Beranda / Romansa / Cinta di Kursi Roda / Bab 3: Batas Profesionalisme

Share

Bab 3: Batas Profesionalisme

Penulis: Restu Bumi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-04 14:41:41

Pagi itu, ruangan rapat masih tampak sunyi ketika Raka memasuki ruangan dengan langkah tenang, kursi rodanya bergerak perlahan di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia tiba lebih awal dari yang lain, berharap kehadirannya bisa menenangkan pikirannya sebelum pertemuan dimulai. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, penuh dengan diskusi dan pengambilan keputusan penting. Bagi Raka, ini adalah kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus-menerus menghantui sejak pertemuannya dengan Laila.

Ia sudah bertekad untuk menjalani proyek ini dengan profesionalisme. Apapun yang ia rasakan terhadap Laila, apapun rasa sakit atau kenangan manis yang kembali menyeruak, harus ia simpan jauh di sudut hatinya. Sekarang bukan saatnya terjebak dalam emosi. Sebagai seorang pemimpin proyek, ia harus memastikan semua berjalan lancar.

Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca besar, memberikan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Namun, di balik ketenangan pagi itu, ada ketegangan yang tak terlihat. Laila. Nama itu masih berputar di kepalanya, mengisi setiap celah pikirannya. Betapa sulitnya untuk mengabaikan perasaan yang dulu pernah ia pikir telah mati—perasaan yang kini kembali muncul dengan begitu kuat, seolah waktu tak pernah berlalu.

Pintu ruang rapat terbuka, dan suara langkah kaki yang familiar mengisi ruangan. Raka tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Aroma parfum lembut yang menyertainya sudah cukup mengonfirmasi. Laila.

"Selamat pagi, Raka," sapa Laila lembut, suaranya berusaha terdengar profesional, meskipun ada ketegangan tipis yang terselip di antara kata-katanya.

"Selamat pagi," jawab Raka, mengangkat wajahnya dan memberikan senyum tipis. Ia berusaha sebaik mungkin untuk terlihat tenang, meskipun hatinya bergetar. Pertemuan mata mereka terasa canggung, tetapi Raka tahu ia harus menghadapinya dengan kepala dingin.

Laila duduk di kursi di sebelahnya, agak jauh tetapi cukup dekat untuk membuat kehadirannya terasa. Suasana di antara mereka berdua berubah menjadi sunyi yang tak nyaman, seolah setiap kata yang diucapkan harus dipilih dengan sangat hati-hati. Namun, Raka memutuskan untuk memecah kebekuan itu dengan berbicara.

"Ini akan menjadi proyek yang besar dan menantang," kata Raka, suaranya terdengar lebih datar dari yang ia harapkan. "Aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik."

Laila mengangguk, tersenyum kecil. "Tentu saja. Aku yakin kita bisa memberikan yang terbaik."

Mereka berdua terdiam lagi, masing-masing terjebak dalam pikiran mereka sendiri. Raka merasakan kehadiran Laila seperti dua sisi pedang; di satu sisi, ia merasakan kebahagiaan kecil bisa berada di dekatnya lagi, tapi di sisi lain, ada rasa sakit yang menyelip di setiap tatapan, setiap gerakan, setiap napas yang ia ambil saat berada di dekatnya.

"Raka, aku ingin kita tetap profesional." Laila tiba-tiba berbicara dengan nada tegas, matanya menatap langsung ke arah Raka. "Aku tahu situasi ini tidak mudah, tapi aku ingin memastikan kalau kita tidak membiarkan masa lalu memengaruhi pekerjaan kita."

Raka menelan ludahnya. Kalimat itu menohoknya dalam. Laila begitu tegas, begitu jelas menyatakan niatnya, seolah mengingatkan Raka bahwa perasaan lama mereka harus diabaikan demi proyek ini. Raka menghargai kejelasan itu, namun di dalam hatinya, ada bagian kecil yang berharap Laila masih memikirkan tentang masa lalu mereka.

"Tentu," jawab Raka dengan datar. "Aku setuju. Kita harus fokus pada proyek ini."

Kata-kata itu meluncur dari mulutnya dengan mudah, tetapi di dalam dirinya, ada badai yang berputar. Bagaimana mungkin ia bisa tetap profesional ketika hati dan pikirannya terus-menerus terperangkap dalam kenangan lama? Bagaimana mungkin ia bisa bersikap seolah semuanya baik-baik saja ketika kehadiran Laila mengguncang dunianya setiap kali ia menatap mata cokelatnya?

Namun, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Ini adalah kehidupan nyata, bukan mimpi atau ilusi tentang cinta yang tak berbalas. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa sekarang, mereka adalah dua profesional yang bekerja sama. Tidak lebih. Tidak kurang.

Waktu terus berlalu, dan anggota tim lainnya mulai berdatangan. Suasana di ruangan perlahan-lahan berubah menjadi sibuk, suara-suara diskusi mulai mengisi udara. Raka merasa lega dengan kehadiran orang lain; itu setidaknya memberinya jeda dari ketegangan di antara mereka berdua.

Namun, di balik semua itu, ia tetap tak bisa benar-benar melepaskan perasaan yang membebani hatinya. Setiap kali ia melihat Laila, bahkan sekilas, ada sesuatu yang tak bisa diabaikan. Sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Setiap gerakan kecil, setiap senyum yang terpancar dari wajahnya, membawa Raka kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana segalanya lebih sederhana, lebih bahagia.

"Baiklah," kata Raka, memulai pertemuan setelah semua orang telah berkumpul. Suaranya kembali tenang, menunjukkan profesionalisme yang ia coba pertahankan. "Kita akan membahas agenda proyek hari ini, termasuk tenggat waktu dan tanggung jawab masing-masing."

Pertemuan berjalan lancar, dan Raka berusaha fokus sepenuhnya pada pekerjaan. Setiap kali ia merasa pikirannya mulai melayang, ia dengan cepat mengembalikannya ke pembahasan proyek. Tidak ada ruang untuk emosi sekarang, hanya ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Tetapi, sepanjang pertemuan itu, di sudut pandangnya, ia bisa melihat Laila yang sesekali menatapnya, meski hanya dengan cepat. Ada perasaan yang tak terucapkan di antara mereka, sesuatu yang belum selesai. Namun, untuk saat ini, mereka berdua memilih untuk menyimpannya, membiarkannya tetap tertahan di sudut hati mereka masing-masing.

Ketika rapat akhirnya selesai, semua orang mulai membereskan barang-barang mereka, bersiap untuk kembali ke tugas masing-masing. Laila mengemasi laptopnya dengan hati-hati, menghindari tatapan langsung dengan Raka. Dia berusaha sebaik mungkin menjaga sikap profesionalnya, namun Raka tahu bahwa di dalam hatinya, Laila juga merasakan hal yang sama—kegugupan, keraguan, dan perasaan tak terucapkan yang terus menggelayuti mereka.

Sebelum Laila sempat berdiri, Raka menghentikannya dengan panggilan singkat. “Laila.”

Laila menoleh, sedikit terkejut. "Ya?"

“Terima kasih,” ucap Raka pelan. “Untuk tetap profesional, dan untuk—” Ia ragu sejenak, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Untuk tetap di sini.”

Laila tersenyum tipis, ada kehangatan dalam senyumnya yang tulus. “Sama-sama, Raka. Aku yakin kita bisa melalui ini.”

Raka hanya mengangguk, membiarkan Laila pergi lebih dulu. Saat Laila melangkah keluar dari ruangan, Raka menghela napas panjang, merasa sedikit lebih lega namun tetap dibayangi oleh pertanyaan yang tak terjawab: Apakah mereka benar-benar bisa tetap profesional, atau perasaan lama itu akan terus membayangi setiap langkah mereka?

Langkah Laila terdengar lembut di koridor kantor yang sepi, hanya terdengar suara sepatu haknya yang beradu dengan lantai marmer. Hatinya berdegup kencang, masih merasakan ketegangan yang menggantung di udara setelah pertemuan dengan Raka. Meskipun ia berusaha keras bersikap profesional, perasaan yang terpendam tak mudah diredam begitu saja. Pertemuan yang tadinya diharapkan hanya menjadi sebuah diskusi bisnis biasa ternyata lebih dalam, lebih rumit. Ada emosi yang bergejolak, tetapi harus ia simpan di sudut hati terdalam.

Laila menghentikan langkahnya sejenak di depan jendela besar yang menghadap taman kantor. Matanya menatap ke luar, seolah-olah mencoba menenangkan pikirannya dengan keindahan alam di luar sana. Daun-daun hijau yang bergoyang ditiup angin mengingatkannya pada sesuatu yang lembut dan tenang, namun ia sadar bahwa dalam dirinya saat ini, tak ada ketenangan.

"Tarik napas, Laila. Ini hanya soal pekerjaan," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, ia tahu itu bukan hanya tentang pekerjaan. Kehadiran Raka di sini, di kehidupan profesionalnya, telah membangkitkan kenangan lama yang ia pikir sudah terkubur. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan senyum itu? Bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan tatapan mata yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta begitu dalam?

Rapat tadi berjalan lancar, secara teknis. Semua pembahasan proyek disampaikan dengan rapi dan detail. Raka, meskipun terkesan tenang dan terkendali, jelas berusaha keras menjaga jarak emosional. Laila menghargai usahanya, meskipun ia sendiri merasakan betapa canggung situasi itu. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka seolah dipenuhi oleh kekakuan yang tak bisa mereka sembunyikan, sebuah pengingat tentang luka masa lalu yang belum benar-benar sembuh.

Namun, Laila harus tetap kuat. Ia tidak boleh membiarkan emosi menguasai dirinya. Apalagi di depan Raka. Meskipun hatinya masih terasa perih melihat keadaan Raka yang sekarang, duduk di kursi roda dengan sorot mata yang penuh duka, ia tahu bahwa ia tidak boleh terlihat lemah. Ini bukan saatnya untuk mengungkit-ungkit kenangan atau meratapi apa yang sudah hilang.

Ia berusaha fokus pada hal-hal praktis. Proyek ini sangat penting, bukan hanya untuk kariernya, tetapi juga bagi timnya. Dan untuk itu, ia perlu menjaga pikiran dan hatinya tetap jernih.

Ketika Laila kembali ke meja kerjanya, ia langsung membuka laptop dan mulai memeriksa beberapa dokumen proyek yang baru saja dibahas. Ia mengetik dengan kecepatan yang lebih lambat dari biasanya, jemarinya masih sedikit gemetar akibat percakapan tadi. Ada sesuatu dalam cara Raka memandangnya yang membuat hatinya terasa semakin berat.

Waktu berjalan lambat saat ia berusaha keras untuk tenggelam dalam pekerjaannya. Setiap kali pikirannya mulai melayang kembali ke masa lalu, ia dengan cepat mengalihkannya, mencoba untuk tidak memikirkan Raka. Namun, bayangan lelaki itu seolah terus hadir, membayanginya.

Laila berhenti sejenak, menutup matanya, dan menghela napas panjang. Ia harus menemukan cara untuk menghadapi ini. Tidak mungkin ia menghindari Raka selamanya, terlebih karena proyek ini akan membuat mereka bekerja sangat dekat. Namun, di sisi lain, bagaimana ia bisa bekerja dengan seseorang yang hatinya masih memendam rasa terhadapnya? Bagaimana ia bisa berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja, padahal ada begitu banyak kata-kata yang ingin ia sampaikan, perasaan yang tak pernah ia ungkapkan?

Telepon di mejanya berdering, mengalihkan pikirannya. Laila segera mengangkatnya, berharap panggilan ini bisa menjadi alasan baginya untuk kembali fokus.

"Ya, Laila di sini," suaranya terdengar lebih tenang daripada perasaannya saat ini.

"Laila, saya butuh revisi cepat untuk presentasi kita besok. Bisa datang ke ruang rapat sebentar lagi?" Suara rekan kerjanya terdengar tergesa-gesa di ujung telepon.

"Tentu, saya akan segera ke sana," jawab Laila tanpa ragu.

Ia menutup telepon dan merapikan dokumen di mejanya. Sebuah tugas mendesak, meskipun kecil, terasa seperti penyelamat bagi pikirannya yang sedang kacau. Ia butuh distraksi—sesuatu yang bisa membantunya melupakan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.

Namun, tak lama setelah itu, telepon berdering kembali. Kali ini, suara yang ia dengar di ujung telepon membuat dadanya berdegup lebih kencang.

"Laila, ini Raka."

Nama itu terucap begitu ringan, namun dampaknya begitu besar. Laila merasakan debaran di dadanya semakin cepat, meskipun ia berusaha mati-matian untuk tetap tenang.

"Ada apa, Raka?" jawabnya dengan nada datar, mencoba menutupi perasaan yang terselubung.

"Aku ingin memastikan kita sejalan mengenai pembahasan tadi. Jika ada hal yang perlu didiskusikan, mungkin kita bisa mengatur pertemuan singkat sebelum rapat besok."

Laila terdiam sejenak. Pertemuan singkat dengan Raka. Kedengarannya seperti mimpi buruk, tapi ia tahu itu penting. Profesionalitas harus tetap dijaga, tak peduli seberapa sulit situasinya.

"Tentu. Aku akan lihat jadwalku, nanti aku kabari," jawab Laila, berusaha tetap terdengar lugas.

"Baik, terima kasih," kata Raka sebelum menutup telepon.

Laila menghela napas panjang setelah telepon itu berakhir. Pertemuan dengan Raka—lagi. Pikiran itu membuat hatinya terasa lebih berat, namun ia tahu ini tidak bisa dihindari. Setiap pertemuan mereka akan selalu dipenuhi ketegangan, perasaan-perasaan yang tertahan, dan kata-kata yang belum terucap. Tapi sebagai seorang profesional, ia harus bisa mengesampingkan semua itu.

Saat ia berjalan menuju ruang rapat, Laila terus mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap fokus. Ini bukan tentang masa lalu. Ini tentang masa kini, tentang proyek yang harus ia selesaikan dengan baik. Tak peduli seberapa rumit perasaannya, Laila tahu ia harus menghadapinya dengan kepala tegak.

Namun di lubuk hatinya, Laila tahu bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang terus menggelitik di sudut-sudut hatinya. Sesuatu yang menuntut untuk dihadapi, meski ia belum siap untuk melakukannya.

Laila berjanji pada dirinya sendiri, bahwa apapun yang terjadi, ia akan menjaga profesionalisme di atas segalanya. Tapi dalam kesunyian batinnya, ia sadar bahwa menjaga hati dari terombang-ambing di lautan kenangan bersama Raka mungkin adalah tantangan terbesar yang harus ia hadapi.

Bab terkait

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 4: Kenangan yang Terukir di Masa Lalu

    Di penghujung hari yang melelahkan, Laila duduk di depan cangkir kopinya yang kini hanya tersisa setengah. Di balik jendela besar di ruangannya, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna jingga yang lembut. Hembusan angin senja yang hangat terasa menenangkan, namun pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan canggung yang terus menghantui sejak pertemuan dengan Raka. Kembali bekerja dengan seseorang yang pernah begitu dekat di hatinya membuatnya sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.Laila memejamkan mata, membiarkan dirinya. terlarut dalam kenangan yang muncul begitu saja, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Wajah Raka yang dulu, senyumnya, tatapannya, seolah begitu dekat dan nyata di depan mata. Seketika, ia teringat masa-masa saat mereka masih remaja, saat segala hal terasa lebih sederhana dan perasaan mereka begitu murni.Dulu, Laila dan Raka tidak hanya sekadar teman. Mereka adalah dua jiwa yang selalu menemukan tempat nyaman di sisi satu sama lain. Setiap

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 5: Jarak yang Tak Terjangkau

    Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 6: Luka yang Tersembunyi di Balik Waktu

    Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 7: Riak-riak di Bawah Permukaan

    Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan."Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kit

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 8: Batas-batas yang Tak Terlihat

    Pagi itu, sinar matahari menyusup perlahan melalui celah-celah jendela ruang kantor, menciptakan bayangan lembut yang menari di dinding. Suara burung-burung berkicau dari kejauhan, namun di dalam ruangan yang diisi Laila dan Raka, keheningan mendominasi. Ada perasaan tegang yang menyelubungi udara, meskipun tidak ada kata yang terucap.Raka duduk di meja kerjanya, jarak fisik antara mereka terasa begitu dekat, namun di antara mereka ada tembok-tembok tak terlihat yang semakin menjulang tinggi. Setiap gerakan Laila, setiap helaan napasnya, seakan menarik Raka untuk mendekat, namun ia menahan dirinya. Di balik wajahnya yang tenang, tersimpan lautan emosi yang bergejolak, tetapi ia tahu, jika ia membiarkan dirinya hanyut terlalu jauh, ia mungkin tidak akan pernah bisa kembali.Ia menjaga jarak.Laila menyadari sikap Raka yang semakin menjauh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Sudah beberapa hari berlalu sejak mereka mulai bekerja lebih intensif bersama, namun seiring waktu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 9: Senyum yang Tertahan di Antara Jarak

    Pagi itu terasa berbeda. Meski matahari masih malu-malu menyusup dari balik tirai awan, ada kehangatan yang lembut merambati ruangan tempat Laila dan Raka bekerja. Seperti biasanya, mereka tenggelam dalam tugas-tugas proyek yang menyita perhatian. Keduanya larut dalam keheningan yang tak lagi terasa begitu membebani, namun tetap ada jarak yang belum tersentuh. Jarak yang seakan dibuat oleh garis-garis tak terlihat, namun nyata.Laila duduk di meja kerjanya, matanya sesekali melirik ke arah Raka. Sejak hari-hari terakhir, ada perubahan kecil yang terasa dalam sikapnya. Raka memang masih menjaga jarak, masih tersembunyi di balik sikap dinginnya, tapi Laila tahu, di balik semua itu, ada sesuatu yang mulai mencair. Mungkin itu hanya imajinasinya, atau mungkin harapannya, namun setiap kali Laila berada di dekat Raka, ia bisa merasakan denyut kecil di antara keduanya—seperti sisa-sisa cinta yang pernah ada.Di sudut ruangan, Raka sedang berdiri, mengamati papan tulis yang penuh dengan skets

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 10: Kenangan yang Terpendam

    Sore itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Laila duduk di balkon apartemennya, memandangi langit yang berwarna jingga, memikirkan perasaannya yang mulai tidak bisa ia abaikan. Cahaya matahari yang perlahan memudar seolah menggambarkan apa yang tengah terjadi dalam hatinya—kenangan lama yang kembali menyeruak, membawa perasaan yang dulu begitu kuat, namun kini dibalut oleh penyesalan.Sudah bertahun-tahun berlalu sejak hari itu. Hari di mana semuanya berubah, saat ia dan Raka memilih jalan masing-masing tanpa sempat menyelesaikan apa yang terlanjur hancur. Ketika mereka masih remaja, dunia terasa begitu besar dan penuh kemungkinan, tetapi juga dipenuhi oleh ketidakpastian yang menyelimuti masa depan mereka. Sekarang, di hadapannya, dunia itu terasa lebih kecil, namun luka lama yang terpendam kembali mencuat, menghantui setiap detik waktu yang ia habiskan bersama Raka di proyek ini.Laila memejamkan mata, membiarkan ingatannya kembali ke masa-masa re

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 11: Di Ambang Frustrasi

    Langit pagi yang biasanya terasa hangat kini tampak kelabu, seolah mencerminkan apa yang berkecamuk di dalam hati Laila. Sudah beberapa minggu berlalu, dan meskipun ia terus berusaha untuk tetap sabar, ada perasaan frustrasi yang perlahan-lahan mulai tumbuh. Raka, dengan segala ketidakpastian dan dinding emosionalnya, masih tetap berusaha menjaga jarak, dan hal itu membuat Laila semakin sulit untuk mendekat.Setiap kali Laila mencoba membuka diri, mengulurkan tangan melalui kata-kata yang lembut, atau sekadar dengan kehadirannya yang diam namun mendukung, Raka selalu berhasil menemukan cara untuk menghindar. Ia mengalihkan pandangan, menyibukkan diri dengan pekerjaan, atau sekadar membatasi percakapan mereka pada hal-hal yang sifatnya formal dan teknis. Laila bisa melihat perubahan kecil dalam sikapnya, momen-momen di mana Raka hampir saja membuka dirinya, tetapi kemudian menarik diri lagi secepat kilat, seolah takut dengan apa yang mungkin terjadi jika ia benar-benar membiarkan hatin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21

Bab terbaru

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 70: Di ujung Pengorbanan

    Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah langit turut merasakan beban yang ada di hati Laila. Di ruang tamu kecilnya, Laila duduk sendirian, memandangi layar ponselnya yang hening. Sejak beberapa hari terakhir, Raka mulai menjaga jarak. Percakapan mereka yang dulu hangat dan penuh dengan tawa kini berubah menjadi percakapan singkat dan dingin, seolah hanya sekadar memenuhi kewajiban. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Laila, sesuatu yang ia rasakan tapi belum berani ia tanyakan langsung.Malam itu, Laila tidak bisa menahan diri lagi. Ia memutuskan untuk menemui Raka. Menghubunginya dan memintanya datang ke taman di dekat rumah mereka, tempat di mana mereka biasa berbagi cerita dan menghabiskan waktu bersama. Tempat yang pernah menjadi saksi tawa dan janji-janji mereka.Tak lama, Raka tiba. Diatas kursi roda, Wajahnya terlihat muram, seakan-akan ia membawa beban berat yang sulit ia lepaskan. Laila mencoba tersenyum, berusaha mencairkan suasana, namun Raka hanya

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 69: Ombak dalam Sunyi

    Pagi itu, Laila merasa atmosfer di kantornya sedikit berbeda. Tatapan beberapa rekan kerjanya tampak lebih tajam, seolah ada sesuatu yang tengah mereka simpan, sesuatu yang hanya mereka bagi lewat lirikan dan bisikan. Laila mencoba untuk tetap tenang, tak ingin larut dalam spekulasi atau kekhawatiran. Ia percaya bahwa cinta dan pilihan hidupnya bukanlah urusan orang lain.Namun, tanpa disadari, percakapan itu ternyata lebih dari sekadar bisikan samar. Beberapa rekan kerja mulai berbicara di belakangnya, meremehkan pilihannya untuk bersama Raka, yang bagi mereka dianggap tidak "sepadan." Bagi sebagian orang di sana, Laila adalah sosok yang berprestasi, penuh bakat, dan berasal dari keluarga yang terpandang. Mereka melihatnya layak mendapatkan pasangan yang, menurut standar mereka, lebih sempurna dan menjanjikan masa depan yang lebih cerah. Raka, dengan segala keterbatasan dan kesederhanaannya, bagi mereka hanyalah seseorang yang tidak seharusnya berada di sisi Laila."Dia bisa mendapat

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 68: Di Antara Dua Hati

    Laila duduk termenung di sudut ruang tamu yang sepi. Udara pagi yang sejuk menyusup lewat jendela, namun hatinya terasa jauh dari ketenangan. Suara lembut angin seolah tak bisa menenangkan pikiran yang bergejolak. Pikirannya dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi dengan keluarganya.Hari itu, seperti biasa, keluarganya menanyakan tentang hubungannya dengan Raka. Namun kali ini, pertanyaan mereka bukan lagi sekadar perhatian. Mereka mulai mempertanyakan keputusan Laila untuk bertahan di sisi Raka. Di mata keluarganya, Raka adalah seseorang yang dianggap tak sepadan, seseorang yang—menurut mereka—membuat Laila terlalu banyak berkorban.“Laila, kamu layak mendapatkan yang lebih baik,” ucap ibunya dengan nada lembut, namun penuh ketegasan. “Raka mungkin pria yang baik, tapi lihatlah dirimu. Kamu sudah terlalu banyak memberi, terlalu banyak berkorban.”Kata-kata itu menghantam Laila seperti ombak yang menghantam karang, perlahan meruntuhkan keteguhan hatinya. Ia merasa seperti ber

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 67: Keberanian untuk Mengakhiri

    Siang itu, Laila duduk di sudut kafe dekat kantornya, menunggu Toni yang sebentar lagi akan datang. Cahaya matahari yang lembut menyelinap melalui jendela, membuat bayang-bayang halus di sekitar meja. Hatinya berdebar, bukan karena perasaan yang ia simpan untuk Toni, tapi karena tekadnya untuk mengakhiri kebingungan ini. Ia tahu, percakapan ini akan menjadi langkah yang berat, namun penting untuk menjaga keutuhan hubungannya dengan Raka.Tak lama, Toni datang. Wajahnya cerah, dengan senyum yang mengembang ketika ia melihat Laila. Bagi Toni, ajakan untuk bicara empat mata ini adalah harapan baru. Harapan yang ia bangun sejak awal mengenal Laila. Tetapi Toni tidak menyadari bahwa pertemuan ini akan menjadi akhir dari segala harapan yang ia jaga selama ini."Toni, terima kasih sudah meluangkan waktu," kata Laila lembut namun serius, saat Toni duduk di hadapannya. Ia menatap mata Toni dengan ketenangan yang diselimuti kesungguhan, berusaha menunjukkan bahwa pembicaraan ini bukanlah hal ya

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 66: Di Persimpangan Rasa

    Sore itu, matahari merangkak turun, meninggalkan jejak keemasan di cakrawala yang berangsur redup. Laila berdiri di depan gedung kantor, menunggu Raka. Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan ujung-ujung rambutnya, seakan turut merasakan detik-detik yang penuh harapan. Hari itu, Laila ingin mengajak Raka jalan-jalan setelah kerja, untuk sejenak melupakan rutinitas dan berbagi tawa di bawah langit yang mulai gelap.Raka muncul dari kejauhan, langkahnya tenang seperti biasanya, namun wajahnya sedikit tampak muram. Saat ia menghampiri Laila, sorot matanya terpancar redup, seolah-olah menyimpan suatu keraguan yang tak mampu ia ungkapkan. Laila tersenyum hangat, menyambut Raka dengan riang, seperti senja yang menyambut malam."Raka," sapanya lembut. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar sebelum pulang? Aku ingin menikmati suasana kota sore ini, dan kupikir… kamu mungkin mau menemaniku."Senyum tipis terbit di wajah Raka, namun hatinya bergejolak. Ada perasaan gundah yang tak mampu

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 65: Bayang-bayang Ragu

    Malam telah menyelimuti kota dengan keheningan yang penuh misteri. Bintang-bintang bertebaran di langit, memancarkan sinar yang redup namun tak pernah padam, seolah menjadi saksi atas segala kegelisahan dan keraguan yang kini menyelimuti hati Raka. Di tengah sunyi yang menenangkan, Raka duduk di tepi jendela kamar, menatap jauh ke dalam gelap, tenggelam dalam renungan yang tak henti-hentinya menyusup ke dalam hatinya.Hatinya terasa berat. Meskipun ada tekad dalam dirinya untuk memperjuangkan perasaan terhadap Laila, kenyataan yang tak bisa ia abaikan kembali menyergapnya—kondisi fisiknya yang terbatas. Tubuhnya yang tak sempurna seperti duri yang menancap dalam-dalam di hatinya, membawa kembali rasa minder yang selama ini ia usahakan untuk sembunyikan."Apakah aku layak untuk Laila?" pertanyaan itu menggaung dalam pikirannya, mengalun seperti nada sendu yang tak berujung. Laila adalah sosok yang lembut dan penuh cahaya, yang selalu membawa keceriaan di mana pun ia berada. Raka bertan

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 64: Senandung yang Tak Sampai

    Sore menjelang petang di kantor, ketika sinar matahari perlahan-lahan menghilang, meninggalkan bayangan lembut di sepanjang ruangan. Laila duduk di mejanya, merapikan dokumen-dokumen terakhir sebelum pulang. Suasana mulai lengang, hanya beberapa karyawan yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya, termasuk Toni yang duduk tak jauh dari Laila.Raka berada tak jauh dari meja Laila, tetapi ia bersembunyi di balik dinding kaca yang memisahkan ruangan mereka. Tanpa sengaja, telinganya menangkap suara lembut Toni yang sedang berbicara dengan Laila.“Laila, bagaimana kalau malam ini kita makan malam bersama?” ajak Toni, suaranya terdengar penuh harap.Raka tertegun. Ajakan Toni itu menusuk hatinya, seolah-olah Toni sedang melangkah ke ruang yang selama ini ia jaga penuh ketenangan. Bayangan Laila dan Toni duduk berdua di meja makan, berbicara dengan akrab, tawa Laila yang mengalir untuk Toni – semua itu berputar-putar dalam pikirannya.Tanpa menunggu jawaban Laila, Raka memilih untuk segera

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 63: Riak di Balik Kedalaman Hati

    Hari-hari berlalu, dan Toni semakin tak bisa mengingkari keinginannya untuk lebih dekat dengan Laila. Setiap percakapan mereka, bahkan yang hanya sesaat, selalu berakhir dengan harapan yang terselip di dalam senyumnya. Ia mengamati gerak-gerik Laila, cara dia bicara dengan tenang, cara ia mengedipkan mata yang selalu membawa ketenangan. Di mata Toni, Laila bagaikan aliran sungai yang tenang, namun menyimpan kedalaman misteri yang sulit untuk diselami.Di setiap kesempatan, Toni mencari celah untuk berada di sekitar Laila. Di waktu makan siang, ia dengan sengaja memilih duduk di dekatnya, berharap bisa mengobrol meskipun hanya tentang hal-hal sederhana. Jika mereka sedang mengerjakan proyek yang sama, Toni selalu siap membantu tanpa diminta, seolah ingin membuktikan bahwa ia selalu ada. Meskipun Laila sering menanggapi Toni dengan sikap biasa saja, Toni tidak menyerah. Justru di sanalah tantangan dan keindahannya. Ia merasa bahwa setiap momen bersama Laila bagaikan mengumpulkan butiran

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 62: Pesona yang Tersembunyi

    Beberapa minggu telah berlalu sejak Toni bergabung dengan tim, dan suasana kantor masih dipenuhi oleh keceriaan yang ia bawa. Setiap pagi, Toni datang dengan senyum hangat dan semangat baru, membuat orang-orang di sekitarnya merasa lebih hidup. Kehadirannya bukan hanya melengkapi tim dalam hal pekerjaan, tetapi juga membawa kebahagiaan yang sederhana namun berarti.Namun, di balik keramahan dan keceriaan Toni, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di dalam hatinya. Sebuah rasa yang tak terduga, yang ia sendiri sulit untuk mengerti. Setiap kali ia menatap Laila, melihat senyum lembutnya atau mendengar suaranya yang tenang, hati Toni bergetar dengan cara yang baru dan aneh. Seperti aliran sungai yang mengalir tenang namun dalam, perasaannya pada Laila semakin hari semakin tumbuh tanpa bisa ia bendung.Toni mencoba menahan dirinya, mencoba meyakinkan hati bahwa mungkin ini hanyalah kekaguman semata. Namun, semakin ia berusaha untuk mengabaikan perasaannya, semakin kuat pula perasaan itu berak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status