Beranda / Romansa / Cinta di Kursi Roda / Bab 4: Kenangan yang Terukir di Masa Lalu

Share

Bab 4: Kenangan yang Terukir di Masa Lalu

Penulis: Restu Bumi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-14 15:54:08

Di penghujung hari yang melelahkan, Laila duduk di depan cangkir kopinya yang kini hanya tersisa setengah. Di balik jendela besar di ruangannya, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna jingga yang lembut. Hembusan angin senja yang hangat terasa menenangkan, namun pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan canggung yang terus menghantui sejak pertemuan dengan Raka. Kembali bekerja dengan seseorang yang pernah begitu dekat di hatinya membuatnya sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Laila memejamkan mata, membiarkan dirinya. terlarut dalam kenangan yang muncul begitu saja, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Wajah Raka yang dulu, senyumnya, tatapannya, seolah begitu dekat dan nyata di depan mata. Seketika, ia teringat masa-masa saat mereka masih remaja, saat segala hal terasa lebih sederhana dan perasaan mereka begitu murni.

Dulu, Laila dan Raka tidak hanya sekadar teman. Mereka adalah dua jiwa yang selalu menemukan tempat nyaman di sisi satu sama lain. Setiap akhir pekan, mereka akan bertemu di taman kecil di pinggir kota, sebuah tempat yang menjadi saksi bisu kedekatan mereka. Taman itu bukanlah tempat yang istimewa bagi kebanyakan orang, tetapi bagi mereka, taman itu seperti dunia kecil mereka sendiri, tempat di mana hanya ada tawa dan kebahagiaan.

Sambil menatap langit yang cerah, Laila kembali membayangkan masa itu, saat ia dan Raka duduk berdua di bangku kayu yang berada di bawah pohon rindang. Suara dedaunan yang bergesekan ditiup angin, tawa ringan yang keluar dari bibir mereka, dan percakapan tanpa akhir tentang mimpi-mimpi masa depan—semuanya terasa begitu nyata dalam benaknya.

"Raka, apa kamu pernah membayangkan hidup kita sepuluh tahun ke depan?" tanya Laila suatu hari, saat mereka sedang bersantai di taman itu.

Raka tersenyum, matanya bersinar dengan antusiasme khas anak muda yang penuh dengan harapan. "Aku sering memikirkannya, La. Mungkin kita berdua akan bekerja di tempat yang sama. Atau mungkin kita sudah punya perusahaan sendiri," jawabnya sambil menoleh ke arah Laila, seolah-olah menunggu persetujuan dari gadis itu.

Laila tertawa kecil. "Kamu selalu punya mimpi besar. Tapi aku suka itu. Aku juga ingin melihat kita sukses bersama, apapun yang terjadi."

Sejak saat itu, kedekatan mereka semakin erat. Ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka—sebuah rasa yang lebih dari sekadar persahabatan. Raka selalu ada untuk Laila, menjadi pendengar setianya di setiap curahan hati dan kegelisahan. Mereka begitu dekat, hingga teman-teman mereka sering menggoda bahwa mereka berdua pasti akan menjadi pasangan suatu hari nanti.

Namun, meskipun perasaan itu sudah mulai tumbuh, Laila dan Raka tak pernah benar-benar menyatakannya. Mereka saling tahu, tetapi keduanya seakan takut untuk melangkah lebih jauh. Ada ketakutan yang tidak terucap—takut bahwa jika mereka mengambil langkah berikutnya, segalanya akan berubah, dan hubungan indah yang mereka miliki akan berakhir dengan kekecewaan.

Suatu hari, kenangan manis itu mencapai puncaknya. Laila masih ingat dengan jelas, itu adalah sore hari yang indah, ketika matahari mulai terbenam dan langit berubah menjadi semburat merah jambu. Mereka duduk berdua di tepi danau kecil yang ada di taman itu, menatap air yang tenang sambil berbicara tentang masa depan.

"Laila," Raka memanggilnya dengan nada lembut.

"Ya?" Laila menoleh, melihat wajahnya yang serius namun penuh keraguan.

"Ada sesuatu yang ingin aku katakan... tapi aku takut."

Laila terdiam sejenak, merasakan dadanya berdegup lebih cepat. Ia bisa merasakan bahwa apa yang akan dikatakan Raka saat itu sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

"Apa itu, Rak? Kamu tahu aku selalu ada di sini untuk mendengarkan," jawabnya dengan suara yang berusaha terdengar tenang, meski hatinya berdebar kencang.

Raka tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya ke arah air danau yang tenang. "Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi... aku merasa berbeda tentang kita. Aku ingin kita lebih dari sekadar teman."

Kata-kata itu menggantung di udara, membuat jantung Laila berdegup kencang. Ia juga merasakan hal yang sama, tetapi tidak pernah menyangka Raka akan mengatakannya. Namun, sebelum Laila sempat merespons, Raka melanjutkan dengan nada penuh keraguan.

"Tapi aku juga takut, La. Aku takut jika kita mencoba, kita akan kehilangan apa yang sudah kita miliki sekarang. Aku tidak ingin hubungan kita berubah menjadi sesuatu yang akan membuat kita saling menjauh."

Laila mengerti apa yang Raka rasakan. Itu adalah ketakutan yang sama yang ia rasakan selama ini. Mereka begitu dekat, begitu nyaman bersama, dan mengambil risiko untuk melangkah lebih jauh terasa menakutkan. Laila ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu seakan tercekat di tenggorokannya.

Akhirnya, ia hanya tersenyum lembut dan berkata, "Mungkin kita harus tetap seperti ini untuk sekarang, Raka. Kita tidak perlu terburu-buru. Aku juga tidak ingin kehilangan kamu."

Mereka sepakat untuk tidak memaksakan apa yang mereka rasakan. Kedekatan mereka tetap ada, tetapi perasaan cinta yang mulai tumbuh di antara mereka tetap tertahan, tak pernah benar-benar diungkapkan. Saat-saat manis itu berlalu begitu saja, tanpa pernah mencapai puncaknya.

Kini, bertahun-tahun kemudian, Laila masih bisa merasakan dampak dari keputusan itu. Jika saja saat itu mereka berani melangkah lebih jauh, mungkin segalanya akan berbeda. Mungkin hubungan mereka akan berakhir bahagia, atau mungkin justru mereka akan berpisah dengan lebih cepat. Tetapi yang pasti, perasaan itu tetap ada, terpendam di dalam hatinya, menunggu untuk diakui.

Laila membuka matanya kembali, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Masa lalu adalah sesuatu yang indah untuk dikenang, tetapi tidak mungkin untuk dihidupi kembali. Namun, ia tidak bisa memungkiri bahwa perasaan yang pernah ia miliki untuk Raka tidak pernah benar-benar hilang.

Kini, saat mereka dipertemukan kembali dalam situasi yang sangat berbeda, Laila tidak tahu apakah perasaan itu masih relevan. Raka bukan lagi Raka yang dulu, dan ia sendiri pun telah berubah. Namun, satu hal yang pasti, kenangan itu akan selalu menjadi bagian dari siapa dirinya. Sebuah kenangan manis yang tak pernah benar-benar hilang, meskipun terkubur oleh waktu dan jarak.

"Apakah semuanya masih bisa diperbaiki?" Laila bergumam pelan pada dirinya sendiri, sebelum akhirnya kembali memfokuskan dirinya pada realitas yang ada di depannya. Proyek ini, pertemuannya dengan Raka, dan semua perasaan yang menyertainya—semua ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus ia jalani dengan hati yang penuh keyakinan.

Malam telah jatuh sepenuhnya ketika Laila berbaring di tempat tidurnya, memandang langit-langit kamar yang seolah-olah dipenuhi bayangan kenangan. Pikirannya terus berkelana, meninggalkan ruang dan waktu yang ia huni saat ini, kembali ke tempat di mana setiap detik bersama Raka terasa begitu berarti. Saat-saat itu, ketika dunia mereka masih begitu muda dan penuh harapan, kini berubah menjadi sepotong puzzle masa lalu yang tak lengkap. Ada ruang kosong di sana—sebuah celah antara siapa Raka yang ia kenal dulu dan siapa Raka yang sekarang berdiri di hadapannya.

Laila menarik napas dalam-dalam, merasakan dada yang terasa sesak oleh pertanyaan-pertanyaan yang terus menumpuk di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka selama bertahun-tahun ini? Mengapa ia tampak begitu berbeda, begitu dingin dan jauh, seperti ada sesuatu yang hilang darinya?

Hatinya berbisik, mencoba menemukan jawaban dari perubahan sikap pria yang pernah begitu dekat di hatinya itu. Raka yang dulu ia kenal adalah sosok yang hangat, penuh tawa dan semangat, selalu optimis memandang masa depan. Namun sekarang, di setiap tatapannya, ada bayang-bayang kesendirian, sesuatu yang tersembunyi di balik mata hitamnya yang dalam, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Laila bangkit dari tempat tidurnya, berjalan ke jendela yang menghadap ke malam pekat. Angin dingin menerobos masuk melalui celah kecil di bingkai jendela, memberikan sensasi kesunyian yang menggigit. Di luar, gemerlap kota terasa jauh dan tak terjangkau, seperti refleksi dari pikirannya sendiri yang dipenuhi keraguan.

Tanpa sadar, tangannya menyentuh kaca jendela, seolah-olah berusaha menembusnya, ingin mencapai masa lalu yang terasa begitu dekat namun tak terjangkau. Dulu, Raka adalah tempat di mana ia merasa paling aman. Bersamanya, dunia ini terasa ringan dan penuh warna. Mereka pernah berbagi mimpi yang sama, berjalan di jalur yang sama, bahkan mengukir harapan tentang masa depan mereka bersama. Tapi kini, mereka berada di persimpangan jalan yang berbeda, membawa beban masing-masing yang tak pernah mereka bagi.

Pertanyaan tentang Raka terus menghantui Laila. Apa yang telah membuatnya berubah? Apakah kehidupan telah mengguncangnya sedemikian rupa hingga ia kehilangan sisi dirinya yang dulu? Apakah ada luka yang disimpan Raka selama ini, luka yang tak pernah ia ceritakan?

Laila tahu, bertahun-tahun telah berlalu sejak mereka terakhir kali berbicara dengan jujur satu sama lain. Tidak ada lagi candaan ringan di bangku taman, tidak ada lagi tawa bersama di bawah pohon rindang. Waktu telah mengubah banyak hal. Namun, di balik semua itu, Laila tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia masih peduli. Ada bagian dari dirinya yang ingin tahu, ingin memahami apa yang telah terjadi pada pria yang dulu hampir menjadi bagian penting dalam hidupnya itu.

Malam itu, ia tidak bisa tidur. Pikiran tentang Raka terus bergulir di kepalanya, seperti gelombang yang tidak pernah berhenti menghantam pantai. Laila akhirnya meraih ponselnya, memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh tentang Raka. Mungkin ada sesuatu di dunia maya yang bisa memberinya petunjuk tentang apa yang telah terjadi pada sahabat lamanya itu.

Ia mengetik nama Raka di mesin pencari. Beberapa artikel muncul—kebanyakan tentang kariernya, pencapaian profesionalnya yang cukup mengesankan di perusahaan besar tempatnya bekerja sekarang. Namun, di antara semua berita tentang kesuksesannya, Laila tidak menemukan apa pun yang bisa menjelaskan perubahan di dalam diri Raka yang ia rasakan.

Namun kemudian, sebuah artikel menarik perhatiannya. Artikel itu berbicara tentang sebuah proyek amal yang dilakukan oleh perusahaan Raka. Di sana, terselip sebuah kalimat tentang bagaimana proyek tersebut dipimpin oleh Raka setelah kehilangan seseorang yang dekat dengannya. Jantung Laila berdegup kencang. "Kehilangan seseorang yang dekat dengannya?" bisiknya pelan.

Ada sesuatu yang tersirat dari kalimat itu, sesuatu yang menyiratkan rasa sakit. Laila merasa nalurinya tidak salah. Ada luka di hati Raka, sesuatu yang mungkin tidak pernah ia bicarakan dengan siapa pun. Tapi siapa yang telah ia kehilangan? Apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup Raka selama bertahun-tahun mereka berpisah?

Laila teringat pada tatapan kosong Raka saat mereka bertemu di ruang rapat, bagaimana ia tampak begitu jauh meskipun fisiknya begitu dekat. Laila merasa, di balik sikap profesional yang Raka tunjukkan, ada beban emosional yang ia coba sembunyikan. Tapi mengapa? Mengapa Raka begitu menutup diri?

Keesokan harinya, saat Laila bersiap untuk kembali bekerja, pertanyaan-pertanyaan itu masih menghantui pikirannya. Di perjalanan menuju kantor, di setiap jeda waktu, pikirannya kembali kepada Raka. Ia ingin menanyakan langsung kepadanya, ingin tahu apa yang telah terjadi. Tapi, bagian lain dari dirinya ragu. Apakah ia berhak mengetahui hal-hal yang telah terjadi di masa lalu Raka? Apakah ia, yang telah lama tak menjadi bagian dari hidup Raka, masih punya tempat untuk masuk ke dalam dunianya yang baru?

Sampai di kantor, Laila melihat Raka dari kejauhan. Pria itu sedang berbicara dengan beberapa kolega, wajahnya tenang seperti biasanya. Namun, ketika mata mereka bertemu, ada sesuatu yang berubah. Tatapan Raka, meskipun hanya sedetik, seolah-olah menyiratkan sesuatu yang tak terucapkan. Seperti ada kata-kata yang ingin keluar, tetapi terperangkap di dalam dirinya. Laila merasakan perasaan yang sama—bahwa ada begitu banyak hal yang belum selesai di antara mereka.

Hari itu berlalu dengan lambat. Laila tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Pikiran tentang Raka terus mengganggu konsentrasinya, membuat setiap tugas yang ia kerjakan terasa seperti robotik, tanpa jiwa. Ia tahu, pada titik ini, ia harus mencari jawaban. Ia harus berbicara dengan Raka, bahkan jika itu berarti mengungkap luka lama yang mungkin sudah terlalu dalam untuk disembuhkan.

Di penghujung hari, saat semua orang mulai pulang, Laila memutuskan untuk tetap tinggal di kantor. Ia berharap bisa bertemu dengan Raka dan akhirnya menanyakan apa yang selama ini menghantuinya. Mungkin malam ini, mereka bisa membicarakan semuanya—membuka kembali lembaran masa lalu yang pernah mereka tutup begitu rapat.

Namun, saat Laila berjalan mendekati ruang kerja Raka, ia melihat pria itu berdiri di depan jendela, menatap kosong ke luar, seperti ada sesuatu yang sedang ia pikirkan dalam-dalam. Laila ragu sejenak, tetapi ia tahu, ini adalah satu-satunya kesempatan. Dengan napas yang ditahan, ia melangkah lebih dekat, bersiap untuk memulai percakapan yang selama ini ia hindari.

"Raka," suaranya hampir berbisik, namun cukup untuk membuat pria itu menoleh.

Mata mereka bertemu lagi. Dan dalam sekejap, Laila tahu—jawaban yang ia cari tidak akan mudah ditemukan, tapi ia harus mencoba.

Bab terkait

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 5: Jarak yang Tak Terjangkau

    Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 6: Luka yang Tersembunyi di Balik Waktu

    Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 7: Riak-riak di Bawah Permukaan

    Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan."Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kit

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 8: Batas-batas yang Tak Terlihat

    Pagi itu, sinar matahari menyusup perlahan melalui celah-celah jendela ruang kantor, menciptakan bayangan lembut yang menari di dinding. Suara burung-burung berkicau dari kejauhan, namun di dalam ruangan yang diisi Laila dan Raka, keheningan mendominasi. Ada perasaan tegang yang menyelubungi udara, meskipun tidak ada kata yang terucap.Raka duduk di meja kerjanya, jarak fisik antara mereka terasa begitu dekat, namun di antara mereka ada tembok-tembok tak terlihat yang semakin menjulang tinggi. Setiap gerakan Laila, setiap helaan napasnya, seakan menarik Raka untuk mendekat, namun ia menahan dirinya. Di balik wajahnya yang tenang, tersimpan lautan emosi yang bergejolak, tetapi ia tahu, jika ia membiarkan dirinya hanyut terlalu jauh, ia mungkin tidak akan pernah bisa kembali.Ia menjaga jarak.Laila menyadari sikap Raka yang semakin menjauh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Sudah beberapa hari berlalu sejak mereka mulai bekerja lebih intensif bersama, namun seiring waktu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 9: Senyum yang Tertahan di Antara Jarak

    Pagi itu terasa berbeda. Meski matahari masih malu-malu menyusup dari balik tirai awan, ada kehangatan yang lembut merambati ruangan tempat Laila dan Raka bekerja. Seperti biasanya, mereka tenggelam dalam tugas-tugas proyek yang menyita perhatian. Keduanya larut dalam keheningan yang tak lagi terasa begitu membebani, namun tetap ada jarak yang belum tersentuh. Jarak yang seakan dibuat oleh garis-garis tak terlihat, namun nyata.Laila duduk di meja kerjanya, matanya sesekali melirik ke arah Raka. Sejak hari-hari terakhir, ada perubahan kecil yang terasa dalam sikapnya. Raka memang masih menjaga jarak, masih tersembunyi di balik sikap dinginnya, tapi Laila tahu, di balik semua itu, ada sesuatu yang mulai mencair. Mungkin itu hanya imajinasinya, atau mungkin harapannya, namun setiap kali Laila berada di dekat Raka, ia bisa merasakan denyut kecil di antara keduanya—seperti sisa-sisa cinta yang pernah ada.Di sudut ruangan, Raka sedang berdiri, mengamati papan tulis yang penuh dengan skets

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 10: Kenangan yang Terpendam

    Sore itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Laila duduk di balkon apartemennya, memandangi langit yang berwarna jingga, memikirkan perasaannya yang mulai tidak bisa ia abaikan. Cahaya matahari yang perlahan memudar seolah menggambarkan apa yang tengah terjadi dalam hatinya—kenangan lama yang kembali menyeruak, membawa perasaan yang dulu begitu kuat, namun kini dibalut oleh penyesalan.Sudah bertahun-tahun berlalu sejak hari itu. Hari di mana semuanya berubah, saat ia dan Raka memilih jalan masing-masing tanpa sempat menyelesaikan apa yang terlanjur hancur. Ketika mereka masih remaja, dunia terasa begitu besar dan penuh kemungkinan, tetapi juga dipenuhi oleh ketidakpastian yang menyelimuti masa depan mereka. Sekarang, di hadapannya, dunia itu terasa lebih kecil, namun luka lama yang terpendam kembali mencuat, menghantui setiap detik waktu yang ia habiskan bersama Raka di proyek ini.Laila memejamkan mata, membiarkan ingatannya kembali ke masa-masa re

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 11: Di Ambang Frustrasi

    Langit pagi yang biasanya terasa hangat kini tampak kelabu, seolah mencerminkan apa yang berkecamuk di dalam hati Laila. Sudah beberapa minggu berlalu, dan meskipun ia terus berusaha untuk tetap sabar, ada perasaan frustrasi yang perlahan-lahan mulai tumbuh. Raka, dengan segala ketidakpastian dan dinding emosionalnya, masih tetap berusaha menjaga jarak, dan hal itu membuat Laila semakin sulit untuk mendekat.Setiap kali Laila mencoba membuka diri, mengulurkan tangan melalui kata-kata yang lembut, atau sekadar dengan kehadirannya yang diam namun mendukung, Raka selalu berhasil menemukan cara untuk menghindar. Ia mengalihkan pandangan, menyibukkan diri dengan pekerjaan, atau sekadar membatasi percakapan mereka pada hal-hal yang sifatnya formal dan teknis. Laila bisa melihat perubahan kecil dalam sikapnya, momen-momen di mana Raka hampir saja membuka dirinya, tetapi kemudian menarik diri lagi secepat kilat, seolah takut dengan apa yang mungkin terjadi jika ia benar-benar membiarkan hatin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 12: Dialog yang Tertahan

    Langit pagi tampak muram, seolah turut merasakan ketegangan yang memenuhi hati Laila. Udara di sekitar mereka terasa lembap, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kesunyian di antara mereka berdua. Setelah berhari-hari mencoba memecahkan jarak yang kian melebar, Laila merasa sudah tiba saatnya untuk berbicara lebih terbuka dengan Raka. Ia tidak ingin terus berada dalam ketidakpastian, terjebak dalam bayang-bayang perasaan yang tak pernah tersampaikan dengan jelas.Laila menatap sosok Raka yang sedang duduk di meja kerja. Cahaya matahari yang menerobos dari jendela memantul pada wajahnya, memperlihatkan ekspresi tenang, tetapi tidak tenang di hati Laila. Ada dinding yang tinggi dan tebal antara mereka, dinding yang hanya bisa dihancurkan oleh kata-kata, jika saja Raka mau berbicara lebih jujur."Laila?" suara Raka memecah lamunan. Laila tersentak, menyadari bahwa ia sudah cukup lama terdiam."Raka, kita perlu bicara," jawabnya pelan, dengan nada yang terjaga, seolah tidak ing

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22

Bab terbaru

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 39: Menyusuri Jalan yang Setengah Terbuka

    Pagi yang tenang menyambut Laila dengan embun yang menggantung di ujung daun, mencerminkan sinar matahari yang lembut. Ia duduk di bangku taman kecil di dekat tempat mereka bekerja, menghirup dalam-dalam udara pagi yang sejuk. Ada senyum lembut di wajahnya, senyum yang lahir dari perasaan hangat yang bertumbuh pelan di dalam hatinya. Bersama Raka, ia merasakan bahwa langkah kecil dalam hubungan mereka telah terukir, meskipun itu hanya sekilas. Namun, ia tahu bahwa hati Raka masih seperti jendela yang setengah tertutup, mengizinkannya untuk melihat hanya sebagian kecil dari dirinya yang sejati.Ia memandang langit yang biru jernih, membayangkan perjalanan yang telah ia lalui dengan Raka hingga saat ini. Setiap pertemuan, percakapan, dan momen-momen kecil yang ia habiskan bersama Raka membawanya semakin dekat, seperti irama lembut musik yang perlahan merasuk ke dalam jiwa. Meskipun Raka belum sepenuhnya membuka hatinya, ia bisa merasakan bahwa ada kemajuan, ada benih yang mulai tumbuh d

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 38: Bersandar dalam Krisis

    Di pagi yang tenang, Raka dan Laila tiba di kantor dengan hati yang hangat, masih terasa kehadiran keheningan indah dari malam sebelumnya. Mereka telah menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka, meski belum seluruhnya terbuka. Ada perasaan bahwa sesuatu sedang tumbuh di antara mereka, seperti benih cinta yang perlahan-lahan mulai berakar di dalam hati.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Pagi ini, kabar buruk datang menghampiri. Salah satu klien besar mereka baru saja membatalkan kontrak mendadak karena ada masalah yang terlewat dalam analisis proyek. Situasi ini bukan hanya berpotensi menghambat keberlangsungan proyek, tetapi juga mengancam reputasi perusahaan. Berita itu langsung menggetarkan suasana tim, membuat setiap orang merasa cemas dan bingung harus berbuat apa.Raka menghela napas panjang, menatap layar komputernya yang kini dipenuhi dengan laporan-laporan berwarna merah. Ia tahu bahwa ini adalah krisis yang sulit, dan jalan keluarnya tidak akan mudah ditemukan.

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 37: Cinta Tanpa Batas

    Di antara embun pagi yang menyelimuti bumi dan cahaya mentari yang perlahan mengintip dari balik bukit, suasana pagi itu penuh ketenangan. Laila dan Raka duduk berdua di sebuah bangku kayu, menghadap ke arah danau yang memantulkan cahaya langit dengan begitu indah. Keheningan pagi memberi mereka ruang untuk merenung, untuk merasakan kehadiran satu sama lain tanpa kata-kata.Laila memandang Raka dengan lembut. Di matanya, Raka bukan hanya pria yang sedang berjuang melawan ketakutan dan keraguan. Ia melihat kekuatan, keberanian, dan kerendahan hati yang begitu tulus. Namun, ia juga melihat ketakutan yang membayangi setiap langkah Raka, ketakutan yang membuatnya sulit menerima dirinya apa adanya. Laila ingin menunjukkan padanya bahwa cinta sejati tidak mengenal batasan—tidak pada fisik, tidak pada luka, dan tidak pada ketidaksempurnaan.“Raka,” Laila memulai, suaranya penuh kelembutan. “Kenapa kamu masih ragu? Apakah luka itu, ketakutan itu, begitu besar hingga mengalahkan segala keingin

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 36: Bayang-bayag yang Tersembunyi

    Pagi itu, Laila duduk di ruang kerja dengan secangkir teh di tangannya. Pikirannya melayang, tertuju pada sosok Raka dan dinding-dinding yang masih ia lihat di hati lelaki itu. Di balik sikap lembut yang mulai Raka tunjukkan, Laila merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah luka yang lebih berat daripada sekadar pengalaman buruk masa lalu.Selama ini, Laila hanya melihat potongan-potongan dari apa yang Raka biarkan terlihat—rasa takut yang menyelimuti hati dan kebisuannya terhadap beberapa hal. Namun, ada sebuah bayang-bayang yang terasa semakin jelas, sesuatu yang tak terucapkan, tetapi menciptakan jarak yang Raka tak pernah biarkan benar-benar sirna.Hari itu, mereka bertemu di ruang meeting yang sepi, hanya ditemani cahaya matahari pagi yang menerobos jendela besar, menciptakan bayangan halus di lantai. Raka sedang memeriksa beberapa dokumen, sementara Laila memperhatikannya dari kejauhan, mencoba memahami apa yang selama ini ia sembunyikan.Setelah beberapa saat, Laila membera

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 35: Kehangatan di Bawah Langit Malam

    Malam itu, setelah kerja keras yang tiada henti, Raka dan Laila memutuskan untuk merayakan keberhasilan mereka. Laila mengusulkan tempat favoritnya—sebuah kafe kecil dengan suasana hangat yang tersembunyi di tengah hiruk-pikuk kota. Mereka meninggalkan kantor, langkah mereka terasa lebih ringan dari biasanya, seolah-olah beban yang selama ini mereka tanggung telah perlahan terangkat.Begitu tiba di kafe, aroma kopi segar menyambut mereka, berpadu dengan alunan musik jazz yang lembut. Kafe itu memiliki pencahayaan remang-remang, memberikan nuansa hangat dan intim yang membuat hati terasa tenang. Raka dan Laila memilih meja di sudut, dekat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan malam kota yang indah dengan gemerlap lampu.Mereka duduk berhadapan, suasana di antara mereka begitu nyaman, seperti tak ada lagi sekat. Tanpa disadari, tangan Raka dan Laila hampir bersentuhan di atas meja, dan untuk sesaat, mereka membiarkan jari-jari mereka bersentuhan. Sentuhan itu terasa seperti samb

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 34: Dalam Bayang-bayag Rasa

    Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui celah-celah jendela kamar Raka, menari di antara dedaunan yang melambai ditiup angin. Suara burung-burung terdengar samar di kejauhan, melantunkan simfoni alam yang sederhana namun menenangkan. Tetapi, ketenangan pagi itu tidak mampu menghapus kegelisahan yang semakin hari semakin tumbuh dalam hati Raka.Raka duduk di kursi dekat jendela, menatap langit biru yang luas. Hatinya terasa penuh namun sunyi, seolah ada sesuatu yang mendesak, ingin keluar, tapi tertahan oleh dinding-dinding ketakutan yang selama ini ia bangun. Dalam keheningan itu, ia menyadari bahwa perasaan terhadap Laila bukan lagi sekadar rasa nyaman atau rasa syukur atas kehadirannya. Lebih dari itu, rasa itu kini bertransformasi menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam—sebuah perasaan yang menyala lembut, menghangatkan, namun sekaligus menakutkan.Bayangan wajah Laila hadir di benaknya. Senyuman yang tulus, tatapan yang lembut, dan caranya mendengarkan membuat Raka merasa h

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 33: Luka yang Tak Terlihat

    Senja beranjak turun, menebarkan rona jingga yang meresapi setiap sudut ruangan. Di balkon kecil yang menghadap ke taman kantor, Raka dan Laila duduk bersebelahan dalam keheningan yang syahdu. Angin yang berhembus perlahan menggoyangkan dedaunan, membawa aroma tanah yang damai, seakan alam pun ikut berbisik, memberi ruang bagi sebuah cerita yang belum pernah diceritakan.Malam itu, Raka merasa berbeda. Ada dorongan dalam hatinya yang ingin berbagi, ingin mengungkapkan luka yang telah lama ia pendam, luka yang mengubah segalanya dalam hidupnya. Ia menatap ke depan, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai. Di sampingnya, Laila hanya diam, namun tatapannya penuh pengertian, seakan ia telah siap mendengar tanpa menghakimi.“Laila…” Suara Raka terdengar parau, hampir seperti bisikan yang tenggelam dalam angin. “Aku ingin memberitahumu sesuatu. Sesuatu yang belum pernah aku ceritakan pada siapa pun.”Laila menoleh pelan, memberinya tatapan lembut yang menguatkan. “Aku di sini untuk mende

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 32: Jejak Kedekatan Tanpa Batas

    Pagi yang hangat menyelimuti ruang kerja mereka. Cahaya matahari menyusup perlahan dari celah-celah jendela, menciptakan bayangan lembut di meja tempat Raka dan Laila sering bekerja bersama. Suasana di antara mereka kini terasa berbeda—lebih intim, namun tetap terjaga dalam kesederhanaannya. Laila menyadari, Raka masih butuh waktu, maka ia memutuskan untuk menyusuri kedekatan itu perlahan-lahan, seperti angin yang berhembus lembut, tak ingin mendesak atau mengusik ketenangan hati Raka yang mulai terbuka.Setiap gerakan yang ia lakukan, setiap tatapan yang ia lontarkan, selalu ia jaga agar tidak berlebihan, namun cukup bermakna. Dia ingin Raka tahu bahwa dia ada, dengan cara yang paling halus dan lembut. Setiap kali mereka duduk berhadapan, Laila akan sesekali tersenyum kecil, memberikan sedikit perhatian, namun tidak lebih dari itu. Ia paham bahwa Raka harus belajar mengenali rasa itu sendiri, tanpa ada paksaan atau desakan yang bisa membuatnya menjauh lagi.Laila memilih untuk berada

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 31 : Saat-Saat dalam Kebersamaan yang Diam-Diam Berbicara

    Pagi itu, embun masih menempel di dedaunan ketika Raka dan Laila tiba di kantor. Di tengah kebisingan rutinitas, keduanya disibukkan oleh proyek baru yang mengharuskan mereka bekerja lebih intens dan dekat setiap hari. Di balik keheningan pagi, ada ketegangan halus yang menyelubungi ruangan mereka, bukan karena beban pekerjaan, melainkan dari perasaan yang perlahan tumbuh, namun belum sempat mereka akui.Raka duduk di seberang meja, membolak-balik halaman dokumen proyek yang menumpuk di hadapannya. Laila, yang duduk berhadapan, tak bisa menahan diri untuk sesekali melirik ke arahnya. Interaksi mereka kini terasa begitu intens, hingga setiap tatapan atau senyum kecil menjadi momen yang bermakna, seperti irama perlahan dalam musik yang mendayu-dayu.Seiring hari berjalan, percakapan-percakapan kecil mereka berubah menjadi pembicaraan yang dalam. Setiap diskusi tentang rincian proyek terasa seperti membuka lapisan demi lapisan diri mereka masing-masing, dan Laila mulai merasakan bahwa di

DMCA.com Protection Status