Di penghujung hari yang melelahkan, Laila duduk di depan cangkir kopinya yang kini hanya tersisa setengah. Di balik jendela besar di ruangannya, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna jingga yang lembut. Hembusan angin senja yang hangat terasa menenangkan, namun pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan canggung yang terus menghantui sejak pertemuan dengan Raka. Kembali bekerja dengan seseorang yang pernah begitu dekat di hatinya membuatnya sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Laila memejamkan mata, membiarkan dirinya. terlarut dalam kenangan yang muncul begitu saja, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Wajah Raka yang dulu, senyumnya, tatapannya, seolah begitu dekat dan nyata di depan mata. Seketika, ia teringat masa-masa saat mereka masih remaja, saat segala hal terasa lebih sederhana dan perasaan mereka begitu murni. Dulu, Laila dan Raka tidak hanya sekadar teman. Mereka adalah dua jiwa yang selalu menemukan tempat nyaman di sisi satu sama lain. Setiap akhir pekan, mereka akan bertemu di taman kecil di pinggir kota, sebuah tempat yang menjadi saksi bisu kedekatan mereka. Taman itu bukanlah tempat yang istimewa bagi kebanyakan orang, tetapi bagi mereka, taman itu seperti dunia kecil mereka sendiri, tempat di mana hanya ada tawa dan kebahagiaan. Sambil menatap langit yang cerah, Laila kembali membayangkan masa itu, saat ia dan Raka duduk berdua di bangku kayu yang berada di bawah pohon rindang. Suara dedaunan yang bergesekan ditiup angin, tawa ringan yang keluar dari bibir mereka, dan percakapan tanpa akhir tentang mimpi-mimpi masa depan—semuanya terasa begitu nyata dalam benaknya. "Raka, apa kamu pernah membayangkan hidup kita sepuluh tahun ke depan?" tanya Laila suatu hari, saat mereka sedang bersantai di taman itu. Raka tersenyum, matanya bersinar dengan antusiasme khas anak muda yang penuh dengan harapan. "Aku sering memikirkannya, La. Mungkin kita berdua akan bekerja di tempat yang sama. Atau mungkin kita sudah punya perusahaan sendiri," jawabnya sambil menoleh ke arah Laila, seolah-olah menunggu persetujuan dari gadis itu. Laila tertawa kecil. "Kamu selalu punya mimpi besar. Tapi aku suka itu. Aku juga ingin melihat kita sukses bersama, apapun yang terjadi." Sejak saat itu, kedekatan mereka semakin erat. Ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka—sebuah rasa yang lebih dari sekadar persahabatan. Raka selalu ada untuk Laila, menjadi pendengar setianya di setiap curahan hati dan kegelisahan. Mereka begitu dekat, hingga teman-teman mereka sering menggoda bahwa mereka berdua pasti akan menjadi pasangan suatu hari nanti. Namun, meskipun perasaan itu sudah mulai tumbuh, Laila dan Raka tak pernah benar-benar menyatakannya. Mereka saling tahu, tetapi keduanya seakan takut untuk melangkah lebih jauh. Ada ketakutan yang tidak terucap—takut bahwa jika mereka mengambil langkah berikutnya, segalanya akan berubah, dan hubungan indah yang mereka miliki akan berakhir dengan kekecewaan. Suatu hari, kenangan manis itu mencapai puncaknya. Laila masih ingat dengan jelas, itu adalah sore hari yang indah, ketika matahari mulai terbenam dan langit berubah menjadi semburat merah jambu. Mereka duduk berdua di tepi danau kecil yang ada di taman itu, menatap air yang tenang sambil berbicara tentang masa depan. "Laila," Raka memanggilnya dengan nada lembut. "Ya?" Laila menoleh, melihat wajahnya yang serius namun penuh keraguan. "Ada sesuatu yang ingin aku katakan... tapi aku takut." Laila terdiam sejenak, merasakan dadanya berdegup lebih cepat. Ia bisa merasakan bahwa apa yang akan dikatakan Raka saat itu sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. "Apa itu, Rak? Kamu tahu aku selalu ada di sini untuk mendengarkan," jawabnya dengan suara yang berusaha terdengar tenang, meski hatinya berdebar kencang. Raka tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya ke arah air danau yang tenang. "Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi... aku merasa berbeda tentang kita. Aku ingin kita lebih dari sekadar teman." Kata-kata itu menggantung di udara, membuat jantung Laila berdegup kencang. Ia juga merasakan hal yang sama, tetapi tidak pernah menyangka Raka akan mengatakannya. Namun, sebelum Laila sempat merespons, Raka melanjutkan dengan nada penuh keraguan. "Tapi aku juga takut, La. Aku takut jika kita mencoba, kita akan kehilangan apa yang sudah kita miliki sekarang. Aku tidak ingin hubungan kita berubah menjadi sesuatu yang akan membuat kita saling menjauh." Laila mengerti apa yang Raka rasakan. Itu adalah ketakutan yang sama yang ia rasakan selama ini. Mereka begitu dekat, begitu nyaman bersama, dan mengambil risiko untuk melangkah lebih jauh terasa menakutkan. Laila ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu seakan tercekat di tenggorokannya. Akhirnya, ia hanya tersenyum lembut dan berkata, "Mungkin kita harus tetap seperti ini untuk sekarang, Raka. Kita tidak perlu terburu-buru. Aku juga tidak ingin kehilangan kamu." Mereka sepakat untuk tidak memaksakan apa yang mereka rasakan. Kedekatan mereka tetap ada, tetapi perasaan cinta yang mulai tumbuh di antara mereka tetap tertahan, tak pernah benar-benar diungkapkan. Saat-saat manis itu berlalu begitu saja, tanpa pernah mencapai puncaknya. Kini, bertahun-tahun kemudian, Laila masih bisa merasakan dampak dari keputusan itu. Jika saja saat itu mereka berani melangkah lebih jauh, mungkin segalanya akan berbeda. Mungkin hubungan mereka akan berakhir bahagia, atau mungkin justru mereka akan berpisah dengan lebih cepat. Tetapi yang pasti, perasaan itu tetap ada, terpendam di dalam hatinya, menunggu untuk diakui. Laila membuka matanya kembali, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Masa lalu adalah sesuatu yang indah untuk dikenang, tetapi tidak mungkin untuk dihidupi kembali. Namun, ia tidak bisa memungkiri bahwa perasaan yang pernah ia miliki untuk Raka tidak pernah benar-benar hilang. Kini, saat mereka dipertemukan kembali dalam situasi yang sangat berbeda, Laila tidak tahu apakah perasaan itu masih relevan. Raka bukan lagi Raka yang dulu, dan ia sendiri pun telah berubah. Namun, satu hal yang pasti, kenangan itu akan selalu menjadi bagian dari siapa dirinya. Sebuah kenangan manis yang tak pernah benar-benar hilang, meskipun terkubur oleh waktu dan jarak. "Apakah semuanya masih bisa diperbaiki?" Laila bergumam pelan pada dirinya sendiri, sebelum akhirnya kembali memfokuskan dirinya pada realitas yang ada di depannya. Proyek ini, pertemuannya dengan Raka, dan semua perasaan yang menyertainya—semua ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus ia jalani dengan hati yang penuh keyakinan. Malam telah jatuh sepenuhnya ketika Laila berbaring di tempat tidurnya, memandang langit-langit kamar yang seolah-olah dipenuhi bayangan kenangan. Pikirannya terus berkelana, meninggalkan ruang dan waktu yang ia huni saat ini, kembali ke tempat di mana setiap detik bersama Raka terasa begitu berarti. Saat-saat itu, ketika dunia mereka masih begitu muda dan penuh harapan, kini berubah menjadi sepotong puzzle masa lalu yang tak lengkap. Ada ruang kosong di sana—sebuah celah antara siapa Raka yang ia kenal dulu dan siapa Raka yang sekarang berdiri di hadapannya. Laila menarik napas dalam-dalam, merasakan dada yang terasa sesak oleh pertanyaan-pertanyaan yang terus menumpuk di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka selama bertahun-tahun ini? Mengapa ia tampak begitu berbeda, begitu dingin dan jauh, seperti ada sesuatu yang hilang darinya? Hatinya berbisik, mencoba menemukan jawaban dari perubahan sikap pria yang pernah begitu dekat di hatinya itu. Raka yang dulu ia kenal adalah sosok yang hangat, penuh tawa dan semangat, selalu optimis memandang masa depan. Namun sekarang, di setiap tatapannya, ada bayang-bayang kesendirian, sesuatu yang tersembunyi di balik mata hitamnya yang dalam, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Laila bangkit dari tempat tidurnya, berjalan ke jendela yang menghadap ke malam pekat. Angin dingin menerobos masuk melalui celah kecil di bingkai jendela, memberikan sensasi kesunyian yang menggigit. Di luar, gemerlap kota terasa jauh dan tak terjangkau, seperti refleksi dari pikirannya sendiri yang dipenuhi keraguan. Tanpa sadar, tangannya menyentuh kaca jendela, seolah-olah berusaha menembusnya, ingin mencapai masa lalu yang terasa begitu dekat namun tak terjangkau. Dulu, Raka adalah tempat di mana ia merasa paling aman. Bersamanya, dunia ini terasa ringan dan penuh warna. Mereka pernah berbagi mimpi yang sama, berjalan di jalur yang sama, bahkan mengukir harapan tentang masa depan mereka bersama. Tapi kini, mereka berada di persimpangan jalan yang berbeda, membawa beban masing-masing yang tak pernah mereka bagi. Pertanyaan tentang Raka terus menghantui Laila. Apa yang telah membuatnya berubah? Apakah kehidupan telah mengguncangnya sedemikian rupa hingga ia kehilangan sisi dirinya yang dulu? Apakah ada luka yang disimpan Raka selama ini, luka yang tak pernah ia ceritakan? Laila tahu, bertahun-tahun telah berlalu sejak mereka terakhir kali berbicara dengan jujur satu sama lain. Tidak ada lagi candaan ringan di bangku taman, tidak ada lagi tawa bersama di bawah pohon rindang. Waktu telah mengubah banyak hal. Namun, di balik semua itu, Laila tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia masih peduli. Ada bagian dari dirinya yang ingin tahu, ingin memahami apa yang telah terjadi pada pria yang dulu hampir menjadi bagian penting dalam hidupnya itu. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Pikiran tentang Raka terus bergulir di kepalanya, seperti gelombang yang tidak pernah berhenti menghantam pantai. Laila akhirnya meraih ponselnya, memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh tentang Raka. Mungkin ada sesuatu di dunia maya yang bisa memberinya petunjuk tentang apa yang telah terjadi pada sahabat lamanya itu. Ia mengetik nama Raka di mesin pencari. Beberapa artikel muncul—kebanyakan tentang kariernya, pencapaian profesionalnya yang cukup mengesankan di perusahaan besar tempatnya bekerja sekarang. Namun, di antara semua berita tentang kesuksesannya, Laila tidak menemukan apa pun yang bisa menjelaskan perubahan di dalam diri Raka yang ia rasakan. Namun kemudian, sebuah artikel menarik perhatiannya. Artikel itu berbicara tentang sebuah proyek amal yang dilakukan oleh perusahaan Raka. Di sana, terselip sebuah kalimat tentang bagaimana proyek tersebut dipimpin oleh Raka setelah kehilangan seseorang yang dekat dengannya. Jantung Laila berdegup kencang. "Kehilangan seseorang yang dekat dengannya?" bisiknya pelan. Ada sesuatu yang tersirat dari kalimat itu, sesuatu yang menyiratkan rasa sakit. Laila merasa nalurinya tidak salah. Ada luka di hati Raka, sesuatu yang mungkin tidak pernah ia bicarakan dengan siapa pun. Tapi siapa yang telah ia kehilangan? Apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup Raka selama bertahun-tahun mereka berpisah? Laila teringat pada tatapan kosong Raka saat mereka bertemu di ruang rapat, bagaimana ia tampak begitu jauh meskipun fisiknya begitu dekat. Laila merasa, di balik sikap profesional yang Raka tunjukkan, ada beban emosional yang ia coba sembunyikan. Tapi mengapa? Mengapa Raka begitu menutup diri? Keesokan harinya, saat Laila bersiap untuk kembali bekerja, pertanyaan-pertanyaan itu masih menghantui pikirannya. Di perjalanan menuju kantor, di setiap jeda waktu, pikirannya kembali kepada Raka. Ia ingin menanyakan langsung kepadanya, ingin tahu apa yang telah terjadi. Tapi, bagian lain dari dirinya ragu. Apakah ia berhak mengetahui hal-hal yang telah terjadi di masa lalu Raka? Apakah ia, yang telah lama tak menjadi bagian dari hidup Raka, masih punya tempat untuk masuk ke dalam dunianya yang baru? Sampai di kantor, Laila melihat Raka dari kejauhan. Pria itu sedang berbicara dengan beberapa kolega, wajahnya tenang seperti biasanya. Namun, ketika mata mereka bertemu, ada sesuatu yang berubah. Tatapan Raka, meskipun hanya sedetik, seolah-olah menyiratkan sesuatu yang tak terucapkan. Seperti ada kata-kata yang ingin keluar, tetapi terperangkap di dalam dirinya. Laila merasakan perasaan yang sama—bahwa ada begitu banyak hal yang belum selesai di antara mereka. Hari itu berlalu dengan lambat. Laila tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Pikiran tentang Raka terus mengganggu konsentrasinya, membuat setiap tugas yang ia kerjakan terasa seperti robotik, tanpa jiwa. Ia tahu, pada titik ini, ia harus mencari jawaban. Ia harus berbicara dengan Raka, bahkan jika itu berarti mengungkap luka lama yang mungkin sudah terlalu dalam untuk disembuhkan. Di penghujung hari, saat semua orang mulai pulang, Laila memutuskan untuk tetap tinggal di kantor. Ia berharap bisa bertemu dengan Raka dan akhirnya menanyakan apa yang selama ini menghantuinya. Mungkin malam ini, mereka bisa membicarakan semuanya—membuka kembali lembaran masa lalu yang pernah mereka tutup begitu rapat. Namun, saat Laila berjalan mendekati ruang kerja Raka, ia melihat pria itu berdiri di depan jendela, menatap kosong ke luar, seperti ada sesuatu yang sedang ia pikirkan dalam-dalam. Laila ragu sejenak, tetapi ia tahu, ini adalah satu-satunya kesempatan. Dengan napas yang ditahan, ia melangkah lebih dekat, bersiap untuk memulai percakapan yang selama ini ia hindari. "Raka," suaranya hampir berbisik, namun cukup untuk membuat pria itu menoleh. Mata mereka bertemu lagi. Dan dalam sekejap, Laila tahu—jawaban yang ia cari tidak akan mudah ditemukan, tapi ia harus mencoba.Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin
Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pi
Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan."Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kit
Angin pagi mengelus lembut wajah Laila saat ia berjalan menyusuri koridor kantor yang modern dan elegan. Langkah-langkahnya terdengar tegas, namun di balik penampilannya yang anggun dan berwibawa, hatinya tak pernah sepi dari kerinduan yang tertahan. Laila adalah wanita yang telah menggapai banyak hal—karier yang gemilang, prestasi yang diakui, dan kehormatan di mata rekan-rekan kerjanya. Namun, di kedalaman jiwanya, masih ada ruang kosong yang tak pernah terisi, sebuah bayang-bayang dari masa lalu yang terus menghantui, sebuah nama yang tak pernah bisa dilupakan: Raka. Setiap kali Laila menatap keluar dari jendela kaca besar di ruang kantornya, matanya sering kali tertuju jauh ke cakrawala, seakan mencari sosok yang pernah menjadi pusat dunianya. Ia teringat kembali pada masa-masa ketika dunia terasa begitu sederhana, ketika cinta pertama menghampiri dengan tulus dan polos. Nama Raka selalu muncul di antara desah napasnya, bagai angin yang tak bisa dihalau, tak peduli seberapa keras
Hari itu, matahari menyelipkan sinarnya ke sela-sela gedung tinggi di pusat kota, memantulkan bayang-bayang yang bergerak mengikuti langkah cepat Laila. Setiap derap sepatunya di lantai marmer kantor bergaung di dalam benaknya, mengiringi ketegangan yang semakin meresap dalam tubuhnya. Laila berusaha menenangkan debar jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Ini bukan hanya rapat biasa—ini adalah pertemuan pertamanya dengan tim proyek yang melibatkan Raka. Hati Laila masih belum sepenuhnya pulih dari pertemuan kemarin. Meski ia sudah tahu akan bekerja dengan perusahaan mitra, tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa perusahaan itu akan melibatkan Raka, orang yang begitu penting dalam hidupnya di masa lalu. Pria yang pernah menjadi sumber kebahagiaannya, kini berada di ujung hatinya, mengundang luka lama yang ia kira sudah tertutup rapat. Ketika ia memasuki ruang rapat, suasana dingin AC menyambutnya, menambah kesan formal dan kaku. Beberapa anggota tim sudah berkumpul, sibuk de
Pagi itu, ruangan rapat masih tampak sunyi ketika Raka memasuki ruangan dengan langkah tenang, kursi rodanya bergerak perlahan di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia tiba lebih awal dari yang lain, berharap kehadirannya bisa menenangkan pikirannya sebelum pertemuan dimulai. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, penuh dengan diskusi dan pengambilan keputusan penting. Bagi Raka, ini adalah kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus-menerus menghantui sejak pertemuannya dengan Laila. Ia sudah bertekad untuk menjalani proyek ini dengan profesionalisme. Apapun yang ia rasakan terhadap Laila, apapun rasa sakit atau kenangan manis yang kembali menyeruak, harus ia simpan jauh di sudut hatinya. Sekarang bukan saatnya terjebak dalam emosi. Sebagai seorang pemimpin proyek, ia harus memastikan semua berjalan lancar. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca besar, memberikan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Namun, di balik ketenangan pagi itu, ada