Beranda / Romansa / Cinta di Kursi Roda / Bab 3: Batas Profesionalisme

Share

Bab 3: Batas Profesionalisme

Pagi itu, ruangan rapat masih tampak sunyi ketika Raka memasuki ruangan dengan langkah tenang, kursi rodanya bergerak perlahan di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia tiba lebih awal dari yang lain, berharap kehadirannya bisa menenangkan pikirannya sebelum pertemuan dimulai. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, penuh dengan diskusi dan pengambilan keputusan penting. Bagi Raka, ini adalah kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus-menerus menghantui sejak pertemuannya dengan Laila.

Ia sudah bertekad untuk menjalani proyek ini dengan profesionalisme. Apapun yang ia rasakan terhadap Laila, apapun rasa sakit atau kenangan manis yang kembali menyeruak, harus ia simpan jauh di sudut hatinya. Sekarang bukan saatnya terjebak dalam emosi. Sebagai seorang pemimpin proyek, ia harus memastikan semua berjalan lancar.

Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca besar, memberikan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Namun, di balik ketenangan pagi itu, ada ketegangan yang tak terlihat. Laila. Nama itu masih berputar di kepalanya, mengisi setiap celah pikirannya. Betapa sulitnya untuk mengabaikan perasaan yang dulu pernah ia pikir telah mati—perasaan yang kini kembali muncul dengan begitu kuat, seolah waktu tak pernah berlalu.

Pintu ruang rapat terbuka, dan suara langkah kaki yang familiar mengisi ruangan. Raka tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Aroma parfum lembut yang menyertainya sudah cukup mengonfirmasi. Laila.

"Selamat pagi, Raka," sapa Laila lembut, suaranya berusaha terdengar profesional, meskipun ada ketegangan tipis yang terselip di antara kata-katanya.

"Selamat pagi," jawab Raka, mengangkat wajahnya dan memberikan senyum tipis. Ia berusaha sebaik mungkin untuk terlihat tenang, meskipun hatinya bergetar. Pertemuan mata mereka terasa canggung, tetapi Raka tahu ia harus menghadapinya dengan kepala dingin.

Laila duduk di kursi di sebelahnya, agak jauh tetapi cukup dekat untuk membuat kehadirannya terasa. Suasana di antara mereka berdua berubah menjadi sunyi yang tak nyaman, seolah setiap kata yang diucapkan harus dipilih dengan sangat hati-hati. Namun, Raka memutuskan untuk memecah kebekuan itu dengan berbicara.

"Ini akan menjadi proyek yang besar dan menantang," kata Raka, suaranya terdengar lebih datar dari yang ia harapkan. "Aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik."

Laila mengangguk, tersenyum kecil. "Tentu saja. Aku yakin kita bisa memberikan yang terbaik."

Mereka berdua terdiam lagi, masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Raka merasakan kehadiran Laila seperti dua sisi pedang; di satu sisi, ia merasakan kebahagiaan kecil bisa berada di dekatnya lagi, tapi di sisi lain, ada rasa sakit yang menyelip di setiap tatapan, setiap gerakan, setiap napas yang ia ambil saat berada di dekatnya.

"Raka, aku ingin kita tetap profesional." Laila tiba-tiba berbicara dengan nada tegas, matanya menatap langsung ke arah Raka. "Aku tahu situasi ini tidak mudah, tapi aku ingin memastikan kalau kita tidak membiarkan masa lalu memengaruhi pekerjaan kita."

Raka menelan ludahnya. Kalimat itu menohoknya dalam. Laila begitu tegas, begitu jelas menyatakan niatnya, seolah mengingatkan Raka bahwa perasaan lama mereka harus diabaikan demi proyek ini. Raka menghargai kejelasan itu, namun di dalam hatinya, ada bagian kecil yang berharap Laila masih memikirkan tentang masa lalu mereka.

"Tentu," jawab Raka dengan datar. "Aku setuju. Kita harus fokus pada proyek ini."

Kata-kata itu meluncur dari mulutnya dengan mudah, tetapi di dalam dirinya, ada badai yang berputar. Bagaimana mungkin ia bisa tetap profesional ketika hati dan pikirannya terus-menerus terperangkap dalam kenangan lama? Bagaimana mungkin ia bisa bersikap seolah semuanya baik-baik saja ketika kehadiran Laila mengguncang dunianya setiap kali ia menatap mata cokelatnya?

Namun, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Ini adalah kehidupan nyata, bukan mimpi atau ilusi tentang cinta yang tak berbalas. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa sekarang, mereka adalah dua profesional yang bekerja sama. Tidak lebih. Tidak kurang.

Waktu terus berlalu, dan anggota tim lainnya mulai berdatangan. Suasana di ruangan perlahan-lahan berubah menjadi sibuk, suara-suara diskusi mulai mengisi udara. Raka merasa lega dengan kehadiran orang lain; itu setidaknya memberinya jeda dari ketegangan di antara mereka berdua.

Namun, di balik semua itu, ia tetap tak bisa benar-benar melepaskan perasaan yang membebani hatinya. Setiap kali ia melihat Laila, bahkan sekilas, ada sesuatu yang tak bisa diabaikan. Sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Setiap gerakan kecil, setiap senyum yang terpancar dari wajahnya, membawa Raka kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana segalanya lebih sederhana, lebih bahagia.

"Baiklah," kata Raka, memulai pertemuan setelah semua orang telah berkumpul. Suaranya kembali tenang, menunjukkan profesionalisme yang ia coba pertahankan. "Kita akan membahas agenda proyek hari ini, termasuk tenggat waktu dan tanggung jawab masing-masing."

Pertemuan berjalan lancar, dan Raka berusaha fokus sepenuhnya pada pekerjaan. Setiap kali ia merasa pikirannya mulai melayang, ia dengan cepat mengembalikannya ke pembahasan proyek. Tidak ada ruang untuk emosi sekarang, hanya ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Tetapi, sepanjang pertemuan itu, di sudut pandangnya, ia bisa melihat Laila yang sesekali menatapnya, meski hanya dengan cepat. Ada perasaan yang tak terucapkan di antara mereka, sesuatu yang belum selesai. Namun, untuk saat ini, mereka berdua memilih untuk menyimpannya, membiarkannya tetap tertahan di sudut hati mereka masing-masing.

Ketika rapat akhirnya selesai, semua orang mulai membereskan barang-barang mereka, bersiap untuk kembali ke tugas masing-masing. Laila mengemasi laptopnya dengan hati-hati, menghindari tatapan langsung dengan Raka. Dia berusaha sebaik mungkin menjaga sikap profesionalnya, namun Raka tahu bahwa di dalam hatinya, Laila juga merasakan hal yang sama—kegugupan, keraguan, dan perasaan tak terucapkan yang terus menggelayuti mereka.

Sebelum Laila sempat berdiri, Raka menghentikannya dengan panggilan singkat. “Laila.”

Laila menoleh, sedikit terkejut. "Ya?"

“Terima kasih,” ucap Raka pelan. “Untuk tetap profesional, dan untuk—” Ia ragu sejenak, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Untuk tetap di sini.”

Laila tersenyum tipis, ada kehangatan dalam senyumnya yang tulus. “Sama-sama, Raka. Aku yakin kita bisa melalui ini.”

Raka hanya mengangguk, membiarkan Laila pergi lebih dulu. Saat Laila melangkah keluar dari ruangan, Raka menghela napas panjang, merasa sedikit lebih lega namun tetap dibayangi oleh pertanyaan yang tak terjawab: Apakah mereka benar-benar bisa tetap profesional, atau perasaan lama itu akan terus membayangi setiap langkah mereka?

Langkah Laila terdengar lembut di koridor kantor yang sepi, hanya terdengar suara sepatu haknya yang beradu dengan lantai marmer. Hatinya berdegup kencang, masih merasakan ketegangan yang menggantung di udara setelah pertemuan dengan Raka. Meskipun ia berusaha keras bersikap profesional, perasaan yang terpendam tak mudah diredam begitu saja. Pertemuan yang tadinya diharapkan hanya menjadi sebuah diskusi bisnis biasa ternyata lebih dalam, lebih rumit. Ada emosi yang bergejolak, tetapi harus ia simpan di sudut hati terdalam.

Laila menghentikan langkahnya sejenak di depan jendela besar yang menghadap taman kantor. Matanya menatap ke luar, seolah-olah mencoba menenangkan pikirannya dengan keindahan alam di luar sana. Daun-daun hijau yang bergoyang ditiup angin mengingatkannya pada sesuatu yang lembut dan tenang, namun ia sadar bahwa dalam dirinya saat ini, tak ada ketenangan.

"Tarik napas, Laila. Ini hanya soal pekerjaan," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, ia tahu itu bukan hanya tentang pekerjaan. Kehadiran Raka di sini, di kehidupan profesionalnya, telah membangkitkan kenangan lama yang ia pikir sudah terkubur. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan senyum itu? Bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan tatapan mata yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta begitu dalam?

Rapat tadi berjalan lancar, secara teknis. Semua pembahasan proyek disampaikan dengan rapi dan detail. Raka, meskipun terkesan tenang dan terkendali, jelas berusaha keras menjaga jarak emosional. Laila menghargai usahanya, meskipun ia sendiri merasakan betapa canggung situasi itu. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka seolah dipenuhi oleh kekakuan yang tak bisa mereka sembunyikan, sebuah pengingat tentang luka masa lalu yang belum benar-benar sembuh.

Namun, Laila harus tetap kuat. Ia tidak boleh membiarkan emosi menguasai dirinya. Apalagi di depan Raka. Meskipun hatinya masih terasa perih melihat keadaan Raka yang sekarang, duduk di kursi roda dengan sorot mata yang penuh duka, ia tahu bahwa ia tidak boleh terlihat lemah. Ini bukan saatnya untuk mengungkit-ungkit kenangan atau meratapi apa yang sudah hilang.

Ia berusaha fokus pada hal-hal praktis. Proyek ini sangat penting, bukan hanya untuk kariernya, tetapi juga bagi timnya. Dan untuk itu, ia perlu menjaga pikiran dan hatinya tetap jernih.

Ketika Laila kembali ke meja kerjanya, ia langsung membuka laptop dan mulai memeriksa beberapa dokumen proyek yang baru saja dibahas. Ia mengetik dengan kecepatan yang lebih lambat dari biasanya, jemarinya masih sedikit gemetar akibat percakapan tadi. Ada sesuatu dalam cara Raka memandangnya yang membuat hatinya terasa semakin berat.

Waktu berjalan lambat saat ia berusaha keras untuk tenggelam dalam pekerjaannya. Setiap kali pikirannya mulai melayang kembali ke masa lalu, ia dengan cepat mengalihkannya, mencoba untuk tidak memikirkan Raka. Namun, bayangan lelaki itu seolah terus hadir, membayanginya.

Laila berhenti sejenak, menutup matanya, dan menghela napas panjang. Ia harus menemukan cara untuk menghadapi ini. Tidak mungkin ia menghindari Raka selamanya, terlebih karena proyek ini akan membuat mereka bekerja sangat dekat. Namun, di sisi lain, bagaimana ia bisa bekerja dengan seseorang yang hatinya masih memendam rasa terhadapnya? Bagaimana ia bisa berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja, padahal ada begitu banyak kata-kata yang ingin ia sampaikan, perasaan yang tak pernah ia ungkapkan?

Telepon di mejanya berdering, mengalihkan pikirannya. Laila segera mengangkatnya, berharap panggilan ini bisa menjadi alasan baginya untuk kembali fokus.

"Ya, Laila di sini," suaranya terdengar lebih tenang daripada perasaannya saat ini.

"Laila, saya butuh revisi cepat untuk presentasi kita besok. Bisa datang ke ruang rapat sebentar lagi?" Suara rekan kerjanya terdengar tergesa-gesa di ujung telepon.

"Tentu, saya akan segera ke sana," jawab Laila tanpa ragu.

Ia menutup telepon dan merapikan dokumen di mejanya. Sebuah tugas mendesak, meskipun kecil, terasa seperti penyelamat bagi pikirannya yang sedang kacau. Ia butuh distraksi—sesuatu yang bisa membantunya melupakan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.

Namun, tak lama setelah itu, telepon berdering kembali. Kali ini, suara yang ia dengar di ujung telepon membuat dadanya berdegup lebih kencang.

"Laila, ini Raka."

Nama itu terucap begitu ringan, namun dampaknya begitu besar. Laila merasakan debaran di dadanya semakin cepat, meskipun ia berusaha mati-matian untuk tetap tenang.

"Ada apa, Raka?" jawabnya dengan nada datar, mencoba menutupi perasaan yang terselubung.

"Aku ingin memastikan kita sejalan mengenai pembahasan tadi. Jika ada hal yang perlu didiskusikan, mungkin kita bisa mengatur pertemuan singkat sebelum rapat besok."

Laila terdiam sejenak. Pertemuan singkat dengan Raka. Kedengarannya seperti mimpi buruk, tapi ia tahu itu penting. Profesionalitas harus tetap dijaga, tak peduli seberapa sulit situasinya.

"Tentu. Aku akan lihat jadwalku, nanti aku kabari," jawab Laila, berusaha tetap terdengar lugas.

"Baik, terima kasih," kata Raka sebelum menutup telepon.

Laila menghela napas panjang setelah telepon itu berakhir. Pertemuan dengan Raka—lagi. Pikiran itu membuat hatinya terasa lebih berat, namun ia tahu ini tidak bisa dihindari. Setiap pertemuan mereka akan selalu dipenuhi ketegangan, perasaan-perasaan yang tertahan, dan kata-kata yang belum terucap. Tapi sebagai seorang profesional, ia harus bisa mengesampingkan semua itu.

Saat ia berjalan menuju ruang rapat, Laila terus mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap fokus. Ini bukan tentang masa lalu. Ini tentang masa kini, tentang proyek yang harus ia selesaikan dengan baik. Tak peduli seberapa rumit perasaannya, Laila tahu ia harus menghadapinya dengan kepala tegak.

Namun di lubuk hatinya, Laila tahu bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang terus menggelitik di sudut-sudut hatinya. Sesuatu yang menuntut untuk dihadapi, meski ia belum siap untuk melakukannya.

Laila berjanji pada dirinya sendiri, bahwa apapun yang terjadi, ia akan menjaga profesionalisme di atas segalanya. Tapi dalam kesunyian batinnya, ia sadar bahwa menjaga hati dari terombang-ambing di lautan kenangan bersama Raka mungkin adalah tantangan terbesar yang harus ia hadapi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status