Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti." Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin tinggi, menghalangi siapa pun untuk masuk lebih jauh ke dalam kehidupannya. Raka kembali menekuni laptop di mejanya, jari-jarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan yang tampak terlatih. Seolah-olah seluruh dunia Raka hanya berputar di sekitar pekerjaannya. Laila berdiri di ambang pintu, memandangi punggung Raka yang tampak tegar, tapi juga penuh jarak. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, namun kini semuanya terasa begitu tak penting di hadapan pria yang tampak memusatkan seluruh perhatian pada layar komputer di depannya. Ada jeda di antara mereka, bukan hanya dalam percakapan, tetapi dalam hati mereka masing-masing. Laila dapat merasakan betapa kuatnya Raka menjaga jarak, seolah-olah ia sengaja membangun benteng di sekeliling dirinya. Entah apa yang disembunyikan Raka, tetapi satu hal yang jelas, ia tidak ingin terlibat dalam pembicaraan yang lebih pribadi, apalagi tentang masa lalu mereka. "Baiklah, kalau begitu. Aku tidak akan mengganggumu," Laila akhirnya berkata, suaranya hampir bergetar. Meski begitu, ia mencoba untuk terdengar tenang, meski ada bagian dari dirinya yang sangat ingin memecah keheningan itu, ingin Raka melihatnya, benar-benar melihatnya. Tanpa menunggu jawaban dari Raka, Laila berbalik dan melangkah keluar dari ruangan. Namun, di setiap langkah yang ia ambil, ia merasa ada sesuatu yang hilang, ada keinginan yang tak terucapkan untuk menoleh ke belakang, berharap Raka akan memanggil namanya atau setidaknya memberikan tanda bahwa ia juga merasakan apa yang ia rasakan. Namun, tidak ada suara yang memanggilnya. Tidak ada tanda. Raka tetap di tempatnya, terperangkap dalam dunianya sendiri, tenggelam dalam pekerjaan yang tampaknya menjadi satu-satunya pelariannya dari realitas emosional yang mungkin terlalu berat untuk dihadapi. Di kantornya sendiri, Laila duduk dengan gelisah. Tangannya memegang pena, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Pertemuan singkat dengan Raka barusan terus menghantui pikirannya. Ia tahu, ada sesuatu yang Raka sembunyikan, sesuatu yang jauh lebih dalam dari apa yang tampak di permukaan. Tetapi, semakin ia berusaha mendekat, semakin Raka menjauh. Ada misteri di balik sikap dinginnya yang tidak bisa Laila pahami sepenuhnya, dan itu membuatnya semakin frustasi. Laila menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tidak boleh membiarkan emosi menguasai dirinya, terutama di saat-saat seperti ini. Mereka sedang bekerja sama dalam sebuah proyek besar, dan hal terakhir yang ia butuhkan adalah ketidakprofesionalan. Tapi bagaimana caranya ia bisa mengesampingkan perasaan ini ketika setiap kali ia melihat Raka, kenangan masa lalu terus datang menghantam, memaksa dirinya untuk bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka? Sore itu, saat matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi kota, Laila keluar dari kantornya. Suasana senja yang perlahan meredup membuatnya semakin tenggelam dalam pikiran. Ia berjalan tanpa arah, membiarkan langkah-langkahnya membawa dirinya ke suatu tempat di mana ia bisa berpikir jernih. Ia berhenti di sebuah taman kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Taman ini mengingatkannya pada tempat di mana ia dan Raka dulu sering menghabiskan waktu bersama, duduk di bawah pohon yang rindang, membicarakan mimpi-mimpi mereka. Namun sekarang, kenangan itu terasa begitu jauh, seperti mimpi yang samar-samar dan sulit untuk digenggam. Laila duduk di bangku kayu, membiarkan angin sepoi-sepoi membelai wajahnya. Ia mencoba untuk menghilangkan beban di pikirannya, tapi itu lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Raka adalah bagian dari dirinya yang tidak pernah benar-benar hilang, meski mereka sudah lama berpisah. Dan sekarang, ketika mereka kembali bertemu, semua perasaan itu kembali, muncul tanpa diundang, mengacaukan semua yang selama ini ia coba simpan rapat-rapat. Sementara itu, di kantor yang sudah sepi, Raka masih duduk di mejanya. Tapi tidak seperti sebelumnya, pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada layar komputer di depannya. Ada bayangan Laila yang terus mengganggu benaknya. Setiap kali ia berusaha kembali ke pekerjaannya, wajah Laila muncul, mengingatkan dirinya pada semua yang telah terjadi di masa lalu. Raka tahu bahwa ia telah menjaga jarak dengan sengaja. Ia tahu bahwa semakin ia terlibat dengan Laila, semakin besar risiko untuk membuka luka lama yang selama ini ia coba sembunyikan. Ada alasan mengapa ia memilih untuk fokus pada pekerjaannya, mengalihkan perhatiannya dari segala sesuatu yang bersifat pribadi. Karena di dalam hatinya, ada rasa takut—takut bahwa jika ia membuka diri lagi, semua rasa sakit itu akan kembali menghantamnya. Tetapi, seberapa lama ia bisa terus menghindari kenyataan? Raka menatap layar komputernya yang kini terlihat buram di matanya. Pikirannya terus bergulir, membawa dirinya kembali ke masa-masa ketika ia dan Laila begitu dekat, ketika dunia terasa lebih sederhana dan mimpi-mimpi mereka terasa mungkin. Namun sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan yang sulit untuk ia sentuh kembali. Dan semakin keras ia berusaha menutup pintu masa lalu, semakin besar dorongan dalam dirinya untuk melihat ke belakang. Namun, ia tahu satu hal: selama ini, ia telah memilih jalannya. Jalan yang memisahkan dirinya dari semua keterikatan emosional. Dan sekarang, dengan Laila kembali di hidupnya, ia harus memutuskan—apakah akan terus berjalan di jalan yang sama, ataukah membiarkan dirinya sekali lagi merasakan apa yang selama ini ia hindari. Dalam kesunyian kantornya, Raka merasa lebih sendirian daripada sebelumnya. Sore itu, ruang rapat terasa sunyi setelah pertemuan singkat yang menegangkan. Laila menatap meja di depannya, jemarinya menggenggam pena seolah-olah itu adalah satu-satunya penopang untuk menjaga ketenangannya. Di seberangnya, Raka duduk tegak dengan sikap tenang, namun ada jarak yang tak terlukiskan di antara mereka. Mereka berdua diam, larut dalam pikiran masing-masing, tetapi ada sesuatu yang bergetar di udara—sebuah pertanyaan tak terucapkan yang menggantung di antara mereka, menunggu untuk dibuka. Laila menggigit bibirnya perlahan, hatinya berdebar. Bagaimana caranya memulai pembicaraan ini tanpa membuatnya semakin canggung? Sudah beberapa kali ia mencoba, namun setiap kali kata-kata hampir meluncur, keberanian itu menguap begitu saja. Tapi sekarang, di momen sunyi ini, ia merasa dorongan untuk menyentuh masa lalu itu tak bisa ditahan lagi. Ada terlalu banyak yang belum terungkap, terlalu banyak kenangan yang belum terselesaikan. Ia harus memulai dari suatu tempat. “Aku ingat, dulu kita pernah duduk seperti ini,” Laila mulai, suaranya lembut, hampir seperti bisikan. “Waktu itu di kafe kecil dekat kantor. Kau ingat?” Raka tidak langsung menjawab. Matanya tetap fokus pada layar laptop di depannya, meski Laila bisa melihat perubahan halus di wajahnya—sebuah senyum kecil yang hampir tak tampak, sekilas kenangan yang muncul di benaknya. “Iya, aku ingat,” jawab Raka akhirnya, namun suaranya terdengar hati-hati, seperti seseorang yang sedang melangkah di atas es tipis. "Itu waktu kita masih sama-sama kuliah, kan?" Laila mengangguk pelan. "Benar. Kita duduk di pojok, memesan kopi, dan berbicara tentang impian kita. Rasanya waktu itu semuanya terasa begitu mudah dan mungkin.” Raka terdiam, kembali menatap layar. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme yang teratur, seolah-olah mencari jalan keluar dari percakapan ini. Namun, Laila tidak menyerah. Ia tahu bahwa ini adalah momen yang tepat, bahwa mereka perlu berbicara, meski hanya sedikit tentang masa lalu. "Aku sering memikirkan masa-masa itu, Raka," lanjut Laila, kali ini suaranya lebih pelan, lebih penuh perasaan. "Tentang semua yang kita rencanakan... dan apa yang tidak pernah terjadi." Untuk sesaat, keheningan memenuhi ruangan. Udara terasa tebal, hampir sulit dihirup. Laila berharap Raka akan mengatakan sesuatu, bahkan jika itu hanya sepatah kata sederhana. Namun, yang didapatnya hanyalah anggukan kecil yang nyaris tak terlihat. “Kau tidak pernah bertanya-tanya?” Laila memberanikan diri, menatap wajah Raka, mencari jejak emosi di balik ketenangan yang begitu dijaga. “Apa yang akan terjadi jika kita tetap bersama? Jika kita… tidak kehilangan kontak?” Raka tersenyum, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Laila, kita semua punya perjalanan masing-masing. Apa yang terjadi di masa lalu... mungkin memang seharusnya begitu.” Kata-katanya begitu datar, hampir tanpa perasaan, namun cukup jelas untuk menghentikan percakapan lebih jauh. Laila merasa ada dinding yang lebih kuat di antara mereka sekarang. Bukan hanya jarak fisik, tapi juga benteng yang Raka bangun di sekeliling dirinya—benteng yang tidak mudah ditembus oleh percakapan ringan tentang masa lalu. Laila tersenyum tipis, meski ada kepedihan yang merayap di dadanya. Ia tahu bahwa percakapan ini tidak akan membawa mereka ke mana-mana. Raka jelas tidak ingin membuka diri, apalagi mengungkapkan apa yang ia rasakan saat ini. "Mungkin kau benar," bisiknya, mencoba untuk tidak terdengar kecewa. Raka menatapnya sebentar, lalu beralih ke topik lain dengan halus, seolah-olah percakapan tentang masa lalu itu tidak pernah terjadi. "Bagaimana dengan ide untuk mempresentasikan rencana kita kepada tim eksekutif besok? Aku pikir itu langkah yang baik untuk memastikan semua orang berada di jalur yang sama." Laila menghela napas dalam hati. Raka, dengan cara yang lembut namun tegas, telah mengalihkan pembicaraan. Ia tahu ini adalah caranya menjaga jarak—menjauh dari apapun yang terlalu pribadi, terlalu dekat dengan hatinya. Ia kembali ke peran profesionalnya, menjadikan pekerjaan sebagai pelindung dari pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam. “Ya, aku setuju,” jawab Laila akhirnya, meski nada suaranya terdengar lebih tenang dari sebelumnya. “Presentasi besok harus sempurna. Kita harus memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.” Raka mengangguk, wajahnya kembali serius, terfokus pada proyek mereka. "Aku akan mengirimkan beberapa poin tambahan nanti malam. Pastikan kau melihatnya sebelum kita bertemu dengan tim." Laila mengangguk, meski pikirannya masih tersangkut pada percakapan yang tak terselesaikan barusan. Ia merindukan saat-saat di mana mereka bisa berbicara tanpa batasan, tanpa dinding yang memisahkan mereka. Namun, ia juga sadar bahwa situasi ini jauh berbeda dari dulu. Raka bukan lagi pria yang sama, begitu pula dirinya. Mereka berdua telah berubah—oleh waktu, oleh keadaan, dan oleh keputusan-keputusan yang diambil selama bertahun-tahun. Dan meskipun ia ingin sekali menggali lebih dalam, Laila tahu bahwa Raka telah memilih jalannya. Jalan yang membuatnya tetap berada di jarak yang aman, jauh dari semua perasaan yang mungkin kembali menyakitkan. Sore itu, ketika Laila pulang, bayang-bayang Raka masih menghantui pikirannya. Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti teka-teki yang sulit dipecahkan. Kenapa ia begitu tertutup? Apakah benar, seperti yang Raka katakan, bahwa masa lalu mereka memang seharusnya dibiarkan begitu saja? Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang Laila rasakan—sesuatu yang tidak diucapkan Raka, namun hadir dalam setiap gerakan, setiap tatapan singkat yang mereka bagi. Ada perasaan tertahan di sana, sesuatu yang Raka coba sembunyikan dengan begitu keras. Dan itu membuat Laila semakin yakin bahwa meski Raka berusaha menjaga jarak, ada bagian dari dirinya yang masih terhubung dengan masa lalu mereka. Saat ia menutup pintu apartemennya dan duduk di sofa, Laila merenungkan semua yang terjadi hari itu. Ada sesuatu yang tertinggal, sesuatu yang belum terselesaikan. Dan meski Raka berusaha mengalihkan topik, ia tidak bisa menutupi fakta bahwa kenangan itu masih hidup, setidaknya di antara mereka. Malam semakin larut, namun pikiran Laila terus berkeliaran. Ia tidak tahu bagaimana akhirnya, namun satu hal yang pasti—percakapan mereka belum selesai.Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pi
Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan."Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kit
Angin pagi mengelus lembut wajah Laila saat ia berjalan menyusuri koridor kantor yang modern dan elegan. Langkah-langkahnya terdengar tegas, namun di balik penampilannya yang anggun dan berwibawa, hatinya tak pernah sepi dari kerinduan yang tertahan. Laila adalah wanita yang telah menggapai banyak hal—karier yang gemilang, prestasi yang diakui, dan kehormatan di mata rekan-rekan kerjanya. Namun, di kedalaman jiwanya, masih ada ruang kosong yang tak pernah terisi, sebuah bayang-bayang dari masa lalu yang terus menghantui, sebuah nama yang tak pernah bisa dilupakan: Raka. Setiap kali Laila menatap keluar dari jendela kaca besar di ruang kantornya, matanya sering kali tertuju jauh ke cakrawala, seakan mencari sosok yang pernah menjadi pusat dunianya. Ia teringat kembali pada masa-masa ketika dunia terasa begitu sederhana, ketika cinta pertama menghampiri dengan tulus dan polos. Nama Raka selalu muncul di antara desah napasnya, bagai angin yang tak bisa dihalau, tak peduli seberapa keras
Hari itu, matahari menyelipkan sinarnya ke sela-sela gedung tinggi di pusat kota, memantulkan bayang-bayang yang bergerak mengikuti langkah cepat Laila. Setiap derap sepatunya di lantai marmer kantor bergaung di dalam benaknya, mengiringi ketegangan yang semakin meresap dalam tubuhnya. Laila berusaha menenangkan debar jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Ini bukan hanya rapat biasa—ini adalah pertemuan pertamanya dengan tim proyek yang melibatkan Raka. Hati Laila masih belum sepenuhnya pulih dari pertemuan kemarin. Meski ia sudah tahu akan bekerja dengan perusahaan mitra, tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa perusahaan itu akan melibatkan Raka, orang yang begitu penting dalam hidupnya di masa lalu. Pria yang pernah menjadi sumber kebahagiaannya, kini berada di ujung hatinya, mengundang luka lama yang ia kira sudah tertutup rapat. Ketika ia memasuki ruang rapat, suasana dingin AC menyambutnya, menambah kesan formal dan kaku. Beberapa anggota tim sudah berkumpul, sibuk de
Pagi itu, ruangan rapat masih tampak sunyi ketika Raka memasuki ruangan dengan langkah tenang, kursi rodanya bergerak perlahan di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia tiba lebih awal dari yang lain, berharap kehadirannya bisa menenangkan pikirannya sebelum pertemuan dimulai. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, penuh dengan diskusi dan pengambilan keputusan penting. Bagi Raka, ini adalah kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus-menerus menghantui sejak pertemuannya dengan Laila. Ia sudah bertekad untuk menjalani proyek ini dengan profesionalisme. Apapun yang ia rasakan terhadap Laila, apapun rasa sakit atau kenangan manis yang kembali menyeruak, harus ia simpan jauh di sudut hatinya. Sekarang bukan saatnya terjebak dalam emosi. Sebagai seorang pemimpin proyek, ia harus memastikan semua berjalan lancar. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca besar, memberikan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Namun, di balik ketenangan pagi itu, ada
Di penghujung hari yang melelahkan, Laila duduk di depan cangkir kopinya yang kini hanya tersisa setengah. Di balik jendela besar di ruangannya, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna jingga yang lembut. Hembusan angin senja yang hangat terasa menenangkan, namun pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan canggung yang terus menghantui sejak pertemuan dengan Raka. Kembali bekerja dengan seseorang yang pernah begitu dekat di hatinya membuatnya sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.Laila memejamkan mata, membiarkan dirinya. terlarut dalam kenangan yang muncul begitu saja, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Wajah Raka yang dulu, senyumnya, tatapannya, seolah begitu dekat dan nyata di depan mata. Seketika, ia teringat masa-masa saat mereka masih remaja, saat segala hal terasa lebih sederhana dan perasaan mereka begitu murni.Dulu, Laila dan Raka tidak hanya sekadar teman. Mereka adalah dua jiwa yang selalu menemukan tempat nyaman di sisi satu sama lain. Setiap