Home / Romansa / Cinta di Kursi Roda / Bab 2: Bayang-Bayang Masa Lalu

Share

Bab 2: Bayang-Bayang Masa Lalu

Author: Restu Bumi
last update Last Updated: 2024-11-04 14:38:52

Hari itu, matahari menyelipkan sinarnya ke sela-sela gedung tinggi di pusat kota, memantulkan bayang-bayang yang bergerak mengikuti langkah cepat Laila. Setiap derap sepatunya di lantai marmer kantor bergaung di dalam benaknya, mengiringi ketegangan yang semakin meresap dalam tubuhnya. Laila berusaha menenangkan debar jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Ini bukan hanya rapat biasa—ini adalah pertemuan pertamanya dengan tim proyek yang melibatkan Raka.

Hati Laila masih belum sepenuhnya pulih dari pertemuan kemarin. Meski ia sudah tahu akan bekerja dengan perusahaan mitra, tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa perusahaan itu akan melibatkan Raka, orang yang begitu penting dalam hidupnya di masa lalu. Pria yang pernah menjadi sumber kebahagiaannya, kini berada di ujung hatinya, mengundang luka lama yang ia kira sudah tertutup rapat.

Ketika ia memasuki ruang rapat, suasana dingin AC menyambutnya, menambah kesan formal dan kaku. Beberapa anggota tim sudah berkumpul, sibuk dengan dokumen dan laptop mereka. Laila mengatur napas, berusaha mengembalikan fokusnya ke tugas yang ada di depan mata. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa fokus itu akan diuji oleh kehadiran seseorang yang lama hilang dari hidupnya, tetapi kini hadir kembali dalam bentuk yang tak pernah ia duga.

Rapat ini adalah langkah pertama dalam kolaborasi besar antara perusahaan tempat Laila bekerja dengan perusahaan mitra tempat Raka bekerja. Proyek ini adalah puncak dari kerja keras yang sudah ia jalani bertahun-tahun, tetapi kini terasa berbeda. Ada beban yang menggantung di hatinya—seperti ada benang tak terlihat yang menghubungkan pekerjaannya dengan perasaannya, dan benang itu terasa semakin kuat tiap kali ia mengingat Raka.

Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka pelan. Laila menoleh dengan cepat, dan di sanalah dia—Raka, dengan ekspresi tenangnya yang selalu ia ingat, memasuki ruangan. Hati Laila seketika berdebar lebih kencang. Kali ini, Raka ditemani oleh beberapa anggota tim dari perusahaannya, tetapi tatapan Laila hanya tertuju padanya. Kursi roda yang didorong perlahan membawa Raka mendekat, namun seolah membawa jarak tak kasatmata di antara mereka berdua. Sebuah tembok yang terbentuk dari luka dan perubahan yang begitu mendalam.

“Kita siap mulai?” Suara seorang anggota tim mitra membuyarkan lamunan Laila. Ia cepat-cepat mengangguk dan memaksa dirinya untuk fokus pada agenda rapat. Tapi di dalam dirinya, ia tahu ini bukan sekadar rapat kerja biasa.

Laila duduk berhadapan langsung dengan Raka di meja besar itu. Keduanya, terpisah oleh jarak fisik yang hanya beberapa meter, namun hati mereka terasa begitu jauh. Mata Raka menyusuri dokumen yang ada di depannya, tanpa sekali pun menatap Laila secara langsung. Laila bisa merasakan bahwa Raka berusaha menjaga jarak, mungkin sama seperti dirinya—berusaha menekan perasaan yang masih bergelut di dalam hati masing-masing.

Rapat berlangsung lancar, dengan pembahasan yang berfokus pada aspek teknis proyek. Setiap kali Laila berbicara, ia bisa merasakan tatapan Raka yang diam-diam memperhatikannya. Namun, ketika Laila mencoba bertukar pandang, Raka selalu menghindar, menenggelamkan dirinya kembali dalam dokumen atau menatap layar laptopnya. Ada kesan dingin yang mengalir di antara mereka, meski kata-kata formal dan profesional meluncur lancar dari bibir masing-masing.

Di sela-sela presentasi, sesekali Laila melirik ke arah Raka, berusaha memahami pikirannya. Apakah Raka merasa sama canggungnya? Apakah dia juga dihantui oleh masa lalu yang belum terselesaikan? Laila tak tahu pasti. Namun, ada sesuatu dalam sorot mata Raka yang memberitahu bahwa dia juga belum sepenuhnya pulih. Luka di hatinya mungkin lebih dalam dari yang terlihat, dan Laila tak bisa menahan rasa iba yang perlahan mengisi hatinya.

Saat rapat mendekati akhir, salah satu anggota tim mitra mengangkat sebuah pertanyaan yang tak terduga. "Mungkin, agar proyek ini berjalan lebih efektif, kita perlu menunjuk seorang perwakilan dari kedua perusahaan yang bisa bekerja lebih dekat dalam koordinasi harian. Laila, bagaimana jika Anda mewakili perusahaan kita?"

Jantung Laila berhenti sejenak. Sebelum ia sempat menjawab, anggota tim mitra melanjutkan, "Dan dari pihak kami, kami sudah menunjuk Raka sebagai perwakilan. Jadi, kalian berdua akan sering bekerja bersama dalam beberapa bulan ke depan."

Kata-kata itu seakan menggema di ruangan yang mendadak terasa hening. Laila menelan ludah, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Ia melirik ke arah Raka yang kali ini akhirnya menatap langsung ke arahnya. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh makna—tatapan yang menggambarkan segala kebingungan, kecanggungan, dan sejarah panjang yang belum terselesaikan.

“Tentu, saya bersedia,” jawab Laila akhirnya, meskipun di dalam hatinya, ia masih bimbang. Bagaimana ia bisa bekerja sama dengan Raka, sementara hatinya masih penuh dengan perasaan yang rumit? Bagaimana ia bisa menjaga profesionalisme ketika setiap kali melihatnya, ingatan tentang masa lalu selalu menghantui?

Raka hanya mengangguk pelan. Ia tak mengatakan apa-apa, tetapi tatapan matanya cukup untuk memberitahu Laila bahwa pria itu juga merasa tak nyaman. Ada kesedihan yang samar dalam sorot matanya, seolah ia ingin mengatakan sesuatu tetapi memilih untuk menahannya.

Ketika rapat akhirnya berakhir, Laila merasakan beban yang lebih berat di pundaknya. Proyek ini, yang seharusnya menjadi puncak dari kariernya, kini berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih pribadi. Setiap hari ke depan, ia akan berada dalam satu ruang yang sama dengan Raka, membicarakan pekerjaan sementara perasaan mereka yang belum terselesaikan terus bergejolak di dalam hati.

Saat semua orang mulai beranjak dari ruangan, Raka masih duduk di tempatnya, seolah menunggu hingga ruangan benar-benar sepi. Laila meliriknya sejenak sebelum keluar, dan untuk pertama kalinya, Raka membuka suara, “Laila...”

Laila berhenti di ambang pintu, menoleh. “Ya?”

Raka tampak ragu, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Kita akan banyak bekerja sama ke depannya. Kuharap... kita bisa melakukannya dengan baik.”

Laila mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi keraguan. “Tentu, Raka. Kita akan bekerja sama dengan baik.”

Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa yang menanti di depan bukan hanya tantangan profesional, tetapi juga tantangan emosi yang jauh lebih berat. Ini bukan hanya tentang proyek besar, tetapi juga tentang bagaimana mereka berdua akan menghadapi bayang-bayang masa lalu yang kembali hadir di depan mata.

Setelah rapat usai, para anggota tim satu per satu meninggalkan ruang pertemuan. Laila tetap di tempatnya sejenak, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berdiri di hadapan Raka sekali lagi. Suara langkah sepatu yang menjauh meninggalkan gema yang semakin memudar, dan hanya tersisa mereka berdua di ruangan yang terasa semakin sunyi. Laila bisa mendengar hembusan napasnya sendiri, berat dan penuh ketidakpastian.

Ia tahu bahwa pembicaraan antara mereka tak bisa ditunda lagi. Kata-kata yang tertahan di bibir mereka sejak pertemuan pertama kini terasa semakin mendesak untuk diucapkan. Namun, ada rasa takut yang merayap, seolah satu kata yang salah bisa membuka luka yang belum sembuh sempurna.

Raka, yang masih duduk di kursi rodanya, tampak begitu tenang dari luar, tetapi Laila bisa melihat ketegangan samar yang tersembunyi di balik mata cokelatnya. Mata itu dulu penuh kehidupan, penuh harapan. Kini, seolah ada tirai tipis yang memisahkan perasaannya dari dunia luar. Ia bukan lagi Raka yang Laila kenal dulu—atau setidaknya, tidak sepenuhnya.

Laila akhirnya berdiri dari kursinya, mengambil napas panjang sebelum berjalan pelan menghampiri Raka. Ia berjongkok di samping kursi roda itu, mencoba mencari sudut pandang yang sejajar dengannya. "Raka...," suaranya terdengar lembut, nyaris seperti bisikan, namun terasa menggema di ruangan yang hening.

Raka menoleh pelan, tatapannya bertemu dengan mata Laila. Ada keheningan yang begitu panjang di antara mereka, seolah waktu berhenti sejenak, memberikan ruang bagi hati mereka untuk berbicara tanpa kata-kata. Namun, kata-kata itu sulit keluar, terperangkap dalam ketidakpastian.

“Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi seperti ini,” lanjut Laila, mencoba memecah keheningan. Tangannya meremas jemarinya sendiri, tanda ketegangan yang berusaha ia sembunyikan.

Raka tersenyum tipis, senyum yang tak sepenuhnya mencapai matanya. “Ya, aku juga tidak menyangka. Dunia memang kecil, ya?” Suaranya terdengar tenang, namun di balik ketenangan itu, Laila bisa merasakan ada sesuatu yang ingin dia sembunyikan.

“Raka…” Laila berhenti, mencari kata-kata yang tepat. “Aku... aku minta maaf kalau selama ini—”

“Tidak perlu.” Raka memotong cepat. “Tidak ada yang perlu kau minta maafkan, Laila. Aku tahu, kita semua punya kehidupan masing-masing. Aku tidak berharap kau… akan mengingat apa yang terjadi di masa lalu.”

Namun, Laila tahu bahwa kata-kata Raka hanyalah upaya untuk menutupi luka yang lebih dalam. Ia bisa merasakannya. Laila pernah sangat dekat dengan pria ini, dan ia tahu bahwa di balik senyum tipis dan kata-kata ringan itu, ada perasaan yang belum terselesaikan. Ada luka yang belum sembuh, baik di hati Raka maupun di hatinya sendiri.

“Aku masih mengingatnya, Raka. Setiap detik.” Suara Laila terdengar lebih tegas kali ini, meski ia tahu kata-kata itu membuka kembali pintu yang sudah lama ia coba tutup.

Tatapan Raka melembut sejenak sebelum ia kembali menunduk, memperhatikan roda kursi yang tak bergerak di bawahnya. “Laila, apa gunanya mengingat sesuatu yang sudah lama berlalu? Lihat aku sekarang.” Dia mengangkat tangannya seolah hendak menunjukkan keadaan dirinya yang sekarang. “Ini aku sekarang. Aku bukan lagi Raka yang dulu kau kenal. Aku sudah berubah.”

Laila terdiam, meresapi kata-kata Raka. Memang, fisik Raka telah berubah, dan kehidupannya tak lagi sama seperti dulu. Tapi di balik semua itu, di balik luka yang membelenggu hidupnya, Laila tahu bahwa Raka yang dulu ia cintai masih ada di sana, meskipun terbungkus oleh lapisan keputusasaan dan kesedihan yang mendalam.

“Kau masih Raka,” jawab Laila perlahan, hatinya bergetar. “Raka yang aku kenal dulu… dia bukan hanya tentang fisiknya. Aku tahu kau masih punya hati yang sama. Hati yang dulu aku cintai.”

Raka tersentak, seolah kata-kata Laila telah menyentuh bagian terdalam dari jiwanya. Ia menatap Laila dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan, campuran antara kekagetan dan kesedihan yang mendalam. “Laila, jangan katakan itu…”

“Mengapa tidak? Mengapa aku tidak boleh mengatakannya?” Suara Laila mulai bergetar, emosinya mulai mengalir tanpa bisa ditahan. “Aku tahu kau merasa berbeda sekarang, aku tahu hidupmu telah berubah. Tapi perasaan ini... perasaan yang pernah kita miliki, aku tidak bisa berpura-pura bahwa semua itu hilang begitu saja. Aku masih merasakannya, Raka.”

Raka menggeleng, seolah berusaha menolak kenyataan yang dihadapkan padanya. “Laila, hidupku tidak seperti dulu. Aku bahkan tidak bisa berjalan. Bagaimana mungkin kau bisa merasa seperti itu? Aku tidak layak untukmu. Kau pantas mendapatkan seseorang yang bisa memberimu kebahagiaan, bukan seseorang seperti aku yang bahkan tidak bisa berdiri di sampingmu.”

Air mata mulai menggenang di sudut mata Laila. Kata-kata Raka menembus jantungnya, mengoyak perasaan yang selama ini ia coba simpan rapat-rapat. “Kebahagiaan bukan soal bisa berdiri di sampingku atau tidak, Raka. Kebahagiaan adalah tentang kita… tentang bagaimana perasaan kita satu sama lain. Aku tidak peduli dengan keadaan fisikmu. Aku peduli pada dirimu, pada siapa kau sebenarnya.”

Raka terdiam, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, Laila bisa melihat dinding yang selama ini Raka bangun mulai retak. Ada perasaan yang tersimpan di balik semua luka itu, perasaan yang tak pernah sepenuhnya hilang, hanya terkubur oleh rasa sakit dan ketakutan.

“Kau terlalu baik, Laila,” gumam Raka dengan suara serak. “Aku tidak pantas mendapatkan perasaanmu. Tidak sekarang, tidak setelah semua ini.”

“Tapi aku tetap merasakannya,” bisik Laila. “Dan aku tahu, meskipun kau berusaha menyembunyikannya, kau juga masih merasakannya, Raka.”

Keheningan kembali mengisi ruangan. Kali ini, bukan karena ketidaknyamanan, melainkan karena perasaan yang begitu mendalam dan rumit, yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Kedua hati mereka bergetar, merasakan luka dan cinta yang terselubung dalam waktu dan keadaan.

Raka menghela napas panjang, seolah mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk berkata, “Laila… Aku butuh waktu. Aku tidak tahu apakah aku bisa menghadapi semua ini. Aku takut.”

Laila mengangguk pelan, matanya masih mengunci tatapan Raka. “Aku akan menunggumu, Raka. Aku tidak meminta jawaban sekarang. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak akan pergi. Aku tidak akan meninggalkanmu.”

Dalam keheningan itu, meski tak ada kata yang terucap lagi, ada janji tak terucapkan yang terbentuk di antara mereka. Sebuah harapan kecil yang mulai tumbuh, meski diselimuti ketidakpastian. Raka mungkin belum siap untuk membuka dirinya sepenuhnya, tapi Laila bersedia menunggu. Sebab, cinta sejati adalah tentang kesabaran, tentang menunggu hingga waktu dan hati siap untuk kembali bersatu.

Related chapters

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 3: Batas Profesionalisme

    Pagi itu, ruangan rapat masih tampak sunyi ketika Raka memasuki ruangan dengan langkah tenang, kursi rodanya bergerak perlahan di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia tiba lebih awal dari yang lain, berharap kehadirannya bisa menenangkan pikirannya sebelum pertemuan dimulai. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, penuh dengan diskusi dan pengambilan keputusan penting. Bagi Raka, ini adalah kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus-menerus menghantui sejak pertemuannya dengan Laila. Ia sudah bertekad untuk menjalani proyek ini dengan profesionalisme. Apapun yang ia rasakan terhadap Laila, apapun rasa sakit atau kenangan manis yang kembali menyeruak, harus ia simpan jauh di sudut hatinya. Sekarang bukan saatnya terjebak dalam emosi. Sebagai seorang pemimpin proyek, ia harus memastikan semua berjalan lancar. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca besar, memberikan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Namun, di balik ketenangan pagi itu, ada

    Last Updated : 2024-11-04
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 4: Kenangan yang Terukir di Masa Lalu

    Di penghujung hari yang melelahkan, Laila duduk di depan cangkir kopinya yang kini hanya tersisa setengah. Di balik jendela besar di ruangannya, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna jingga yang lembut. Hembusan angin senja yang hangat terasa menenangkan, namun pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan canggung yang terus menghantui sejak pertemuan dengan Raka. Kembali bekerja dengan seseorang yang pernah begitu dekat di hatinya membuatnya sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.Laila memejamkan mata, membiarkan dirinya. terlarut dalam kenangan yang muncul begitu saja, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Wajah Raka yang dulu, senyumnya, tatapannya, seolah begitu dekat dan nyata di depan mata. Seketika, ia teringat masa-masa saat mereka masih remaja, saat segala hal terasa lebih sederhana dan perasaan mereka begitu murni.Dulu, Laila dan Raka tidak hanya sekadar teman. Mereka adalah dua jiwa yang selalu menemukan tempat nyaman di sisi satu sama lain. Setiap

    Last Updated : 2024-11-14
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 5: Jarak yang Tak Terjangkau

    Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin

    Last Updated : 2024-11-15
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 6: Luka yang Tersembunyi di Balik Waktu

    Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pi

    Last Updated : 2024-11-16
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 7: Riak-riak di Bawah Permukaan

    Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama, tetapi bagi Laila, ada sesuatu yang berbeda dalam setiap detiknya. Proyek yang sedang dikerjakannya bersama Raka kini semakin menuntut kerja sama yang lebih intensif. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin panjang, namun ironi dari kedekatan fisik itu adalah jarak emosional yang seolah-olah tak pernah bisa dijembatani. Setiap kata yang mereka ucapkan tentang proyek tampak penuh dengan formalitas yang rapi, namun di balik itu semua, tersembunyi ketegangan yang tidak terucap.Mereka duduk di ruang rapat kecil di kantor, berhadapan satu sama lain dengan layar komputer yang penuh diagram dan grafik, menciptakan ilusi bahwa dunia mereka hanyalah soal pekerjaan. Namun, bagi Laila, setiap kata yang keluar dari mulut Raka bukan sekadar instruksi atau diskusi, melainkan sebuah teka-teki yang mencoba ia pecahkan. Suara Raka begitu tenang dan terukur, tapi ada nada dingin yang tak bisa ia abaikan."Bagian ini masih belum sesuai dengan skema awal. Kit

    Last Updated : 2024-11-17
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 8: Batas-batas yang Tak Terlihat

    Pagi itu, sinar matahari menyusup perlahan melalui celah-celah jendela ruang kantor, menciptakan bayangan lembut yang menari di dinding. Suara burung-burung berkicau dari kejauhan, namun di dalam ruangan yang diisi Laila dan Raka, keheningan mendominasi. Ada perasaan tegang yang menyelubungi udara, meskipun tidak ada kata yang terucap.Raka duduk di meja kerjanya, jarak fisik antara mereka terasa begitu dekat, namun di antara mereka ada tembok-tembok tak terlihat yang semakin menjulang tinggi. Setiap gerakan Laila, setiap helaan napasnya, seakan menarik Raka untuk mendekat, namun ia menahan dirinya. Di balik wajahnya yang tenang, tersimpan lautan emosi yang bergejolak, tetapi ia tahu, jika ia membiarkan dirinya hanyut terlalu jauh, ia mungkin tidak akan pernah bisa kembali.Ia menjaga jarak.Laila menyadari sikap Raka yang semakin menjauh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Sudah beberapa hari berlalu sejak mereka mulai bekerja lebih intensif bersama, namun seiring waktu

    Last Updated : 2024-11-18
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 9: Senyum yang Tertahan di Antara Jarak

    Pagi itu terasa berbeda. Meski matahari masih malu-malu menyusup dari balik tirai awan, ada kehangatan yang lembut merambati ruangan tempat Laila dan Raka bekerja. Seperti biasanya, mereka tenggelam dalam tugas-tugas proyek yang menyita perhatian. Keduanya larut dalam keheningan yang tak lagi terasa begitu membebani, namun tetap ada jarak yang belum tersentuh. Jarak yang seakan dibuat oleh garis-garis tak terlihat, namun nyata.Laila duduk di meja kerjanya, matanya sesekali melirik ke arah Raka. Sejak hari-hari terakhir, ada perubahan kecil yang terasa dalam sikapnya. Raka memang masih menjaga jarak, masih tersembunyi di balik sikap dinginnya, tapi Laila tahu, di balik semua itu, ada sesuatu yang mulai mencair. Mungkin itu hanya imajinasinya, atau mungkin harapannya, namun setiap kali Laila berada di dekat Raka, ia bisa merasakan denyut kecil di antara keduanya—seperti sisa-sisa cinta yang pernah ada.Di sudut ruangan, Raka sedang berdiri, mengamati papan tulis yang penuh dengan skets

    Last Updated : 2024-11-19
  • Cinta di Kursi Roda   Bab 10: Kenangan yang Terpendam

    Sore itu, angin berhembus lembut, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Laila duduk di balkon apartemennya, memandangi langit yang berwarna jingga, memikirkan perasaannya yang mulai tidak bisa ia abaikan. Cahaya matahari yang perlahan memudar seolah menggambarkan apa yang tengah terjadi dalam hatinya—kenangan lama yang kembali menyeruak, membawa perasaan yang dulu begitu kuat, namun kini dibalut oleh penyesalan.Sudah bertahun-tahun berlalu sejak hari itu. Hari di mana semuanya berubah, saat ia dan Raka memilih jalan masing-masing tanpa sempat menyelesaikan apa yang terlanjur hancur. Ketika mereka masih remaja, dunia terasa begitu besar dan penuh kemungkinan, tetapi juga dipenuhi oleh ketidakpastian yang menyelimuti masa depan mereka. Sekarang, di hadapannya, dunia itu terasa lebih kecil, namun luka lama yang terpendam kembali mencuat, menghantui setiap detik waktu yang ia habiskan bersama Raka di proyek ini.Laila memejamkan mata, membiarkan ingatannya kembali ke masa-masa re

    Last Updated : 2024-11-20

Latest chapter

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 39: Menyusuri Jalan yang Setengah Terbuka

    Pagi yang tenang menyambut Laila dengan embun yang menggantung di ujung daun, mencerminkan sinar matahari yang lembut. Ia duduk di bangku taman kecil di dekat tempat mereka bekerja, menghirup dalam-dalam udara pagi yang sejuk. Ada senyum lembut di wajahnya, senyum yang lahir dari perasaan hangat yang bertumbuh pelan di dalam hatinya. Bersama Raka, ia merasakan bahwa langkah kecil dalam hubungan mereka telah terukir, meskipun itu hanya sekilas. Namun, ia tahu bahwa hati Raka masih seperti jendela yang setengah tertutup, mengizinkannya untuk melihat hanya sebagian kecil dari dirinya yang sejati.Ia memandang langit yang biru jernih, membayangkan perjalanan yang telah ia lalui dengan Raka hingga saat ini. Setiap pertemuan, percakapan, dan momen-momen kecil yang ia habiskan bersama Raka membawanya semakin dekat, seperti irama lembut musik yang perlahan merasuk ke dalam jiwa. Meskipun Raka belum sepenuhnya membuka hatinya, ia bisa merasakan bahwa ada kemajuan, ada benih yang mulai tumbuh d

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 38: Bersandar dalam Krisis

    Di pagi yang tenang, Raka dan Laila tiba di kantor dengan hati yang hangat, masih terasa kehadiran keheningan indah dari malam sebelumnya. Mereka telah menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka, meski belum seluruhnya terbuka. Ada perasaan bahwa sesuatu sedang tumbuh di antara mereka, seperti benih cinta yang perlahan-lahan mulai berakar di dalam hati.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Pagi ini, kabar buruk datang menghampiri. Salah satu klien besar mereka baru saja membatalkan kontrak mendadak karena ada masalah yang terlewat dalam analisis proyek. Situasi ini bukan hanya berpotensi menghambat keberlangsungan proyek, tetapi juga mengancam reputasi perusahaan. Berita itu langsung menggetarkan suasana tim, membuat setiap orang merasa cemas dan bingung harus berbuat apa.Raka menghela napas panjang, menatap layar komputernya yang kini dipenuhi dengan laporan-laporan berwarna merah. Ia tahu bahwa ini adalah krisis yang sulit, dan jalan keluarnya tidak akan mudah ditemukan.

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 37: Cinta Tanpa Batas

    Di antara embun pagi yang menyelimuti bumi dan cahaya mentari yang perlahan mengintip dari balik bukit, suasana pagi itu penuh ketenangan. Laila dan Raka duduk berdua di sebuah bangku kayu, menghadap ke arah danau yang memantulkan cahaya langit dengan begitu indah. Keheningan pagi memberi mereka ruang untuk merenung, untuk merasakan kehadiran satu sama lain tanpa kata-kata.Laila memandang Raka dengan lembut. Di matanya, Raka bukan hanya pria yang sedang berjuang melawan ketakutan dan keraguan. Ia melihat kekuatan, keberanian, dan kerendahan hati yang begitu tulus. Namun, ia juga melihat ketakutan yang membayangi setiap langkah Raka, ketakutan yang membuatnya sulit menerima dirinya apa adanya. Laila ingin menunjukkan padanya bahwa cinta sejati tidak mengenal batasan—tidak pada fisik, tidak pada luka, dan tidak pada ketidaksempurnaan.“Raka,” Laila memulai, suaranya penuh kelembutan. “Kenapa kamu masih ragu? Apakah luka itu, ketakutan itu, begitu besar hingga mengalahkan segala keingin

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 36: Bayang-bayag yang Tersembunyi

    Pagi itu, Laila duduk di ruang kerja dengan secangkir teh di tangannya. Pikirannya melayang, tertuju pada sosok Raka dan dinding-dinding yang masih ia lihat di hati lelaki itu. Di balik sikap lembut yang mulai Raka tunjukkan, Laila merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah luka yang lebih berat daripada sekadar pengalaman buruk masa lalu.Selama ini, Laila hanya melihat potongan-potongan dari apa yang Raka biarkan terlihat—rasa takut yang menyelimuti hati dan kebisuannya terhadap beberapa hal. Namun, ada sebuah bayang-bayang yang terasa semakin jelas, sesuatu yang tak terucapkan, tetapi menciptakan jarak yang Raka tak pernah biarkan benar-benar sirna.Hari itu, mereka bertemu di ruang meeting yang sepi, hanya ditemani cahaya matahari pagi yang menerobos jendela besar, menciptakan bayangan halus di lantai. Raka sedang memeriksa beberapa dokumen, sementara Laila memperhatikannya dari kejauhan, mencoba memahami apa yang selama ini ia sembunyikan.Setelah beberapa saat, Laila membera

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 35: Kehangatan di Bawah Langit Malam

    Malam itu, setelah kerja keras yang tiada henti, Raka dan Laila memutuskan untuk merayakan keberhasilan mereka. Laila mengusulkan tempat favoritnya—sebuah kafe kecil dengan suasana hangat yang tersembunyi di tengah hiruk-pikuk kota. Mereka meninggalkan kantor, langkah mereka terasa lebih ringan dari biasanya, seolah-olah beban yang selama ini mereka tanggung telah perlahan terangkat.Begitu tiba di kafe, aroma kopi segar menyambut mereka, berpadu dengan alunan musik jazz yang lembut. Kafe itu memiliki pencahayaan remang-remang, memberikan nuansa hangat dan intim yang membuat hati terasa tenang. Raka dan Laila memilih meja di sudut, dekat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan malam kota yang indah dengan gemerlap lampu.Mereka duduk berhadapan, suasana di antara mereka begitu nyaman, seperti tak ada lagi sekat. Tanpa disadari, tangan Raka dan Laila hampir bersentuhan di atas meja, dan untuk sesaat, mereka membiarkan jari-jari mereka bersentuhan. Sentuhan itu terasa seperti samb

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 34: Dalam Bayang-bayag Rasa

    Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui celah-celah jendela kamar Raka, menari di antara dedaunan yang melambai ditiup angin. Suara burung-burung terdengar samar di kejauhan, melantunkan simfoni alam yang sederhana namun menenangkan. Tetapi, ketenangan pagi itu tidak mampu menghapus kegelisahan yang semakin hari semakin tumbuh dalam hati Raka.Raka duduk di kursi dekat jendela, menatap langit biru yang luas. Hatinya terasa penuh namun sunyi, seolah ada sesuatu yang mendesak, ingin keluar, tapi tertahan oleh dinding-dinding ketakutan yang selama ini ia bangun. Dalam keheningan itu, ia menyadari bahwa perasaan terhadap Laila bukan lagi sekadar rasa nyaman atau rasa syukur atas kehadirannya. Lebih dari itu, rasa itu kini bertransformasi menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam—sebuah perasaan yang menyala lembut, menghangatkan, namun sekaligus menakutkan.Bayangan wajah Laila hadir di benaknya. Senyuman yang tulus, tatapan yang lembut, dan caranya mendengarkan membuat Raka merasa h

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 33: Luka yang Tak Terlihat

    Senja beranjak turun, menebarkan rona jingga yang meresapi setiap sudut ruangan. Di balkon kecil yang menghadap ke taman kantor, Raka dan Laila duduk bersebelahan dalam keheningan yang syahdu. Angin yang berhembus perlahan menggoyangkan dedaunan, membawa aroma tanah yang damai, seakan alam pun ikut berbisik, memberi ruang bagi sebuah cerita yang belum pernah diceritakan.Malam itu, Raka merasa berbeda. Ada dorongan dalam hatinya yang ingin berbagi, ingin mengungkapkan luka yang telah lama ia pendam, luka yang mengubah segalanya dalam hidupnya. Ia menatap ke depan, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai. Di sampingnya, Laila hanya diam, namun tatapannya penuh pengertian, seakan ia telah siap mendengar tanpa menghakimi.“Laila…” Suara Raka terdengar parau, hampir seperti bisikan yang tenggelam dalam angin. “Aku ingin memberitahumu sesuatu. Sesuatu yang belum pernah aku ceritakan pada siapa pun.”Laila menoleh pelan, memberinya tatapan lembut yang menguatkan. “Aku di sini untuk mende

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 32: Jejak Kedekatan Tanpa Batas

    Pagi yang hangat menyelimuti ruang kerja mereka. Cahaya matahari menyusup perlahan dari celah-celah jendela, menciptakan bayangan lembut di meja tempat Raka dan Laila sering bekerja bersama. Suasana di antara mereka kini terasa berbeda—lebih intim, namun tetap terjaga dalam kesederhanaannya. Laila menyadari, Raka masih butuh waktu, maka ia memutuskan untuk menyusuri kedekatan itu perlahan-lahan, seperti angin yang berhembus lembut, tak ingin mendesak atau mengusik ketenangan hati Raka yang mulai terbuka.Setiap gerakan yang ia lakukan, setiap tatapan yang ia lontarkan, selalu ia jaga agar tidak berlebihan, namun cukup bermakna. Dia ingin Raka tahu bahwa dia ada, dengan cara yang paling halus dan lembut. Setiap kali mereka duduk berhadapan, Laila akan sesekali tersenyum kecil, memberikan sedikit perhatian, namun tidak lebih dari itu. Ia paham bahwa Raka harus belajar mengenali rasa itu sendiri, tanpa ada paksaan atau desakan yang bisa membuatnya menjauh lagi.Laila memilih untuk berada

  • Cinta di Kursi Roda   Bab 31 : Saat-Saat dalam Kebersamaan yang Diam-Diam Berbicara

    Pagi itu, embun masih menempel di dedaunan ketika Raka dan Laila tiba di kantor. Di tengah kebisingan rutinitas, keduanya disibukkan oleh proyek baru yang mengharuskan mereka bekerja lebih intens dan dekat setiap hari. Di balik keheningan pagi, ada ketegangan halus yang menyelubungi ruangan mereka, bukan karena beban pekerjaan, melainkan dari perasaan yang perlahan tumbuh, namun belum sempat mereka akui.Raka duduk di seberang meja, membolak-balik halaman dokumen proyek yang menumpuk di hadapannya. Laila, yang duduk berhadapan, tak bisa menahan diri untuk sesekali melirik ke arahnya. Interaksi mereka kini terasa begitu intens, hingga setiap tatapan atau senyum kecil menjadi momen yang bermakna, seperti irama perlahan dalam musik yang mendayu-dayu.Seiring hari berjalan, percakapan-percakapan kecil mereka berubah menjadi pembicaraan yang dalam. Setiap diskusi tentang rincian proyek terasa seperti membuka lapisan demi lapisan diri mereka masing-masing, dan Laila mulai merasakan bahwa di

DMCA.com Protection Status