Home / Romansa / Cinta di Kursi Roda / Bab 5: Jarak yang Tak Terjangkau

Share

Bab 5: Jarak yang Tak Terjangkau

Author: Restu Bumi
last update Last Updated: 2024-11-15 10:44:30

Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."

Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin tinggi, menghalangi siapa pun untuk masuk lebih jauh ke dalam kehidupannya.

Raka kembali menekuni laptop di mejanya, jari-jarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan yang tampak terlatih. Seolah-olah seluruh dunia Raka hanya berputar di sekitar pekerjaannya. Laila berdiri di ambang pintu, memandangi punggung Raka yang tampak tegar, tapi juga penuh jarak. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, namun kini semuanya terasa begitu tak penting di hadapan pria yang tampak memusatkan seluruh perhatian pada layar komputer di depannya.

Ada jeda di antara mereka, bukan hanya dalam percakapan, tetapi dalam hati mereka masing-masing. Laila dapat merasakan betapa kuatnya Raka menjaga jarak, seolah-olah ia sengaja membangun benteng di sekeliling dirinya. Entah apa yang disembunyikan Raka, tetapi satu hal yang jelas, ia tidak ingin terlibat dalam pembicaraan yang lebih pribadi, apalagi tentang masa lalu mereka.

"Baiklah, kalau begitu. Aku tidak akan mengganggumu," Laila akhirnya berkata, suaranya hampir bergetar. Meski begitu, ia mencoba untuk terdengar tenang, meski ada bagian dari dirinya yang sangat ingin memecah keheningan itu, ingin Raka melihatnya, benar-benar melihatnya.

Tanpa menunggu jawaban dari Raka, Laila berbalik dan melangkah keluar dari ruangan. Namun, di setiap langkah yang ia ambil, ia merasa ada sesuatu yang hilang, ada keinginan yang tak terucapkan untuk menoleh ke belakang, berharap Raka akan memanggil namanya atau setidaknya memberikan tanda bahwa ia juga merasakan apa yang ia rasakan.

Namun, tidak ada suara yang memanggilnya. Tidak ada tanda.

Raka tetap di tempatnya, terperangkap dalam dunianya sendiri, tenggelam dalam pekerjaan yang tampaknya menjadi satu-satunya pelariannya dari realitas emosional yang mungkin terlalu berat untuk dihadapi.

Di kantornya sendiri, Laila duduk dengan gelisah. Tangannya memegang pena, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Pertemuan singkat dengan Raka barusan terus menghantui pikirannya. Ia tahu, ada sesuatu yang Raka sembunyikan, sesuatu yang jauh lebih dalam dari apa yang tampak di permukaan. Tetapi, semakin ia berusaha mendekat, semakin Raka menjauh. Ada misteri di balik sikap dinginnya yang tidak bisa Laila pahami sepenuhnya, dan itu membuatnya semakin frustasi.

Laila menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tidak boleh membiarkan emosi menguasai dirinya, terutama di saat-saat seperti ini. Mereka sedang bekerja sama dalam sebuah proyek besar, dan hal terakhir yang ia butuhkan adalah ketidakprofesionalan. Tapi bagaimana caranya ia bisa mengesampingkan perasaan ini ketika setiap kali ia melihat Raka, kenangan masa lalu terus datang menghantam, memaksa dirinya untuk bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?

Sore itu, saat matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi kota, Laila keluar dari kantornya. Suasana senja yang perlahan meredup membuatnya semakin tenggelam dalam pikiran. Ia berjalan tanpa arah, membiarkan langkah-langkahnya membawa dirinya ke suatu tempat di mana ia bisa berpikir jernih.

Ia berhenti di sebuah taman kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Taman ini mengingatkannya pada tempat di mana ia dan Raka dulu sering menghabiskan waktu bersama, duduk di bawah pohon yang rindang, membicarakan mimpi-mimpi mereka. Namun sekarang, kenangan itu terasa begitu jauh, seperti mimpi yang samar-samar dan sulit untuk digenggam.

Laila duduk di bangku kayu, membiarkan angin sepoi-sepoi membelai wajahnya. Ia mencoba untuk menghilangkan beban di pikirannya, tapi itu lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Raka adalah bagian dari dirinya yang tidak pernah benar-benar hilang, meski mereka sudah lama berpisah. Dan sekarang, ketika mereka kembali bertemu, semua perasaan itu kembali, muncul tanpa diundang, mengacaukan semua yang selama ini ia coba simpan rapat-rapat.

Sementara itu, di kantor yang sudah sepi, Raka masih duduk di mejanya. Tapi tidak seperti sebelumnya, pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada layar komputer di depannya. Ada bayangan Laila yang terus mengganggu benaknya. Setiap kali ia berusaha kembali ke pekerjaannya, wajah Laila muncul, mengingatkan dirinya pada semua yang telah terjadi di masa lalu.

Raka tahu bahwa ia telah menjaga jarak dengan sengaja. Ia tahu bahwa semakin ia terlibat dengan Laila, semakin besar risiko untuk membuka luka lama yang selama ini ia coba sembunyikan. Ada alasan mengapa ia memilih untuk fokus pada pekerjaannya, mengalihkan perhatiannya dari segala sesuatu yang bersifat pribadi. Karena di dalam hatinya, ada rasa takut—takut bahwa jika ia membuka diri lagi, semua rasa sakit itu akan kembali menghantamnya.

Tetapi, seberapa lama ia bisa terus menghindari kenyataan?

Raka menatap layar komputernya yang kini terlihat buram di matanya. Pikirannya terus bergulir, membawa dirinya kembali ke masa-masa ketika ia dan Laila begitu dekat, ketika dunia terasa lebih sederhana dan mimpi-mimpi mereka terasa mungkin. Namun sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan yang sulit untuk ia sentuh kembali. Dan semakin keras ia berusaha menutup pintu masa lalu, semakin besar dorongan dalam dirinya untuk melihat ke belakang.

Namun, ia tahu satu hal: selama ini, ia telah memilih jalannya. Jalan yang memisahkan dirinya dari semua keterikatan emosional. Dan sekarang, dengan Laila kembali di hidupnya, ia harus memutuskan—apakah akan terus berjalan di jalan yang sama, ataukah membiarkan dirinya sekali lagi merasakan apa yang selama ini ia hindari.

Dalam kesunyian kantornya, Raka merasa lebih sendirian daripada sebelumnya.

Sore itu, ruang rapat terasa sunyi setelah pertemuan singkat yang menegangkan. Laila menatap meja di depannya, jemarinya menggenggam pena seolah-olah itu adalah satu-satunya penopang untuk menjaga ketenangannya. Di seberangnya, Raka duduk tegak dengan sikap tenang, namun ada jarak yang tak terlukiskan di antara mereka. Mereka berdua diam, larut dalam pikiran masing-masing, tetapi ada sesuatu yang bergetar di udara—sebuah pertanyaan tak terucapkan yang menggantung di antara mereka, menunggu untuk dibuka.

Laila menggigit bibirnya perlahan, hatinya berdebar. Bagaimana caranya memulai pembicaraan ini tanpa membuatnya semakin canggung? Sudah beberapa kali ia mencoba, namun setiap kali kata-kata hampir meluncur, keberanian itu menguap begitu saja. Tapi sekarang, di momen sunyi ini, ia merasa dorongan untuk menyentuh masa lalu itu tak bisa ditahan lagi. Ada terlalu banyak yang belum terungkap, terlalu banyak kenangan yang belum terselesaikan. Ia harus memulai dari suatu tempat.

“Aku ingat, dulu kita pernah duduk seperti ini,” Laila mulai, suaranya lembut, hampir seperti bisikan. “Waktu itu di kafe kecil dekat kantor. Kau ingat?”

Raka tidak langsung menjawab. Matanya tetap fokus pada layar laptop di depannya, meski Laila bisa melihat perubahan halus di wajahnya—sebuah senyum kecil yang hampir tak tampak, sekilas kenangan yang muncul di benaknya.

“Iya, aku ingat,” jawab Raka akhirnya, namun suaranya terdengar hati-hati, seperti seseorang yang sedang melangkah di atas es tipis. "Itu waktu kita masih sama-sama kuliah, kan?"

Laila mengangguk pelan. "Benar. Kita duduk di pojok, memesan kopi, dan berbicara tentang impian kita. Rasanya waktu itu semuanya terasa begitu mudah dan mungkin.”

Raka terdiam, kembali menatap layar. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme yang teratur, seolah-olah mencari jalan keluar dari percakapan ini. Namun, Laila tidak menyerah. Ia tahu bahwa ini adalah momen yang tepat, bahwa mereka perlu berbicara, meski hanya sedikit tentang masa lalu.

"Aku sering memikirkan masa-masa itu, Raka," lanjut Laila, kali ini suaranya lebih pelan, lebih penuh perasaan. "Tentang semua yang kita rencanakan... dan apa yang tidak pernah terjadi."

Untuk sesaat, keheningan memenuhi ruangan. Udara terasa tebal, hampir sulit dihirup. Laila berharap Raka akan mengatakan sesuatu, bahkan jika itu hanya sepatah kata sederhana. Namun, yang didapatnya hanyalah anggukan kecil yang nyaris tak terlihat.

“Kau tidak pernah bertanya-tanya?” Laila memberanikan diri, menatap wajah Raka, mencari jejak emosi di balik ketenangan yang begitu dijaga. “Apa yang akan terjadi jika kita tetap bersama? Jika kita… tidak kehilangan kontak?”

Raka tersenyum, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Laila, kita semua punya perjalanan masing-masing. Apa yang terjadi di masa lalu... mungkin memang seharusnya begitu.”

Kata-katanya begitu datar, hampir tanpa perasaan, namun cukup jelas untuk menghentikan percakapan lebih jauh. Laila merasa ada dinding yang lebih kuat di antara mereka sekarang. Bukan hanya jarak fisik, tapi juga benteng yang Raka bangun di sekeliling dirinya—benteng yang tidak mudah ditembus oleh percakapan ringan tentang masa lalu.

Laila tersenyum tipis, meski ada kepedihan yang merayap di dadanya. Ia tahu bahwa percakapan ini tidak akan membawa mereka ke mana-mana. Raka jelas tidak ingin membuka diri, apalagi mengungkapkan apa yang ia rasakan saat ini. "Mungkin kau benar," bisiknya, mencoba untuk tidak terdengar kecewa.

Raka menatapnya sebentar, lalu beralih ke topik lain dengan halus, seolah-olah percakapan tentang masa lalu itu tidak pernah terjadi. "Bagaimana dengan ide untuk mempresentasikan rencana kita kepada tim eksekutif besok? Aku pikir itu langkah yang baik untuk memastikan semua orang berada di jalur yang sama."

Laila menghela napas dalam hati. Raka, dengan cara yang lembut namun tegas, telah mengalihkan pembicaraan. Ia tahu ini adalah caranya menjaga jarak—menjauh dari apapun yang terlalu pribadi, terlalu dekat dengan hatinya. Ia kembali ke peran profesionalnya, menjadikan pekerjaan sebagai pelindung dari pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam.

“Ya, aku setuju,” jawab Laila akhirnya, meski nada suaranya terdengar lebih tenang dari sebelumnya. “Presentasi besok harus sempurna. Kita harus memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.”

Raka mengangguk, wajahnya kembali serius, terfokus pada proyek mereka. "Aku akan mengirimkan beberapa poin tambahan nanti malam. Pastikan kau melihatnya sebelum kita bertemu dengan tim."

Laila mengangguk, meski pikirannya masih tersangkut pada percakapan yang tak terselesaikan barusan. Ia merindukan saat-saat di mana mereka bisa berbicara tanpa batasan, tanpa dinding yang memisahkan mereka. Namun, ia juga sadar bahwa situasi ini jauh berbeda dari dulu. Raka bukan lagi pria yang sama, begitu pula dirinya.

Mereka berdua telah berubah—oleh waktu, oleh keadaan, dan oleh keputusan-keputusan yang diambil selama bertahun-tahun. Dan meskipun ia ingin sekali menggali lebih dalam, Laila tahu bahwa Raka telah memilih jalannya. Jalan yang membuatnya tetap berada di jarak yang aman, jauh dari semua perasaan yang mungkin kembali menyakitkan.

Sore itu, ketika Laila pulang, bayang-bayang Raka masih menghantui pikirannya. Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti teka-teki yang sulit dipecahkan. Kenapa ia begitu tertutup? Apakah benar, seperti yang Raka katakan, bahwa masa lalu mereka memang seharusnya dibiarkan begitu saja?

Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang Laila rasakan—sesuatu yang tidak diucapkan Raka, namun hadir dalam setiap gerakan, setiap tatapan singkat yang mereka bagi. Ada perasaan tertahan di sana, sesuatu yang Raka coba sembunyikan dengan begitu keras. Dan itu membuat Laila semakin yakin bahwa meski Raka berusaha menjaga jarak, ada bagian dari dirinya yang masih terhubung dengan masa lalu mereka.

Saat ia menutup pintu apartemennya dan duduk di sofa, Laila merenungkan semua yang terjadi hari itu. Ada sesuatu yang tertinggal, sesuatu yang belum terselesaikan. Dan meski Raka berusaha mengalihkan topik, ia tidak bisa menutupi fakta bahwa kenangan itu masih hidup, setidaknya di antara mereka.

Malam semakin larut, namun pikiran Laila terus berkeliaran. Ia tidak tahu bagaimana akhirnya, namun satu hal yang pasti—percakapan mereka belum selesai.

Related chapters

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 6: Luka yang Tersembunyi di Balik Waktu

    Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pi

    Last Updated : 2024-11-16
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 7: Riak-riak di Bawah Permukaan

    Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan."Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kit

    Last Updated : 2024-11-17
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 8: Batas-batas yang Tak Terlihat

    Pagi itu, sinar matahari menyusup perlahan melalui celah-celah jendela ruang kantor, menciptakan bayangan lembut yang menari di dinding. Suara burung-burung berkicau dari kejauhan, namun di dalam ruangan yang diisi Laila dan Raka, keheningan mendominasi. Ada perasaan tegang yang menyelubungi udara, meskipun tidak ada kata yang terucap.Raka duduk di meja kerjanya, jarak fisik antara mereka terasa begitu dekat, namun di antara mereka ada tembok-tembok tak terlihat yang semakin menjulang tinggi. Setiap gerakan Laila, setiap helaan napasnya, seakan menarik Raka untuk mendekat, namun ia menahan dirinya. Di balik wajahnya yang tenang, tersimpan lautan emosi yang bergejolak, tetapi ia tahu, jika ia membiarkan dirinya hanyut terlalu jauh, ia mungkin tidak akan pernah bisa kembali.Ia menjaga jarak.Laila menyadari sikap Raka yang semakin menjauh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Sudah beberapa hari berlalu sejak mereka mulai bekerja lebih intensif bersama, namun seiring waktu

    Last Updated : 2024-11-18
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 9: Senyum yang Tertahan di Antara Jarak

    Pagi itu terasa berbeda. Meski matahari masih malu-malu menyusup dari balik tirai awan, ada kehangatan yang lembut merambati ruangan tempat Laila dan Raka bekerja. Seperti biasanya, mereka tenggelam dalam tugas-tugas proyek yang menyita perhatian. Keduanya larut dalam keheningan yang tak lagi terasa begitu membebani, namun tetap ada jarak yang belum tersentuh. Jarak yang seakan dibuat oleh garis-garis tak terlihat, namun nyata.Laila duduk di meja kerjanya, matanya sesekali melirik ke arah Raka. Sejak hari-hari terakhir, ada perubahan kecil yang terasa dalam sikapnya. Raka memang masih menjaga jarak, masih tersembunyi di balik sikap dinginnya, tapi Laila tahu, di balik semua itu, ada sesuatu yang mulai mencair. Mungkin itu hanya imajinasinya, atau mungkin harapannya, namun setiap kali Laila berada di dekat Raka, ia bisa merasakan denyut kecil di antara keduanya—seperti sisa-sisa cinta yang pernah ada.Di sudut ruangan, Raka sedang berdiri, mengamati papan tulis yang penuh dengan skets

    Last Updated : 2024-11-19
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 10: Kenangan yang Terpendam

    Sore itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Laila duduk di balkon apartemennya, memandangi langit yang berwarna jingga, memikirkan perasaannya yang mulai tidak bisa ia abaikan. Cahaya matahari yang perlahan memudar seolah menggambarkan apa yang tengah terjadi dalam hatinya—kenangan lama yang kembali menyeruak, membawa perasaan yang dulu begitu kuat, namun kini dibalut oleh penyesalan.Sudah bertahun-tahun berlalu sejak hari itu. Hari di mana semuanya berubah, saat ia dan Raka memilih jalan masing-masing tanpa sempat menyelesaikan apa yang terlanjur hancur. Ketika mereka masih remaja, dunia terasa begitu besar dan penuh kemungkinan, tetapi juga dipenuhi oleh ketidakpastian yang menyelimuti masa depan mereka. Sekarang, di hadapannya, dunia itu terasa lebih kecil, namun luka lama yang terpendam kembali mencuat, menghantui setiap detik waktu yang ia habiskan bersama Raka di proyek ini.Laila memejamkan mata, membiarkan ingatannya kembali ke masa-masa re

    Last Updated : 2024-11-20
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 11: Di Ambang Frustrasi

    Langit pagi yang biasanya terasa hangat kini tampak kelabu, seolah mencerminkan apa yang berkecamuk di dalam hati Laila. Sudah beberapa minggu berlalu, dan meskipun ia terus berusaha untuk tetap sabar, ada perasaan frustrasi yang perlahan-lahan mulai tumbuh. Raka, dengan segala ketidakpastian dan dinding emosionalnya, masih tetap berusaha menjaga jarak, dan hal itu membuat Laila semakin sulit untuk mendekat.Setiap kali Laila mencoba membuka diri, mengulurkan tangan melalui kata-kata yang lembut, atau sekadar dengan kehadirannya yang diam namun mendukung, Raka selalu berhasil menemukan cara untuk menghindar. Ia mengalihkan pandangan, menyibukkan diri dengan pekerjaan, atau sekadar membatasi percakapan mereka pada hal-hal yang sifatnya formal dan teknis. Laila bisa melihat perubahan kecil dalam sikapnya, momen-momen di mana Raka hampir saja membuka dirinya, tetapi kemudian menarik diri lagi secepat kilat, seolah takut dengan apa yang mungkin terjadi jika ia benar-benar membiarkan hatin

    Last Updated : 2024-11-21
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 12: Dialog yang Tertahan

    Langit pagi tampak muram, seolah turut merasakan ketegangan yang memenuhi hati Laila. Udara di sekitar mereka terasa lembap, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kesunyian di antara mereka berdua. Setelah berhari-hari mencoba memecahkan jarak yang kian melebar, Laila merasa sudah tiba saatnya untuk berbicara lebih terbuka dengan Raka. Ia tidak ingin terus berada dalam ketidakpastian, terjebak dalam bayang-bayang perasaan yang tak pernah tersampaikan dengan jelas.Laila menatap sosok Raka yang sedang duduk di meja kerja. Cahaya matahari yang menerobos dari jendela memantul pada wajahnya, memperlihatkan ekspresi tenang, tetapi tidak tenang di hati Laila. Ada dinding yang tinggi dan tebal antara mereka, dinding yang hanya bisa dihancurkan oleh kata-kata, jika saja Raka mau berbicara lebih jujur."Laila?" suara Raka memecah lamunan. Laila tersentak, menyadari bahwa ia sudah cukup lama terdiam."Raka, kita perlu bicara," jawabnya pelan, dengan nada yang terjaga, seolah tidak ing

    Last Updated : 2024-11-22
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 13: Tetap Bertahan di Tengah Kepedihan

    Hening merayap di sudut ruangan, membawa dingin yang merayap ke dalam hati Laila. Setelah percakapan terakhirnya dengan Raka, segala harapan yang perlahan ia bangun terasa runtuh. Raka telah menolaknya. Kata-kata itu, meskipun tersirat, terasa seperti palu yang menghantam hatinya. Ia bisa melihatnya jelas dalam cara Raka menjauh, dalam kebekuan yang tetap menggantung di udara meskipun mereka telah mencoba berbicara. Raka masih memilih untuk menghindar, menolak kehangatan yang ia tawarkan, seperti tembok tebal yang tetap kokoh meski sudah ia ketuk berulang kali.Laila berdiri di tengah keheningan, mengingat setiap detik dari percakapan mereka. Tatapan Raka yang redup, suaranya yang penuh ketegasan, seolah menggenggam tali yang mengikat hatinya erat-erat, membuatnya hampir sulit bernapas. Namun di balik setiap kepedihan yang mengguncang dadanya, Laila tahu bahwa ia tidak akan pergi. Ia tidak akan menyerah meskipun dirinya kini terluka lebih dalam dari sebelumnya. Cinta tidak pernah semu

    Last Updated : 2024-11-23

Latest chapter

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 70: Di ujung Pengorbanan

    Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah langit turut merasakan beban yang ada di hati Laila. Di ruang tamu kecilnya, Laila duduk sendirian, memandangi layar ponselnya yang hening. Sejak beberapa hari terakhir, Raka mulai menjaga jarak. Percakapan mereka yang dulu hangat dan penuh dengan tawa kini berubah menjadi percakapan singkat dan dingin, seolah hanya sekadar memenuhi kewajiban. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Laila, sesuatu yang ia rasakan tapi belum berani ia tanyakan langsung.Malam itu, Laila tidak bisa menahan diri lagi. Ia memutuskan untuk menemui Raka. Menghubunginya dan memintanya datang ke taman di dekat rumah mereka, tempat di mana mereka biasa berbagi cerita dan menghabiskan waktu bersama. Tempat yang pernah menjadi saksi tawa dan janji-janji mereka.Tak lama, Raka tiba. Diatas kursi roda, Wajahnya terlihat muram, seakan-akan ia membawa beban berat yang sulit ia lepaskan. Laila mencoba tersenyum, berusaha mencairkan suasana, namun Raka hanya

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 69: Ombak dalam Sunyi

    Pagi itu, Laila merasa atmosfer di kantornya sedikit berbeda. Tatapan beberapa rekan kerjanya tampak lebih tajam, seolah ada sesuatu yang tengah mereka simpan, sesuatu yang hanya mereka bagi lewat lirikan dan bisikan. Laila mencoba untuk tetap tenang, tak ingin larut dalam spekulasi atau kekhawatiran. Ia percaya bahwa cinta dan pilihan hidupnya bukanlah urusan orang lain.Namun, tanpa disadari, percakapan itu ternyata lebih dari sekadar bisikan samar. Beberapa rekan kerja mulai berbicara di belakangnya, meremehkan pilihannya untuk bersama Raka, yang bagi mereka dianggap tidak "sepadan." Bagi sebagian orang di sana, Laila adalah sosok yang berprestasi, penuh bakat, dan berasal dari keluarga yang terpandang. Mereka melihatnya layak mendapatkan pasangan yang, menurut standar mereka, lebih sempurna dan menjanjikan masa depan yang lebih cerah. Raka, dengan segala keterbatasan dan kesederhanaannya, bagi mereka hanyalah seseorang yang tidak seharusnya berada di sisi Laila."Dia bisa mendapat

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 68: Di Antara Dua Hati

    Laila duduk termenung di sudut ruang tamu yang sepi. Udara pagi yang sejuk menyusup lewat jendela, namun hatinya terasa jauh dari ketenangan. Suara lembut angin seolah tak bisa menenangkan pikiran yang bergejolak. Pikirannya dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi dengan keluarganya.Hari itu, seperti biasa, keluarganya menanyakan tentang hubungannya dengan Raka. Namun kali ini, pertanyaan mereka bukan lagi sekadar perhatian. Mereka mulai mempertanyakan keputusan Laila untuk bertahan di sisi Raka. Di mata keluarganya, Raka adalah seseorang yang dianggap tak sepadan, seseorang yang—menurut mereka—membuat Laila terlalu banyak berkorban.“Laila, kamu layak mendapatkan yang lebih baik,” ucap ibunya dengan nada lembut, namun penuh ketegasan. “Raka mungkin pria yang baik, tapi lihatlah dirimu. Kamu sudah terlalu banyak memberi, terlalu banyak berkorban.”Kata-kata itu menghantam Laila seperti ombak yang menghantam karang, perlahan meruntuhkan keteguhan hatinya. Ia merasa seperti ber

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 67: Keberanian untuk Mengakhiri

    Siang itu, Laila duduk di sudut kafe dekat kantornya, menunggu Toni yang sebentar lagi akan datang. Cahaya matahari yang lembut menyelinap melalui jendela, membuat bayang-bayang halus di sekitar meja. Hatinya berdebar, bukan karena perasaan yang ia simpan untuk Toni, tapi karena tekadnya untuk mengakhiri kebingungan ini. Ia tahu, percakapan ini akan menjadi langkah yang berat, namun penting untuk menjaga keutuhan hubungannya dengan Raka.Tak lama, Toni datang. Wajahnya cerah, dengan senyum yang mengembang ketika ia melihat Laila. Bagi Toni, ajakan untuk bicara empat mata ini adalah harapan baru. Harapan yang ia bangun sejak awal mengenal Laila. Tetapi Toni tidak menyadari bahwa pertemuan ini akan menjadi akhir dari segala harapan yang ia jaga selama ini."Toni, terima kasih sudah meluangkan waktu," kata Laila lembut namun serius, saat Toni duduk di hadapannya. Ia menatap mata Toni dengan ketenangan yang diselimuti kesungguhan, berusaha menunjukkan bahwa pembicaraan ini bukanlah hal ya

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 66: Di Persimpangan Rasa

    Sore itu, matahari merangkak turun, meninggalkan jejak keemasan di cakrawala yang berangsur redup. Laila berdiri di depan gedung kantor, menunggu Raka. Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan ujung-ujung rambutnya, seakan turut merasakan detik-detik yang penuh harapan. Hari itu, Laila ingin mengajak Raka jalan-jalan setelah kerja, untuk sejenak melupakan rutinitas dan berbagi tawa di bawah langit yang mulai gelap.Raka muncul dari kejauhan, langkahnya tenang seperti biasanya, namun wajahnya sedikit tampak muram. Saat ia menghampiri Laila, sorot matanya terpancar redup, seolah-olah menyimpan suatu keraguan yang tak mampu ia ungkapkan. Laila tersenyum hangat, menyambut Raka dengan riang, seperti senja yang menyambut malam."Raka," sapanya lembut. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar sebelum pulang? Aku ingin menikmati suasana kota sore ini, dan kupikir… kamu mungkin mau menemaniku."Senyum tipis terbit di wajah Raka, namun hatinya bergejolak. Ada perasaan gundah yang tak mampu

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 65: Bayang-bayang Ragu

    Malam telah menyelimuti kota dengan keheningan yang penuh misteri. Bintang-bintang bertebaran di langit, memancarkan sinar yang redup namun tak pernah padam, seolah menjadi saksi atas segala kegelisahan dan keraguan yang kini menyelimuti hati Raka. Di tengah sunyi yang menenangkan, Raka duduk di tepi jendela kamar, menatap jauh ke dalam gelap, tenggelam dalam renungan yang tak henti-hentinya menyusup ke dalam hatinya.Hatinya terasa berat. Meskipun ada tekad dalam dirinya untuk memperjuangkan perasaan terhadap Laila, kenyataan yang tak bisa ia abaikan kembali menyergapnya—kondisi fisiknya yang terbatas. Tubuhnya yang tak sempurna seperti duri yang menancap dalam-dalam di hatinya, membawa kembali rasa minder yang selama ini ia usahakan untuk sembunyikan."Apakah aku layak untuk Laila?" pertanyaan itu menggaung dalam pikirannya, mengalun seperti nada sendu yang tak berujung. Laila adalah sosok yang lembut dan penuh cahaya, yang selalu membawa keceriaan di mana pun ia berada. Raka bertan

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 64: Senandung yang Tak Sampai

    Sore menjelang petang di kantor, ketika sinar matahari perlahan-lahan menghilang, meninggalkan bayangan lembut di sepanjang ruangan. Laila duduk di mejanya, merapikan dokumen-dokumen terakhir sebelum pulang. Suasana mulai lengang, hanya beberapa karyawan yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya, termasuk Toni yang duduk tak jauh dari Laila.Raka berada tak jauh dari meja Laila, tetapi ia bersembunyi di balik dinding kaca yang memisahkan ruangan mereka. Tanpa sengaja, telinganya menangkap suara lembut Toni yang sedang berbicara dengan Laila.“Laila, bagaimana kalau malam ini kita makan malam bersama?” ajak Toni, suaranya terdengar penuh harap.Raka tertegun. Ajakan Toni itu menusuk hatinya, seolah-olah Toni sedang melangkah ke ruang yang selama ini ia jaga penuh ketenangan. Bayangan Laila dan Toni duduk berdua di meja makan, berbicara dengan akrab, tawa Laila yang mengalir untuk Toni – semua itu berputar-putar dalam pikirannya.Tanpa menunggu jawaban Laila, Raka memilih untuk segera

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 63: Riak di Balik Kedalaman Hati

    Hari-hari berlalu, dan Toni semakin tak bisa mengingkari keinginannya untuk lebih dekat dengan Laila. Setiap percakapan mereka, bahkan yang hanya sesaat, selalu berakhir dengan harapan yang terselip di dalam senyumnya. Ia mengamati gerak-gerik Laila, cara dia bicara dengan tenang, cara ia mengedipkan mata yang selalu membawa ketenangan. Di mata Toni, Laila bagaikan aliran sungai yang tenang, namun menyimpan kedalaman misteri yang sulit untuk diselami.Di setiap kesempatan, Toni mencari celah untuk berada di sekitar Laila. Di waktu makan siang, ia dengan sengaja memilih duduk di dekatnya, berharap bisa mengobrol meskipun hanya tentang hal-hal sederhana. Jika mereka sedang mengerjakan proyek yang sama, Toni selalu siap membantu tanpa diminta, seolah ingin membuktikan bahwa ia selalu ada. Meskipun Laila sering menanggapi Toni dengan sikap biasa saja, Toni tidak menyerah. Justru di sanalah tantangan dan keindahannya. Ia merasa bahwa setiap momen bersama Laila bagaikan mengumpulkan butiran

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 62: Pesona yang Tersembunyi

    Beberapa minggu telah berlalu sejak Toni bergabung dengan tim, dan suasana kantor masih dipenuhi oleh keceriaan yang ia bawa. Setiap pagi, Toni datang dengan senyum hangat dan semangat baru, membuat orang-orang di sekitarnya merasa lebih hidup. Kehadirannya bukan hanya melengkapi tim dalam hal pekerjaan, tetapi juga membawa kebahagiaan yang sederhana namun berarti.Namun, di balik keramahan dan keceriaan Toni, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di dalam hatinya. Sebuah rasa yang tak terduga, yang ia sendiri sulit untuk mengerti. Setiap kali ia menatap Laila, melihat senyum lembutnya atau mendengar suaranya yang tenang, hati Toni bergetar dengan cara yang baru dan aneh. Seperti aliran sungai yang mengalir tenang namun dalam, perasaannya pada Laila semakin hari semakin tumbuh tanpa bisa ia bendung.Toni mencoba menahan dirinya, mencoba meyakinkan hati bahwa mungkin ini hanyalah kekaguman semata. Namun, semakin ia berusaha untuk mengabaikan perasaannya, semakin kuat pula perasaan itu berak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status