Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?
Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka? Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pimpin. Namun, tidak ada informasi tentang kecelakaan atau alasan mengapa ia sekarang tak lagi bisa berjalan. Laila menggigit bibirnya, merasa sedikit frustrasi, namun ia tidak menyerah. Ia terus mencari lebih dalam, menggali setiap informasi yang mungkin memberi petunjuk. Setelah beberapa menit, Laila menemukan sesuatu. Sebuah artikel dari beberapa tahun lalu, tersembunyi di arsip digital. Judulnya cukup singkat, tapi begitu kuat, seolah menampar hatinya: "Pengusaha Muda Terkena Kecelakaan Tragis: Kehilangan Kemampuan Berjalan". Jantung Laila berdebar kencang. Ia tahu artikel itu tentang Raka bahkan sebelum membacanya sepenuhnya. Tangannya gemetar saat mengklik artikel itu. Kata-kata demi kata-kata yang tertulis di sana seolah menghantam perasaannya satu demi satu. "Raka Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang sedang naik daun, mengalami kecelakaan mobil yang tragis di jalan tol beberapa bulan yang lalu. Kecelakaan tersebut diduga akibat rem mobil yang tidak berfungsi. Meskipun nyawanya terselamatkan, Raka harus menerima kenyataan pahit—ia kehilangan kemampuan berjalan akibat cedera tulang belakang yang parah. Sejak kecelakaan itu, Raka memilih untuk mundur dari kehidupan publik, jarang muncul dalam acara-acara besar, dan fokus pada pemulihannya secara pribadi." Laila menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Kecelakaan itu lebih buruk dari yang pernah ia bayangkan. Ia bisa membayangkan bagaimana perasaan Raka saat kehilangan sesuatu yang begitu esensial—kemampuannya untuk berjalan. Tidak heran ia berubah begitu drastis. Semua ini menjelaskan jarak emosional yang Raka bangun, benteng yang ia dirikan untuk menjaga diri dari rasa sakit yang lebih dalam. Namun, Laila tak hanya merasakan kesedihan; ada perasaan bersalah yang menghujam dirinya. Mengapa ia tak pernah tahu tentang hal ini? Bagaimana bisa ia melewatkan momen-momen penting dalam hidup seseorang yang dulu begitu dekat dengannya? Laila merasa seperti telah meninggalkan Raka di tengah badai yang paling kelam. Malam itu, pikirannya terus berputar pada pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Seandainya ia tetap menjalin komunikasi dengan Raka, mungkin ia bisa ada di sisinya saat Raka melalui cobaan ini. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa menjadi seseorang yang membantu Raka bangkit kembali. Tetapi sekarang, jarak dan waktu telah menjadikan mereka asing satu sama lain, meski ada kenangan yang mengikat mereka. Pagi harinya, Laila masih terpikirkan tentang apa yang telah ia temukan. Sepanjang perjalanan ke kantor, perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena akhirnya tahu apa yang terjadi pada Raka. Namun di sisi lain, ia diliputi rasa penyesalan karena tak ada di sana untuk Raka saat ia membutuhkan dukungan. Sesampainya di kantor, Laila melihat Raka duduk di meja kerjanya, fokus pada layar komputer. Ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya, seolah-olah ia telah menerima kenyataan hidupnya dengan tabah. Tapi bagi Laila, ketenangan itu terasa seperti tirai yang menyembunyikan semua luka yang tak pernah terlihat. Ia mendekati Raka dengan langkah hati-hati, mencoba untuk tidak menunjukkan bahwa ia telah menemukan kebenaran. "Raka," panggilnya lembut. Raka menoleh, menatapnya dengan senyum tipis. "Ada apa, Laila?" Seketika, Laila merasakan dorongan yang begitu kuat untuk menanyakan langsung tentang kecelakaan itu, tentang bagaimana ia menghadapinya selama ini. Namun, ia menahan diri. Ini bukan tempat atau waktu yang tepat. Ada sesuatu yang rapuh tentang Raka saat ini, sesuatu yang tak bisa disinggung dengan terburu-buru. "Aku hanya ingin memastikan kalau kita siap untuk presentasi sore nanti," jawab Laila, meskipun pikirannya masih bergelut dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Raka mengangguk singkat. "Ya, aku sudah siapkan semuanya. Aku yakin kita akan baik-baik saja." Laila tersenyum, tapi senyum itu tak benar-benar sampai ke hatinya. Ia tahu bahwa ada lebih banyak hal yang harus mereka bicarakan—hal-hal yang jauh lebih penting dari sekadar proyek kerja. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa menunggu, berharap bahwa waktunya akan datang, bahwa ada celah kecil di mana ia bisa masuk ke dalam kehidupan Raka lagi, bukan hanya sebagai rekan kerja, tetapi sebagai seseorang yang peduli. Sepanjang hari, pikiran Laila terus kembali ke artikel yang dibacanya semalam. Kecelakaan itu bukan hanya tentang kehilangan kemampuan berjalan; itu adalah titik balik dalam hidup Raka, momen di mana semuanya berubah. Dan sekarang, Laila sadar bahwa ia tidak bisa mengabaikan apa yang telah terjadi. Ia harus mencari cara untuk mendekati Raka, untuk memahami luka yang tersembunyi di balik senyum tenangnya, dan mungkin, membantu Raka menemukan kembali jalan menuju kedamaian dalam hatinya. Malamnya, ketika ia kembali ke rumah, Laila merenung sejenak di depan jendela kamarnya. Di luar, bulan bersinar dengan lembut, memberikan cahaya hangat di tengah kegelapan malam. Di balik keindahan itu, Laila merasa bahwa hidup kadang berjalan seperti bulan yang muncul dalam siklus. Ada momen-momen penuh cahaya, dan ada saat-saat ketika segalanya tampak gelap. Mungkin sekarang, Raka sedang berada dalam kegelapan itu, dan ia berharap dirinya bisa menjadi bagian dari cahaya yang membawa kehangatan kembali ke hidupnya. Di dalam hati, Laila bertekad untuk tidak menyerah. Kebenaran tentang kecelakaan Raka mungkin telah membuka luka lama, tapi itu juga memberinya kesempatan untuk memahami pria yang dulu begitu dekat dengannya, dan yang sekarang tampak begitu jauh. Laila melangkah keluar dari kafe dengan perasaan yang bercampur aduk. Hati dan pikirannya terus berkelana memikirkan percakapannya dengan Raka di kantor, yang terasa hampa meski diucapkan dengan nada datar. Ada yang tak tersampaikan, dan perasaan itu semakin mempertegas jarak di antara mereka. Di balik senyum dan tatapan profesionalnya, Laila tahu Raka menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar perubahan fisik. Ketika sedang berjalan menyusuri trotoar di sepanjang pusat kota, tiba-tiba ia mendengar suara familiar memanggil namanya. “Laila! Lama tak bertemu!” Laila menoleh dan mendapati sosok yang tidak asing lagi. Itu adalah Nadia, teman lama dari masa kuliah. Dulu mereka sering belajar bersama, dan sesekali Nadia ikut nongkrong bersama Raka dan teman-teman lainnya. "Nadia? Ya Tuhan, sudah lama sekali! Bagaimana kabarmu?" Laila tersenyum, menyambut kehadiran temannya dengan hangat. Mereka berdua memutuskan untuk singgah di sebuah kafe terdekat, melanjutkan percakapan yang sudah lama terputus oleh kesibukan hidup. Setelah beberapa basa-basi, mereka mulai mengenang masa lalu. Percakapan pun bergulir pada hal-hal yang lebih pribadi, termasuk kabar tentang teman-teman lama. Di tengah canda tawa itu, Laila memberanikan diri bertanya dengan hati-hati, “Apa kau pernah dengar kabar tentang Raka?” Wajah Nadia yang ceria sedikit memudar, matanya menunduk sejenak sebelum menatap Laila dengan pandangan penuh pengertian. "Aku mendengar sedikit tentang dia… Aku tahu kau dan Raka pernah sangat dekat dulu." Laila merasa ada yang tak beres dari nada suara Nadia, seolah ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan, tapi tertahan. Perasaan cemas menggelayut dalam hatinya. "Ya, kami memang dulu dekat," jawab Laila pelan, menunggu Nadia melanjutkan. Nadia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Sebenarnya, aku sempat bertemu beberapa teman yang tahu tentang kecelakaan yang dialami Raka.” Jantung Laila berdegup lebih kencang. Kecelakaan. Kata itu menggantung di udara seperti awan gelap. “Kecelakaan? Kecelakaan seperti apa?” Nadia memutar cangkir kopinya, tampak ragu-ragu sebelum berbicara lagi. "Aku tidak tahu detailnya, hanya mendengar dari sumber-sumber yang samar. Tapi beberapa tahun lalu, Raka mengalami kecelakaan mobil yang sangat buruk. Mereka bilang itu benar-benar tragis. Mobilnya terguling di jalan tol, dan dia terjebak di dalam selama berjam-jam sebelum tim penyelamat berhasil mengevakuasi.” Kata-kata Nadia terasa seperti angin dingin yang menelusup ke tulang. Laila terpaku, tak mampu berkata-kata. Gambaran yang diberikan Nadia terlalu samar, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa sesak. Ia membayangkan Raka, terjebak dalam reruntuhan mobil, sendirian dan terluka, jauh dari siapa pun yang peduli padanya. Nadia melanjutkan, “Yang kudengar, setelah kecelakaan itu, Raka mengalami cedera parah pada tulang belakangnya. Itu sebabnya sekarang dia menggunakan kursi roda. Tapi dia jarang mau bicara tentang hal itu kepada siapa pun. Sepertinya dia memilih untuk menyembunyikan rasa sakitnya.” Laila menggeleng pelan, tak percaya. "Bagaimana mungkin aku tidak tahu tentang ini? Aku tidak pernah mendengar apapun…" “Aku juga tidak tahu pasti,” Nadia menjawab dengan nada penuh simpati. "Raka memang selalu jadi orang yang tertutup. Setelah kecelakaan itu, dia seolah hilang dari kehidupan sosial kita. Aku sempat mengirim pesan, tapi dia jarang membalas. Mungkin dia ingin menyembunyikan keadaannya, atau mungkin dia hanya tidak ingin orang lain merasa kasihan padanya." Laila merasakan gelombang emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin mengetahui lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Raka, tetapi di sisi lain, ia merasa bersalah karena selama ini absen dari hidupnya. Bagaimana bisa ia tak tahu hal sebesar ini? Apakah mereka benar-benar telah terpisah sejauh itu? "Aku berharap aku ada di sana untuknya," Laila berbisik, lebih kepada dirinya sendiri. Nadia menatapnya dengan penuh simpati. “Aku yakin dia menghargai perhatianmu, meskipun mungkin dia tidak mengungkapkannya. Kadang-kadang, orang yang paling menderita adalah mereka yang paling diam.” Kata-kata Nadia itu menusuk hati Laila. Ia tahu bahwa Raka adalah tipe orang yang menahan segalanya dalam-dalam, lebih memilih berjuang sendiri ketimbang menunjukkan kelemahan. Namun, sekarang ia merasa harus melakukan sesuatu—ia tak bisa lagi berdiri di pinggir, menyaksikan Raka dari kejauhan. "Aku harus bicara dengannya. Mungkin dia tidak akan terbuka begitu saja, tapi aku harus mencoba. Setidaknya aku harus menunjukkan bahwa aku peduli,” kata Laila dengan keyakinan yang tiba-tiba menguat dalam dirinya. Nadia mengangguk, tersenyum lembut. “Itu ide yang bagus. Kadang, hanya dengan berada di samping seseorang tanpa harus mengatakan banyak hal sudah cukup membantu.” Percakapan mereka berakhir di sana, namun pikiran Laila terus berkecamuk sepanjang perjalanan pulangnya. Kata-kata Nadia seperti benang-benang yang merajut sebuah gambaran besar tentang kehidupan Raka yang kini terpotong oleh tragedi. Apa yang sebenarnya Raka rasakan selama ini? Dan mengapa dia memilih untuk menutup diri dari dunia, bahkan dari orang-orang yang dulu sangat dekat dengannya? Saat malam mulai merangkak naik dan kota diterangi oleh gemerlap lampu, Laila berdiri di depan cermin kamarnya, menatap refleksi dirinya sendiri. Ada perasaan bersalah yang terus menghantui pikirannya, namun juga muncul keinginan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Malam itu, Laila memutuskan bahwa ia tak akan lagi diam. Ia harus menembus benteng yang Raka bangun, bukan untuk menuntut penjelasan, tetapi untuk menunjukkan bahwa ia ada, bahwa persahabatan dan rasa peduli mereka belum benar-benar hilang ditelan waktu. Dengan hati yang penuh tekad, Laila tahu bahwa perjalanan ini tak akan mudah. Raka mungkin akan terus menjaga jaraknya, menyembunyikan rasa sakit di balik senyumnya yang tenang. Namun, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Laila merasa bahwa ia telah menemukan jalannya kembali ke kehidupan Raka, bahkan jika itu harus dimulai dari jejak samar tentang kecelakaan yang mengubah segalanya. Di luar jendela, bulan bersinar lembut di antara awan-awan tipis, seolah memberikan harapan baru di tengah kegelapan malam.Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan."Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kit
Pagi itu, sinar matahari menyusup perlahan melalui celah-celah jendela ruang kantor, menciptakan bayangan lembut yang menari di dinding. Suara burung-burung berkicau dari kejauhan, namun di dalam ruangan yang diisi Laila dan Raka, keheningan mendominasi. Ada perasaan tegang yang menyelubungi udara, meskipun tidak ada kata yang terucap.Raka duduk di meja kerjanya, jarak fisik antara mereka terasa begitu dekat, namun di antara mereka ada tembok-tembok tak terlihat yang semakin menjulang tinggi. Setiap gerakan Laila, setiap helaan napasnya, seakan menarik Raka untuk mendekat, namun ia menahan dirinya. Di balik wajahnya yang tenang, tersimpan lautan emosi yang bergejolak, tetapi ia tahu, jika ia membiarkan dirinya hanyut terlalu jauh, ia mungkin tidak akan pernah bisa kembali.Ia menjaga jarak.Laila menyadari sikap Raka yang semakin menjauh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Sudah beberapa hari berlalu sejak mereka mulai bekerja lebih intensif bersama, namun seiring waktu
Pagi itu terasa berbeda. Meski matahari masih malu-malu menyusup dari balik tirai awan, ada kehangatan yang lembut merambati ruangan tempat Laila dan Raka bekerja. Seperti biasanya, mereka tenggelam dalam tugas-tugas proyek yang menyita perhatian. Keduanya larut dalam keheningan yang tak lagi terasa begitu membebani, namun tetap ada jarak yang belum tersentuh. Jarak yang seakan dibuat oleh garis-garis tak terlihat, namun nyata.Laila duduk di meja kerjanya, matanya sesekali melirik ke arah Raka. Sejak hari-hari terakhir, ada perubahan kecil yang terasa dalam sikapnya. Raka memang masih menjaga jarak, masih tersembunyi di balik sikap dinginnya, tapi Laila tahu, di balik semua itu, ada sesuatu yang mulai mencair. Mungkin itu hanya imajinasinya, atau mungkin harapannya, namun setiap kali Laila berada di dekat Raka, ia bisa merasakan denyut kecil di antara keduanya—seperti sisa-sisa cinta yang pernah ada.Di sudut ruangan, Raka sedang berdiri, mengamati papan tulis yang penuh dengan skets
Sore itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Laila duduk di balkon apartemennya, memandangi langit yang berwarna jingga, memikirkan perasaannya yang mulai tidak bisa ia abaikan. Cahaya matahari yang perlahan memudar seolah menggambarkan apa yang tengah terjadi dalam hatinya—kenangan lama yang kembali menyeruak, membawa perasaan yang dulu begitu kuat, namun kini dibalut oleh penyesalan.Sudah bertahun-tahun berlalu sejak hari itu. Hari di mana semuanya berubah, saat ia dan Raka memilih jalan masing-masing tanpa sempat menyelesaikan apa yang terlanjur hancur. Ketika mereka masih remaja, dunia terasa begitu besar dan penuh kemungkinan, tetapi juga dipenuhi oleh ketidakpastian yang menyelimuti masa depan mereka. Sekarang, di hadapannya, dunia itu terasa lebih kecil, namun luka lama yang terpendam kembali mencuat, menghantui setiap detik waktu yang ia habiskan bersama Raka di proyek ini.Laila memejamkan mata, membiarkan ingatannya kembali ke masa-masa re
Langit pagi yang biasanya terasa hangat kini tampak kelabu, seolah mencerminkan apa yang berkecamuk di dalam hati Laila. Sudah beberapa minggu berlalu, dan meskipun ia terus berusaha untuk tetap sabar, ada perasaan frustrasi yang perlahan-lahan mulai tumbuh. Raka, dengan segala ketidakpastian dan dinding emosionalnya, masih tetap berusaha menjaga jarak, dan hal itu membuat Laila semakin sulit untuk mendekat.Setiap kali Laila mencoba membuka diri, mengulurkan tangan melalui kata-kata yang lembut, atau sekadar dengan kehadirannya yang diam namun mendukung, Raka selalu berhasil menemukan cara untuk menghindar. Ia mengalihkan pandangan, menyibukkan diri dengan pekerjaan, atau sekadar membatasi percakapan mereka pada hal-hal yang sifatnya formal dan teknis. Laila bisa melihat perubahan kecil dalam sikapnya, momen-momen di mana Raka hampir saja membuka dirinya, tetapi kemudian menarik diri lagi secepat kilat, seolah takut dengan apa yang mungkin terjadi jika ia benar-benar membiarkan hatin
Langit pagi tampak muram, seolah turut merasakan ketegangan yang memenuhi hati Laila. Udara di sekitar mereka terasa lembap, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kesunyian di antara mereka berdua. Setelah berhari-hari mencoba memecahkan jarak yang kian melebar, Laila merasa sudah tiba saatnya untuk berbicara lebih terbuka dengan Raka. Ia tidak ingin terus berada dalam ketidakpastian, terjebak dalam bayang-bayang perasaan yang tak pernah tersampaikan dengan jelas.Laila menatap sosok Raka yang sedang duduk di meja kerja. Cahaya matahari yang menerobos dari jendela memantul pada wajahnya, memperlihatkan ekspresi tenang, tetapi tidak tenang di hati Laila. Ada dinding yang tinggi dan tebal antara mereka, dinding yang hanya bisa dihancurkan oleh kata-kata, jika saja Raka mau berbicara lebih jujur."Laila?" suara Raka memecah lamunan. Laila tersentak, menyadari bahwa ia sudah cukup lama terdiam."Raka, kita perlu bicara," jawabnya pelan, dengan nada yang terjaga, seolah tidak ing
Hening merayap di sudut ruangan, membawa dingin yang merayap ke dalam hati Laila. Setelah percakapan terakhirnya dengan Raka, segala harapan yang perlahan ia bangun terasa runtuh. Raka telah menolaknya. Kata-kata itu, meskipun tersirat, terasa seperti palu yang menghantam hatinya. Ia bisa melihatnya jelas dalam cara Raka menjauh, dalam kebekuan yang tetap menggantung di udara meskipun mereka telah mencoba berbicara. Raka masih memilih untuk menghindar, menolak kehangatan yang ia tawarkan, seperti tembok tebal yang tetap kokoh meski sudah ia ketuk berulang kali.Laila berdiri di tengah keheningan, mengingat setiap detik dari percakapan mereka. Tatapan Raka yang redup, suaranya yang penuh ketegasan, seolah menggenggam tali yang mengikat hatinya erat-erat, membuatnya hampir sulit bernapas. Namun di balik setiap kepedihan yang mengguncang dadanya, Laila tahu bahwa ia tidak akan pergi. Ia tidak akan menyerah meskipun dirinya kini terluka lebih dalam dari sebelumnya. Cinta tidak pernah semu
Matahari yang menggantung di langit pagi menyambut hari dengan kehangatan yang lembut, seperti janji baru yang belum terucapkan. Di dalam kantor yang mulai ramai oleh karyawan yang berdatangan, suasana tetap dipenuhi hiruk pikuk deadline dan tuntutan. Tapi bagi Laila dan Raka, hari ini membawa sesuatu yang berbeda—sebuah proyek besar yang harus mereka tangani bersama.Proyek ini, meskipun baru diumumkan, langsung membawa mereka ke dalam interaksi yang lebih intens. Raka, sebagai pemimpin tim, jelas memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, sementara Laila, sebagai tangan kanan yang diandalkan, memegang peranan penting dalam mengeksekusi ide-ide Raka. Sejak pagi, keduanya sibuk menyusun strategi, mengatur timeline, dan memeriksa berbagai detail yang tampaknya tak ada habisnya.Di antara semua kesibukan itu, Laila merasa ada perubahan yang perlahan mulai tumbuh. Meskipun percakapan mereka tetap terbatas pada hal-hal profesional, Laila merasakan ada
Pagi yang tenang menyambut Laila dengan embun yang menggantung di ujung daun, mencerminkan sinar matahari yang lembut. Ia duduk di bangku taman kecil di dekat tempat mereka bekerja, menghirup dalam-dalam udara pagi yang sejuk. Ada senyum lembut di wajahnya, senyum yang lahir dari perasaan hangat yang bertumbuh pelan di dalam hatinya. Bersama Raka, ia merasakan bahwa langkah kecil dalam hubungan mereka telah terukir, meskipun itu hanya sekilas. Namun, ia tahu bahwa hati Raka masih seperti jendela yang setengah tertutup, mengizinkannya untuk melihat hanya sebagian kecil dari dirinya yang sejati.Ia memandang langit yang biru jernih, membayangkan perjalanan yang telah ia lalui dengan Raka hingga saat ini. Setiap pertemuan, percakapan, dan momen-momen kecil yang ia habiskan bersama Raka membawanya semakin dekat, seperti irama lembut musik yang perlahan merasuk ke dalam jiwa. Meskipun Raka belum sepenuhnya membuka hatinya, ia bisa merasakan bahwa ada kemajuan, ada benih yang mulai tumbuh d
Di pagi yang tenang, Raka dan Laila tiba di kantor dengan hati yang hangat, masih terasa kehadiran keheningan indah dari malam sebelumnya. Mereka telah menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka, meski belum seluruhnya terbuka. Ada perasaan bahwa sesuatu sedang tumbuh di antara mereka, seperti benih cinta yang perlahan-lahan mulai berakar di dalam hati.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Pagi ini, kabar buruk datang menghampiri. Salah satu klien besar mereka baru saja membatalkan kontrak mendadak karena ada masalah yang terlewat dalam analisis proyek. Situasi ini bukan hanya berpotensi menghambat keberlangsungan proyek, tetapi juga mengancam reputasi perusahaan. Berita itu langsung menggetarkan suasana tim, membuat setiap orang merasa cemas dan bingung harus berbuat apa.Raka menghela napas panjang, menatap layar komputernya yang kini dipenuhi dengan laporan-laporan berwarna merah. Ia tahu bahwa ini adalah krisis yang sulit, dan jalan keluarnya tidak akan mudah ditemukan.
Di antara embun pagi yang menyelimuti bumi dan cahaya mentari yang perlahan mengintip dari balik bukit, suasana pagi itu penuh ketenangan. Laila dan Raka duduk berdua di sebuah bangku kayu, menghadap ke arah danau yang memantulkan cahaya langit dengan begitu indah. Keheningan pagi memberi mereka ruang untuk merenung, untuk merasakan kehadiran satu sama lain tanpa kata-kata.Laila memandang Raka dengan lembut. Di matanya, Raka bukan hanya pria yang sedang berjuang melawan ketakutan dan keraguan. Ia melihat kekuatan, keberanian, dan kerendahan hati yang begitu tulus. Namun, ia juga melihat ketakutan yang membayangi setiap langkah Raka, ketakutan yang membuatnya sulit menerima dirinya apa adanya. Laila ingin menunjukkan padanya bahwa cinta sejati tidak mengenal batasan—tidak pada fisik, tidak pada luka, dan tidak pada ketidaksempurnaan.“Raka,” Laila memulai, suaranya penuh kelembutan. “Kenapa kamu masih ragu? Apakah luka itu, ketakutan itu, begitu besar hingga mengalahkan segala keingin
Pagi itu, Laila duduk di ruang kerja dengan secangkir teh di tangannya. Pikirannya melayang, tertuju pada sosok Raka dan dinding-dinding yang masih ia lihat di hati lelaki itu. Di balik sikap lembut yang mulai Raka tunjukkan, Laila merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah luka yang lebih berat daripada sekadar pengalaman buruk masa lalu.Selama ini, Laila hanya melihat potongan-potongan dari apa yang Raka biarkan terlihat—rasa takut yang menyelimuti hati dan kebisuannya terhadap beberapa hal. Namun, ada sebuah bayang-bayang yang terasa semakin jelas, sesuatu yang tak terucapkan, tetapi menciptakan jarak yang Raka tak pernah biarkan benar-benar sirna.Hari itu, mereka bertemu di ruang meeting yang sepi, hanya ditemani cahaya matahari pagi yang menerobos jendela besar, menciptakan bayangan halus di lantai. Raka sedang memeriksa beberapa dokumen, sementara Laila memperhatikannya dari kejauhan, mencoba memahami apa yang selama ini ia sembunyikan.Setelah beberapa saat, Laila membera
Malam itu, setelah kerja keras yang tiada henti, Raka dan Laila memutuskan untuk merayakan keberhasilan mereka. Laila mengusulkan tempat favoritnya—sebuah kafe kecil dengan suasana hangat yang tersembunyi di tengah hiruk-pikuk kota. Mereka meninggalkan kantor, langkah mereka terasa lebih ringan dari biasanya, seolah-olah beban yang selama ini mereka tanggung telah perlahan terangkat.Begitu tiba di kafe, aroma kopi segar menyambut mereka, berpadu dengan alunan musik jazz yang lembut. Kafe itu memiliki pencahayaan remang-remang, memberikan nuansa hangat dan intim yang membuat hati terasa tenang. Raka dan Laila memilih meja di sudut, dekat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan malam kota yang indah dengan gemerlap lampu.Mereka duduk berhadapan, suasana di antara mereka begitu nyaman, seperti tak ada lagi sekat. Tanpa disadari, tangan Raka dan Laila hampir bersentuhan di atas meja, dan untuk sesaat, mereka membiarkan jari-jari mereka bersentuhan. Sentuhan itu terasa seperti samb
Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui celah-celah jendela kamar Raka, menari di antara dedaunan yang melambai ditiup angin. Suara burung-burung terdengar samar di kejauhan, melantunkan simfoni alam yang sederhana namun menenangkan. Tetapi, ketenangan pagi itu tidak mampu menghapus kegelisahan yang semakin hari semakin tumbuh dalam hati Raka.Raka duduk di kursi dekat jendela, menatap langit biru yang luas. Hatinya terasa penuh namun sunyi, seolah ada sesuatu yang mendesak, ingin keluar, tapi tertahan oleh dinding-dinding ketakutan yang selama ini ia bangun. Dalam keheningan itu, ia menyadari bahwa perasaan terhadap Laila bukan lagi sekadar rasa nyaman atau rasa syukur atas kehadirannya. Lebih dari itu, rasa itu kini bertransformasi menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam—sebuah perasaan yang menyala lembut, menghangatkan, namun sekaligus menakutkan.Bayangan wajah Laila hadir di benaknya. Senyuman yang tulus, tatapan yang lembut, dan caranya mendengarkan membuat Raka merasa h
Senja beranjak turun, menebarkan rona jingga yang meresapi setiap sudut ruangan. Di balkon kecil yang menghadap ke taman kantor, Raka dan Laila duduk bersebelahan dalam keheningan yang syahdu. Angin yang berhembus perlahan menggoyangkan dedaunan, membawa aroma tanah yang damai, seakan alam pun ikut berbisik, memberi ruang bagi sebuah cerita yang belum pernah diceritakan.Malam itu, Raka merasa berbeda. Ada dorongan dalam hatinya yang ingin berbagi, ingin mengungkapkan luka yang telah lama ia pendam, luka yang mengubah segalanya dalam hidupnya. Ia menatap ke depan, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai. Di sampingnya, Laila hanya diam, namun tatapannya penuh pengertian, seakan ia telah siap mendengar tanpa menghakimi.“Laila…” Suara Raka terdengar parau, hampir seperti bisikan yang tenggelam dalam angin. “Aku ingin memberitahumu sesuatu. Sesuatu yang belum pernah aku ceritakan pada siapa pun.”Laila menoleh pelan, memberinya tatapan lembut yang menguatkan. “Aku di sini untuk mende
Pagi yang hangat menyelimuti ruang kerja mereka. Cahaya matahari menyusup perlahan dari celah-celah jendela, menciptakan bayangan lembut di meja tempat Raka dan Laila sering bekerja bersama. Suasana di antara mereka kini terasa berbeda—lebih intim, namun tetap terjaga dalam kesederhanaannya. Laila menyadari, Raka masih butuh waktu, maka ia memutuskan untuk menyusuri kedekatan itu perlahan-lahan, seperti angin yang berhembus lembut, tak ingin mendesak atau mengusik ketenangan hati Raka yang mulai terbuka.Setiap gerakan yang ia lakukan, setiap tatapan yang ia lontarkan, selalu ia jaga agar tidak berlebihan, namun cukup bermakna. Dia ingin Raka tahu bahwa dia ada, dengan cara yang paling halus dan lembut. Setiap kali mereka duduk berhadapan, Laila akan sesekali tersenyum kecil, memberikan sedikit perhatian, namun tidak lebih dari itu. Ia paham bahwa Raka harus belajar mengenali rasa itu sendiri, tanpa ada paksaan atau desakan yang bisa membuatnya menjauh lagi.Laila memilih untuk berada
Pagi itu, embun masih menempel di dedaunan ketika Raka dan Laila tiba di kantor. Di tengah kebisingan rutinitas, keduanya disibukkan oleh proyek baru yang mengharuskan mereka bekerja lebih intens dan dekat setiap hari. Di balik keheningan pagi, ada ketegangan halus yang menyelubungi ruangan mereka, bukan karena beban pekerjaan, melainkan dari perasaan yang perlahan tumbuh, namun belum sempat mereka akui.Raka duduk di seberang meja, membolak-balik halaman dokumen proyek yang menumpuk di hadapannya. Laila, yang duduk berhadapan, tak bisa menahan diri untuk sesekali melirik ke arahnya. Interaksi mereka kini terasa begitu intens, hingga setiap tatapan atau senyum kecil menjadi momen yang bermakna, seperti irama perlahan dalam musik yang mendayu-dayu.Seiring hari berjalan, percakapan-percakapan kecil mereka berubah menjadi pembicaraan yang dalam. Setiap diskusi tentang rincian proyek terasa seperti membuka lapisan demi lapisan diri mereka masing-masing, dan Laila mulai merasakan bahwa di