Share

Bab 2 "Keputusan"

Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.

Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo.

"Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan.

"Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang.

"Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo.

"Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi.

"Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Valdo sambil berjalan menuju tangga yang melingkar ke lantai dua rumah mewah tersebut. Kepala pelayan hanya mengangguk kecil dan berlalu.

Sejak meninggalkan desa sepuluh tahun yang lalu, pekerjaan Pak Baskoro berjalan sangat lancar. Bahkan sampai ia mendirikan perusahaan yang kini ia kelola dengan sukses.

Sementara itu, Valdo, yang saat ini sedang mengerjakan skripsinya, belum pernah kembali ke desa, bahkan hanya untuk sekadar bertemu dengan Arin. Kesibukannya di kampus dan pergaulannya dengan teman-teman dari kalangan high class membuatnya lupa dengan masa lalu. Pak Baskoro pun sudah merancang masa depan Valdo sebagai penerus perusahaan yang ia bangun selama lima tahun terakhir dan berkembang pesat.

Valdo mengetuk pintu ruang kerja papanya. Setelah mendengar suara papanya yang mempersilakan masuk, barulah Valdo berani membuka pintu.

"Iya, nanti akan aku bilang padanya. Kamu tenang saja." Pak Baskoro sedang menelepon. Melihat Valdo sudah datang, ia menggunakan tangannya untuk menyuruh Valdo duduk di kursi. "Iya, aku ingat semua itu. Aku tahu betul pergerakanmu sampai tahu cara mengalahkanmu, paling tidak di permainan catur. Ya, aku tahu... Aku akan bermain lagi denganmu kalau kita sudah bertemu. Itu pun kalau kamu sudah sembuh. Oke? Kamu harus segera sembuh. Aku tutup dulu. Bye," kata Pak Baskoro, mengakhiri panggilan teleponnya dan meletakkan ponsel di atas meja kerjanya.

"Bagaimana skripsimu?" tanya Pak Baskoro kepada anak semata wayangnya sembari berjalan mendekatinya dan duduk di depannya.

"Lancar, Pa. Bahkan Senin besok aku sudah jadwalkan untuk sidang," jawab Valdo dengan bangga.

"Baguslah kalau begitu," balas Pak Baskoro.

"Ada apa, Pa? Kenapa tadi menghubungiku dan memintaku segera ke sini?" tanya Valdo penasaran.

"Ah, itu. Benar juga." Pak Baskoro menegakkan tubuhnya sebelum berbicara, seperti mengisyaratkan bahwa pembicaraan mereka selanjutnya akan sangat serius. "Papa ingin kamu segera menikah," katanya dengan tenang.

Valdo tersentak mendengar perkataan papanya barusan. Kalimat itu jelas sekali tak ada dalam benaknya. Senyum yang sejak tadi ada di wajah tampannya seketika menghilang. Raut wajahnya berubah menjadi bingung.

"Me... menikah?" tanya Valdo, penuh harap kalau saja ia salah dengar.

"Iya, betul sekali. Papa ingin kamu segera menikah," jawab Pak Baskoro.

"Tapi, Pa, aku..."

"Apa pacarmu keberatan?" potong Pak Baskoro dengan cepat.

"Shania? Bukan begitu, Pa, tapi..."

"Kalau begitu tidak ada masalah lagi. Pernikahanmu akan segera dilakukan setelah kamu lulus kuliah," kembali Pak Baskoro menyela perkataan Valdo.

"Tapi ini sangat mendadak, Pa. Lagi pula, aku belum siap," kata Valdo cepat-cepat agar tidak dipotong lagi oleh papanya.

"Kenapa tidak siap? Kamu tinggal menikah saja. Semua akan Papa urus. Bahkan setelah menikah, kalian tetap akan hidup nyaman. Apa yang membuatmu ragu?" tanya Pak Baskoro, masih bersikukuh untuk segera menikahkan Valdo.

"Tapi bukan hanya itu masalahnya, Pa," Valdo masih memberikan perlawanan.

"Lalu apa? Papa tidak melihat alasan untukmu menolak kemauan Papa ini," balas Pak Baskoro, yang seolah sudah memperkirakan jawaban dari Valdo, seperti sedang bermain catur dan sudah tahu ke mana lawannya akan bergerak.

"Ba... bagaimana dengan calon istriku? Aku dan Shania belum memutuskan untuk menikah," kata Valdo, masih belum menyetujui permintaan papanya itu.

"Kenapa? Lebih tidak masuk akal lagi menurut Papa," jawab Pak Baskoro.

"Ya, karena kami masih ingin menikmati masa muda, Pa. Aku masih dua puluh tahun dan..."

"Sudah cukup umur dan legal untuk menikah," sergah Pak Baskoro.

"Bukan dari sudut pandang itu maksudku. Tapi kami berdua, atau paling tidak aku... aku masih ingin bekerja dulu, Pa. Aku masih ingin memiliki banyak teman dan kumpul bersama teman-temanku," Valdo memberikan alasan.

"Semua itu masih bisa dilakukan meskipun kamu sudah menikah. Papa juga masih bisa kumpul dengan teman-teman Papa setelah dua puluh tahun lebih menikah dengan Mamamu. Apa yang kamu katakan itu hanya alasan saja dan tidak masuk akal untuk Papa," Pak Baskoro masih teguh pada pendiriannya.

"Tapi bisa saja keluarga Shania tidak setuju. Mereka mungkin ingin anaknya berkarier dulu dan tidak buru-buru menikah," Valdo mencoba mencari alasan baru untuk menolak.

"Itu lebih tidak masuk akal lagi," kata Pak Baskoro.

"Maksud Papa? Tidak masuk akal dari mananya?" desak Valdo.

"Karena seingat Papa, Papa dari tadi tidak mengatakan kalau kamu akan menikah dengan pacarmu, Shania itu," kata Pak Baskoro dengan serius.

Valdo kembali dibuat terkejut mendengar perkataan papanya. Selama ini, Valdo selalu menurut pada keputusan Papa dan Mamanya. Sampai-sampai ia hampir tak punya teman masa kecil karena mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Baru sepuluh tahun terakhir ini, Valdo menetap lebih lama dari biasanya di suatu tempat.

"Maksud Papa gimana?" tanya Valdo penasaran.

Pak Baskoro diam sejenak. Ia kemudian berdiri dan berjalan mendekati meja kerjanya. Diambilnya ponsel dan lalu berbalik untuk melihat anaknya yang sedang gundah dan bingung.

"Seperti yang Papa bilang tadi. Papa tidak bicara kalau kamu akan menikah dengan Shania. Karena Papa sudah menjodohkanmu dengan anak dari teman baik Papa. Kamu akan menikah dengan gadis pilihan Papa," kata Pak Baskoro dengan raut wajah penuh keyakinan, berbeda sekali dengan Valdo yang semakin terkejut.

"Di... dijodohkan?" ucap Valdo terbata-bata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status