Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.
Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo. "Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan. "Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang. "Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo. "Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi. "Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Valdo sambil berjalan menuju tangga yang melingkar ke lantai dua rumah mewah tersebut. Kepala pelayan hanya mengangguk kecil dan berlalu. Sejak meninggalkan desa sepuluh tahun yang lalu, pekerjaan Pak Baskoro berjalan sangat lancar. Bahkan sampai ia mendirikan perusahaan yang kini ia kelola dengan sukses. Sementara itu, Valdo, yang saat ini sedang mengerjakan skripsinya, belum pernah kembali ke desa, bahkan hanya untuk sekadar bertemu dengan Arin. Kesibukannya di kampus dan pergaulannya dengan teman-teman dari kalangan high class membuatnya lupa dengan masa lalu. Pak Baskoro pun sudah merancang masa depan Valdo sebagai penerus perusahaan yang ia bangun selama lima tahun terakhir dan berkembang pesat. Valdo mengetuk pintu ruang kerja papanya. Setelah mendengar suara papanya yang mempersilakan masuk, barulah Valdo berani membuka pintu. "Iya, nanti akan aku bilang padanya. Kamu tenang saja." Pak Baskoro sedang menelepon. Melihat Valdo sudah datang, ia menggunakan tangannya untuk menyuruh Valdo duduk di kursi. "Iya, aku ingat semua itu. Aku tahu betul pergerakanmu sampai tahu cara mengalahkanmu, paling tidak di permainan catur. Ya, aku tahu... Aku akan bermain lagi denganmu kalau kita sudah bertemu. Itu pun kalau kamu sudah sembuh. Oke? Kamu harus segera sembuh. Aku tutup dulu. Bye," kata Pak Baskoro, mengakhiri panggilan teleponnya dan meletakkan ponsel di atas meja kerjanya. "Bagaimana skripsimu?" tanya Pak Baskoro kepada anak semata wayangnya sembari berjalan mendekatinya dan duduk di depannya. "Lancar, Pa. Bahkan Senin besok aku sudah jadwalkan untuk sidang," jawab Valdo dengan bangga. "Baguslah kalau begitu," balas Pak Baskoro. "Ada apa, Pa? Kenapa tadi menghubungiku dan memintaku segera ke sini?" tanya Valdo penasaran. "Ah, itu. Benar juga." Pak Baskoro menegakkan tubuhnya sebelum berbicara, seperti mengisyaratkan bahwa pembicaraan mereka selanjutnya akan sangat serius. "Papa ingin kamu segera menikah," katanya dengan tenang. Valdo tersentak mendengar perkataan papanya barusan. Kalimat itu jelas sekali tak ada dalam benaknya. Senyum yang sejak tadi ada di wajah tampannya seketika menghilang. Raut wajahnya berubah menjadi bingung. "Me... menikah?" tanya Valdo, penuh harap kalau saja ia salah dengar. "Iya, betul sekali. Papa ingin kamu segera menikah," jawab Pak Baskoro. "Tapi, Pa, aku..." "Apa pacarmu keberatan?" potong Pak Baskoro dengan cepat. "Shania? Bukan begitu, Pa, tapi..." "Kalau begitu tidak ada masalah lagi. Pernikahanmu akan segera dilakukan setelah kamu lulus kuliah," kembali Pak Baskoro menyela perkataan Valdo. "Tapi ini sangat mendadak, Pa. Lagi pula, aku belum siap," kata Valdo cepat-cepat agar tidak dipotong lagi oleh papanya. "Kenapa tidak siap? Kamu tinggal menikah saja. Semua akan Papa urus. Bahkan setelah menikah, kalian tetap akan hidup nyaman. Apa yang membuatmu ragu?" tanya Pak Baskoro, masih bersikukuh untuk segera menikahkan Valdo. "Tapi bukan hanya itu masalahnya, Pa," Valdo masih memberikan perlawanan. "Lalu apa? Papa tidak melihat alasan untukmu menolak kemauan Papa ini," balas Pak Baskoro, yang seolah sudah memperkirakan jawaban dari Valdo, seperti sedang bermain catur dan sudah tahu ke mana lawannya akan bergerak. "Ba... bagaimana dengan calon istriku? Aku dan Shania belum memutuskan untuk menikah," kata Valdo, masih belum menyetujui permintaan papanya itu. "Kenapa? Lebih tidak masuk akal lagi menurut Papa," jawab Pak Baskoro. "Ya, karena kami masih ingin menikmati masa muda, Pa. Aku masih dua puluh tahun dan..." "Sudah cukup umur dan legal untuk menikah," sergah Pak Baskoro. "Bukan dari sudut pandang itu maksudku. Tapi kami berdua, atau paling tidak aku... aku masih ingin bekerja dulu, Pa. Aku masih ingin memiliki banyak teman dan kumpul bersama teman-temanku," Valdo memberikan alasan. "Semua itu masih bisa dilakukan meskipun kamu sudah menikah. Papa juga masih bisa kumpul dengan teman-teman Papa setelah dua puluh tahun lebih menikah dengan Mamamu. Apa yang kamu katakan itu hanya alasan saja dan tidak masuk akal untuk Papa," Pak Baskoro masih teguh pada pendiriannya. "Tapi bisa saja keluarga Shania tidak setuju. Mereka mungkin ingin anaknya berkarier dulu dan tidak buru-buru menikah," Valdo mencoba mencari alasan baru untuk menolak. "Itu lebih tidak masuk akal lagi," kata Pak Baskoro. "Maksud Papa? Tidak masuk akal dari mananya?" desak Valdo. "Karena seingat Papa, Papa dari tadi tidak mengatakan kalau kamu akan menikah dengan pacarmu, Shania itu," kata Pak Baskoro dengan serius. Valdo kembali dibuat terkejut mendengar perkataan papanya. Selama ini, Valdo selalu menurut pada keputusan Papa dan Mamanya. Sampai-sampai ia hampir tak punya teman masa kecil karena mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Baru sepuluh tahun terakhir ini, Valdo menetap lebih lama dari biasanya di suatu tempat. "Maksud Papa gimana?" tanya Valdo penasaran. Pak Baskoro diam sejenak. Ia kemudian berdiri dan berjalan mendekati meja kerjanya. Diambilnya ponsel dan lalu berbalik untuk melihat anaknya yang sedang gundah dan bingung. "Seperti yang Papa bilang tadi. Papa tidak bicara kalau kamu akan menikah dengan Shania. Karena Papa sudah menjodohkanmu dengan anak dari teman baik Papa. Kamu akan menikah dengan gadis pilihan Papa," kata Pak Baskoro dengan raut wajah penuh keyakinan, berbeda sekali dengan Valdo yang semakin terkejut. "Di... dijodohkan?" ucap Valdo terbata-bata.Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja. Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa. "Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, m
Selepas dari rumah papa dan mamanya, malam harinya Valdo bergegas menuju kafe yang biasa dipakai Shania untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, kecewa harus didapat Valdo karena Shania sedang tidak berada di sana malam itu. Valdo kemudian mendekati barista yang merupakan teman Shania. Keadaan di kafe juga sedang tidak begitu ramai malam itu, menjadikan barista tersebut terlihat sedang tidak ada pekerjaan."Bro, Shania mana ya?" tanya Valdo kepada barista tersebut."Eh, Shania? Eee... tadi dia... dia..." barista berkacamata itu nampak ragu memberikan jawaban kepada Valdo."Iya, Shania. Kemana dia? Bukannya biasanya dia jam segini ada di sini ya?" desak Valdo lagi."Iya sih, tadi dia di sini sama teman-temannya. Tapi..." Barista itu masih enggan melanjutkan kalimatnya."Jangan-jangan dia clubbing lagi ya?" terka Valdo yang sudah hapal betul dengan perilaku kekasihnya itu."Nggak gitu juga. Tadi ada temannya yang ulang tahun, terus yang ulang tahun itu ngajak ke klub buat have fun.
Valdo keluar dari Club Paradise dengan hati yang sedikit dongkol. Dia lebih menyalahkan dirinya sendiri karena gegabah membicarakan hal sepenting itu dengan Shania di club malam yang berisik. Kepalanya sedang tidak 'dingin,' sehingga mengambil keputusan sembarangan."Seharusnya aku lebih tenang dan berpikir dengan jernih. Aku terlalu terburu-buru ingin bertemu Shania dan cepat-cepat membahas masalah ini dengannya," gerutu Valdo dalam hati.Dia pun sampai di samping mobilnya dan hendak membuka pintu, tetapi terhenti ketika mendengar namanya dipanggil dari jauh."Valdo!" panggil Shania dari kejauhan sambil berlari mengejarnya. Dengan susah payah dan sepatu hak tinggi, ia berlari menghampiri Valdo. "Kamu... mau... ke mana?" napasnya terengah-engah ketika sampai di depan Valdo."Shania? Kamu kenapa ke sini? Bagaimana dengan pesta ulang tahun temanmu?" tanya Valdo."Sudah, jangan pikirkan itu. Ada yang lebih penting daripada itu. Ayo kita bicara tentang hal tadi. Jujur aku kaget banget wak
Bab: Sebuah Ide GilaValdo sangat terkejut. Kata-kata Shania seolah-olah menampar pikirannya yang kalut. Kabur? Lari dari semuanya? Menghilang bersama Shania dan meninggalkan kehidupan yang sudah dibangunnya selama ini? Pikiran itu begitu absurd, tetapi ia tak bisa mengabaikan keyakinan di mata Shania."Kabur?" ulang Valdo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu serius, Shania? Itu ide gila. Bagaimana kita bisa kabur begitu saja? Aku punya keluarga, kamu juga. Kita tidak bisa meninggalkan semuanya dan berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja."Shania mengangguk, terlihat tak gentar oleh respons Valdo. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba pikirkan, Valdo. Apa yang kita miliki sekarang? Tekanan dari keluargamu untuk menikah dengan orang yang bahkan kamu tidak kenal. Tekanan dari keluargaku juga. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kita selalu dikekang oleh harapan mereka, oleh aturan-aturan yang mereka buat. Apakah kamu tidak ingin sekali saja mengamb
Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya. "Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri." Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?" Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?" Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Sha
Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:---"Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram.Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati."Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian."Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu.Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama."Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut."Makanya itu," sahut Arin denga
Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya. "Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri." Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?" Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?" Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Sha
Bab: Sebuah Ide GilaValdo sangat terkejut. Kata-kata Shania seolah-olah menampar pikirannya yang kalut. Kabur? Lari dari semuanya? Menghilang bersama Shania dan meninggalkan kehidupan yang sudah dibangunnya selama ini? Pikiran itu begitu absurd, tetapi ia tak bisa mengabaikan keyakinan di mata Shania."Kabur?" ulang Valdo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu serius, Shania? Itu ide gila. Bagaimana kita bisa kabur begitu saja? Aku punya keluarga, kamu juga. Kita tidak bisa meninggalkan semuanya dan berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja."Shania mengangguk, terlihat tak gentar oleh respons Valdo. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba pikirkan, Valdo. Apa yang kita miliki sekarang? Tekanan dari keluargamu untuk menikah dengan orang yang bahkan kamu tidak kenal. Tekanan dari keluargaku juga. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kita selalu dikekang oleh harapan mereka, oleh aturan-aturan yang mereka buat. Apakah kamu tidak ingin sekali saja mengamb
Valdo keluar dari Club Paradise dengan hati yang sedikit dongkol. Dia lebih menyalahkan dirinya sendiri karena gegabah membicarakan hal sepenting itu dengan Shania di club malam yang berisik. Kepalanya sedang tidak 'dingin,' sehingga mengambil keputusan sembarangan."Seharusnya aku lebih tenang dan berpikir dengan jernih. Aku terlalu terburu-buru ingin bertemu Shania dan cepat-cepat membahas masalah ini dengannya," gerutu Valdo dalam hati.Dia pun sampai di samping mobilnya dan hendak membuka pintu, tetapi terhenti ketika mendengar namanya dipanggil dari jauh."Valdo!" panggil Shania dari kejauhan sambil berlari mengejarnya. Dengan susah payah dan sepatu hak tinggi, ia berlari menghampiri Valdo. "Kamu... mau... ke mana?" napasnya terengah-engah ketika sampai di depan Valdo."Shania? Kamu kenapa ke sini? Bagaimana dengan pesta ulang tahun temanmu?" tanya Valdo."Sudah, jangan pikirkan itu. Ada yang lebih penting daripada itu. Ayo kita bicara tentang hal tadi. Jujur aku kaget banget wak
Selepas dari rumah papa dan mamanya, malam harinya Valdo bergegas menuju kafe yang biasa dipakai Shania untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, kecewa harus didapat Valdo karena Shania sedang tidak berada di sana malam itu. Valdo kemudian mendekati barista yang merupakan teman Shania. Keadaan di kafe juga sedang tidak begitu ramai malam itu, menjadikan barista tersebut terlihat sedang tidak ada pekerjaan."Bro, Shania mana ya?" tanya Valdo kepada barista tersebut."Eh, Shania? Eee... tadi dia... dia..." barista berkacamata itu nampak ragu memberikan jawaban kepada Valdo."Iya, Shania. Kemana dia? Bukannya biasanya dia jam segini ada di sini ya?" desak Valdo lagi."Iya sih, tadi dia di sini sama teman-temannya. Tapi..." Barista itu masih enggan melanjutkan kalimatnya."Jangan-jangan dia clubbing lagi ya?" terka Valdo yang sudah hapal betul dengan perilaku kekasihnya itu."Nggak gitu juga. Tadi ada temannya yang ulang tahun, terus yang ulang tahun itu ngajak ke klub buat have fun.
Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja. Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa. "Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, m
Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo."Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan."Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang."Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo."Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi."Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Vald
Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:---"Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram.Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati."Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian."Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu.Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama."Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut."Makanya itu," sahut Arin denga