Beranda / Romansa / Cinta di Kursi Roda / Bab 7: Riak-riak di Bawah Permukaan

Share

Bab 7: Riak-riak di Bawah Permukaan

Penulis: Restu Bumi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-17 10:26:37

Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.

Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan.

"Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kita perlu revisi lagi," ujar Raka sambil menunjuk layar dengan ekspresi serius. "Kurva ini tidak seharusnya naik tajam seperti ini, ini akan membuat anggaran membengkak."

Laila mengangguk pelan, mencoba fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus berputar-putar pada percakapan yang lebih mendalam—percakapan yang tak pernah bisa mereka mulai. "Baik, aku akan mengatur ulang sesuai saranmu," jawabnya sambil mengetik beberapa perubahan di laptopnya. Suaranya terdengar datar, hampir tanpa emosi, seolah-olah dia adalah bagian dari mesin yang bekerja dengan sempurna, tetapi jauh di dalam, perasaannya bergejolak.

Mereka berdua kembali tenggelam dalam diam, hanya suara ketukan keyboard dan detak jam dinding yang mengisi ruang di antara mereka. Laila merasa ada sesuatu yang begitu salah, namun tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia berusaha memecah kebekuan dengan percakapan ringan, Raka selalu berhasil mengalihkan pembicaraan kembali ke pekerjaan. Dia seperti membangun tembok tak terlihat yang begitu tinggi dan tak tergoyahkan.

Sesekali Laila mencuri pandang ke arah Raka. Ada garis-garis kelelahan di wajahnya yang tak bisa disembunyikan meski ekspresi wajahnya tetap tenang. Mata Raka memancarkan keteguhan, tapi juga menyimpan rasa sakit yang tak pernah ia bicarakan. Raka yang dulu selalu terbuka kini terasa begitu jauh, seperti bayangan dari seseorang yang pernah ia kenal dengan sangat baik.

"Raka..." Laila akhirnya memecah keheningan. Suaranya lembut namun penuh ragu. Ia ingin mengatakan sesuatu, apapun, yang bisa menembus jarak yang menganga di antara mereka. "Apakah... apakah kamu pernah berpikir tentang... apa yang terjadi dulu?"

Raka mengangkat matanya dari layar laptopnya, namun tidak langsung menatap Laila. Seperti ada jeda panjang sebelum ia menjawab, dan saat ia berbicara, suaranya tetap datar. "Laila, kita di sini untuk proyek ini. Hal-hal di masa lalu... tidak relevan sekarang."

Kata-katanya terasa seperti pisau yang tajam namun dingin, menembus hati Laila tanpa rasa ampun. Raka selalu tahu bagaimana menghindari perasaan, bagaimana melindungi dirinya di balik tameng kata-kata formal. Laila menghela napas panjang, merasa frustasi namun tak ingin menyerah begitu saja.

"Aku hanya... aku hanya ingin memastikan bahwa kita baik-baik saja," gumamnya, suaranya hampir tenggelam oleh ketukan keyboard yang kembali dihidupkan oleh Raka. Ia tahu bahwa ini bukan tempat yang tepat untuk membicarakan perasaan, namun bagaimana mungkin ia bisa bekerja bersama seseorang yang begitu dekat dengannya di masa lalu tanpa merasakan apa-apa?

Raka menghentikan ketikannya, akhirnya menatap Laila dengan pandangan yang sulit dibaca. "Kita profesional, Laila. Dan sejauh ini, pekerjaan kita berjalan baik."

Kata-katanya kembali terdengar datar, seperti dinding yang tak bisa ditembus. Laila merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalisme dalam kata-kata itu, tetapi Raka tak pernah memberinya kesempatan untuk menggali lebih dalam.

Mereka kembali bekerja dalam diam. Ketegangan emosional di antara mereka semakin terasa jelas, seperti benang tipis yang ditarik kencang, siap putus kapan saja. Laila berusaha keras untuk fokus, tapi pikirannya terus mengembara. Apakah ini akan menjadi akhir dari segalanya? Sebuah proyek yang selesai tanpa ada penyelesaian perasaan?

Namun, di balik ketegangan itu, ada sesuatu yang tumbuh dalam hati Laila—sebuah tekad. Ia tahu bahwa Raka tidak akan pernah membiarkan dirinya terbuka dengan mudah, tetapi ia tak bisa membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Laila ingin tahu, lebih dari apapun, mengapa Raka menutup dirinya seperti ini. Apakah semua ini hanya tentang kecelakaan itu? Ataukah ada hal lain yang disembunyikannya?

Ketika malam menjelang dan mereka berdua memutuskan untuk menghentikan pekerjaan untuk hari itu, Laila merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan. Sebelum Raka sempat meninggalkan ruangan, Laila memanggilnya lagi. "Raka, bisa kita bicara sebentar?"

Raka berhenti, namun tidak berbalik. "Laila, kalau ini tentang pekerjaan, kita bisa bahas besok pagi."

"Tidak," jawab Laila dengan nada serius. "Ini bukan tentang pekerjaan."

Raka akhirnya berbalik, menatap Laila dengan ekspresi datar, tapi ada sedikit kilatan rasa lelah di matanya. "Apa yang ingin kamu bicarakan?"

Laila mengumpulkan keberaniannya, berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Raka. "Aku tahu kamu ingin tetap profesional. Tapi kita tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi di antara kita... di masa lalu."

Raka terdiam, menatap Laila dengan intens, seolah-olah sedang menimbang apa yang harus ia katakan. Ada jeda panjang, hingga akhirnya ia berbicara dengan suara yang nyaris berbisik. "Masa lalu tidak penting, Laila. Yang penting adalah sekarang, dan aku hanya ingin kita fokus pada pekerjaan ini."

"Tapi masa lalu tetap ada, Raka. Kita tidak bisa berpura-pura bahwa itu tidak berpengaruh pada kita," Laila menegaskan, matanya penuh dengan harapan bahwa percakapan ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih baik.

Namun, seperti biasa, Raka menutup pintu rapat-rapat. "Aku tidak ingin membicarakan itu."

Laila menghela napas, merasakan kelelahan emosional yang mulai menghantamnya. "Baiklah," gumamnya, "kalau itu yang kamu inginkan."

Raka mengangguk singkat, lalu berbalik pergi tanpa kata-kata lagi, meninggalkan Laila sendirian di ruangan yang dingin dan sunyi.

Di luar jendela, malam semakin kelam, dan Laila tahu bahwa percakapan mereka belum selesai. Mungkin Raka bisa menutup pintu emosinya sekarang, tapi Laila yakin bahwa ada sesuatu di balik tembok itu—sesuatu yang masih belum tersentuh oleh waktu.

Malam mulai menyelimuti langit di luar jendela kantor, mewarnai suasana dengan bayangan gelap yang mencekam, seolah-olah menggambarkan perasaan yang terpendam dalam hati mereka berdua. Laila masih berada di tempat yang sama, terdiam setelah percakapan singkat dengan Raka yang tak membuahkan hasil apa-apa. Raka sudah pergi, namun bayangannya tetap tertinggal, membekas di hati Laila. Di dalam benaknya, percakapan mereka terus bergema, seolah-olah memanggil dirinya untuk tidak menyerah begitu saja.

Ketika Laila mengemasi barang-barangnya, ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikap dingin Raka. Ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang ingin keluar namun tertahan, seperti riak kecil di permukaan air yang menandakan adanya arus kuat di bawahnya. Ia merasakan kilatan aneh ketika Raka menatapnya tadi—sebuah kesedihan yang bersembunyi di balik tatapan tajam dan datar itu.

Keesokan harinya, Laila datang lebih awal ke kantor. Ada perasaan aneh yang menyertainya—sebuah tekad untuk menggali lebih dalam, untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dengan Raka. Ketika ia memasuki ruang kerja, Raka sudah ada di sana, duduk di mejanya dengan pandangan tertuju pada sebuah foto lama yang tergeletak di atas meja.

Laila menghentikan langkahnya sejenak, memperhatikan bagaimana ekspresi wajah Raka perlahan berubah saat menatap foto itu. Ada kilatan kesedihan yang begitu jelas, meski hanya sesaat, tapi cukup untuk membuat Laila merasakan pergolakan emosi di balik wajah tenangnya.

“Foto itu…” bisik Laila, mendekati Raka dengan hati-hati. Ia ingat foto tersebut—itu adalah salah satu momen indah mereka di masa lalu, ketika dunia terasa lebih sederhana, ketika mereka berdua hampir menjadi lebih dari sekadar teman. Foto itu diambil pada malam festival, di mana lampu-lampu kertas beterbangan di langit, membawa harapan-harapan yang diucapkan dalam diam.

Raka tersentak, segera menyimpan foto itu dalam laci meja tanpa berkata apa-apa. Wajahnya kembali ke ekspresi datar yang biasa ia tunjukkan, namun Laila tidak bisa menghilangkan kilatan kesedihan yang ia lihat barusan. Ada sesuatu yang tersimpan di sana—sebuah kenangan yang masih hidup meski terkubur oleh waktu.

“Kenapa kamu masih menyimpan foto itu?” Laila bertanya pelan, suaranya penuh dengan hati-hati agar tidak membuat Raka semakin menarik diri.

Raka tidak segera menjawab. Ia memejamkan matanya sejenak, seolah-olah sedang mencari kekuatan untuk berbicara, namun ketika akhirnya ia membuka mulut, yang keluar hanyalah jawaban singkat dan dingin. “Hanya kenangan lama. Tidak ada yang penting.”

Namun, bagi Laila, kenangan itu masih sangat penting. Foto itu bukan sekadar gambar masa lalu, tetapi pengingat tentang apa yang pernah mereka miliki—sebuah hubungan yang nyaris menjadi sesuatu yang lebih indah, namun terhenti oleh waktu dan keadaan. Laila tidak bisa mengabaikan emosi yang kini membanjiri pikirannya. Ia ingin mengatakan lebih banyak, namun Raka tampak sudah menutup pintu sekali lagi, sama seperti kemarin.

Mereka bekerja dalam diam sepanjang pagi, namun ketegangan emosional itu semakin terasa. Laila berusaha keras untuk fokus, tapi pikirannya terus kembali ke foto itu, ke tatapan Raka yang penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan. Setiap kali ia mencoba memulai percakapan ringan, Raka selalu mengalihkan pembicaraan ke hal-hal teknis, membuatnya semakin frustasi.

Namun, ketika sore mulai menjelang, ada momen di mana Laila menangkap sesuatu yang tak terduga. Mereka sedang berdiskusi tentang presentasi yang harus mereka persiapkan, dan Laila tanpa sengaja menyebutkan nama tempat di mana festival itu diadakan. Seketika, Laila melihat kilatan lain di mata Raka—kilatan kesedihan yang lebih dalam, lebih jelas daripada yang sebelumnya.

“Apakah kamu ingat malam itu?” Laila bertanya, memberanikan diri untuk melangkah lebih jauh.

Raka menghentikan pekerjaannya, tangannya terhenti di atas keyboard. Namun, ia tidak segera menjawab. Untuk beberapa saat, mereka berdua terdiam, seolah-olah kata-kata tak lagi diperlukan untuk memahami apa yang sedang terjadi. Akhirnya, Raka menarik napas panjang sebelum berbicara, suaranya nyaris berbisik.

“Aku ingat,” jawabnya singkat, namun dengan nada yang lebih lembut daripada sebelumnya.

“Lalu kenapa… kenapa kamu selalu berusaha menghindari pembicaraan tentang masa lalu kita?” Laila mendesak, matanya menatap Raka penuh harap. Ia tahu bahwa ada sesuatu di balik semua ini, sesuatu yang lebih besar dari sekadar profesionalisme atau proyek.

Raka tertawa kecil, namun itu adalah tawa yang pahit, penuh dengan kepedihan yang tersembunyi. “Karena masa lalu itu… hanya akan membawa rasa sakit. Tidak ada gunanya mengungkitnya lagi, Laila.”

Laila menggeleng pelan, merasa bahwa kata-kata Raka hanya menambah jarak di antara mereka. “Tapi rasa sakit itu masih ada, kan? Kita tidak bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, sementara ada begitu banyak hal yang belum terselesaikan.”

Raka menatap Laila dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara kesedihan, kelelahan, dan keputusasaan. “Kita tidak bisa kembali ke masa lalu, Laila. Apa yang sudah terjadi, sudah selesai.”

“Tapi kita masih bisa memperbaiki apa yang tersisa,” gumam Laila, nyaris tak terdengar. Ia merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia menahannya. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya, tidak di hadapan Raka.

Suasana di antara mereka menjadi semakin sunyi, hanya disertai oleh detak jam dinding yang terasa semakin lambat. Laila tahu bahwa Raka sedang bergulat dengan perasaannya sendiri, namun ia juga tahu bahwa Raka tidak akan pernah mengakui itu secara langsung. Ia adalah pria yang selalu menyembunyikan perasaannya di balik sikap dingin dan tenangnya, namun Laila bisa melihat bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua itu—sesuatu yang belum bisa mereka ungkapkan.

Ketika akhirnya Raka berdiri untuk meninggalkan ruangan, ia berhenti sejenak di ambang pintu. Punggungnya tampak tegang, seolah-olah ia sedang menahan beban yang terlalu berat untuk ditanggung sendiri.

“Mungkin suatu hari nanti, kita bisa bicara tentang ini lagi,” kata Raka tanpa menoleh, suaranya terdengar jauh lebih lembut daripada sebelumnya.

Laila hanya bisa mengangguk, meskipun ia tahu bahwa Raka tidak bisa melihatnya. Ada secercah harapan dalam kata-kata Raka, namun itu masih terlalu samar, terlalu rapuh. Tapi bagi Laila, itu cukup—setidaknya untuk saat ini.

Ketika Raka akhirnya pergi, Laila duduk sendirian di ruang kantor yang kini terasa begitu sunyi. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, namun ia yakin bahwa ada jalan untuk menyembuhkan luka yang telah lama tertinggal. Di balik semua kebekuan dan ketegangan itu, masih ada cinta—cinta yang belum pernah benar-benar hilang.

Bab terkait

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 8: Batas-batas yang Tak Terlihat

    Pagi itu, sinar matahari menyusup perlahan melalui celah-celah jendela ruang kantor, menciptakan bayangan lembut yang menari di dinding. Suara burung-burung berkicau dari kejauhan, namun di dalam ruangan yang diisi Laila dan Raka, keheningan mendominasi. Ada perasaan tegang yang menyelubungi udara, meskipun tidak ada kata yang terucap.Raka duduk di meja kerjanya, jarak fisik antara mereka terasa begitu dekat, namun di antara mereka ada tembok-tembok tak terlihat yang semakin menjulang tinggi. Setiap gerakan Laila, setiap helaan napasnya, seakan menarik Raka untuk mendekat, namun ia menahan dirinya. Di balik wajahnya yang tenang, tersimpan lautan emosi yang bergejolak, tetapi ia tahu, jika ia membiarkan dirinya hanyut terlalu jauh, ia mungkin tidak akan pernah bisa kembali.Ia menjaga jarak.Laila menyadari sikap Raka yang semakin menjauh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Sudah beberapa hari berlalu sejak mereka mulai bekerja lebih intensif bersama, namun seiring waktu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 9: Senyum yang Tertahan di Antara Jarak

    Pagi itu terasa berbeda. Meski matahari masih malu-malu menyusup dari balik tirai awan, ada kehangatan yang lembut merambati ruangan tempat Laila dan Raka bekerja. Seperti biasanya, mereka tenggelam dalam tugas-tugas proyek yang menyita perhatian. Keduanya larut dalam keheningan yang tak lagi terasa begitu membebani, namun tetap ada jarak yang belum tersentuh. Jarak yang seakan dibuat oleh garis-garis tak terlihat, namun nyata.Laila duduk di meja kerjanya, matanya sesekali melirik ke arah Raka. Sejak hari-hari terakhir, ada perubahan kecil yang terasa dalam sikapnya. Raka memang masih menjaga jarak, masih tersembunyi di balik sikap dinginnya, tapi Laila tahu, di balik semua itu, ada sesuatu yang mulai mencair. Mungkin itu hanya imajinasinya, atau mungkin harapannya, namun setiap kali Laila berada di dekat Raka, ia bisa merasakan denyut kecil di antara keduanya—seperti sisa-sisa cinta yang pernah ada.Di sudut ruangan, Raka sedang berdiri, mengamati papan tulis yang penuh dengan skets

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 10: Kenangan yang Terpendam

    Sore itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Laila duduk di balkon apartemennya, memandangi langit yang berwarna jingga, memikirkan perasaannya yang mulai tidak bisa ia abaikan. Cahaya matahari yang perlahan memudar seolah menggambarkan apa yang tengah terjadi dalam hatinya—kenangan lama yang kembali menyeruak, membawa perasaan yang dulu begitu kuat, namun kini dibalut oleh penyesalan.Sudah bertahun-tahun berlalu sejak hari itu. Hari di mana semuanya berubah, saat ia dan Raka memilih jalan masing-masing tanpa sempat menyelesaikan apa yang terlanjur hancur. Ketika mereka masih remaja, dunia terasa begitu besar dan penuh kemungkinan, tetapi juga dipenuhi oleh ketidakpastian yang menyelimuti masa depan mereka. Sekarang, di hadapannya, dunia itu terasa lebih kecil, namun luka lama yang terpendam kembali mencuat, menghantui setiap detik waktu yang ia habiskan bersama Raka di proyek ini.Laila memejamkan mata, membiarkan ingatannya kembali ke masa-masa re

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 11: Di Ambang Frustrasi

    Langit pagi yang biasanya terasa hangat kini tampak kelabu, seolah mencerminkan apa yang berkecamuk di dalam hati Laila. Sudah beberapa minggu berlalu, dan meskipun ia terus berusaha untuk tetap sabar, ada perasaan frustrasi yang perlahan-lahan mulai tumbuh. Raka, dengan segala ketidakpastian dan dinding emosionalnya, masih tetap berusaha menjaga jarak, dan hal itu membuat Laila semakin sulit untuk mendekat.Setiap kali Laila mencoba membuka diri, mengulurkan tangan melalui kata-kata yang lembut, atau sekadar dengan kehadirannya yang diam namun mendukung, Raka selalu berhasil menemukan cara untuk menghindar. Ia mengalihkan pandangan, menyibukkan diri dengan pekerjaan, atau sekadar membatasi percakapan mereka pada hal-hal yang sifatnya formal dan teknis. Laila bisa melihat perubahan kecil dalam sikapnya, momen-momen di mana Raka hampir saja membuka dirinya, tetapi kemudian menarik diri lagi secepat kilat, seolah takut dengan apa yang mungkin terjadi jika ia benar-benar membiarkan hatin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 12: Dialog yang Tertahan

    Langit pagi tampak muram, seolah turut merasakan ketegangan yang memenuhi hati Laila. Udara di sekitar mereka terasa lembap, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kesunyian di antara mereka berdua. Setelah berhari-hari mencoba memecahkan jarak yang kian melebar, Laila merasa sudah tiba saatnya untuk berbicara lebih terbuka dengan Raka. Ia tidak ingin terus berada dalam ketidakpastian, terjebak dalam bayang-bayang perasaan yang tak pernah tersampaikan dengan jelas.Laila menatap sosok Raka yang sedang duduk di meja kerja. Cahaya matahari yang menerobos dari jendela memantul pada wajahnya, memperlihatkan ekspresi tenang, tetapi tidak tenang di hati Laila. Ada dinding yang tinggi dan tebal antara mereka, dinding yang hanya bisa dihancurkan oleh kata-kata, jika saja Raka mau berbicara lebih jujur."Laila?" suara Raka memecah lamunan. Laila tersentak, menyadari bahwa ia sudah cukup lama terdiam."Raka, kita perlu bicara," jawabnya pelan, dengan nada yang terjaga, seolah tidak ing

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 13: Tetap Bertahan di Tengah Kepedihan

    Hening merayap di sudut ruangan, membawa dingin yang merayap ke dalam hati Laila. Setelah percakapan terakhirnya dengan Raka, segala harapan yang perlahan ia bangun terasa runtuh. Raka telah menolaknya. Kata-kata itu, meskipun tersirat, terasa seperti palu yang menghantam hatinya. Ia bisa melihatnya jelas dalam cara Raka menjauh, dalam kebekuan yang tetap menggantung di udara meskipun mereka telah mencoba berbicara. Raka masih memilih untuk menghindar, menolak kehangatan yang ia tawarkan, seperti tembok tebal yang tetap kokoh meski sudah ia ketuk berulang kali.Laila berdiri di tengah keheningan, mengingat setiap detik dari percakapan mereka. Tatapan Raka yang redup, suaranya yang penuh ketegasan, seolah menggenggam tali yang mengikat hatinya erat-erat, membuatnya hampir sulit bernapas. Namun di balik setiap kepedihan yang mengguncang dadanya, Laila tahu bahwa ia tidak akan pergi. Ia tidak akan menyerah meskipun dirinya kini terluka lebih dalam dari sebelumnya. Cinta tidak pernah semu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 14: Di Antara Tugas dan Harapan

    Matahari yang menggantung di langit pagi menyambut hari dengan kehangatan yang lembut, seperti janji baru yang belum terucapkan. Di dalam kantor yang mulai ramai oleh karyawan yang berdatangan, suasana tetap dipenuhi hiruk pikuk deadline dan tuntutan. Tapi bagi Laila dan Raka, hari ini membawa sesuatu yang berbeda—sebuah proyek besar yang harus mereka tangani bersama.Proyek ini, meskipun baru diumumkan, langsung membawa mereka ke dalam interaksi yang lebih intens. Raka, sebagai pemimpin tim, jelas memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, sementara Laila, sebagai tangan kanan yang diandalkan, memegang peranan penting dalam mengeksekusi ide-ide Raka. Sejak pagi, keduanya sibuk menyusun strategi, mengatur timeline, dan memeriksa berbagai detail yang tampaknya tak ada habisnya.Di antara semua kesibukan itu, Laila merasa ada perubahan yang perlahan mulai tumbuh. Meskipun percakapan mereka tetap terbatas pada hal-hal profesional, Laila merasakan ada

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 15: Saat yang Tak Terduga

    Laila berjalan perlahan di sepanjang trotoar, menikmati sejenak kebebasan dari hiruk pikuk pekerjaan yang biasanya mendominasi hari-harinya. Langit senja menghias cakrawala dengan warna oranye dan ungu yang memudar, memberikan nuansa damai pada suasana sore itu. Angin lembut berhembus, menyapu rambutnya yang tergerai, dan untuk beberapa saat, dia merasa dunia ini begitu tenang, seolah segala permasalahan tak lagi ada.Tapi jauh di lubuk hatinya, Laila tahu, ada sesuatu yang masih mengganjal. Raka. Namanya terus terngiang di pikirannya, seperti bisikan yang tak pernah pergi. Percakapan mereka yang terakhir—meski singkat—meninggalkan jejak yang dalam di hati Laila. Ada rasa syukur karena Raka mulai membuka diri, namun juga perasaan pedih karena Raka masih menahan hatinya dengan begitu kuat. Ia merasakan kedekatan yang ambigu, seperti berjalan di atas tali tipis antara harapan dan ketidakpastian.Ketika ia melewati sebuah kafe kecil di sudut jalan, langkahnya terhenti sejenak. Ia melihat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25

Bab terbaru

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 39: Menyusuri Jalan yang Setengah Terbuka

    Pagi yang tenang menyambut Laila dengan embun yang menggantung di ujung daun, mencerminkan sinar matahari yang lembut. Ia duduk di bangku taman kecil di dekat tempat mereka bekerja, menghirup dalam-dalam udara pagi yang sejuk. Ada senyum lembut di wajahnya, senyum yang lahir dari perasaan hangat yang bertumbuh pelan di dalam hatinya. Bersama Raka, ia merasakan bahwa langkah kecil dalam hubungan mereka telah terukir, meskipun itu hanya sekilas. Namun, ia tahu bahwa hati Raka masih seperti jendela yang setengah tertutup, mengizinkannya untuk melihat hanya sebagian kecil dari dirinya yang sejati.Ia memandang langit yang biru jernih, membayangkan perjalanan yang telah ia lalui dengan Raka hingga saat ini. Setiap pertemuan, percakapan, dan momen-momen kecil yang ia habiskan bersama Raka membawanya semakin dekat, seperti irama lembut musik yang perlahan merasuk ke dalam jiwa. Meskipun Raka belum sepenuhnya membuka hatinya, ia bisa merasakan bahwa ada kemajuan, ada benih yang mulai tumbuh d

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 38: Bersandar dalam Krisis

    Di pagi yang tenang, Raka dan Laila tiba di kantor dengan hati yang hangat, masih terasa kehadiran keheningan indah dari malam sebelumnya. Mereka telah menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka, meski belum seluruhnya terbuka. Ada perasaan bahwa sesuatu sedang tumbuh di antara mereka, seperti benih cinta yang perlahan-lahan mulai berakar di dalam hati.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Pagi ini, kabar buruk datang menghampiri. Salah satu klien besar mereka baru saja membatalkan kontrak mendadak karena ada masalah yang terlewat dalam analisis proyek. Situasi ini bukan hanya berpotensi menghambat keberlangsungan proyek, tetapi juga mengancam reputasi perusahaan. Berita itu langsung menggetarkan suasana tim, membuat setiap orang merasa cemas dan bingung harus berbuat apa.Raka menghela napas panjang, menatap layar komputernya yang kini dipenuhi dengan laporan-laporan berwarna merah. Ia tahu bahwa ini adalah krisis yang sulit, dan jalan keluarnya tidak akan mudah ditemukan.

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 37: Cinta Tanpa Batas

    Di antara embun pagi yang menyelimuti bumi dan cahaya mentari yang perlahan mengintip dari balik bukit, suasana pagi itu penuh ketenangan. Laila dan Raka duduk berdua di sebuah bangku kayu, menghadap ke arah danau yang memantulkan cahaya langit dengan begitu indah. Keheningan pagi memberi mereka ruang untuk merenung, untuk merasakan kehadiran satu sama lain tanpa kata-kata.Laila memandang Raka dengan lembut. Di matanya, Raka bukan hanya pria yang sedang berjuang melawan ketakutan dan keraguan. Ia melihat kekuatan, keberanian, dan kerendahan hati yang begitu tulus. Namun, ia juga melihat ketakutan yang membayangi setiap langkah Raka, ketakutan yang membuatnya sulit menerima dirinya apa adanya. Laila ingin menunjukkan padanya bahwa cinta sejati tidak mengenal batasan—tidak pada fisik, tidak pada luka, dan tidak pada ketidaksempurnaan.“Raka,” Laila memulai, suaranya penuh kelembutan. “Kenapa kamu masih ragu? Apakah luka itu, ketakutan itu, begitu besar hingga mengalahkan segala keingin

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 36: Bayang-bayag yang Tersembunyi

    Pagi itu, Laila duduk di ruang kerja dengan secangkir teh di tangannya. Pikirannya melayang, tertuju pada sosok Raka dan dinding-dinding yang masih ia lihat di hati lelaki itu. Di balik sikap lembut yang mulai Raka tunjukkan, Laila merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah luka yang lebih berat daripada sekadar pengalaman buruk masa lalu.Selama ini, Laila hanya melihat potongan-potongan dari apa yang Raka biarkan terlihat—rasa takut yang menyelimuti hati dan kebisuannya terhadap beberapa hal. Namun, ada sebuah bayang-bayang yang terasa semakin jelas, sesuatu yang tak terucapkan, tetapi menciptakan jarak yang Raka tak pernah biarkan benar-benar sirna.Hari itu, mereka bertemu di ruang meeting yang sepi, hanya ditemani cahaya matahari pagi yang menerobos jendela besar, menciptakan bayangan halus di lantai. Raka sedang memeriksa beberapa dokumen, sementara Laila memperhatikannya dari kejauhan, mencoba memahami apa yang selama ini ia sembunyikan.Setelah beberapa saat, Laila membera

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 35: Kehangatan di Bawah Langit Malam

    Malam itu, setelah kerja keras yang tiada henti, Raka dan Laila memutuskan untuk merayakan keberhasilan mereka. Laila mengusulkan tempat favoritnya—sebuah kafe kecil dengan suasana hangat yang tersembunyi di tengah hiruk-pikuk kota. Mereka meninggalkan kantor, langkah mereka terasa lebih ringan dari biasanya, seolah-olah beban yang selama ini mereka tanggung telah perlahan terangkat.Begitu tiba di kafe, aroma kopi segar menyambut mereka, berpadu dengan alunan musik jazz yang lembut. Kafe itu memiliki pencahayaan remang-remang, memberikan nuansa hangat dan intim yang membuat hati terasa tenang. Raka dan Laila memilih meja di sudut, dekat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan malam kota yang indah dengan gemerlap lampu.Mereka duduk berhadapan, suasana di antara mereka begitu nyaman, seperti tak ada lagi sekat. Tanpa disadari, tangan Raka dan Laila hampir bersentuhan di atas meja, dan untuk sesaat, mereka membiarkan jari-jari mereka bersentuhan. Sentuhan itu terasa seperti samb

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 34: Dalam Bayang-bayag Rasa

    Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui celah-celah jendela kamar Raka, menari di antara dedaunan yang melambai ditiup angin. Suara burung-burung terdengar samar di kejauhan, melantunkan simfoni alam yang sederhana namun menenangkan. Tetapi, ketenangan pagi itu tidak mampu menghapus kegelisahan yang semakin hari semakin tumbuh dalam hati Raka.Raka duduk di kursi dekat jendela, menatap langit biru yang luas. Hatinya terasa penuh namun sunyi, seolah ada sesuatu yang mendesak, ingin keluar, tapi tertahan oleh dinding-dinding ketakutan yang selama ini ia bangun. Dalam keheningan itu, ia menyadari bahwa perasaan terhadap Laila bukan lagi sekadar rasa nyaman atau rasa syukur atas kehadirannya. Lebih dari itu, rasa itu kini bertransformasi menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam—sebuah perasaan yang menyala lembut, menghangatkan, namun sekaligus menakutkan.Bayangan wajah Laila hadir di benaknya. Senyuman yang tulus, tatapan yang lembut, dan caranya mendengarkan membuat Raka merasa h

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 33: Luka yang Tak Terlihat

    Senja beranjak turun, menebarkan rona jingga yang meresapi setiap sudut ruangan. Di balkon kecil yang menghadap ke taman kantor, Raka dan Laila duduk bersebelahan dalam keheningan yang syahdu. Angin yang berhembus perlahan menggoyangkan dedaunan, membawa aroma tanah yang damai, seakan alam pun ikut berbisik, memberi ruang bagi sebuah cerita yang belum pernah diceritakan.Malam itu, Raka merasa berbeda. Ada dorongan dalam hatinya yang ingin berbagi, ingin mengungkapkan luka yang telah lama ia pendam, luka yang mengubah segalanya dalam hidupnya. Ia menatap ke depan, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai. Di sampingnya, Laila hanya diam, namun tatapannya penuh pengertian, seakan ia telah siap mendengar tanpa menghakimi.“Laila…” Suara Raka terdengar parau, hampir seperti bisikan yang tenggelam dalam angin. “Aku ingin memberitahumu sesuatu. Sesuatu yang belum pernah aku ceritakan pada siapa pun.”Laila menoleh pelan, memberinya tatapan lembut yang menguatkan. “Aku di sini untuk mende

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 32: Jejak Kedekatan Tanpa Batas

    Pagi yang hangat menyelimuti ruang kerja mereka. Cahaya matahari menyusup perlahan dari celah-celah jendela, menciptakan bayangan lembut di meja tempat Raka dan Laila sering bekerja bersama. Suasana di antara mereka kini terasa berbeda—lebih intim, namun tetap terjaga dalam kesederhanaannya. Laila menyadari, Raka masih butuh waktu, maka ia memutuskan untuk menyusuri kedekatan itu perlahan-lahan, seperti angin yang berhembus lembut, tak ingin mendesak atau mengusik ketenangan hati Raka yang mulai terbuka.Setiap gerakan yang ia lakukan, setiap tatapan yang ia lontarkan, selalu ia jaga agar tidak berlebihan, namun cukup bermakna. Dia ingin Raka tahu bahwa dia ada, dengan cara yang paling halus dan lembut. Setiap kali mereka duduk berhadapan, Laila akan sesekali tersenyum kecil, memberikan sedikit perhatian, namun tidak lebih dari itu. Ia paham bahwa Raka harus belajar mengenali rasa itu sendiri, tanpa ada paksaan atau desakan yang bisa membuatnya menjauh lagi.Laila memilih untuk berada

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 31 : Saat-Saat dalam Kebersamaan yang Diam-Diam Berbicara

    Pagi itu, embun masih menempel di dedaunan ketika Raka dan Laila tiba di kantor. Di tengah kebisingan rutinitas, keduanya disibukkan oleh proyek baru yang mengharuskan mereka bekerja lebih intens dan dekat setiap hari. Di balik keheningan pagi, ada ketegangan halus yang menyelubungi ruangan mereka, bukan karena beban pekerjaan, melainkan dari perasaan yang perlahan tumbuh, namun belum sempat mereka akui.Raka duduk di seberang meja, membolak-balik halaman dokumen proyek yang menumpuk di hadapannya. Laila, yang duduk berhadapan, tak bisa menahan diri untuk sesekali melirik ke arahnya. Interaksi mereka kini terasa begitu intens, hingga setiap tatapan atau senyum kecil menjadi momen yang bermakna, seperti irama perlahan dalam musik yang mendayu-dayu.Seiring hari berjalan, percakapan-percakapan kecil mereka berubah menjadi pembicaraan yang dalam. Setiap diskusi tentang rincian proyek terasa seperti membuka lapisan demi lapisan diri mereka masing-masing, dan Laila mulai merasakan bahwa di

DMCA.com Protection Status