Pagi itu, ruangan rapat masih tampak sunyi ketika Raka memasuki ruangan dengan langkah tenang, kursi rodanya bergerak perlahan di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia tiba lebih awal dari yang lain, berharap kehadirannya bisa menenangkan pikirannya sebelum pertemuan dimulai. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, penuh dengan diskusi dan pengambilan keputusan penting. Bagi Raka, ini adalah kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus-menerus menghantui sejak pertemuannya dengan Laila.
Ia sudah bertekad untuk menjalani proyek ini dengan profesionalisme. Apapun yang ia rasakan terhadap Laila, apapun rasa sakit atau kenangan manis yang kembali menyeruak, harus ia simpan jauh di sudut hatinya. Sekarang bukan saatnya terjebak dalam emosi. Sebagai seorang pemimpin proyek, ia harus memastikan semua berjalan lancar. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca besar, memberikan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Namun, di balik ketenangan pagi itu, ada ketegangan yang tak terlihat. Laila. Nama itu masih berputar di kepalanya, mengisi setiap celah pikirannya. Betapa sulitnya untuk mengabaikan perasaan yang dulu pernah ia pikir telah mati—perasaan yang kini kembali muncul dengan begitu kuat, seolah waktu tak pernah berlalu. Pintu ruang rapat terbuka, dan suara langkah kaki yang familiar mengisi ruangan. Raka tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Aroma parfum lembut yang menyertainya sudah cukup mengonfirmasi. Laila. "Selamat pagi, Raka," sapa Laila lembut, suaranya berusaha terdengar profesional, meskipun ada ketegangan tipis yang terselip di antara kata-katanya. "Selamat pagi," jawab Raka, mengangkat wajahnya dan memberikan senyum tipis. Ia berusaha sebaik mungkin untuk terlihat tenang, meskipun hatinya bergetar. Pertemuan mata mereka terasa canggung, tetapi Raka tahu ia harus menghadapinya dengan kepala dingin. Laila duduk di kursi di sebelahnya, agak jauh tetapi cukup dekat untuk membuat kehadirannya terasa. Suasana di antara mereka berdua berubah menjadi sunyi yang tak nyaman, seolah setiap kata yang diucapkan harus dipilih dengan sangat hati-hati. Namun, Raka memutuskan untuk memecah kebekuan itu dengan berbicara. "Ini akan menjadi proyek yang besar dan menantang," kata Raka, suaranya terdengar lebih datar dari yang ia harapkan. "Aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik." Laila mengangguk, tersenyum kecil. "Tentu saja. Aku yakin kita bisa memberikan yang terbaik." Mereka berdua terdiam lagi, masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Raka merasakan kehadiran Laila seperti dua sisi pedang; di satu sisi, ia merasakan kebahagiaan kecil bisa berada di dekatnya lagi, tapi di sisi lain, ada rasa sakit yang menyelip di setiap tatapan, setiap gerakan, setiap napas yang ia ambil saat berada di dekatnya. "Raka, aku ingin kita tetap profesional." Laila tiba-tiba berbicara dengan nada tegas, matanya menatap langsung ke arah Raka. "Aku tahu situasi ini tidak mudah, tapi aku ingin memastikan kalau kita tidak membiarkan masa lalu memengaruhi pekerjaan kita." Raka menelan ludahnya. Kalimat itu menohoknya dalam. Laila begitu tegas, begitu jelas menyatakan niatnya, seolah mengingatkan Raka bahwa perasaan lama mereka harus diabaikan demi proyek ini. Raka menghargai kejelasan itu, namun di dalam hatinya, ada bagian kecil yang berharap Laila masih memikirkan tentang masa lalu mereka. "Tentu," jawab Raka dengan datar. "Aku setuju. Kita harus fokus pada proyek ini." Kata-kata itu meluncur dari mulutnya dengan mudah, tetapi di dalam dirinya, ada badai yang berputar. Bagaimana mungkin ia bisa tetap profesional ketika hati dan pikirannya terus-menerus terperangkap dalam kenangan lama? Bagaimana mungkin ia bisa bersikap seolah semuanya baik-baik saja ketika kehadiran Laila mengguncang dunianya setiap kali ia menatap mata cokelatnya? Namun, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Ini adalah kehidupan nyata, bukan mimpi atau ilusi tentang cinta yang tak berbalas. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa sekarang, mereka adalah dua profesional yang bekerja sama. Tidak lebih. Tidak kurang. Waktu terus berlalu, dan anggota tim lainnya mulai berdatangan. Suasana di ruangan perlahan-lahan berubah menjadi sibuk, suara-suara diskusi mulai mengisi udara. Raka merasa lega dengan kehadiran orang lain; itu setidaknya memberinya jeda dari ketegangan di antara mereka berdua. Namun, di balik semua itu, ia tetap tak bisa benar-benar melepaskan perasaan yang membebani hatinya. Setiap kali ia melihat Laila, bahkan sekilas, ada sesuatu yang tak bisa diabaikan. Sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Setiap gerakan kecil, setiap senyum yang terpancar dari wajahnya, membawa Raka kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana segalanya lebih sederhana, lebih bahagia. "Baiklah," kata Raka, memulai pertemuan setelah semua orang telah berkumpul. Suaranya kembali tenang, menunjukkan profesionalisme yang ia coba pertahankan. "Kita akan membahas agenda proyek hari ini, termasuk tenggat waktu dan tanggung jawab masing-masing." Pertemuan berjalan lancar, dan Raka berusaha fokus sepenuhnya pada pekerjaan. Setiap kali ia merasa pikirannya mulai melayang, ia dengan cepat mengembalikannya ke pembahasan proyek. Tidak ada ruang untuk emosi sekarang, hanya ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Tetapi, sepanjang pertemuan itu, di sudut pandangnya, ia bisa melihat Laila yang sesekali menatapnya, meski hanya dengan cepat. Ada perasaan yang tak terucapkan di antara mereka, sesuatu yang belum selesai. Namun, untuk saat ini, mereka berdua memilih untuk menyimpannya, membiarkannya tetap tertahan di sudut hati mereka masing-masing. Ketika rapat akhirnya selesai, semua orang mulai membereskan barang-barang mereka, bersiap untuk kembali ke tugas masing-masing. Laila mengemasi laptopnya dengan hati-hati, menghindari tatapan langsung dengan Raka. Dia berusaha sebaik mungkin menjaga sikap profesionalnya, namun Raka tahu bahwa di dalam hatinya, Laila juga merasakan hal yang sama—kegugupan, keraguan, dan perasaan tak terucapkan yang terus menggelayuti mereka. Sebelum Laila sempat berdiri, Raka menghentikannya dengan panggilan singkat. “Laila.” Laila menoleh, sedikit terkejut. "Ya?" “Terima kasih,” ucap Raka pelan. “Untuk tetap profesional, dan untuk—” Ia ragu sejenak, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Untuk tetap di sini.” Laila tersenyum tipis, ada kehangatan dalam senyumnya yang tulus. “Sama-sama, Raka. Aku yakin kita bisa melalui ini.” Raka hanya mengangguk, membiarkan Laila pergi lebih dulu. Saat Laila melangkah keluar dari ruangan, Raka menghela napas panjang, merasa sedikit lebih lega namun tetap dibayangi oleh pertanyaan yang tak terjawab: Apakah mereka benar-benar bisa tetap profesional, atau perasaan lama itu akan terus membayangi setiap langkah mereka? Langkah Laila terdengar lembut di koridor kantor yang sepi, hanya terdengar suara sepatu haknya yang beradu dengan lantai marmer. Hatinya berdegup kencang, masih merasakan ketegangan yang menggantung di udara setelah pertemuan dengan Raka. Meskipun ia berusaha keras bersikap profesional, perasaan yang terpendam tak mudah diredam begitu saja. Pertemuan yang tadinya diharapkan hanya menjadi sebuah diskusi bisnis biasa ternyata lebih dalam, lebih rumit. Ada emosi yang bergejolak, tetapi harus ia simpan di sudut hati terdalam. Laila menghentikan langkahnya sejenak di depan jendela besar yang menghadap taman kantor. Matanya menatap ke luar, seolah-olah mencoba menenangkan pikirannya dengan keindahan alam di luar sana. Daun-daun hijau yang bergoyang ditiup angin mengingatkannya pada sesuatu yang lembut dan tenang, namun ia sadar bahwa dalam dirinya saat ini, tak ada ketenangan. "Tarik napas, Laila. Ini hanya soal pekerjaan," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, ia tahu itu bukan hanya tentang pekerjaan. Kehadiran Raka di sini, di kehidupan profesionalnya, telah membangkitkan kenangan lama yang ia pikir sudah terkubur. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan senyum itu? Bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan tatapan mata yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta begitu dalam? Rapat tadi berjalan lancar, secara teknis. Semua pembahasan proyek disampaikan dengan rapi dan detail. Raka, meskipun terkesan tenang dan terkendali, jelas berusaha keras menjaga jarak emosional. Laila menghargai usahanya, meskipun ia sendiri merasakan betapa canggung situasi itu. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka seolah dipenuhi oleh kekakuan yang tak bisa mereka sembunyikan, sebuah pengingat tentang luka masa lalu yang belum benar-benar sembuh. Namun, Laila harus tetap kuat. Ia tidak boleh membiarkan emosi menguasai dirinya. Apalagi di depan Raka. Meskipun hatinya masih terasa perih melihat keadaan Raka yang sekarang, duduk di kursi roda dengan sorot mata yang penuh duka, ia tahu bahwa ia tidak boleh terlihat lemah. Ini bukan saatnya untuk mengungkit-ungkit kenangan atau meratapi apa yang sudah hilang. Ia berusaha fokus pada hal-hal praktis. Proyek ini sangat penting, bukan hanya untuk kariernya, tetapi juga bagi timnya. Dan untuk itu, ia perlu menjaga pikiran dan hatinya tetap jernih. Ketika Laila kembali ke meja kerjanya, ia langsung membuka laptop dan mulai memeriksa beberapa dokumen proyek yang baru saja dibahas. Ia mengetik dengan kecepatan yang lebih lambat dari biasanya, jemarinya masih sedikit gemetar akibat percakapan tadi. Ada sesuatu dalam cara Raka memandangnya yang membuat hatinya terasa semakin berat. Waktu berjalan lambat saat ia berusaha keras untuk tenggelam dalam pekerjaannya. Setiap kali pikirannya mulai melayang kembali ke masa lalu, ia dengan cepat mengalihkannya, mencoba untuk tidak memikirkan Raka. Namun, bayangan lelaki itu seolah terus hadir, membayanginya. Laila berhenti sejenak, menutup matanya, dan menghela napas panjang. Ia harus menemukan cara untuk menghadapi ini. Tidak mungkin ia menghindari Raka selamanya, terlebih karena proyek ini akan membuat mereka bekerja sangat dekat. Namun, di sisi lain, bagaimana ia bisa bekerja dengan seseorang yang hatinya masih memendam rasa terhadapnya? Bagaimana ia bisa berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja, padahal ada begitu banyak kata-kata yang ingin ia sampaikan, perasaan yang tak pernah ia ungkapkan? Telepon di mejanya berdering, mengalihkan pikirannya. Laila segera mengangkatnya, berharap panggilan ini bisa menjadi alasan baginya untuk kembali fokus. "Ya, Laila di sini," suaranya terdengar lebih tenang daripada perasaannya saat ini. "Laila, saya butuh revisi cepat untuk presentasi kita besok. Bisa datang ke ruang rapat sebentar lagi?" Suara rekan kerjanya terdengar tergesa-gesa di ujung telepon. "Tentu, saya akan segera ke sana," jawab Laila tanpa ragu. Ia menutup telepon dan merapikan dokumen di mejanya. Sebuah tugas mendesak, meskipun kecil, terasa seperti penyelamat bagi pikirannya yang sedang kacau. Ia butuh distraksi—sesuatu yang bisa membantunya melupakan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Namun, tak lama setelah itu, telepon berdering kembali. Kali ini, suara yang ia dengar di ujung telepon membuat dadanya berdegup lebih kencang. "Laila, ini Raka." Nama itu terucap begitu ringan, namun dampaknya begitu besar. Laila merasakan debaran di dadanya semakin cepat, meskipun ia berusaha mati-matian untuk tetap tenang. "Ada apa, Raka?" jawabnya dengan nada datar, mencoba menutupi perasaan yang terselubung. "Aku ingin memastikan kita sejalan mengenai pembahasan tadi. Jika ada hal yang perlu didiskusikan, mungkin kita bisa mengatur pertemuan singkat sebelum rapat besok." Laila terdiam sejenak. Pertemuan singkat dengan Raka. Kedengarannya seperti mimpi buruk, tapi ia tahu itu penting. Profesionalitas harus tetap dijaga, tak peduli seberapa sulit situasinya. "Tentu. Aku akan lihat jadwalku, nanti aku kabari," jawab Laila, berusaha tetap terdengar lugas. "Baik, terima kasih," kata Raka sebelum menutup telepon. Laila menghela napas panjang setelah telepon itu berakhir. Pertemuan dengan Raka—lagi. Pikiran itu membuat hatinya terasa lebih berat, namun ia tahu ini tidak bisa dihindari. Setiap pertemuan mereka akan selalu dipenuhi ketegangan, perasaan-perasaan yang tertahan, dan kata-kata yang belum terucap. Tapi sebagai seorang profesional, ia harus bisa mengesampingkan semua itu. Saat ia berjalan menuju ruang rapat, Laila terus mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap fokus. Ini bukan tentang masa lalu. Ini tentang masa kini, tentang proyek yang harus ia selesaikan dengan baik. Tak peduli seberapa rumit perasaannya, Laila tahu ia harus menghadapinya dengan kepala tegak. Namun di lubuk hatinya, Laila tahu bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang terus menggelitik di sudut-sudut hatinya. Sesuatu yang menuntut untuk dihadapi, meski ia belum siap untuk melakukannya. Laila berjanji pada dirinya sendiri, bahwa apapun yang terjadi, ia akan menjaga profesionalisme di atas segalanya. Tapi dalam kesunyian batinnya, ia sadar bahwa menjaga hati dari terombang-ambing di lautan kenangan bersama Raka mungkin adalah tantangan terbesar yang harus ia hadapi.Di penghujung hari yang melelahkan, Laila duduk di depan cangkir kopinya yang kini hanya tersisa setengah. Di balik jendela besar di ruangannya, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna jingga yang lembut. Hembusan angin senja yang hangat terasa menenangkan, namun pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan canggung yang terus menghantui sejak pertemuan dengan Raka. Kembali bekerja dengan seseorang yang pernah begitu dekat di hatinya membuatnya sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.Laila memejamkan mata, membiarkan dirinya. terlarut dalam kenangan yang muncul begitu saja, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Wajah Raka yang dulu, senyumnya, tatapannya, seolah begitu dekat dan nyata di depan mata. Seketika, ia teringat masa-masa saat mereka masih remaja, saat segala hal terasa lebih sederhana dan perasaan mereka begitu murni.Dulu, Laila dan Raka tidak hanya sekadar teman. Mereka adalah dua jiwa yang selalu menemukan tempat nyaman di sisi satu sama lain. Setiap
Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin
Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pi
Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan."Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kit
Angin pagi mengelus lembut wajah Laila saat ia berjalan menyusuri koridor kantor yang modern dan elegan. Langkah-langkahnya terdengar tegas, namun di balik penampilannya yang anggun dan berwibawa, hatinya tak pernah sepi dari kerinduan yang tertahan. Laila adalah wanita yang telah menggapai banyak hal—karier yang gemilang, prestasi yang diakui, dan kehormatan di mata rekan-rekan kerjanya. Namun, di kedalaman jiwanya, masih ada ruang kosong yang tak pernah terisi, sebuah bayang-bayang dari masa lalu yang terus menghantui, sebuah nama yang tak pernah bisa dilupakan: Raka. Setiap kali Laila menatap keluar dari jendela kaca besar di ruang kantornya, matanya sering kali tertuju jauh ke cakrawala, seakan mencari sosok yang pernah menjadi pusat dunianya. Ia teringat kembali pada masa-masa ketika dunia terasa begitu sederhana, ketika cinta pertama menghampiri dengan tulus dan polos. Nama Raka selalu muncul di antara desah napasnya, bagai angin yang tak bisa dihalau, tak peduli seberapa keras
Hari itu, matahari menyelipkan sinarnya ke sela-sela gedung tinggi di pusat kota, memantulkan bayang-bayang yang bergerak mengikuti langkah cepat Laila. Setiap derap sepatunya di lantai marmer kantor bergaung di dalam benaknya, mengiringi ketegangan yang semakin meresap dalam tubuhnya. Laila berusaha menenangkan debar jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Ini bukan hanya rapat biasa—ini adalah pertemuan pertamanya dengan tim proyek yang melibatkan Raka. Hati Laila masih belum sepenuhnya pulih dari pertemuan kemarin. Meski ia sudah tahu akan bekerja dengan perusahaan mitra, tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa perusahaan itu akan melibatkan Raka, orang yang begitu penting dalam hidupnya di masa lalu. Pria yang pernah menjadi sumber kebahagiaannya, kini berada di ujung hatinya, mengundang luka lama yang ia kira sudah tertutup rapat. Ketika ia memasuki ruang rapat, suasana dingin AC menyambutnya, menambah kesan formal dan kaku. Beberapa anggota tim sudah berkumpul, sibuk de