Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?
Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka? Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pimpin. Namun, tidak ada informasi tentang kecelakaan atau alasan mengapa ia sekarang tak lagi bisa berjalan. Laila menggigit bibirnya, merasa sedikit frustrasi, namun ia tidak menyerah. Ia terus mencari lebih dalam, menggali setiap informasi yang mungkin memberi petunjuk. Setelah beberapa menit, Laila menemukan sesuatu. Sebuah artikel dari beberapa tahun lalu, tersembunyi di arsip digital. Judulnya cukup singkat, tapi begitu kuat, seolah menampar hatinya: "Pengusaha Muda Terkena Kecelakaan Tragis: Kehilangan Kemampuan Berjalan". Jantung Laila berdebar kencang. Ia tahu artikel itu tentang Raka bahkan sebelum membacanya sepenuhnya. Tangannya gemetar saat mengklik artikel itu. Kata-kata demi kata-kata yang tertulis di sana seolah menghantam perasaannya satu demi satu. "Raka Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang sedang naik daun, mengalami kecelakaan mobil yang tragis di jalan tol beberapa bulan yang lalu. Kecelakaan tersebut diduga akibat rem mobil yang tidak berfungsi. Meskipun nyawanya terselamatkan, Raka harus menerima kenyataan pahit—ia kehilangan kemampuan berjalan akibat cedera tulang belakang yang parah. Sejak kecelakaan itu, Raka memilih untuk mundur dari kehidupan publik, jarang muncul dalam acara-acara besar, dan fokus pada pemulihannya secara pribadi." Laila menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Kecelakaan itu lebih buruk dari yang pernah ia bayangkan. Ia bisa membayangkan bagaimana perasaan Raka saat kehilangan sesuatu yang begitu esensial—kemampuannya untuk berjalan. Tidak heran ia berubah begitu drastis. Semua ini menjelaskan jarak emosional yang Raka bangun, benteng yang ia dirikan untuk menjaga diri dari rasa sakit yang lebih dalam. Namun, Laila tak hanya merasakan kesedihan; ada perasaan bersalah yang menghujam dirinya. Mengapa ia tak pernah tahu tentang hal ini? Bagaimana bisa ia melewatkan momen-momen penting dalam hidup seseorang yang dulu begitu dekat dengannya? Laila merasa seperti telah meninggalkan Raka di tengah badai yang paling kelam. Malam itu, pikirannya terus berputar pada pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Seandainya ia tetap menjalin komunikasi dengan Raka, mungkin ia bisa ada di sisinya saat Raka melalui cobaan ini. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa menjadi seseorang yang membantu Raka bangkit kembali. Tetapi sekarang, jarak dan waktu telah menjadikan mereka asing satu sama lain, meski ada kenangan yang mengikat mereka. Pagi harinya, Laila masih terpikirkan tentang apa yang telah ia temukan. Sepanjang perjalanan ke kantor, perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena akhirnya tahu apa yang terjadi pada Raka. Namun di sisi lain, ia diliputi rasa penyesalan karena tak ada di sana untuk Raka saat ia membutuhkan dukungan. Sesampainya di kantor, Laila melihat Raka duduk di meja kerjanya, fokus pada layar komputer. Ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya, seolah-olah ia telah menerima kenyataan hidupnya dengan tabah. Tapi bagi Laila, ketenangan itu terasa seperti tirai yang menyembunyikan semua luka yang tak pernah terlihat. Ia mendekati Raka dengan langkah hati-hati, mencoba untuk tidak menunjukkan bahwa ia telah menemukan kebenaran. "Raka," panggilnya lembut. Raka menoleh, menatapnya dengan senyum tipis. "Ada apa, Laila?" Seketika, Laila merasakan dorongan yang begitu kuat untuk menanyakan langsung tentang kecelakaan itu, tentang bagaimana ia menghadapinya selama ini. Namun, ia menahan diri. Ini bukan tempat atau waktu yang tepat. Ada sesuatu yang rapuh tentang Raka saat ini, sesuatu yang tak bisa disinggung dengan terburu-buru. "Aku hanya ingin memastikan kalau kita siap untuk presentasi sore nanti," jawab Laila, meskipun pikirannya masih bergelut dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Raka mengangguk singkat. "Ya, aku sudah siapkan semuanya. Aku yakin kita akan baik-baik saja." Laila tersenyum, tapi senyum itu tak benar-benar sampai ke hatinya. Ia tahu bahwa ada lebih banyak hal yang harus mereka bicarakan—hal-hal yang jauh lebih penting dari sekadar proyek kerja. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa menunggu, berharap bahwa waktunya akan datang, bahwa ada celah kecil di mana ia bisa masuk ke dalam kehidupan Raka lagi, bukan hanya sebagai rekan kerja, tetapi sebagai seseorang yang peduli. Sepanjang hari, pikiran Laila terus kembali ke artikel yang dibacanya semalam. Kecelakaan itu bukan hanya tentang kehilangan kemampuan berjalan; itu adalah titik balik dalam hidup Raka, momen di mana semuanya berubah. Dan sekarang, Laila sadar bahwa ia tidak bisa mengabaikan apa yang telah terjadi. Ia harus mencari cara untuk mendekati Raka, untuk memahami luka yang tersembunyi di balik senyum tenangnya, dan mungkin, membantu Raka menemukan kembali jalan menuju kedamaian dalam hatinya. Malamnya, ketika ia kembali ke rumah, Laila merenung sejenak di depan jendela kamarnya. Di luar, bulan bersinar dengan lembut, memberikan cahaya hangat di tengah kegelapan malam. Di balik keindahan itu, Laila merasa bahwa hidup kadang berjalan seperti bulan yang muncul dalam siklus. Ada momen-momen penuh cahaya, dan ada saat-saat ketika segalanya tampak gelap. Mungkin sekarang, Raka sedang berada dalam kegelapan itu, dan ia berharap dirinya bisa menjadi bagian dari cahaya yang membawa kehangatan kembali ke hidupnya. Di dalam hati, Laila bertekad untuk tidak menyerah. Kebenaran tentang kecelakaan Raka mungkin telah membuka luka lama, tapi itu juga memberinya kesempatan untuk memahami pria yang dulu begitu dekat dengannya, dan yang sekarang tampak begitu jauh. Laila melangkah keluar dari kafe dengan perasaan yang bercampur aduk. Hati dan pikirannya terus berkelana memikirkan percakapannya dengan Raka di kantor, yang terasa hampa meski diucapkan dengan nada datar. Ada yang tak tersampaikan, dan perasaan itu semakin mempertegas jarak di antara mereka. Di balik senyum dan tatapan profesionalnya, Laila tahu Raka menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar perubahan fisik. Ketika sedang berjalan menyusuri trotoar di sepanjang pusat kota, tiba-tiba ia mendengar suara familiar memanggil namanya. “Laila! Lama tak bertemu!” Laila menoleh dan mendapati sosok yang tidak asing lagi. Itu adalah Nadia, teman lama dari masa kuliah. Dulu mereka sering belajar bersama, dan sesekali Nadia ikut nongkrong bersama Raka dan teman-teman lainnya. "Nadia? Ya Tuhan, sudah lama sekali! Bagaimana kabarmu?" Laila tersenyum, menyambut kehadiran temannya dengan hangat. Mereka berdua memutuskan untuk singgah di sebuah kafe terdekat, melanjutkan percakapan yang sudah lama terputus oleh kesibukan hidup. Setelah beberapa basa-basi, mereka mulai mengenang masa lalu. Percakapan pun bergulir pada hal-hal yang lebih pribadi, termasuk kabar tentang teman-teman lama. Di tengah canda tawa itu, Laila memberanikan diri bertanya dengan hati-hati, “Apa kau pernah dengar kabar tentang Raka?” Wajah Nadia yang ceria sedikit memudar, matanya menunduk sejenak sebelum menatap Laila dengan pandangan penuh pengertian. "Aku mendengar sedikit tentang dia… Aku tahu kau dan Raka pernah sangat dekat dulu." Laila merasa ada yang tak beres dari nada suara Nadia, seolah ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan, tapi tertahan. Perasaan cemas menggelayut dalam hatinya. "Ya, kami memang dulu dekat," jawab Laila pelan, menunggu Nadia melanjutkan. Nadia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Sebenarnya, aku sempat bertemu beberapa teman yang tahu tentang kecelakaan yang dialami Raka.” Jantung Laila berdegup lebih kencang. Kecelakaan. Kata itu menggantung di udara seperti awan gelap. “Kecelakaan? Kecelakaan seperti apa?” Nadia memutar cangkir kopinya, tampak ragu-ragu sebelum berbicara lagi. "Aku tidak tahu detailnya, hanya mendengar dari sumber-sumber yang samar. Tapi beberapa tahun lalu, Raka mengalami kecelakaan mobil yang sangat buruk. Mereka bilang itu benar-benar tragis. Mobilnya terguling di jalan tol, dan dia terjebak di dalam selama berjam-jam sebelum tim penyelamat berhasil mengevakuasi.” Kata-kata Nadia terasa seperti angin dingin yang menelusup ke tulang. Laila terpaku, tak mampu berkata-kata. Gambaran yang diberikan Nadia terlalu samar, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa sesak. Ia membayangkan Raka, terjebak dalam reruntuhan mobil, sendirian dan terluka, jauh dari siapa pun yang peduli padanya. Nadia melanjutkan, “Yang kudengar, setelah kecelakaan itu, Raka mengalami cedera parah pada tulang belakangnya. Itu sebabnya sekarang dia menggunakan kursi roda. Tapi dia jarang mau bicara tentang hal itu kepada siapa pun. Sepertinya dia memilih untuk menyembunyikan rasa sakitnya.” Laila menggeleng pelan, tak percaya. "Bagaimana mungkin aku tidak tahu tentang ini? Aku tidak pernah mendengar apapun…" “Aku juga tidak tahu pasti,” Nadia menjawab dengan nada penuh simpati. "Raka memang selalu jadi orang yang tertutup. Setelah kecelakaan itu, dia seolah hilang dari kehidupan sosial kita. Aku sempat mengirim pesan, tapi dia jarang membalas. Mungkin dia ingin menyembunyikan keadaannya, atau mungkin dia hanya tidak ingin orang lain merasa kasihan padanya." Laila merasakan gelombang emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin mengetahui lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Raka, tetapi di sisi lain, ia merasa bersalah karena selama ini absen dari hidupnya. Bagaimana bisa ia tak tahu hal sebesar ini? Apakah mereka benar-benar telah terpisah sejauh itu? "Aku berharap aku ada di sana untuknya," Laila berbisik, lebih kepada dirinya sendiri. Nadia menatapnya dengan penuh simpati. “Aku yakin dia menghargai perhatianmu, meskipun mungkin dia tidak mengungkapkannya. Kadang-kadang, orang yang paling menderita adalah mereka yang paling diam.” Kata-kata Nadia itu menusuk hati Laila. Ia tahu bahwa Raka adalah tipe orang yang menahan segalanya dalam-dalam, lebih memilih berjuang sendiri ketimbang menunjukkan kelemahan. Namun, sekarang ia merasa harus melakukan sesuatu—ia tak bisa lagi berdiri di pinggir, menyaksikan Raka dari kejauhan. "Aku harus bicara dengannya. Mungkin dia tidak akan terbuka begitu saja, tapi aku harus mencoba. Setidaknya aku harus menunjukkan bahwa aku peduli,” kata Laila dengan keyakinan yang tiba-tiba menguat dalam dirinya. Nadia mengangguk, tersenyum lembut. “Itu ide yang bagus. Kadang, hanya dengan berada di samping seseorang tanpa harus mengatakan banyak hal sudah cukup membantu.” Percakapan mereka berakhir di sana, namun pikiran Laila terus berkecamuk sepanjang perjalanan pulangnya. Kata-kata Nadia seperti benang-benang yang merajut sebuah gambaran besar tentang kehidupan Raka yang kini terpotong oleh tragedi. Apa yang sebenarnya Raka rasakan selama ini? Dan mengapa dia memilih untuk menutup diri dari dunia, bahkan dari orang-orang yang dulu sangat dekat dengannya? Saat malam mulai merangkak naik dan kota diterangi oleh gemerlap lampu, Laila berdiri di depan cermin kamarnya, menatap refleksi dirinya sendiri. Ada perasaan bersalah yang terus menghantui pikirannya, namun juga muncul keinginan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Malam itu, Laila memutuskan bahwa ia tak akan lagi diam. Ia harus menembus benteng yang Raka bangun, bukan untuk menuntut penjelasan, tetapi untuk menunjukkan bahwa ia ada, bahwa persahabatan dan rasa peduli mereka belum benar-benar hilang ditelan waktu. Dengan hati yang penuh tekad, Laila tahu bahwa perjalanan ini tak akan mudah. Raka mungkin akan terus menjaga jaraknya, menyembunyikan rasa sakit di balik senyumnya yang tenang. Namun, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Laila merasa bahwa ia telah menemukan jalannya kembali ke kehidupan Raka, bahkan jika itu harus dimulai dari jejak samar tentang kecelakaan yang mengubah segalanya. Di luar jendela, bulan bersinar lembut di antara awan-awan tipis, seolah memberikan harapan baru di tengah kegelapan malam.Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan."Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kit
Angin pagi mengelus lembut wajah Laila saat ia berjalan menyusuri koridor kantor yang modern dan elegan. Langkah-langkahnya terdengar tegas, namun di balik penampilannya yang anggun dan berwibawa, hatinya tak pernah sepi dari kerinduan yang tertahan. Laila adalah wanita yang telah menggapai banyak hal—karier yang gemilang, prestasi yang diakui, dan kehormatan di mata rekan-rekan kerjanya. Namun, di kedalaman jiwanya, masih ada ruang kosong yang tak pernah terisi, sebuah bayang-bayang dari masa lalu yang terus menghantui, sebuah nama yang tak pernah bisa dilupakan: Raka. Setiap kali Laila menatap keluar dari jendela kaca besar di ruang kantornya, matanya sering kali tertuju jauh ke cakrawala, seakan mencari sosok yang pernah menjadi pusat dunianya. Ia teringat kembali pada masa-masa ketika dunia terasa begitu sederhana, ketika cinta pertama menghampiri dengan tulus dan polos. Nama Raka selalu muncul di antara desah napasnya, bagai angin yang tak bisa dihalau, tak peduli seberapa keras
Hari itu, matahari menyelipkan sinarnya ke sela-sela gedung tinggi di pusat kota, memantulkan bayang-bayang yang bergerak mengikuti langkah cepat Laila. Setiap derap sepatunya di lantai marmer kantor bergaung di dalam benaknya, mengiringi ketegangan yang semakin meresap dalam tubuhnya. Laila berusaha menenangkan debar jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Ini bukan hanya rapat biasa—ini adalah pertemuan pertamanya dengan tim proyek yang melibatkan Raka. Hati Laila masih belum sepenuhnya pulih dari pertemuan kemarin. Meski ia sudah tahu akan bekerja dengan perusahaan mitra, tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa perusahaan itu akan melibatkan Raka, orang yang begitu penting dalam hidupnya di masa lalu. Pria yang pernah menjadi sumber kebahagiaannya, kini berada di ujung hatinya, mengundang luka lama yang ia kira sudah tertutup rapat. Ketika ia memasuki ruang rapat, suasana dingin AC menyambutnya, menambah kesan formal dan kaku. Beberapa anggota tim sudah berkumpul, sibuk de
Pagi itu, ruangan rapat masih tampak sunyi ketika Raka memasuki ruangan dengan langkah tenang, kursi rodanya bergerak perlahan di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia tiba lebih awal dari yang lain, berharap kehadirannya bisa menenangkan pikirannya sebelum pertemuan dimulai. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, penuh dengan diskusi dan pengambilan keputusan penting. Bagi Raka, ini adalah kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus-menerus menghantui sejak pertemuannya dengan Laila. Ia sudah bertekad untuk menjalani proyek ini dengan profesionalisme. Apapun yang ia rasakan terhadap Laila, apapun rasa sakit atau kenangan manis yang kembali menyeruak, harus ia simpan jauh di sudut hatinya. Sekarang bukan saatnya terjebak dalam emosi. Sebagai seorang pemimpin proyek, ia harus memastikan semua berjalan lancar. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca besar, memberikan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Namun, di balik ketenangan pagi itu, ada
Di penghujung hari yang melelahkan, Laila duduk di depan cangkir kopinya yang kini hanya tersisa setengah. Di balik jendela besar di ruangannya, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna jingga yang lembut. Hembusan angin senja yang hangat terasa menenangkan, namun pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan canggung yang terus menghantui sejak pertemuan dengan Raka. Kembali bekerja dengan seseorang yang pernah begitu dekat di hatinya membuatnya sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.Laila memejamkan mata, membiarkan dirinya. terlarut dalam kenangan yang muncul begitu saja, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Wajah Raka yang dulu, senyumnya, tatapannya, seolah begitu dekat dan nyata di depan mata. Seketika, ia teringat masa-masa saat mereka masih remaja, saat segala hal terasa lebih sederhana dan perasaan mereka begitu murni.Dulu, Laila dan Raka tidak hanya sekadar teman. Mereka adalah dua jiwa yang selalu menemukan tempat nyaman di sisi satu sama lain. Setiap
Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin