Beranda / Romansa / Cinta di Kursi Roda / Bab 2: Bayang-Bayang Masa Lalu

Share

Bab 2: Bayang-Bayang Masa Lalu

Hari itu, matahari menyelipkan sinarnya ke sela-sela gedung tinggi di pusat kota, memantulkan bayang-bayang yang bergerak mengikuti langkah cepat Laila. Setiap derap sepatunya di lantai marmer kantor bergaung di dalam benaknya, mengiringi ketegangan yang semakin meresap dalam tubuhnya. Laila berusaha menenangkan debar jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Ini bukan hanya rapat biasa—ini adalah pertemuan pertamanya dengan tim proyek yang melibatkan Raka.

Hati Laila masih belum sepenuhnya pulih dari pertemuan kemarin. Meski ia sudah tahu akan bekerja dengan perusahaan mitra, tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa perusahaan itu akan melibatkan Raka, orang yang begitu penting dalam hidupnya di masa lalu. Pria yang pernah menjadi sumber kebahagiaannya, kini berada di ujung hatinya, mengundang luka lama yang ia kira sudah tertutup rapat.

Ketika ia memasuki ruang rapat, suasana dingin AC menyambutnya, menambah kesan formal dan kaku. Beberapa anggota tim sudah berkumpul, sibuk dengan dokumen dan laptop mereka. Laila mengatur napas, berusaha mengembalikan fokusnya ke tugas yang ada di depan mata. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa fokus itu akan diuji oleh kehadiran seseorang yang lama hilang dari hidupnya, tetapi kini hadir kembali dalam bentuk yang tak pernah ia duga.

Rapat ini adalah langkah pertama dalam kolaborasi besar antara perusahaan tempat Laila bekerja dengan perusahaan mitra tempat Raka bekerja. Proyek ini adalah puncak dari kerja keras yang sudah ia jalani bertahun-tahun, tetapi kini terasa berbeda. Ada beban yang menggantung di hatinya—seperti ada benang tak terlihat yang menghubungkan pekerjaannya dengan perasaannya, dan benang itu terasa semakin kuat tiap kali ia mengingat Raka.

Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka pelan. Laila menoleh dengan cepat, dan di sanalah dia—Raka, dengan ekspresi tenangnya yang selalu ia ingat, memasuki ruangan. Hati Laila seketika berdebar lebih kencang. Kali ini, Raka ditemani oleh beberapa anggota tim dari perusahaannya, tetapi tatapan Laila hanya tertuju padanya. Kursi roda yang didorong perlahan membawa Raka mendekat, namun seolah membawa jarak tak kasatmata di antara mereka berdua. Sebuah tembok yang terbentuk dari luka dan perubahan yang begitu mendalam.

“Kita siap mulai?” Suara seorang anggota tim mitra membuyarkan lamunan Laila. Ia cepat-cepat mengangguk dan memaksa dirinya untuk fokus pada agenda rapat. Tapi di dalam dirinya, ia tahu ini bukan sekadar rapat kerja biasa.

Laila duduk berhadapan langsung dengan Raka di meja besar itu. Keduanya, terpisah oleh jarak fisik yang hanya beberapa meter, namun hati mereka terasa begitu jauh. Mata Raka menyusuri dokumen yang ada di depannya, tanpa sekali pun menatap Laila secara langsung. Laila bisa merasakan bahwa Raka berusaha menjaga jarak, mungkin sama seperti dirinya—berusaha menekan perasaan yang masih bergelut di dalam hati masing-masing.

Rapat berlangsung lancar, dengan pembahasan yang berfokus pada aspek teknis proyek. Setiap kali Laila berbicara, ia bisa merasakan tatapan Raka yang diam-diam memperhatikannya. Namun, ketika Laila mencoba bertukar pandang, Raka selalu menghindar, menenggelamkan dirinya kembali dalam dokumen atau menatap layar laptopnya. Ada kesan dingin yang mengalir di antara mereka, meski kata-kata formal dan profesional meluncur lancar dari bibir masing-masing.

Di sela-sela presentasi, sesekali Laila melirik ke arah Raka, berusaha memahami pikirannya. Apakah Raka merasa sama canggungnya? Apakah dia juga dihantui oleh masa lalu yang belum terselesaikan? Laila tak tahu pasti. Namun, ada sesuatu dalam sorot mata Raka yang memberitahu bahwa dia juga belum sepenuhnya pulih. Luka di hatinya mungkin lebih dalam dari yang terlihat, dan Laila tak bisa menahan rasa iba yang perlahan mengisi hatinya.

Saat rapat mendekati akhir, salah satu anggota tim mitra mengangkat sebuah pertanyaan yang tak terduga. "Mungkin, agar proyek ini berjalan lebih efektif, kita perlu menunjuk seorang perwakilan dari kedua perusahaan yang bisa bekerja lebih dekat dalam koordinasi harian. Laila, bagaimana jika Anda mewakili perusahaan kita?"

Jantung Laila berhenti sejenak. Sebelum ia sempat menjawab, anggota tim mitra melanjutkan, "Dan dari pihak kami, kami sudah menunjuk Raka sebagai perwakilan. Jadi, kalian berdua akan sering bekerja bersama dalam beberapa bulan ke depan."

Kata-kata itu seakan menggema di ruangan yang mendadak terasa hening. Laila menelan ludah, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Ia melirik ke arah Raka yang kali ini akhirnya menatap langsung ke arahnya. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh makna—tatapan yang menggambarkan segala kebingungan, kecanggungan, dan sejarah panjang yang belum terselesaikan.

“Tentu, saya bersedia,” jawab Laila akhirnya, meskipun di dalam hatinya, ia masih bimbang. Bagaimana ia bisa bekerja sama dengan Raka, sementara hatinya masih penuh dengan perasaan yang rumit? Bagaimana ia bisa menjaga profesionalisme ketika setiap kali melihatnya, ingatan tentang masa lalu selalu menghantui?

Raka hanya mengangguk pelan. Ia tak mengatakan apa-apa, tetapi tatapan matanya cukup untuk memberitahu Laila bahwa pria itu juga merasa tak nyaman. Ada kesedihan yang samar dalam sorot matanya, seolah ia ingin mengatakan sesuatu tetapi memilih untuk menahannya.

Ketika rapat akhirnya berakhir, Laila merasakan beban yang lebih berat di pundaknya. Proyek ini, yang seharusnya menjadi puncak dari kariernya, kini berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih pribadi. Setiap hari ke depan, ia akan berada dalam satu ruang yang sama dengan Raka, membicarakan pekerjaan sementara perasaan mereka yang belum terselesaikan terus bergejolak di dalam hati.

Saat semua orang mulai beranjak dari ruangan, Raka masih duduk di tempatnya, seolah menunggu hingga ruangan benar-benar sepi. Laila meliriknya sejenak sebelum keluar, dan untuk pertama kalinya, Raka membuka suara, “Laila...”

Laila berhenti di ambang pintu, menoleh. “Ya?”

Raka tampak ragu, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Kita akan banyak bekerja sama ke depannya. Kuharap... kita bisa melakukannya dengan baik.”

Laila mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi keraguan. “Tentu, Raka. Kita akan bekerja sama dengan baik.”

Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa yang menanti di depan bukan hanya tantangan profesional, tetapi juga tantangan emosi yang jauh lebih berat. Ini bukan hanya tentang proyek besar, tetapi juga tentang bagaimana mereka berdua akan menghadapi bayang-bayang masa lalu yang kembali hadir di depan mata.

Setelah rapat usai, para anggota tim satu per satu meninggalkan ruang pertemuan. Laila tetap di tempatnya sejenak, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berdiri di hadapan Raka sekali lagi. Suara langkah sepatu yang menjauh meninggalkan gema yang semakin memudar, dan hanya tersisa mereka berdua di ruangan yang terasa semakin sunyi. Laila bisa mendengar hembusan napasnya sendiri, berat dan penuh ketidakpastian.

Ia tahu bahwa pembicaraan antara mereka tak bisa ditunda lagi. Kata-kata yang tertahan di bibir mereka sejak pertemuan pertama kini terasa semakin mendesak untuk diucapkan. Namun, ada rasa takut yang merayap, seolah satu kata yang salah bisa membuka luka yang belum sembuh sempurna.

Raka, yang masih duduk di kursi rodanya, tampak begitu tenang dari luar, tetapi Laila bisa melihat ketegangan samar yang tersembunyi di balik mata cokelatnya. Mata itu dulu penuh kehidupan, penuh harapan. Kini, seolah ada tirai tipis yang memisahkan perasaannya dari dunia luar. Ia bukan lagi Raka yang Laila kenal dulu—atau setidaknya, tidak sepenuhnya.

Laila akhirnya berdiri dari kursinya, mengambil napas panjang sebelum berjalan pelan menghampiri Raka. Ia berjongkok di samping kursi roda itu, mencoba mencari sudut pandang yang sejajar dengannya. "Raka...," suaranya terdengar lembut, nyaris seperti bisikan, namun terasa menggema di ruangan yang hening.

Raka menoleh pelan, tatapannya bertemu dengan mata Laila. Ada keheningan yang begitu panjang di antara mereka, seolah waktu berhenti sejenak, memberikan ruang bagi hati mereka untuk berbicara tanpa kata-kata. Namun, kata-kata itu sulit keluar, terperangkap dalam ketidakpastian.

“Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi seperti ini,” lanjut Laila, mencoba memecah keheningan. Tangannya meremas jemarinya sendiri, tanda ketegangan yang berusaha ia sembunyikan.

Raka tersenyum tipis, senyum yang tak sepenuhnya mencapai matanya. “Ya, aku juga tidak menyangka. Dunia memang kecil, ya?” Suaranya terdengar tenang, namun di balik ketenangan itu, Laila bisa merasakan ada sesuatu yang ingin dia sembunyikan.

“Raka…” Laila berhenti, mencari kata-kata yang tepat. “Aku... aku minta maaf kalau selama ini—”

“Tidak perlu.” Raka memotong cepat. “Tidak ada yang perlu kau minta maafkan, Laila. Aku tahu, kita semua punya kehidupan masing-masing. Aku tidak berharap kau… akan mengingat apa yang terjadi di masa lalu.”

Namun, Laila tahu bahwa kata-kata Raka hanyalah upaya untuk menutupi luka yang lebih dalam. Ia bisa merasakannya. Laila pernah sangat dekat dengan pria ini, dan ia tahu bahwa di balik senyum tipis dan kata-kata ringan itu, ada perasaan yang belum terselesaikan. Ada luka yang belum sembuh, baik di hati Raka maupun di hatinya sendiri.

“Aku masih mengingatnya, Raka. Setiap detik.” Suara Laila terdengar lebih tegas kali ini, meski ia tahu kata-kata itu membuka kembali pintu yang sudah lama ia coba tutup.

Tatapan Raka melembut sejenak sebelum ia kembali menunduk, memperhatikan roda kursi yang tak bergerak di bawahnya. “Laila, apa gunanya mengingat sesuatu yang sudah lama berlalu? Lihat aku sekarang.” Dia mengangkat tangannya seolah hendak menunjukkan keadaan dirinya yang sekarang. “Ini aku sekarang. Aku bukan lagi Raka yang dulu kau kenal. Aku sudah berubah.”

Laila terdiam, meresapi kata-kata Raka. Memang, fisik Raka telah berubah, dan kehidupannya tak lagi sama seperti dulu. Tapi di balik semua itu, di balik luka yang membelenggu hidupnya, Laila tahu bahwa Raka yang dulu ia cintai masih ada di sana, meskipun terbungkus oleh lapisan keputusasaan dan kesedihan yang mendalam.

“Kau masih Raka,” jawab Laila perlahan, hatinya bergetar. “Raka yang aku kenal dulu… dia bukan hanya tentang fisiknya. Aku tahu kau masih punya hati yang sama. Hati yang dulu aku cintai.”

Raka tersentak, seolah kata-kata Laila telah menyentuh bagian terdalam dari jiwanya. Ia menatap Laila dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan, campuran antara kekagetan dan kesedihan yang mendalam. “Laila, jangan katakan itu…”

“Mengapa tidak? Mengapa aku tidak boleh mengatakannya?” Suara Laila mulai bergetar, emosinya mulai mengalir tanpa bisa ditahan. “Aku tahu kau merasa berbeda sekarang, aku tahu hidupmu telah berubah. Tapi perasaan ini... perasaan yang pernah kita miliki, aku tidak bisa berpura-pura bahwa semua itu hilang begitu saja. Aku masih merasakannya, Raka.”

Raka menggeleng, seolah berusaha menolak kenyataan yang dihadapkan padanya. “Laila, hidupku tidak seperti dulu. Aku bahkan tidak bisa berjalan. Bagaimana mungkin kau bisa merasa seperti itu? Aku tidak layak untukmu. Kau pantas mendapatkan seseorang yang bisa memberimu kebahagiaan, bukan seseorang seperti aku yang bahkan tidak bisa berdiri di sampingmu.”

Air mata mulai menggenang di sudut mata Laila. Kata-kata Raka menembus jantungnya, mengoyak perasaan yang selama ini ia coba simpan rapat-rapat. “Kebahagiaan bukan soal bisa berdiri di sampingku atau tidak, Raka. Kebahagiaan adalah tentang kita… tentang bagaimana perasaan kita satu sama lain. Aku tidak peduli dengan keadaan fisikmu. Aku peduli pada dirimu, pada siapa kau sebenarnya.”

Raka terdiam, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, Laila bisa melihat dinding yang selama ini Raka bangun mulai retak. Ada perasaan yang tersimpan di balik semua luka itu, perasaan yang tak pernah sepenuhnya hilang, hanya terkubur oleh rasa sakit dan ketakutan.

“Kau terlalu baik, Laila,” gumam Raka dengan suara serak. “Aku tidak pantas mendapatkan perasaanmu. Tidak sekarang, tidak setelah semua ini.”

“Tapi aku tetap merasakannya,” bisik Laila. “Dan aku tahu, meskipun kau berusaha menyembunyikannya, kau juga masih merasakannya, Raka.”

Keheningan kembali mengisi ruangan. Kali ini, bukan karena ketidaknyamanan, melainkan karena perasaan yang begitu mendalam dan rumit, yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Kedua hati mereka bergetar, merasakan luka dan cinta yang terselubung dalam waktu dan keadaan.

Raka menghela napas panjang, seolah mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk berkata, “Laila… Aku butuh waktu. Aku tidak tahu apakah aku bisa menghadapi semua ini. Aku takut.”

Laila mengangguk pelan, matanya masih mengunci tatapan Raka. “Aku akan menunggumu, Raka. Aku tidak meminta jawaban sekarang. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak akan pergi. Aku tidak akan meninggalkanmu.”

Dalam keheningan itu, meski tak ada kata yang terucap lagi, ada janji tak terucapkan yang terbentuk di antara mereka. Sebuah harapan kecil yang mulai tumbuh, meski diselimuti ketidakpastian. Raka mungkin belum siap untuk membuka dirinya sepenuhnya, tapi Laila bersedia menunggu. Sebab, cinta sejati adalah tentang kesabaran, tentang menunggu hingga waktu dan hati siap untuk kembali bersatu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status