Kuhempaskan tubuhku yang remuk di atas tempat tidur. Well, selain tubuhku, hatiku juga hancur berkeping-keping. Rasa sakit dan perih di antara kedua pangkal pahaku membuatku meringis pelan. Aku hanya ingin istirahat sebentar untuk menenangkan pikiranku yang kacau balau.Apa yang barusan aku rasakan dan alami, benar-benar menyakitkan. Aku telah merelakan harga diriku diinjak-injak oleh kedua manusia angkuh dan sombong itu.Kupejamkan mataku sambil membayangkan tangan mama yang lembut membelai rambutku dan mengatakan padaku bahwa semua akan baik-baik saja.Air mataku tumpah ruah. Aku sakit, tubuh terluka, hatiku tercabik-cabik, harga diriku remuk di bawah telapak kaki mereka. Entah dosa apa yang telah aku lakukan sehingga aku harus mengalami semua ini.Karena tidak kuat menahan kesedihan, aku meraih bantal di sampingku dan membekap mulutku agar isak tangisku tidak keluar lewat celah pintu dan tembok kamar ini. Biarlah kamar ini menjadi saksi bisu atas semua kesedihan dan penderitaan y
Melihatku menangis, Gabriel menghampiriku dan menyodorkan selembar tisu.“Aku berjanji tidak akan pernah bersikap kasar lagi padamu.”Aku menatapnya nanar, lalu kutepis tangannya dengan hati yang perih. Mendengar perkataannya membuatku semakin sakit dan terluka. Air mataku menetes dengan pelan. Gabriel tidak berani mengucapkan apa-apa lagi. Dia berjongkok dan mengulurkan tangannya ingin menghapus air mataku.Kutatap dia dengan sinar kepahitan dari pancaran netraku."Jangan pernah menyentuhku tanpa seizinku. Aku bahkan tidak mau melihat mukamu lagi."Bahuku kembali terguncang, beban besar terasa menghimpit dadaku. Luka dalam hatiku masih segar dan menganga. Perlakuan buruk semalam tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku."Aku menyesal, Grace. Maafkan aku."Aku memilih diam dan tak menanggapi permintaan maaf itu, harga diriku sudah hilang bersama dengan rasa sakit yang ia berikan. Jangankan untuk memaafkan semua perbuatannya, untuk menatap wajahnya saja aku sudah tidak sudi. Seandain
“Ma, please. Jangan menyerah. Kita akan berjuang bersama-sama,” rintihku lirih. Kutahan rasa sakit dan pedih dalam hati ini. Aku harus kuat demi mama dan papa. “Mama tidak mau menyusahkan kamu, Grace. Lebih baik mama pergi dari pada kamu menderita dan bersusah payah membayar biaya pengobatan mama dan papa yang begitu besar. “Ma, aku masih sanggup, Ma. Demi Mama dan Papa, aku rela mengorbankan apa pun.” Mama melepaskan pelukannya. Tangannya kanannya terangkat untuk menghapus air mata di pipiku. “Aku ke sini untuk mengobrol sama Mama. Aku kangen.” “Mama juga kangen sama kamu, sayang.” “Aku akan selalu ada untuk Mama.” Kupeluk dengan erat tubuh wanita yang sudah melahirkan aku ke dunia ini. Sebisa mungkin aku menghiburnya dengan obrolan masa kecilku, di mana aku yang selalu manja dan tidak bisa melakukan apa pun tanpa mama. “Bagaimana keadaan perusahaan kita sekarang, Grace? Semoga kamu tidak terlalu lelah mengurus semuanya sendiri. Tenggorokanku terasa kering seketika itu juga
Gabriel yang baru saja selesai meeting dan kembali ke kantornya. Dia memarkir mobilnya di halaman parkir perusahaan Angkasa Group. Gedung kantornya yang megah dan tinggi menjulang selalu mendatangkan decak kagum bagi siapa saja yang melihatnya. “Apa yang harus aku lakukan agar Natalia tidak membenci dan menyalahkan Grace tanpa sebab?” gumam Gabriel sambil mengusap dagunya. Dia pusing menghadapi Natalia yang mudah sekali naik darah sejak kedatangan Grace dalam kehidupan rumah tangga mereka.Bukannya Gabriel tidak paham dengan situasi yang dihadapi Natalia, tapi semua ini karena ulah dia juga. Seandainya saja dia mau berkorban dan memberikan seorang cucu buat mama dan papa, maka semua ini tidak perlu terjadi. Namun, membujuk Natalia juga, merupakan hal yang mustahil bagi Gabriel. Sudah tidak terhitung berapa kali Gabriel membujuk wanita yang dicintainya itu.Gabriel mengusap wajahnya dengan telapak tangannya. Sekelebat dia melihat sosok Grace yang menari-nari dalam pikirannya. Wanita y
“Ma, aku pulang dulu, ya, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku setelah menemani mama selama berjam-jam. Walaupun sebenarnya aku tidak ingin pergi dari sana, tadi aku sadar diri kalau aku sekarang menumpang di rumah orang. Mengingat hal itu saja, membuat hatiku gelisah. “Hati-hati di jalan ya, kalau ada kesempatan, mama ingin sekali berkunjung ke perusahaan dan menyapa karyawan-karyawan di sana.” Untung aku sedang memegang pinggiran tempat tidur ketika mama mengucapkan hal itu. Otakku berpikir dengan cepat mencari jalan keluar. “Mama tidak perlu memikirkan semua itu. Yang mama perlu lakukan sekarang adalah beristirahat biar semakin pulih.” “Mama sedih karena tidak bisa membantumu.” Mama mengarahkan ke bawah dan menatap kakinya yang tidak bisa digerakkan sama sekali. Kecelakaan maut yang hampir merenggut nyawanya, telah membuat kakinya lumpuh. “Ma, untuk masalah perusahaan, aku yang akan menyelesaikan semuanya. Mama tenang saja, ya.” Sebisa mungkin aku berus
Dering ponsel dari dalam tas Natalia menghentikan kalimat yang ingin dia sampaikan kepada Bara. Begitu dia melihat nama si pemanggil, Natalia menggeser tombol merah dan menolak panggilan itu.“Loh, kok tidak diangkat?” tanya Bara penasaran.“Nomor tak dikenal,” jawab Natalia enteng dan kembali memfokuskan perhatiannya pada gaun di depannya.“Apa kamu sudah menemukan yang aku maksud?” tanya Bara sambil melangkah mendekati gaun satin berwarna hijau lembut itu. “Aku rasa…” ucap Natalia sambil memicingkan matanya mencoba untuk melihat lebih jelas gaun berbahan satin itu.“Sini,” ujar Bara mengulurkan tangannya ke arah Natalia. “Aku akan membantumu untuk melihat apa yang aku maksud.”Natalia terlihat ragu, lagi pula dia tidak mau terlalu dekat dengan pria lain selain Gabriel. Suaminya adalah segalanya bagi Natalia. Melihat Natalia yang tidak mau menerima uluran tangannya, Bara sadar diri dan segera menarik tangannya kembali dengan canggung. “Aha! Aku tahu di mana letak kekurangan dari g
“Pelan-pelan saja makannya,” ucap Garbriel sambil tersenyum penuh arti.‘Wait, manusia super angkuh ini tersenyum padaku?”“Nih, air untukmu. Minumlah.”Dengan wajah memerah kuangkat wajahku dan menatap Gabriel yang berdiri tepat di sampingku. Gabriel memandangku lekat-lekat, dan hmm, aku sendiri pun tidak tahu bagaimana cara menjelaskan pandangan mata itu.Belum habis rasa terkejutku, tangannya dengan perlahan terulur ke depan dan menyapu bibirku yang belepotan. Aku mematung sebentar sebelum akhirnya aku menepis tangannya dengan kasar.“Jangan sentuh aku!” desisku pelan sambil menatapnya tajam. Seperti sadar akan tindakannya, Gabriel buru-buru menarik tangannya.“Aku hanya ingin membersihkan sisa makanan yang menempel di sini,” ujar Gabriel sambil menunjuk ke arah bibirnya sendiri"Kamu sangat tidak sopan, Tuan Gabriel!" ketusku lagi. Kali ini aku benar-benar mengeluarkan sisi galakku.Aku segera membuang muka ke sembarang arah, tak ingin lama-lama memandang wajahnya yang sangat m
Plak, plak! Natalia mendekatiku dan menamparku dengan kuat sebanyak dua kali. Aku hampir menjerit kaget, tapi kutahan suara itu sebelum lolos dari tenggorokanku. Rasa panas menjalar di kedua pipiku. Bukan rasa sakit di pipiku yang membuatku ingin menjerit, tapi rasa sakit di hatiku. Aku merasa sangat terhina. Kupegang kedua pipiku tanpa mengucapkan apa-apa. Jujur saja, ini adalah tamparan pertama yang pernah aku terima di sepanjang perjalanan hidupku. Orang tuaku tidak pernah ringan tangan padaku. Mencubitku saja, mereka tidak pernah lakukan. Mama dan papa mendidik dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang dan bijaksana. "Natalia, apa yang sudah kamu laku…!" “STOOOOPPP! CUKUUUUP!!! Aku tidak butuh pembelaan darimu! Urus saja diri kalian masing-masing.” Aku kalap dan berteriak sehingga membuat Bik Sumi yang sedang mengintip drama yang terjadi, buru-buru kabur dari balik pintu. Aku melihat bayangannya sekilas. Natalia cukup kaget dengan teriakkanku Mungkin karena selama ini