Hari itu, matahari menyelipkan sinarnya ke sela-sela gedung tinggi di pusat kota, memantulkan bayang-bayang yang bergerak mengikuti langkah cepat Laila. Setiap derap sepatunya di lantai marmer kantor bergaung di dalam benaknya, mengiringi ketegangan yang semakin meresap dalam tubuhnya. Laila berusaha menenangkan debar jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Ini bukan hanya rapat biasa—ini adalah pertemuan pertamanya dengan tim proyek yang melibatkan Raka.
Hati Laila masih belum sepenuhnya pulih dari pertemuan kemarin. Meski ia sudah tahu akan bekerja dengan perusahaan mitra, tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa perusahaan itu akan melibatkan Raka, orang yang begitu penting dalam hidupnya di masa lalu. Pria yang pernah menjadi sumber kebahagiaannya, kini berada di ujung hatinya, mengundang luka lama yang ia kira sudah tertutup rapat. Ketika ia memasuki ruang rapat, suasana dingin AC menyambutnya, menambah kesan formal dan kaku. Beberapa anggota tim sudah berkumpul, sibuk dengan dokumen dan laptop mereka. Laila mengatur napas, berusaha mengembalikan fokusnya ke tugas yang ada di depan mata. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa fokus itu akan diuji oleh kehadiran seseorang yang lama hilang dari hidupnya, tetapi kini hadir kembali dalam bentuk yang tak pernah ia duga. Rapat ini adalah langkah pertama dalam kolaborasi besar antara perusahaan tempat Laila bekerja dengan perusahaan mitra tempat Raka bekerja. Proyek ini adalah puncak dari kerja keras yang sudah ia jalani bertahun-tahun, tetapi kini terasa berbeda. Ada beban yang menggantung di hatinya—seperti ada benang tak terlihat yang menghubungkan pekerjaannya dengan perasaannya, dan benang itu terasa semakin kuat tiap kali ia mengingat Raka. Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka pelan. Laila menoleh dengan cepat, dan di sanalah dia—Raka, dengan ekspresi tenangnya yang selalu ia ingat, memasuki ruangan. Hati Laila seketika berdebar lebih kencang. Kali ini, Raka ditemani oleh beberapa anggota tim dari perusahaannya, tetapi tatapan Laila hanya tertuju padanya. Kursi roda yang didorong perlahan membawa Raka mendekat, namun seolah membawa jarak tak kasatmata di antara mereka berdua. Sebuah tembok yang terbentuk dari luka dan perubahan yang begitu mendalam. “Kita siap mulai?” Suara seorang anggota tim mitra membuyarkan lamunan Laila. Ia cepat-cepat mengangguk dan memaksa dirinya untuk fokus pada agenda rapat. Tapi di dalam dirinya, ia tahu ini bukan sekadar rapat kerja biasa. Laila duduk berhadapan langsung dengan Raka di meja besar itu. Keduanya, terpisah oleh jarak fisik yang hanya beberapa meter, namun hati mereka terasa begitu jauh. Mata Raka menyusuri dokumen yang ada di depannya, tanpa sekali pun menatap Laila secara langsung. Laila bisa merasakan bahwa Raka berusaha menjaga jarak, mungkin sama seperti dirinya—berusaha menekan perasaan yang masih bergelut di dalam hati masing-masing. Rapat berlangsung lancar, dengan pembahasan yang berfokus pada aspek teknis proyek. Setiap kali Laila berbicara, ia bisa merasakan tatapan Raka yang diam-diam memperhatikannya. Namun, ketika Laila mencoba bertukar pandang, Raka selalu menghindar, menenggelamkan dirinya kembali dalam dokumen atau menatap layar laptopnya. Ada kesan dingin yang mengalir di antara mereka, meski kata-kata formal dan profesional meluncur lancar dari bibir masing-masing. Di sela-sela presentasi, sesekali Laila melirik ke arah Raka, berusaha memahami pikirannya. Apakah Raka merasa sama canggungnya? Apakah dia juga dihantui oleh masa lalu yang belum terselesaikan? Laila tak tahu pasti. Namun, ada sesuatu dalam sorot mata Raka yang memberitahu bahwa dia juga belum sepenuhnya pulih. Luka di hatinya mungkin lebih dalam dari yang terlihat, dan Laila tak bisa menahan rasa iba yang perlahan mengisi hatinya. Saat rapat mendekati akhir, salah satu anggota tim mitra mengangkat sebuah pertanyaan yang tak terduga. "Mungkin, agar proyek ini berjalan lebih efektif, kita perlu menunjuk seorang perwakilan dari kedua perusahaan yang bisa bekerja lebih dekat dalam koordinasi harian. Laila, bagaimana jika Anda mewakili perusahaan kita?" Jantung Laila berhenti sejenak. Sebelum ia sempat menjawab, anggota tim mitra melanjutkan, "Dan dari pihak kami, kami sudah menunjuk Raka sebagai perwakilan. Jadi, kalian berdua akan sering bekerja bersama dalam beberapa bulan ke depan." Kata-kata itu seakan menggema di ruangan yang mendadak terasa hening. Laila menelan ludah, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Ia melirik ke arah Raka yang kali ini akhirnya menatap langsung ke arahnya. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh makna—tatapan yang menggambarkan segala kebingungan, kecanggungan, dan sejarah panjang yang belum terselesaikan. “Tentu, saya bersedia,” jawab Laila akhirnya, meskipun di dalam hatinya, ia masih bimbang. Bagaimana ia bisa bekerja sama dengan Raka, sementara hatinya masih penuh dengan perasaan yang rumit? Bagaimana ia bisa menjaga profesionalisme ketika setiap kali melihatnya, ingatan tentang masa lalu selalu menghantui? Raka hanya mengangguk pelan. Ia tak mengatakan apa-apa, tetapi tatapan matanya cukup untuk memberitahu Laila bahwa pria itu juga merasa tak nyaman. Ada kesedihan yang samar dalam sorot matanya, seolah ia ingin mengatakan sesuatu tetapi memilih untuk menahannya. Ketika rapat akhirnya berakhir, Laila merasakan beban yang lebih berat di pundaknya. Proyek ini, yang seharusnya menjadi puncak dari kariernya, kini berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih pribadi. Setiap hari ke depan, ia akan berada dalam satu ruang yang sama dengan Raka, membicarakan pekerjaan sementara perasaan mereka yang belum terselesaikan terus bergejolak di dalam hati. Saat semua orang mulai beranjak dari ruangan, Raka masih duduk di tempatnya, seolah menunggu hingga ruangan benar-benar sepi. Laila meliriknya sejenak sebelum keluar, dan untuk pertama kalinya, Raka membuka suara, “Laila...” Laila berhenti di ambang pintu, menoleh. “Ya?” Raka tampak ragu, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Kita akan banyak bekerja sama ke depannya. Kuharap... kita bisa melakukannya dengan baik.” Laila mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi keraguan. “Tentu, Raka. Kita akan bekerja sama dengan baik.” Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa yang menanti di depan bukan hanya tantangan profesional, tetapi juga tantangan emosi yang jauh lebih berat. Ini bukan hanya tentang proyek besar, tetapi juga tentang bagaimana mereka berdua akan menghadapi bayang-bayang masa lalu yang kembali hadir di depan mata. Setelah rapat usai, para anggota tim satu per satu meninggalkan ruang pertemuan. Laila tetap di tempatnya sejenak, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berdiri di hadapan Raka sekali lagi. Suara langkah sepatu yang menjauh meninggalkan gema yang semakin memudar, dan hanya tersisa mereka berdua di ruangan yang terasa semakin sunyi. Laila bisa mendengar hembusan napasnya sendiri, berat dan penuh ketidakpastian. Ia tahu bahwa pembicaraan antara mereka tak bisa ditunda lagi. Kata-kata yang tertahan di bibir mereka sejak pertemuan pertama kini terasa semakin mendesak untuk diucapkan. Namun, ada rasa takut yang merayap, seolah satu kata yang salah bisa membuka luka yang belum sembuh sempurna. Raka, yang masih duduk di kursi rodanya, tampak begitu tenang dari luar, tetapi Laila bisa melihat ketegangan samar yang tersembunyi di balik mata cokelatnya. Mata itu dulu penuh kehidupan, penuh harapan. Kini, seolah ada tirai tipis yang memisahkan perasaannya dari dunia luar. Ia bukan lagi Raka yang Laila kenal dulu—atau setidaknya, tidak sepenuhnya. Laila akhirnya berdiri dari kursinya, mengambil napas panjang sebelum berjalan pelan menghampiri Raka. Ia berjongkok di samping kursi roda itu, mencoba mencari sudut pandang yang sejajar dengannya. "Raka...," suaranya terdengar lembut, nyaris seperti bisikan, namun terasa menggema di ruangan yang hening. Raka menoleh pelan, tatapannya bertemu dengan mata Laila. Ada keheningan yang begitu panjang di antara mereka, seolah waktu berhenti sejenak, memberikan ruang bagi hati mereka untuk berbicara tanpa kata-kata. Namun, kata-kata itu sulit keluar, terperangkap dalam ketidakpastian. “Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi seperti ini,” lanjut Laila, mencoba memecah keheningan. Tangannya meremas jemarinya sendiri, tanda ketegangan yang berusaha ia sembunyikan. Raka tersenyum tipis, senyum yang tak sepenuhnya mencapai matanya. “Ya, aku juga tidak menyangka. Dunia memang kecil, ya?” Suaranya terdengar tenang, namun di balik ketenangan itu, Laila bisa merasakan ada sesuatu yang ingin dia sembunyikan. “Raka…” Laila berhenti, mencari kata-kata yang tepat. “Aku... aku minta maaf kalau selama ini—” “Tidak perlu.” Raka memotong cepat. “Tidak ada yang perlu kau minta maafkan, Laila. Aku tahu, kita semua punya kehidupan masing-masing. Aku tidak berharap kau… akan mengingat apa yang terjadi di masa lalu.” Namun, Laila tahu bahwa kata-kata Raka hanyalah upaya untuk menutupi luka yang lebih dalam. Ia bisa merasakannya. Laila pernah sangat dekat dengan pria ini, dan ia tahu bahwa di balik senyum tipis dan kata-kata ringan itu, ada perasaan yang belum terselesaikan. Ada luka yang belum sembuh, baik di hati Raka maupun di hatinya sendiri. “Aku masih mengingatnya, Raka. Setiap detik.” Suara Laila terdengar lebih tegas kali ini, meski ia tahu kata-kata itu membuka kembali pintu yang sudah lama ia coba tutup. Tatapan Raka melembut sejenak sebelum ia kembali menunduk, memperhatikan roda kursi yang tak bergerak di bawahnya. “Laila, apa gunanya mengingat sesuatu yang sudah lama berlalu? Lihat aku sekarang.” Dia mengangkat tangannya seolah hendak menunjukkan keadaan dirinya yang sekarang. “Ini aku sekarang. Aku bukan lagi Raka yang dulu kau kenal. Aku sudah berubah.” Laila terdiam, meresapi kata-kata Raka. Memang, fisik Raka telah berubah, dan kehidupannya tak lagi sama seperti dulu. Tapi di balik semua itu, di balik luka yang membelenggu hidupnya, Laila tahu bahwa Raka yang dulu ia cintai masih ada di sana, meskipun terbungkus oleh lapisan keputusasaan dan kesedihan yang mendalam. “Kau masih Raka,” jawab Laila perlahan, hatinya bergetar. “Raka yang aku kenal dulu… dia bukan hanya tentang fisiknya. Aku tahu kau masih punya hati yang sama. Hati yang dulu aku cintai.” Raka tersentak, seolah kata-kata Laila telah menyentuh bagian terdalam dari jiwanya. Ia menatap Laila dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan, campuran antara kekagetan dan kesedihan yang mendalam. “Laila, jangan katakan itu…” “Mengapa tidak? Mengapa aku tidak boleh mengatakannya?” Suara Laila mulai bergetar, emosinya mulai mengalir tanpa bisa ditahan. “Aku tahu kau merasa berbeda sekarang, aku tahu hidupmu telah berubah. Tapi perasaan ini... perasaan yang pernah kita miliki, aku tidak bisa berpura-pura bahwa semua itu hilang begitu saja. Aku masih merasakannya, Raka.” Raka menggeleng, seolah berusaha menolak kenyataan yang dihadapkan padanya. “Laila, hidupku tidak seperti dulu. Aku bahkan tidak bisa berjalan. Bagaimana mungkin kau bisa merasa seperti itu? Aku tidak layak untukmu. Kau pantas mendapatkan seseorang yang bisa memberimu kebahagiaan, bukan seseorang seperti aku yang bahkan tidak bisa berdiri di sampingmu.” Air mata mulai menggenang di sudut mata Laila. Kata-kata Raka menembus jantungnya, mengoyak perasaan yang selama ini ia coba simpan rapat-rapat. “Kebahagiaan bukan soal bisa berdiri di sampingku atau tidak, Raka. Kebahagiaan adalah tentang kita… tentang bagaimana perasaan kita satu sama lain. Aku tidak peduli dengan keadaan fisikmu. Aku peduli pada dirimu, pada siapa kau sebenarnya.” Raka terdiam, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, Laila bisa melihat dinding yang selama ini Raka bangun mulai retak. Ada perasaan yang tersimpan di balik semua luka itu, perasaan yang tak pernah sepenuhnya hilang, hanya terkubur oleh rasa sakit dan ketakutan. “Kau terlalu baik, Laila,” gumam Raka dengan suara serak. “Aku tidak pantas mendapatkan perasaanmu. Tidak sekarang, tidak setelah semua ini.” “Tapi aku tetap merasakannya,” bisik Laila. “Dan aku tahu, meskipun kau berusaha menyembunyikannya, kau juga masih merasakannya, Raka.” Keheningan kembali mengisi ruangan. Kali ini, bukan karena ketidaknyamanan, melainkan karena perasaan yang begitu mendalam dan rumit, yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Kedua hati mereka bergetar, merasakan luka dan cinta yang terselubung dalam waktu dan keadaan. Raka menghela napas panjang, seolah mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk berkata, “Laila… Aku butuh waktu. Aku tidak tahu apakah aku bisa menghadapi semua ini. Aku takut.” Laila mengangguk pelan, matanya masih mengunci tatapan Raka. “Aku akan menunggumu, Raka. Aku tidak meminta jawaban sekarang. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak akan pergi. Aku tidak akan meninggalkanmu.” Dalam keheningan itu, meski tak ada kata yang terucap lagi, ada janji tak terucapkan yang terbentuk di antara mereka. Sebuah harapan kecil yang mulai tumbuh, meski diselimuti ketidakpastian. Raka mungkin belum siap untuk membuka dirinya sepenuhnya, tapi Laila bersedia menunggu. Sebab, cinta sejati adalah tentang kesabaran, tentang menunggu hingga waktu dan hati siap untuk kembali bersatu.Pagi itu, ruangan rapat masih tampak sunyi ketika Raka memasuki ruangan dengan langkah tenang, kursi rodanya bergerak perlahan di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia tiba lebih awal dari yang lain, berharap kehadirannya bisa menenangkan pikirannya sebelum pertemuan dimulai. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, penuh dengan diskusi dan pengambilan keputusan penting. Bagi Raka, ini adalah kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus-menerus menghantui sejak pertemuannya dengan Laila. Ia sudah bertekad untuk menjalani proyek ini dengan profesionalisme. Apapun yang ia rasakan terhadap Laila, apapun rasa sakit atau kenangan manis yang kembali menyeruak, harus ia simpan jauh di sudut hatinya. Sekarang bukan saatnya terjebak dalam emosi. Sebagai seorang pemimpin proyek, ia harus memastikan semua berjalan lancar. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca besar, memberikan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Namun, di balik ketenangan pagi itu, ada
Di penghujung hari yang melelahkan, Laila duduk di depan cangkir kopinya yang kini hanya tersisa setengah. Di balik jendela besar di ruangannya, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna jingga yang lembut. Hembusan angin senja yang hangat terasa menenangkan, namun pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan canggung yang terus menghantui sejak pertemuan dengan Raka. Kembali bekerja dengan seseorang yang pernah begitu dekat di hatinya membuatnya sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.Laila memejamkan mata, membiarkan dirinya. terlarut dalam kenangan yang muncul begitu saja, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Wajah Raka yang dulu, senyumnya, tatapannya, seolah begitu dekat dan nyata di depan mata. Seketika, ia teringat masa-masa saat mereka masih remaja, saat segala hal terasa lebih sederhana dan perasaan mereka begitu murni.Dulu, Laila dan Raka tidak hanya sekadar teman. Mereka adalah dua jiwa yang selalu menemukan tempat nyaman di sisi satu sama lain. Setiap
Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin
Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pi
Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan."Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kit
Pagi itu, sinar matahari menyusup perlahan melalui celah-celah jendela ruang kantor, menciptakan bayangan lembut yang menari di dinding. Suara burung-burung berkicau dari kejauhan, namun di dalam ruangan yang diisi Laila dan Raka, keheningan mendominasi. Ada perasaan tegang yang menyelubungi udara, meskipun tidak ada kata yang terucap.Raka duduk di meja kerjanya, jarak fisik antara mereka terasa begitu dekat, namun di antara mereka ada tembok-tembok tak terlihat yang semakin menjulang tinggi. Setiap gerakan Laila, setiap helaan napasnya, seakan menarik Raka untuk mendekat, namun ia menahan dirinya. Di balik wajahnya yang tenang, tersimpan lautan emosi yang bergejolak, tetapi ia tahu, jika ia membiarkan dirinya hanyut terlalu jauh, ia mungkin tidak akan pernah bisa kembali.Ia menjaga jarak.Laila menyadari sikap Raka yang semakin menjauh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Sudah beberapa hari berlalu sejak mereka mulai bekerja lebih intensif bersama, namun seiring waktu
Pagi itu terasa berbeda. Meski matahari masih malu-malu menyusup dari balik tirai awan, ada kehangatan yang lembut merambati ruangan tempat Laila dan Raka bekerja. Seperti biasanya, mereka tenggelam dalam tugas-tugas proyek yang menyita perhatian. Keduanya larut dalam keheningan yang tak lagi terasa begitu membebani, namun tetap ada jarak yang belum tersentuh. Jarak yang seakan dibuat oleh garis-garis tak terlihat, namun nyata.Laila duduk di meja kerjanya, matanya sesekali melirik ke arah Raka. Sejak hari-hari terakhir, ada perubahan kecil yang terasa dalam sikapnya. Raka memang masih menjaga jarak, masih tersembunyi di balik sikap dinginnya, tapi Laila tahu, di balik semua itu, ada sesuatu yang mulai mencair. Mungkin itu hanya imajinasinya, atau mungkin harapannya, namun setiap kali Laila berada di dekat Raka, ia bisa merasakan denyut kecil di antara keduanya—seperti sisa-sisa cinta yang pernah ada.Di sudut ruangan, Raka sedang berdiri, mengamati papan tulis yang penuh dengan skets
Sore itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Laila duduk di balkon apartemennya, memandangi langit yang berwarna jingga, memikirkan perasaannya yang mulai tidak bisa ia abaikan. Cahaya matahari yang perlahan memudar seolah menggambarkan apa yang tengah terjadi dalam hatinya—kenangan lama yang kembali menyeruak, membawa perasaan yang dulu begitu kuat, namun kini dibalut oleh penyesalan.Sudah bertahun-tahun berlalu sejak hari itu. Hari di mana semuanya berubah, saat ia dan Raka memilih jalan masing-masing tanpa sempat menyelesaikan apa yang terlanjur hancur. Ketika mereka masih remaja, dunia terasa begitu besar dan penuh kemungkinan, tetapi juga dipenuhi oleh ketidakpastian yang menyelimuti masa depan mereka. Sekarang, di hadapannya, dunia itu terasa lebih kecil, namun luka lama yang terpendam kembali mencuat, menghantui setiap detik waktu yang ia habiskan bersama Raka di proyek ini.Laila memejamkan mata, membiarkan ingatannya kembali ke masa-masa re
Pagi itu, matahari terbit dengan keindahan yang seakan dirancang khusus untuk mereka, memberikan pancaran lembut ke seluruh penjuru. Di dalam ruangan yang dipenuhi dengan wangi bunga melati dan mawar, suasana terasa sakral, seolah alam semesta turut memberi restu atas persatuan dua jiwa yang telah melalui perjalanan panjang penuh suka dan duka. Hari ini adalah hari yang telah lama mereka nantikan, hari yang ditetapkan oleh cinta dan keteguhan mereka.Laila berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana namun anggun yang menjuntai hingga ke lantai. Ia memandang dirinya, melihat pantulan wajah yang penuh dengan kebahagiaan dan keteguhan hati. Ada kilatan air mata di sudut matanya, tetapi ia berusaha menahannya, takut merusak riasan yang telah dipersiapkan dengan cermat. Namun, ini bukanlah air mata sedih, melainkan air mata syukur, air mata dari perasaan yang begitu penuh dan meluap-luap di hatinya.Saat pintu diketuk, Laila berbalik, mendapati ayahnya berdiri di sana dengan s
Malam itu, gemerlap bintang tampak lebih terang, seakan alam semesta turut merayakan keheningan yang menyelimuti hati Laila dan Raka. Mereka duduk terpisah, Laila bersama keluarganya dan sahabat-sahabatnya, sementara Raka menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekatnya. Meski berjarak, hati mereka seakan saling terhubung, seiring pikiran yang merenung tentang perjalanan yang telah mereka tempuh hingga sampai di malam ini.Di kamar yang dihiasi oleh kilau cahaya lilin lembut, Laila duduk bersandar di ranjang sambil menatap gaun pernikahan yang tergantung di sudut ruangan. Gaun putih yang anggun itu seperti simbol murni dari segala harapan yang ia miliki, tentang cinta, tentang kebersamaan, dan tentang kehidupan baru yang akan dimulai besok. Jemarinya menyusuri kain lembut itu, seolah ingin meresapi setiap benang yang tersulam di sana—benang-benang harapan yang telah ia bangun bersama Raka.Sahabat-sahabat Laila duduk di sekitarnya, wajah mereka memancarkan kebahagiaan yang tulus. Mer
Pagi itu, udara terasa sejuk, sinar matahari menyelinap di antara dedaunan, memancarkan cahaya lembut yang menenangkan hati. Laila, yang duduk di teras rumahnya, merasakan kebahagiaan mengalir dalam dadanya. Hari-hari menuju pernikahan begitu dekat, dan setiap saat terasa seperti mimpi yang indah. Namun, di tengah kedamaian pagi itu, ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Ketika membuka pesan itu, senyum di wajah Laila perlahan memudar. Pesan dari nomor yang tidak dikenalnya, sebuah pesan singkat namun mengganggu: “Aku tahu masa lalu Raka. Jika kamu ingin tahu kebenarannya, hubungi aku. Jika tidak, kebahagiaanmu mungkin hanya sementara.” Pesan itu membuatnya terdiam. Ada keanehan dalam kata-katanya, seperti sebuah ancaman tersembunyi, namun juga seperti tawaran untuk membuka tabir yang mungkin selama ini tertutup. Laila menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi perasaannya terlanjur bergejolak. Di hatinya, ia percaya pada Raka. Namun, bisikan ketakutan muncul,
Malam mulai menyelimuti kota dengan kedamaiannya, seolah ikut memahami perjuangan hati sepasang kekasih yang duduk di taman kecil, jauh dari hiruk-pikuk dunia. Di sana, di bawah rembulan yang memancarkan sinarnya yang lembut, Raka dan Laila saling menatap dengan mata yang penuh tekad. Keputusan yang akan mereka ambil bukanlah hal mudah, namun mereka tahu bahwa cinta mereka mampu menjadi pelita di tengah ketidakpastian.Laila menghela napas dalam, mencoba mengendapkan perasaan yang bergemuruh di dalam hatinya. Meski kecemasan masih terselip, ia merasa keyakinan yang mendalam bahwa cintanya pada Raka tidak goyah. Ia tahu bahwa hidup tak selalu berjalan seperti yang mereka rencanakan, tetapi dalam hatinya, ia percaya bahwa cinta mereka memiliki kekuatan untuk mengatasi segala rintangan."Raka," ucap Laila dengan suara lembut, memecah kesunyian di antara mereka. "Aku tahu kondisimu mungkin belum stabil, tapi… apakah kamu yakin kita tidak akan menunda pernikahan ini?"Raka tersenyum tipis,
Hari itu kembali dipenuhi dengan keheningan yang sarat beban. Raka dan Laila duduk di ruang konsultasi dokter, dan meski kehangatan sinar matahari pagi menembus jendela, suasana di dalam ruangan terasa dingin, sunyi, seperti terkurung di antara dinding ketidakpastian. Laila duduk di samping Raka, menggenggam tangannya erat seolah-olah mengalirkan kekuatan yang tak terlihat. Raka hanya bisa diam, menatap lurus ke depan, mencoba menahan perasaan cemas yang perlahan merambat ke dalam hatinya.Dokter memandang mereka dengan tatapan lembut namun tegas, seolah memahami beratnya kabar yang hendak ia sampaikan. Dengan suara rendah, ia mulai menjelaskan, “Pak Raka, dari hasil pemeriksaan terakhir, kami menemukan bahwa kondisi jaringan di sekitar luka lama Anda memburuk. Hal ini memerlukan perawatan khusus dan waktu pemulihan yang mungkin tidak singkat. Kami perlu memastikan bahwa peradangan tidak menyebar lebih luas, karena itu dapat berdampak serius pada kesehatan Anda.”Kata-kata dokter tera
Di tengah hiruk-pikuk persiapan yang semakin menuntut perhatian, ada sesuatu yang diam-diam menggulung dalam benak Raka. Ia mencoba menepis perasaan itu, menguburnya di antara lembaran undangan yang belum terkirim, daftar tamu yang terus bertambah, dan keputusan warna dekorasi yang belum selesai. Namun, seiring waktu, rasa sakit itu justru semakin kuat, mengusik ketenangan yang susah payah ia bangun bersama Laila.Raka memegang sisi tubuhnya, tepat di tempat luka lamanya berada. Rasa nyeri itu datang bagai kenangan yang menggores kembali, sebuah ingatan yang tak ia ingin ingat. Luka itu sudah ia lupakan sejak lama—setidaknya, itulah yang ia yakini. Tapi kini, tubuhnya seakan mengingatkan kembali, sebuah peringatan bahwa ia pernah mengalami rasa sakit yang lebih dari sekadar fisik. Ada luka batin yang sepertinya ikut berdenyut bersama rasa nyeri itu.Dengan napas yang berat, Raka meraba daerah yang terasa sakit, mendapati dirinya diliputi kecemasan. Bukan hanya rasa sakit itu yang meri
Pagi itu, Laila berangkat ke kantor dengan senyuman yang terpancar dari wajahnya, menyembunyikan kelelahan yang perlahan menggerogoti hatinya. Ia mencoba menata pikirannya agar tetap tenang. Proyek besar yang tengah ia tangani tiba-tiba menghadapi masalah serius. Kritik dari klien datang bertubi-tubi, seakan membebani langkah Laila yang biasanya mantap dan percaya diri. Sebagai seorang pemimpin tim, ia tahu harus kuat dan tetap tegar, tetapi hari-hari penuh tekanan ini mulai membuatnya merasa terjebak dalam pusaran yang tak berujung.Saat tiba di kantor, suasana ruangan terasa tegang. Rekan-rekan kerjanya menatap layar komputer dengan wajah penuh kecemasan, dan beberapa dari mereka saling berbisik dengan nada kekhawatiran. Laila tahu, proyek ini bukan hanya tentang reputasinya, tetapi juga menyangkut seluruh tim yang telah bekerja keras bersamanya selama berbulan-bulan. Pikirannya mulai mengabur oleh rasa bersalah yang perlahan-lahan menghantui. Ia merasa telah mengecewakan semua oran
Di pagi yang tenang, Laila dan Raka duduk berdampingan di ruang tamu, di hadapan mereka terdapat tumpukan undangan pernikahan yang siap dikirimkan kepada para kerabat dan sahabat. Keheningan melingkupi ruangan, hanya suara lembut gesekan kertas dan detik jarum jam yang terdengar. Mereka sedang berada di fase akhir dari persiapan pernikahan, dan untuk sesaat, suasana ini memberikan kehangatan yang mengikat hati mereka dalam harapan akan kebahagiaan yang segera tiba.Laila, dengan senyum lembut di wajahnya, membolak-balik daftar nama yang sudah mereka siapkan. Setiap nama terasa membawa kenangan, setiap nama memiliki kisahnya sendiri yang pernah mewarnai hidup mereka. Namun, di balik senyum hangat itu, Raka terlihat agak gelisah. Tangannya menggenggam erat pena di jemarinya, sementara matanya sesekali melirik daftar nama yang terbentang di hadapannya.“Kamu baik-baik saja, Raka?” Laila bertanya lembut, menyadari perubahan kecil di ekspresi wajah tunangannya.Raka terdiam sejenak, seolah
Pagi itu, Raka duduk di meja kerjanya dengan kepala tertunduk, matanya tertuju pada layar komputer yang dipenuhi angka-angka dan laporan yang terus berdatangan. Senyum lembut yang biasa terlihat di wajahnya kini menghilang, tergantikan oleh ekspresi tegang dan cemas. Sejak pagi, ia merasa terperangkap dalam pusaran masalah yang tak ada habisnya. Setiap pesan yang masuk, setiap rapat yang harus dihadiri, dan setiap keputusan yang dituntut untuk segera diambil seperti menambah beban yang menekan pundaknya.Di sela-sela kesibukannya, pikirannya melayang ke momen-momen bersama Laila di taman kecil itu. Ia ingat senyumnya, tenangnya udara sore yang menyelimuti mereka, dan janji mereka untuk menghadapi segala sesuatu bersama. Tetapi kini, janji itu terasa goyah ketika beban di tempat kerja ini mengancam mengguncang ketenangan yang baru saja mereka temukan. Raka menarik napas dalam, mencoba menenangkan gejolak dalam dadanya.Namun, beban tanggung jawab ini bukan sesuatu yang bisa ia abaikan.