Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.
Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan. "Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kita perlu revisi lagi," ujar Raka sambil menunjuk layar dengan ekspresi serius. "Kurva ini tidak seharusnya naik tajam seperti ini, ini akan membuat anggaran membengkak." Laila mengangguk pelan, mencoba fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus berputar-putar pada percakapan yang lebih mendalam—percakapan yang tak pernah bisa mereka mulai. "Baik, aku akan mengatur ulang sesuai saranmu," jawabnya sambil mengetik beberapa perubahan di laptopnya. Suaranya terdengar datar, hampir tanpa emosi, seolah-olah dia adalah bagian dari mesin yang bekerja dengan sempurna, tetapi jauh di dalam, perasaannya bergejolak. Mereka berdua kembali tenggelam dalam diam, hanya suara ketukan keyboard dan detak jam dinding yang mengisi ruang di antara mereka. Laila merasa ada sesuatu yang begitu salah, namun tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia berusaha memecah kebekuan dengan percakapan ringan, Raka selalu berhasil mengalihkan pembicaraan kembali ke pekerjaan. Dia seperti membangun tembok tak terlihat yang begitu tinggi dan tak tergoyahkan. Sesekali Laila mencuri pandang ke arah Raka. Ada garis-garis kelelahan di wajahnya yang tak bisa disembunyikan meski ekspresi wajahnya tetap tenang. Mata Raka memancarkan keteguhan, tapi juga menyimpan rasa sakit yang tak pernah ia bicarakan. Raka yang dulu selalu terbuka kini terasa begitu jauh, seperti bayangan dari seseorang yang pernah ia kenal dengan sangat baik. "Raka..." Laila akhirnya memecah keheningan. Suaranya lembut namun penuh ragu. Ia ingin mengatakan sesuatu, apapun, yang bisa menembus jarak yang menganga di antara mereka. "Apakah... apakah kamu pernah berpikir tentang... apa yang terjadi dulu?" Raka mengangkat matanya dari layar laptopnya, namun tidak langsung menatap Laila. Seperti ada jeda panjang sebelum ia menjawab, dan saat ia berbicara, suaranya tetap datar. "Laila, kita di sini untuk proyek ini. Hal-hal di masa lalu... tidak relevan sekarang." Kata-katanya terasa seperti pisau yang tajam namun dingin, menembus hati Laila tanpa rasa ampun. Raka selalu tahu bagaimana menghindari perasaan, bagaimana melindungi dirinya di balik tameng kata-kata formal. Laila menghela napas panjang, merasa frustasi namun tak ingin menyerah begitu saja. "Aku hanya... aku hanya ingin memastikan bahwa kita baik-baik saja," gumamnya, suaranya hampir tenggelam oleh ketukan keyboard yang kembali dihidupkan oleh Raka. Ia tahu bahwa ini bukan tempat yang tepat untuk membicarakan perasaan, namun bagaimana mungkin ia bisa bekerja bersama seseorang yang begitu dekat dengannya di masa lalu tanpa merasakan apa-apa? Raka menghentikan ketikannya, akhirnya menatap Laila dengan pandangan yang sulit dibaca. "Kita profesional, Laila. Dan sejauh ini, pekerjaan kita berjalan baik." Kata-katanya kembali terdengar datar, seperti dinding yang tak bisa ditembus. Laila merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalisme dalam kata-kata itu, tetapi Raka tak pernah memberinya kesempatan untuk menggali lebih dalam. Mereka kembali bekerja dalam diam. Ketegangan emosional di antara mereka semakin terasa jelas, seperti benang tipis yang ditarik kencang, siap putus kapan saja. Laila berusaha keras untuk fokus, tapi pikirannya terus mengembara. Apakah ini akan menjadi akhir dari segalanya? Sebuah proyek yang selesai tanpa ada penyelesaian perasaan? Namun, di balik ketegangan itu, ada sesuatu yang tumbuh dalam hati Laila—sebuah tekad. Ia tahu bahwa Raka tidak akan pernah membiarkan dirinya terbuka dengan mudah, tetapi ia tak bisa membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Laila ingin tahu, lebih dari apapun, mengapa Raka menutup dirinya seperti ini. Apakah semua ini hanya tentang kecelakaan itu? Ataukah ada hal lain yang disembunyikannya? Ketika malam menjelang dan mereka berdua memutuskan untuk menghentikan pekerjaan untuk hari itu, Laila merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan. Sebelum Raka sempat meninggalkan ruangan, Laila memanggilnya lagi. "Raka, bisa kita bicara sebentar?" Raka berhenti, namun tidak berbalik. "Laila, kalau ini tentang pekerjaan, kita bisa bahas besok pagi." "Tidak," jawab Laila dengan nada serius. "Ini bukan tentang pekerjaan." Raka akhirnya berbalik, menatap Laila dengan ekspresi datar, tapi ada sedikit kilatan rasa lelah di matanya. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" Laila mengumpulkan keberaniannya, berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Raka. "Aku tahu kamu ingin tetap profesional. Tapi kita tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi di antara kita... di masa lalu." Raka terdiam, menatap Laila dengan intens, seolah-olah sedang menimbang apa yang harus ia katakan. Ada jeda panjang, hingga akhirnya ia berbicara dengan suara yang nyaris berbisik. "Masa lalu tidak penting, Laila. Yang penting adalah sekarang, dan aku hanya ingin kita fokus pada pekerjaan ini." "Tapi masa lalu tetap ada, Raka. Kita tidak bisa berpura-pura bahwa itu tidak berpengaruh pada kita," Laila menegaskan, matanya penuh dengan harapan bahwa percakapan ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih baik. Namun, seperti biasa, Raka menutup pintu rapat-rapat. "Aku tidak ingin membicarakan itu." Laila menghela napas, merasakan kelelahan emosional yang mulai menghantamnya. "Baiklah," gumamnya, "kalau itu yang kamu inginkan." Raka mengangguk singkat, lalu berbalik pergi tanpa kata-kata lagi, meninggalkan Laila sendirian di ruangan yang dingin dan sunyi. Di luar jendela, malam semakin kelam, dan Laila tahu bahwa percakapan mereka belum selesai. Mungkin Raka bisa menutup pintu emosinya sekarang, tapi Laila yakin bahwa ada sesuatu di balik tembok itu—sesuatu yang masih belum tersentuh oleh waktu. Malam mulai menyelimuti langit di luar jendela kantor, mewarnai suasana dengan bayangan gelap yang mencekam, seolah-olah menggambarkan perasaan yang terpendam dalam hati mereka berdua. Laila masih berada di tempat yang sama, terdiam setelah percakapan singkat dengan Raka yang tak membuahkan hasil apa-apa. Raka sudah pergi, namun bayangannya tetap tertinggal, membekas di hati Laila. Di dalam benaknya, percakapan mereka terus bergema, seolah-olah memanggil dirinya untuk tidak menyerah begitu saja. Ketika Laila mengemasi barang-barangnya, ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikap dingin Raka. Ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang ingin keluar namun tertahan, seperti riak kecil di permukaan air yang menandakan adanya arus kuat di bawahnya. Ia merasakan kilatan aneh ketika Raka menatapnya tadi—sebuah kesedihan yang bersembunyi di balik tatapan tajam dan datar itu. Keesokan harinya, Laila datang lebih awal ke kantor. Ada perasaan aneh yang menyertainya—sebuah tekad untuk menggali lebih dalam, untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dengan Raka. Ketika ia memasuki ruang kerja, Raka sudah ada di sana, duduk di mejanya dengan pandangan tertuju pada sebuah foto lama yang tergeletak di atas meja. Laila menghentikan langkahnya sejenak, memperhatikan bagaimana ekspresi wajah Raka perlahan berubah saat menatap foto itu. Ada kilatan kesedihan yang begitu jelas, meski hanya sesaat, tapi cukup untuk membuat Laila merasakan pergolakan emosi di balik wajah tenangnya. “Foto itu…” bisik Laila, mendekati Raka dengan hati-hati. Ia ingat foto tersebut—itu adalah salah satu momen indah mereka di masa lalu, ketika dunia terasa lebih sederhana, ketika mereka berdua hampir menjadi lebih dari sekadar teman. Foto itu diambil pada malam festival, di mana lampu-lampu kertas beterbangan di langit, membawa harapan-harapan yang diucapkan dalam diam. Raka tersentak, segera menyimpan foto itu dalam laci meja tanpa berkata apa-apa. Wajahnya kembali ke ekspresi datar yang biasa ia tunjukkan, namun Laila tidak bisa menghilangkan kilatan kesedihan yang ia lihat barusan. Ada sesuatu yang tersimpan di sana—sebuah kenangan yang masih hidup meski terkubur oleh waktu. “Kenapa kamu masih menyimpan foto itu?” Laila bertanya pelan, suaranya penuh dengan hati-hati agar tidak membuat Raka semakin menarik diri. Raka tidak segera menjawab. Ia memejamkan matanya sejenak, seolah-olah sedang mencari kekuatan untuk berbicara, namun ketika akhirnya ia membuka mulut, yang keluar hanyalah jawaban singkat dan dingin. “Hanya kenangan lama. Tidak ada yang penting.” Namun, bagi Laila, kenangan itu masih sangat penting. Foto itu bukan sekadar gambar masa lalu, tetapi pengingat tentang apa yang pernah mereka miliki—sebuah hubungan yang nyaris menjadi sesuatu yang lebih indah, namun terhenti oleh waktu dan keadaan. Laila tidak bisa mengabaikan emosi yang kini membanjiri pikirannya. Ia ingin mengatakan lebih banyak, namun Raka tampak sudah menutup pintu sekali lagi, sama seperti kemarin. Mereka bekerja dalam diam sepanjang pagi, namun ketegangan emosional itu semakin terasa. Laila berusaha keras untuk fokus, tapi pikirannya terus kembali ke foto itu, ke tatapan Raka yang penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan. Setiap kali ia mencoba memulai percakapan ringan, Raka selalu mengalihkan pembicaraan ke hal-hal teknis, membuatnya semakin frustasi. Namun, ketika sore mulai menjelang, ada momen di mana Laila menangkap sesuatu yang tak terduga. Mereka sedang berdiskusi tentang presentasi yang harus mereka persiapkan, dan Laila tanpa sengaja menyebutkan nama tempat di mana festival itu diadakan. Seketika, Laila melihat kilatan lain di mata Raka—kilatan kesedihan yang lebih dalam, lebih jelas daripada yang sebelumnya. “Apakah kamu ingat malam itu?” Laila bertanya, memberanikan diri untuk melangkah lebih jauh. Raka menghentikan pekerjaannya, tangannya terhenti di atas keyboard. Namun, ia tidak segera menjawab. Untuk beberapa saat, mereka berdua terdiam, seolah-olah kata-kata tak lagi diperlukan untuk memahami apa yang sedang terjadi. Akhirnya, Raka menarik napas panjang sebelum berbicara, suaranya nyaris berbisik. “Aku ingat,” jawabnya singkat, namun dengan nada yang lebih lembut daripada sebelumnya. “Lalu kenapa… kenapa kamu selalu berusaha menghindari pembicaraan tentang masa lalu kita?” Laila mendesak, matanya menatap Raka penuh harap. Ia tahu bahwa ada sesuatu di balik semua ini, sesuatu yang lebih besar dari sekadar profesionalisme atau proyek. Raka tertawa kecil, namun itu adalah tawa yang pahit, penuh dengan kepedihan yang tersembunyi. “Karena masa lalu itu… hanya akan membawa rasa sakit. Tidak ada gunanya mengungkitnya lagi, Laila.” Laila menggeleng pelan, merasa bahwa kata-kata Raka hanya menambah jarak di antara mereka. “Tapi rasa sakit itu masih ada, kan? Kita tidak bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, sementara ada begitu banyak hal yang belum terselesaikan.” Raka menatap Laila dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara kesedihan, kelelahan, dan keputusasaan. “Kita tidak bisa kembali ke masa lalu, Laila. Apa yang sudah terjadi, sudah selesai.” “Tapi kita masih bisa memperbaiki apa yang tersisa,” gumam Laila, nyaris tak terdengar. Ia merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia menahannya. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya, tidak di hadapan Raka. Suasana di antara mereka menjadi semakin sunyi, hanya disertai oleh detak jam dinding yang terasa semakin lambat. Laila tahu bahwa Raka sedang bergulat dengan perasaannya sendiri, namun ia juga tahu bahwa Raka tidak akan pernah mengakui itu secara langsung. Ia adalah pria yang selalu menyembunyikan perasaannya di balik sikap dingin dan tenangnya, namun Laila bisa melihat bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua itu—sesuatu yang belum bisa mereka ungkapkan. Ketika akhirnya Raka berdiri untuk meninggalkan ruangan, ia berhenti sejenak di ambang pintu. Punggungnya tampak tegang, seolah-olah ia sedang menahan beban yang terlalu berat untuk ditanggung sendiri. “Mungkin suatu hari nanti, kita bisa bicara tentang ini lagi,” kata Raka tanpa menoleh, suaranya terdengar jauh lebih lembut daripada sebelumnya. Laila hanya bisa mengangguk, meskipun ia tahu bahwa Raka tidak bisa melihatnya. Ada secercah harapan dalam kata-kata Raka, namun itu masih terlalu samar, terlalu rapuh. Tapi bagi Laila, itu cukup—setidaknya untuk saat ini. Ketika Raka akhirnya pergi, Laila duduk sendirian di ruang kantor yang kini terasa begitu sunyi. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, namun ia yakin bahwa ada jalan untuk menyembuhkan luka yang telah lama tertinggal. Di balik semua kebekuan dan ketegangan itu, masih ada cinta—cinta yang belum pernah benar-benar hilang.Angin pagi mengelus lembut wajah Laila saat ia berjalan menyusuri koridor kantor yang modern dan elegan. Langkah-langkahnya terdengar tegas, namun di balik penampilannya yang anggun dan berwibawa, hatinya tak pernah sepi dari kerinduan yang tertahan. Laila adalah wanita yang telah menggapai banyak hal—karier yang gemilang, prestasi yang diakui, dan kehormatan di mata rekan-rekan kerjanya. Namun, di kedalaman jiwanya, masih ada ruang kosong yang tak pernah terisi, sebuah bayang-bayang dari masa lalu yang terus menghantui, sebuah nama yang tak pernah bisa dilupakan: Raka. Setiap kali Laila menatap keluar dari jendela kaca besar di ruang kantornya, matanya sering kali tertuju jauh ke cakrawala, seakan mencari sosok yang pernah menjadi pusat dunianya. Ia teringat kembali pada masa-masa ketika dunia terasa begitu sederhana, ketika cinta pertama menghampiri dengan tulus dan polos. Nama Raka selalu muncul di antara desah napasnya, bagai angin yang tak bisa dihalau, tak peduli seberapa keras
Hari itu, matahari menyelipkan sinarnya ke sela-sela gedung tinggi di pusat kota, memantulkan bayang-bayang yang bergerak mengikuti langkah cepat Laila. Setiap derap sepatunya di lantai marmer kantor bergaung di dalam benaknya, mengiringi ketegangan yang semakin meresap dalam tubuhnya. Laila berusaha menenangkan debar jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Ini bukan hanya rapat biasa—ini adalah pertemuan pertamanya dengan tim proyek yang melibatkan Raka. Hati Laila masih belum sepenuhnya pulih dari pertemuan kemarin. Meski ia sudah tahu akan bekerja dengan perusahaan mitra, tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa perusahaan itu akan melibatkan Raka, orang yang begitu penting dalam hidupnya di masa lalu. Pria yang pernah menjadi sumber kebahagiaannya, kini berada di ujung hatinya, mengundang luka lama yang ia kira sudah tertutup rapat. Ketika ia memasuki ruang rapat, suasana dingin AC menyambutnya, menambah kesan formal dan kaku. Beberapa anggota tim sudah berkumpul, sibuk de
Pagi itu, ruangan rapat masih tampak sunyi ketika Raka memasuki ruangan dengan langkah tenang, kursi rodanya bergerak perlahan di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia tiba lebih awal dari yang lain, berharap kehadirannya bisa menenangkan pikirannya sebelum pertemuan dimulai. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, penuh dengan diskusi dan pengambilan keputusan penting. Bagi Raka, ini adalah kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus-menerus menghantui sejak pertemuannya dengan Laila. Ia sudah bertekad untuk menjalani proyek ini dengan profesionalisme. Apapun yang ia rasakan terhadap Laila, apapun rasa sakit atau kenangan manis yang kembali menyeruak, harus ia simpan jauh di sudut hatinya. Sekarang bukan saatnya terjebak dalam emosi. Sebagai seorang pemimpin proyek, ia harus memastikan semua berjalan lancar. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca besar, memberikan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Namun, di balik ketenangan pagi itu, ada
Di penghujung hari yang melelahkan, Laila duduk di depan cangkir kopinya yang kini hanya tersisa setengah. Di balik jendela besar di ruangannya, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna jingga yang lembut. Hembusan angin senja yang hangat terasa menenangkan, namun pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan canggung yang terus menghantui sejak pertemuan dengan Raka. Kembali bekerja dengan seseorang yang pernah begitu dekat di hatinya membuatnya sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.Laila memejamkan mata, membiarkan dirinya. terlarut dalam kenangan yang muncul begitu saja, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Wajah Raka yang dulu, senyumnya, tatapannya, seolah begitu dekat dan nyata di depan mata. Seketika, ia teringat masa-masa saat mereka masih remaja, saat segala hal terasa lebih sederhana dan perasaan mereka begitu murni.Dulu, Laila dan Raka tidak hanya sekadar teman. Mereka adalah dua jiwa yang selalu menemukan tempat nyaman di sisi satu sama lain. Setiap
Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin
Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pi