Beranda / Romansa / Cinta di Kursi Roda / Bab 5: Jarak yang Tak Terjangkau

Share

Bab 5: Jarak yang Tak Terjangkau

Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."

Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin tinggi, menghalangi siapa pun untuk masuk lebih jauh ke dalam kehidupannya.

Raka kembali menekuni laptop di mejanya, jari-jarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan yang tampak terlatih. Seolah-olah seluruh dunia Raka hanya berputar di sekitar pekerjaannya. Laila berdiri di ambang pintu, memandangi punggung Raka yang tampak tegar, tapi juga penuh jarak. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, namun kini semuanya terasa begitu tak penting di hadapan pria yang tampak memusatkan seluruh perhatian pada layar komputer di depannya.

Ada jeda di antara mereka, bukan hanya dalam percakapan, tetapi dalam hati mereka masing-masing. Laila dapat merasakan betapa kuatnya Raka menjaga jarak, seolah-olah ia sengaja membangun benteng di sekeliling dirinya. Entah apa yang disembunyikan Raka, tetapi satu hal yang jelas, ia tidak ingin terlibat dalam pembicaraan yang lebih pribadi, apalagi tentang masa lalu mereka.

"Baiklah, kalau begitu. Aku tidak akan mengganggumu," Laila akhirnya berkata, suaranya hampir bergetar. Meski begitu, ia mencoba untuk terdengar tenang, meski ada bagian dari dirinya yang sangat ingin memecah keheningan itu, ingin Raka melihatnya, benar-benar melihatnya.

Tanpa menunggu jawaban dari Raka, Laila berbalik dan melangkah keluar dari ruangan. Namun, di setiap langkah yang ia ambil, ia merasa ada sesuatu yang hilang, ada keinginan yang tak terucapkan untuk menoleh ke belakang, berharap Raka akan memanggil namanya atau setidaknya memberikan tanda bahwa ia juga merasakan apa yang ia rasakan.

Namun, tidak ada suara yang memanggilnya. Tidak ada tanda.

Raka tetap di tempatnya, terperangkap dalam dunianya sendiri, tenggelam dalam pekerjaan yang tampaknya menjadi satu-satunya pelariannya dari realitas emosional yang mungkin terlalu berat untuk dihadapi.

Di kantornya sendiri, Laila duduk dengan gelisah. Tangannya memegang pena, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Pertemuan singkat dengan Raka barusan terus menghantui pikirannya. Ia tahu, ada sesuatu yang Raka sembunyikan, sesuatu yang jauh lebih dalam dari apa yang tampak di permukaan. Tetapi, semakin ia berusaha mendekat, semakin Raka menjauh. Ada misteri di balik sikap dinginnya yang tidak bisa Laila pahami sepenuhnya, dan itu membuatnya semakin frustasi.

Laila menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tidak boleh membiarkan emosi menguasai dirinya, terutama di saat-saat seperti ini. Mereka sedang bekerja sama dalam sebuah proyek besar, dan hal terakhir yang ia butuhkan adalah ketidakprofesionalan. Tapi bagaimana caranya ia bisa mengesampingkan perasaan ini ketika setiap kali ia melihat Raka, kenangan masa lalu terus datang menghantam, memaksa dirinya untuk bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?

Sore itu, saat matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi kota, Laila keluar dari kantornya. Suasana senja yang perlahan meredup membuatnya semakin tenggelam dalam pikiran. Ia berjalan tanpa arah, membiarkan langkah-langkahnya membawa dirinya ke suatu tempat di mana ia bisa berpikir jernih.

Ia berhenti di sebuah taman kecil yang terletak tidak jauh dari kantor. Taman ini mengingatkannya pada tempat di mana ia dan Raka dulu sering menghabiskan waktu bersama, duduk di bawah pohon yang rindang, membicarakan mimpi-mimpi mereka. Namun sekarang, kenangan itu terasa begitu jauh, seperti mimpi yang samar-samar dan sulit untuk digenggam.

Laila duduk di bangku kayu, membiarkan angin sepoi-sepoi membelai wajahnya. Ia mencoba untuk menghilangkan beban di pikirannya, tapi itu lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Raka adalah bagian dari dirinya yang tidak pernah benar-benar hilang, meski mereka sudah lama berpisah. Dan sekarang, ketika mereka kembali bertemu, semua perasaan itu kembali, muncul tanpa diundang, mengacaukan semua yang selama ini ia coba simpan rapat-rapat.

Sementara itu, di kantor yang sudah sepi, Raka masih duduk di mejanya. Tapi tidak seperti sebelumnya, pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada layar komputer di depannya. Ada bayangan Laila yang terus mengganggu benaknya. Setiap kali ia berusaha kembali ke pekerjaannya, wajah Laila muncul, mengingatkan dirinya pada semua yang telah terjadi di masa lalu.

Raka tahu bahwa ia telah menjaga jarak dengan sengaja. Ia tahu bahwa semakin ia terlibat dengan Laila, semakin besar risiko untuk membuka luka lama yang selama ini ia coba sembunyikan. Ada alasan mengapa ia memilih untuk fokus pada pekerjaannya, mengalihkan perhatiannya dari segala sesuatu yang bersifat pribadi. Karena di dalam hatinya, ada rasa takut—takut bahwa jika ia membuka diri lagi, semua rasa sakit itu akan kembali menghantamnya.

Tetapi, seberapa lama ia bisa terus menghindari kenyataan?

Raka menatap layar komputernya yang kini terlihat buram di matanya. Pikirannya terus bergulir, membawa dirinya kembali ke masa-masa ketika ia dan Laila begitu dekat, ketika dunia terasa lebih sederhana dan mimpi-mimpi mereka terasa mungkin. Namun sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan yang sulit untuk ia sentuh kembali. Dan semakin keras ia berusaha menutup pintu masa lalu, semakin besar dorongan dalam dirinya untuk melihat ke belakang.

Namun, ia tahu satu hal: selama ini, ia telah memilih jalannya. Jalan yang memisahkan dirinya dari semua keterikatan emosional. Dan sekarang, dengan Laila kembali di hidupnya, ia harus memutuskan—apakah akan terus berjalan di jalan yang sama, ataukah membiarkan dirinya sekali lagi merasakan apa yang selama ini ia hindari.

Dalam kesunyian kantornya, Raka merasa lebih sendirian daripada sebelumnya.

Sore itu, ruang rapat terasa sunyi setelah pertemuan singkat yang menegangkan. Laila menatap meja di depannya, jemarinya menggenggam pena seolah-olah itu adalah satu-satunya penopang untuk menjaga ketenangannya. Di seberangnya, Raka duduk tegak dengan sikap tenang, namun ada jarak yang tak terlukiskan di antara mereka. Mereka berdua diam, larut dalam pikiran masing-masing, tetapi ada sesuatu yang bergetar di udara—sebuah pertanyaan tak terucapkan yang menggantung di antara mereka, menunggu untuk dibuka.

Laila menggigit bibirnya perlahan, hatinya berdebar. Bagaimana caranya memulai pembicaraan ini tanpa membuatnya semakin canggung? Sudah beberapa kali ia mencoba, namun setiap kali kata-kata hampir meluncur, keberanian itu menguap begitu saja. Tapi sekarang, di momen sunyi ini, ia merasa dorongan untuk menyentuh masa lalu itu tak bisa ditahan lagi. Ada terlalu banyak yang belum terungkap, terlalu banyak kenangan yang belum terselesaikan. Ia harus memulai dari suatu tempat.

“Aku ingat, dulu kita pernah duduk seperti ini,” Laila mulai, suaranya lembut, hampir seperti bisikan. “Waktu itu di kafe kecil dekat kantor. Kau ingat?”

Raka tidak langsung menjawab. Matanya tetap fokus pada layar laptop di depannya, meski Laila bisa melihat perubahan halus di wajahnya—sebuah senyum kecil yang hampir tak tampak, sekilas kenangan yang muncul di benaknya.

“Iya, aku ingat,” jawab Raka akhirnya, namun suaranya terdengar hati-hati, seperti seseorang yang sedang melangkah di atas es tipis. "Itu waktu kita masih sama-sama kuliah, kan?"

Laila mengangguk pelan. "Benar. Kita duduk di pojok, memesan kopi, dan berbicara tentang impian kita. Rasanya waktu itu semuanya terasa begitu mudah dan mungkin.”

Raka terdiam, kembali menatap layar. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme yang teratur, seolah-olah mencari jalan keluar dari percakapan ini. Namun, Laila tidak menyerah. Ia tahu bahwa ini adalah momen yang tepat, bahwa mereka perlu berbicara, meski hanya sedikit tentang masa lalu.

"Aku sering memikirkan masa-masa itu, Raka," lanjut Laila, kali ini suaranya lebih pelan, lebih penuh perasaan. "Tentang semua yang kita rencanakan... dan apa yang tidak pernah terjadi."

Untuk sesaat, keheningan memenuhi ruangan. Udara terasa tebal, hampir sulit dihirup. Laila berharap Raka akan mengatakan sesuatu, bahkan jika itu hanya sepatah kata sederhana. Namun, yang didapatnya hanyalah anggukan kecil yang nyaris tak terlihat.

“Kau tidak pernah bertanya-tanya?” Laila memberanikan diri, menatap wajah Raka, mencari jejak emosi di balik ketenangan yang begitu dijaga. “Apa yang akan terjadi jika kita tetap bersama? Jika kita… tidak kehilangan kontak?”

Raka tersenyum, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Laila, kita semua punya perjalanan masing-masing. Apa yang terjadi di masa lalu... mungkin memang seharusnya begitu.”

Kata-katanya begitu datar, hampir tanpa perasaan, namun cukup jelas untuk menghentikan percakapan lebih jauh. Laila merasa ada dinding yang lebih kuat di antara mereka sekarang. Bukan hanya jarak fisik, tapi juga benteng yang Raka bangun di sekeliling dirinya—benteng yang tidak mudah ditembus oleh percakapan ringan tentang masa lalu.

Laila tersenyum tipis, meski ada kepedihan yang merayap di dadanya. Ia tahu bahwa percakapan ini tidak akan membawa mereka ke mana-mana. Raka jelas tidak ingin membuka diri, apalagi mengungkapkan apa yang ia rasakan saat ini. "Mungkin kau benar," bisiknya, mencoba untuk tidak terdengar kecewa.

Raka menatapnya sebentar, lalu beralih ke topik lain dengan halus, seolah-olah percakapan tentang masa lalu itu tidak pernah terjadi. "Bagaimana dengan ide untuk mempresentasikan rencana kita kepada tim eksekutif besok? Aku pikir itu langkah yang baik untuk memastikan semua orang berada di jalur yang sama."

Laila menghela napas dalam hati. Raka, dengan cara yang lembut namun tegas, telah mengalihkan pembicaraan. Ia tahu ini adalah caranya menjaga jarak—menjauh dari apapun yang terlalu pribadi, terlalu dekat dengan hatinya. Ia kembali ke peran profesionalnya, menjadikan pekerjaan sebagai pelindung dari pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam.

“Ya, aku setuju,” jawab Laila akhirnya, meski nada suaranya terdengar lebih tenang dari sebelumnya. “Presentasi besok harus sempurna. Kita harus memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.”

Raka mengangguk, wajahnya kembali serius, terfokus pada proyek mereka. "Aku akan mengirimkan beberapa poin tambahan nanti malam. Pastikan kau melihatnya sebelum kita bertemu dengan tim."

Laila mengangguk, meski pikirannya masih tersangkut pada percakapan yang tak terselesaikan barusan. Ia merindukan saat-saat di mana mereka bisa berbicara tanpa batasan, tanpa dinding yang memisahkan mereka. Namun, ia juga sadar bahwa situasi ini jauh berbeda dari dulu. Raka bukan lagi pria yang sama, begitu pula dirinya.

Mereka berdua telah berubah—oleh waktu, oleh keadaan, dan oleh keputusan-keputusan yang diambil selama bertahun-tahun. Dan meskipun ia ingin sekali menggali lebih dalam, Laila tahu bahwa Raka telah memilih jalannya. Jalan yang membuatnya tetap berada di jarak yang aman, jauh dari semua perasaan yang mungkin kembali menyakitkan.

Sore itu, ketika Laila pulang, bayang-bayang Raka masih menghantui pikirannya. Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti teka-teki yang sulit dipecahkan. Kenapa ia begitu tertutup? Apakah benar, seperti yang Raka katakan, bahwa masa lalu mereka memang seharusnya dibiarkan begitu saja?

Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang Laila rasakan—sesuatu yang tidak diucapkan Raka, namun hadir dalam setiap gerakan, setiap tatapan singkat yang mereka bagi. Ada perasaan tertahan di sana, sesuatu yang Raka coba sembunyikan dengan begitu keras. Dan itu membuat Laila semakin yakin bahwa meski Raka berusaha menjaga jarak, ada bagian dari dirinya yang masih terhubung dengan masa lalu mereka.

Saat ia menutup pintu apartemennya dan duduk di sofa, Laila merenungkan semua yang terjadi hari itu. Ada sesuatu yang tertinggal, sesuatu yang belum terselesaikan. Dan meski Raka berusaha mengalihkan topik, ia tidak bisa menutupi fakta bahwa kenangan itu masih hidup, setidaknya di antara mereka.

Malam semakin larut, namun pikiran Laila terus berkeliaran. Ia tidak tahu bagaimana akhirnya, namun satu hal yang pasti—percakapan mereka belum selesai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status