Raka. Mereka duduk terpisah, Laila bersama keluarganya dan sahabat-sahabatnya, sementara Raka menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekatnya. Meski berjarak, hati mereka seakan saling terhubung, seiring pikiran yang merenung tentang perjalanan yang telah mereka tempuh hingga sampai di malam ini.Di kamar yang dihiasi oleh kilau cahaya lilin lembut, Laila duduk bersandar di ranjang sambil menatap gaun pernikahan yang tergantung di sudut ruangan. Gaun putih yang anggun itu seperti simbol murni dari segala harapan yang ia miliki, tentang cinta, tentang kebersamaan, dan tentang kehidupan baru yang akan dimulai besok. Jemarinya menyusuri kain lembut itu, seolah ingin meresapi setiap benang yang tersulam di sana—benang-benang harapan yang telah ia bangun bersama Raka.Sahabat-sahabat Laila duduk di sekitarnya, wajah mereka memancarkan kebahagiaan yang tulus. Mer

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 105: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Pagi itu, udara terasa sejuk, sinar matahari menyelinap di antara dedaunan, memancarkan cahaya lembut yang menenangkan hati. Laila, yang duduk di teras rumahnya, merasakan kebahagiaan mengalir dalam dadanya. Hari-hari menuju pernikahan begitu dekat, dan setiap saat terasa seperti mimpi yang indah. Namun, di tengah kedamaian pagi itu, ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Ketika membuka pesan itu, senyum di wajah Laila perlahan memudar. Pesan dari nomor yang tidak dikenalnya, sebuah pesan singkat namun mengganggu: “Aku tahu masa lalu Raka. Jika kamu ingin tahu kebenarannya, hubungi aku. Jika tidak, kebahagiaanmu mungkin hanya sementara.” Pesan itu membuatnya terdiam. Ada keanehan dalam kata-katanya, seperti sebuah ancaman tersembunyi, namun juga seperti tawaran untuk membuka tabir yang mungkin selama ini tertutup. Laila menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi perasaannya terlanjur bergejolak. Di hatinya, ia percaya pada Raka. Namun, bisikan ketakutan muncul,

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 104: Janji di Tengah Ketidakpastian

    Malam mulai menyelimuti kota dengan kedamaiannya, seolah ikut memahami perjuangan hati sepasang kekasih yang duduk di taman kecil, jauh dari hiruk-pikuk dunia. Di sana, di bawah rembulan yang memancarkan sinarnya yang lembut, Raka dan Laila saling menatap dengan mata yang penuh tekad. Keputusan yang akan mereka ambil bukanlah hal mudah, namun mereka tahu bahwa cinta mereka mampu menjadi pelita di tengah ketidakpastian.Laila menghela napas dalam, mencoba mengendapkan perasaan yang bergemuruh di dalam hatinya. Meski kecemasan masih terselip, ia merasa keyakinan yang mendalam bahwa cintanya pada Raka tidak goyah. Ia tahu bahwa hidup tak selalu berjalan seperti yang mereka rencanakan, tetapi dalam hatinya, ia percaya bahwa cinta mereka memiliki kekuatan untuk mengatasi segala rintangan."Raka," ucap Laila dengan suara lembut, memecah kesunyian di antara mereka. "Aku tahu kondisimu mungkin belum stabil, tapi… apakah kamu yakin kita tidak akan menunda pernikahan ini?"Raka tersenyum tipis,

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 103: Di Ujung Ketabahan

    Hari itu kembali dipenuhi dengan keheningan yang sarat beban. Raka dan Laila duduk di ruang konsultasi dokter, dan meski kehangatan sinar matahari pagi menembus jendela, suasana di dalam ruangan terasa dingin, sunyi, seperti terkurung di antara dinding ketidakpastian. Laila duduk di samping Raka, menggenggam tangannya erat seolah-olah mengalirkan kekuatan yang tak terlihat. Raka hanya bisa diam, menatap lurus ke depan, mencoba menahan perasaan cemas yang perlahan merambat ke dalam hatinya.Dokter memandang mereka dengan tatapan lembut namun tegas, seolah memahami beratnya kabar yang hendak ia sampaikan. Dengan suara rendah, ia mulai menjelaskan, “Pak Raka, dari hasil pemeriksaan terakhir, kami menemukan bahwa kondisi jaringan di sekitar luka lama Anda memburuk. Hal ini memerlukan perawatan khusus dan waktu pemulihan yang mungkin tidak singkat. Kami perlu memastikan bahwa peradangan tidak menyebar lebih luas, karena itu dapat berdampak serius pada kesehatan Anda.”Kata-kata dokter tera

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 102: Luka yang Kembali Terasa

    Di tengah hiruk-pikuk persiapan yang semakin menuntut perhatian, ada sesuatu yang diam-diam menggulung dalam benak Raka. Ia mencoba menepis perasaan itu, menguburnya di antara lembaran undangan yang belum terkirim, daftar tamu yang terus bertambah, dan keputusan warna dekorasi yang belum selesai. Namun, seiring waktu, rasa sakit itu justru semakin kuat, mengusik ketenangan yang susah payah ia bangun bersama Laila.Raka memegang sisi tubuhnya, tepat di tempat luka lamanya berada. Rasa nyeri itu datang bagai kenangan yang menggores kembali, sebuah ingatan yang tak ia ingin ingat. Luka itu sudah ia lupakan sejak lama—setidaknya, itulah yang ia yakini. Tapi kini, tubuhnya seakan mengingatkan kembali, sebuah peringatan bahwa ia pernah mengalami rasa sakit yang lebih dari sekadar fisik. Ada luka batin yang sepertinya ikut berdenyut bersama rasa nyeri itu.Dengan napas yang berat, Raka meraba daerah yang terasa sakit, mendapati dirinya diliputi kecemasan. Bukan hanya rasa sakit itu yang meri

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 101: Di Balik Senyum Laila

    Pagi itu, Laila berangkat ke kantor dengan senyuman yang terpancar dari wajahnya, menyembunyikan kelelahan yang perlahan menggerogoti hatinya. Ia mencoba menata pikirannya agar tetap tenang. Proyek besar yang tengah ia tangani tiba-tiba menghadapi masalah serius. Kritik dari klien datang bertubi-tubi, seakan membebani langkah Laila yang biasanya mantap dan percaya diri. Sebagai seorang pemimpin tim, ia tahu harus kuat dan tetap tegar, tetapi hari-hari penuh tekanan ini mulai membuatnya merasa terjebak dalam pusaran yang tak berujung.Saat tiba di kantor, suasana ruangan terasa tegang. Rekan-rekan kerjanya menatap layar komputer dengan wajah penuh kecemasan, dan beberapa dari mereka saling berbisik dengan nada kekhawatiran. Laila tahu, proyek ini bukan hanya tentang reputasinya, tetapi juga menyangkut seluruh tim yang telah bekerja keras bersamanya selama berbulan-bulan. Pikirannya mulai mengabur oleh rasa bersalah yang perlahan-lahan menghantui. Ia merasa telah mengecewakan semua oran

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 100: Bayang-bayang Masa Lalu

    Di pagi yang tenang, Laila dan Raka duduk berdampingan di ruang tamu, di hadapan mereka terdapat tumpukan undangan pernikahan yang siap dikirimkan kepada para kerabat dan sahabat. Keheningan melingkupi ruangan, hanya suara lembut gesekan kertas dan detik jarum jam yang terdengar. Mereka sedang berada di fase akhir dari persiapan pernikahan, dan untuk sesaat, suasana ini memberikan kehangatan yang mengikat hati mereka dalam harapan akan kebahagiaan yang segera tiba.Laila, dengan senyum lembut di wajahnya, membolak-balik daftar nama yang sudah mereka siapkan. Setiap nama terasa membawa kenangan, setiap nama memiliki kisahnya sendiri yang pernah mewarnai hidup mereka. Namun, di balik senyum hangat itu, Raka terlihat agak gelisah. Tangannya menggenggam erat pena di jemarinya, sementara matanya sesekali melirik daftar nama yang terbentang di hadapannya.“Kamu baik-baik saja, Raka?” Laila bertanya lembut, menyadari perubahan kecil di ekspresi wajah tunangannya.Raka terdiam sejenak, seolah

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 99: Di Bawah Bayang-bayang Tekanan

    Pagi itu, Raka duduk di meja kerjanya dengan kepala tertunduk, matanya tertuju pada layar komputer yang dipenuhi angka-angka dan laporan yang terus berdatangan. Senyum lembut yang biasa terlihat di wajahnya kini menghilang, tergantikan oleh ekspresi tegang dan cemas. Sejak pagi, ia merasa terperangkap dalam pusaran masalah yang tak ada habisnya. Setiap pesan yang masuk, setiap rapat yang harus dihadiri, dan setiap keputusan yang dituntut untuk segera diambil seperti menambah beban yang menekan pundaknya.Di sela-sela kesibukannya, pikirannya melayang ke momen-momen bersama Laila di taman kecil itu. Ia ingat senyumnya, tenangnya udara sore yang menyelimuti mereka, dan janji mereka untuk menghadapi segala sesuatu bersama. Tetapi kini, janji itu terasa goyah ketika beban di tempat kerja ini mengancam mengguncang ketenangan yang baru saja mereka temukan. Raka menarik napas dalam, mencoba menenangkan gejolak dalam dadanya.Namun, beban tanggung jawab ini bukan sesuatu yang bisa ia abaikan.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status